Nirbita memegangi kedua lututnya. Dada gadis itu kembang kempis, berusaha mengatur deru napas yang tak teratur. Tungkai kakinya bergeser sedikit ke belakang hingga berhenti di depan sebuah kedai kecil yang tutup. Nirbita memukul kepalanya berkali-kali saat memutar memori tentang tindakan dungu yang ia lakukan. Demi apa pun! Nirbita bersumpah bahwa itu adalah tindakan paling bodoh yang pernah ia alami sepanjang hidupnya. Ia juga tak mengerti kenapa tubuhnya spontan bergerak ke meja seorang pria asing yang ada di depannya.
"Ah, sialan. Malu-maluin diri sendiri aja! Gue harap gak akan pernah ketemu lagi sama orang itu. Bahkan kalo misalnya papasan, gue harap dia gak inget sama gue," dengus Nirbita sebal. Rasanya ingin sekali ia menghantam otak lelaki asing itu dengan sebuah batu besar hingga menyebabkan amnesia agar harga dirinya tak rusak.
"Tenang, Nirbita. Dia cuma orang asing, gak usah dibikin pusing. Semuanya pasti bakalan baik-baik aja," ujarnya pelan, meyakinkan diri sendiri.
Getaran kecil yang merambat ke saku bajunya membuat Nirbita bergegas mengeluarkan ponsel. Pandangannya langsung lesu kala membaca sebuah pesan masuk dari operator. Ternyata paket internetnya sudah habis. Celaka! Tanpa kuota internet sama saja dengan mati. Informasi kampus, diskusi kelompok, menonton drama Korea dan YouTube, Nirbita berada dalam masalah besar jika tidak mempunyai kuota internet.
"Ahhh! Gue harus gimana, nih? Pengeluaran gue bener-bener kritis, bahkan buat beli makan aja gue bingung. Ck, ini semua gara-gara cowok kurang ngajar itu. Lagian kenapa, sih? Dia harus ada di kafe tempat Kak Arkan kerja? Kenapa gak ke kafe lain aja gitu! Kalo keadaannya gak sekacau ini mungkin gue gak bakalan pergi." Entah kepada siapa Nirbita marah, mungkin ia hanya ingin mengeluarkan kegundahan yang sedari tadi dipendam. Harusnya hari ini ia sedang berdiskusi dengan Kak Arkan, akan tetapi kondisinya sangat tidak memungkinkan setelah apa yang terjadi di kafe tadi.
***
Kedua bola mata itu fokus pada layar laptop yang ada di depannya. Ia merenggangkan otot-otot tubuh begitu masalah pekerjaan yang ditanganinya usai. Tak lama kemudian seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya.
"Masuk." suara berat itu memerintah. Kini punggungnya bersandar pada kursi putar yang ia duduki.
Seorang wanita berpakaian formal hitam dengan rambut kucir kuda membungkukkan setengah badan sejenak, memberi hormat kepada atasannya.
"Saya ingin mengingatkan bahwa hari ini ada rapat dengan tim produksi sesudah jam makan siang. Satu lagi, perusahaan Jepang ingin memperbarui kontrak kerjasama dengan perusahaan kita, pesan sudah saya kirim ke email bapak tadi pagi." Aline—sang sekertaris memberitahu sambil menatap wajah atasannya.
"Ada lagi?"
Aline menggeleng. "Tidak, Pak. Untuk sekarang hanya itu jadwal bapak."
"Baik. Terima kasih Aline, kau boleh pergi sekarang," titahnya dingin tanpa menoleh ke arah Aline. Lelaki itu merubah posisi bersandar menjadi duduk tegap, perlahan jemarinya menari di atas papan keyboard, mengecek pesan yang dikirim oleh Aline.
Ferrel Shiwa Denggara, putra kedua konglomerat berumur 25 tahun yang mewarisi perusahaan Nebula. Tempat produksi produk kecantikan wajah terbesar yang ada di Asia. Semejak kondisi Huan—ayahnya tak lagi memungkin untuk mengurus perusahaan, beliau memutuskan untuk mewarisi perusahaan kesayangannya pada Ferrel. Sudah lebih dari tiga tahun Ferrel menggerakkan perusahaan Nebula bersama para rekannya. Tak dapat dipungkiri, lelaki tampan itu memang mempunyai potensi tinggi di bidang perusahaan. Meskipun mempunyai sifat cuek dan dingin, namun setiap langkah yang diambilnya dalam bekerja selalu menguntungkan. Hal itu membuat para pekerja sangat menghormatinya.
Drttt! Drtt!
Dering nada telepon di meja membuat pandangan mata Ferrel lepas dari layar laptop. Ia melirik sekilas nama yang tertera di benda pipih itu, lalu menghela napas jengah. Ferrel melirik jam yang melingkar di tangannya. Sial! Jam makan siang masih empat puluh menit lagi. Jika ia mengangat telepon dari mamanya sekarang, beliau pasti akan banyak mengoceh padanya, dan Ferrel akan dimarahi jika terdengar enggan merespon. Huh! Kenapa wanita tua itu selalu mengusiknya? Menyebalkan.
Drttt! Drttt!
Bunyi itu terdengar lagi. Ferrel tahu bahwa mamanya tidak akan menyerah jika ia mengabaikan panggilan. Pasrah, dengan malas akhirnya ia mengangkat panggilan itu.
"Ya, Ma?" tanya Ferrel datar.
"Kamu lagi apa?"
Astaga! Kenapa mamanya hobi bertanya hal yang tidak penting?
"Kerja," sahut Ferrel singkat.
"Kamu udah makan siang?"
Ferel memijat pelan pelipisnya. Ia harus sabar menghadapi percakapan sulit ini. Kalau boleh memilih, Ferrel bahkan lebih suka disibukkan oleh pekerjaan daripada menghabiskan waktu berbicara di telepon dengan mamanya.
"Ya belum lah, Ma. Ini kan, belum jam makan siang," jawabnya jengkel.
"Oh. Gimana kalo—"
"Ma, sebenernya mama mau ngomong apa, sih? Langsung ke intinya aja bisa? Sekarang Ferrel lagi sibuk." Ferrel langsung memotong pembicaraan seberang.
"Ih, kamu kenapa, sih?! Tiap kali mama telepon males banget naggepin. Jam delapan malam besok kamu harus pulang ke rumah buat makan malem, sekalian ada tamu yang mau mama kenalin ke kamu. Udah, mama mau tutup teleponnya sekarang biar gak ganggu kamu lagi."
Tut!
Sambungan telepon dimatikan secara sepihak. Sialan! Apakah mamanya berniat membalas perbuatannya?
Ferrel terdiam sejenak. Menduga-duga penjamuan malam seperti apa yang mamanya adakan. Mungkinkah ... beliau merencakan perjodohan lagi untuknya? Ck, ini tidak bisa dibiarkan. Besok ia harus pandai beralibi agar tidak menghadiri kegiatan makan malam di rumahnya.
***
Suasana makan siang selalu sama. Jika Riyan tidak duduk semeja dengannya, Ferrel seperti manusia luar yang dikucilkan oleh orang setempat. Padahal lelaki itu memang ingin menyendiri agar sesi makan siangnya cepat selesai. Entah sebuah kebetulan atau Riyan membuntutinya sejak tadi hingga mereka bertemu di restoran yang sama.
"Lo lagi ada masalah, ya? Dari tadi gue liatin kayaknya muka lo asem banget," terka Riyan dengan tatapan mengintimidasi. Hal itu membuat Ferrel sedikit risih.
"Biasa, mama ngadain ajang pencarian jodoh lagi," sahutnya to the poin.
Mungkin, hanya di depan Riyan laki-laki itu bisa bercerita banyak hal. Walaupun sikap cuek dan dingin Ferrel tidak sepenuhnya hilang, tetapi bersama Riyan membuatnya bisa menjadi orang yang lebih terbuka. Mereka sudah cukup lama menjalin pertemanan.
Riyan adalah seorang dokter hewan profesional. Kebetulan tempat kerja pria itu berada tak jauh dari kantor Ferrel. Awal mula pertemuan keduanya adalah pada saat Bonggi— anjing milik Ferrel jatuh sakit dan diharuskan untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Ferrel yang selalu sibuk akhirnya memutuskan untuk membawa anjing putih itu ke dokter hewan yang berada di dekat kantornya, dengan begitu ia bisa lebih mudah menangani masalah pekerjaan dan mengurus Bonggi yang kondisinya sedang tak sehat.
Berkat jasa Riyan, Bonggi bisa sembuh lebih cepat daripada yang Ferrel perkirakan. Semejak itu, ia jadi rutin membawa Bonggi ke dokter hewan untuk melakukan perawatan khusus binatang. Tak jarang pula, Riyan memergoki Ferrel yang terkadang melamun dan terlihat frustasi. Pria berhati hangat nan ramah itu mencoba untuk mengajak Ferrel berbicara. Tadinya Ferrel hanya merespon ala kadarnya, namun lambat laun ia merasa cocok berbincang dengan Riyan.
"Lagian sih, udah tau umur lo makin tua, bukannya cepet-cepet cari istri sana," ledek Riyan sembari terkekeh.
Ferrel membeliakkan kedua matanya. "Heh, lo juga udah tua. Kenapa gak cari istri duluan aja?!" balasnya kesal.
"Eh, umur gue masih muda. Melajang di umur segini lagi tren." Riyan mengedipkan sebelah matanya, membuat Ferrel bergedik ngeri.
"Emangnya lo gak pernah nyoba buat cari jodoh sendiri gitu? Nentuin tipe idaman lo kayak gimana? Sama sekali gak pernah ada perempuan yang terbayang di pikiran lo, kah?" tanya Riyam bertubi-tubi.
Ferrel terdiam sejemang. Matanya yang tadi menatap lurus ke depan kini merosot ke bawah, melihat cangkir berisi kopi yang sama sekali belum disentuh. Mendadak ia teringat pada seorang gadis asing yang bertindak gila di kafe kemarin. Namun, beberapa detik kemudian Ferrel menggelengkan kepalanya. Kenapa gadis itu hadir di dalam ingatannya?
"Udah aku bilang berkali-kali, aku gak mau nikah, Ma." Nyaris seluruh percakapan yang dibicarakan Ferrel dengan orang di seberang yang tak lain adalah mamanya ikut disimak oleh Nirbita. Gadis itu tersenyum licik usai mendapatkan ide cermelang. Ia tahu langkah apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan dirinya dari takdir sengsara ini. Nirbita lekas mundur dari tempat persembunyiannya menguping menuju sofa semula. Begitu Ferrel menutup balkon dan hendak berjalan menuju kamarnya, barulah ia muncul di hadapan lelaki itu. "Paman!" panggil Nirbita tanpa melunturkan senyum yang terpasang di raut wajahnya. "Hmm?" "Ayo kita nikah!" ucapnya mantap, tanpa ada keraguan ataupun perasaan malu yang terselip di setiap perkataannya. Tubuh Ferrel sempat terpaku selama beberapa detik. Ponsel yang ada dalam genggaman tangannya bahkan tak lagi menarik perhatiannya. Ia menatap dalam gadis yang berdiri di depannya tanpa mengeluarkan sepatah ka
Bulir-bulir air hujan yang keruh menyerap sepatu tali Nirbita saat gadis itu tak sengaja menginjak sebuah lubang datar yang digenangi air hujan. Kali ini Nirbita mencoba berjalan lebih waspada dan teliti. Dengan ponsel yang ada di genggaman tangannya, mata gadis itu tak berhenti menatap sekeliling, seakan tengah menyari sesuatu. "Ck! Sebenernya tempatnya ada di mana, sih? Kok kayaknya jauh banget, ya." Nirbita bermonolog. Gadis itu ingin melihat sebuah apartemen yang ia temukan di salah satu situs internet. Dari beberapa foto dan nominal biaya sewa yang dicantumkan membuat Nirbita berpikir matang-matang dan memutuskan untuk melihatnya secara langsung. Ia rasa ini adalah tempat yang cocok untuknya. Semoga saja sesuai dengan ekspetasi. Sayangnya, tanpa disadari ada seseorang yang mengekori langkah Nirbita sejak tadi. Tubuh orang itu cukup tinggi dengan jaket hitam yang dikenakannya. Aksesoris seperti kacamata hitam dan juga masker seolah memang sengaja di
Pagi harinya Ferrel baru menyadari jika ada yang berbeda dari apartemennya. Tumpukan kardus yang belum dirapikannya kini tak lagi terlihat. Ruangan menjadi lebih leluasa dan nyaman dipandang mata. Tapi ... siapa yang telah menyentuh barang-barang miliknya tanpa izin?Pikiran Ferrel langsung tertuju pada Nirbita. Jika bukan gadis itu siapa lagi? Tidak mungkin Riyan rajin berkunjung lantas membenahkan barang-barang miliknya, bukan? Lagi pula hanya gadis itu satu-satunya orang yang tahu kata sandi apartemennya.Haruskah ia mengucapkan terima kasih jika bertemu dengan Nirbita? Tapi ... Ferrel rasa mungkin tak perlu. Lagian ... ia tak tahu alasan gadis itu memindahkan barang-barang miliknya. Apakah niat Nirbita murni karena ingin menolong atau ... ada maksud tertentu yang membuatnya bersikap baik kepada Ferrel?"Hmmm ... hmmm ... hmmm...."
Sejak berkumpul Noel tak berhenti dibuat heran dengan sikap Helen. Perempuan itu tak mau berhenti menangis sedari tadi. Entah apa sebabnya. Noel yang tadinya berniat menjahili pun menjadi urung karena merasa tak enak."Len, udah dong, nangisnya," pinta Noel hati-hati. Ia melirik untaian tisu yang berserakan di depannya. Astaga! Sungguh, Noel tak ingin memungut barang seperti itu. Membayangkan betapa lengket dan kentalnya lendir hidung Helen yang menempel di tisu dan bersentuhan dengan jemarinya membuat ia bergedik ngeri. Namun, jika tidak diambil, cepat atau lambat petugas kebersihan yang lewat pasti akan mengomelinya.Noel celingukan, menunggu kehadiran Nirbita yang sempat izin untuk membeli camilan. Kenapa gadis itu belum juga kembali?Pasrah, Noel memutuskan untuk duduk diam sembari memerhatikan Helen yang menyembunyikan wajah dengan kedua telapak t
Nirbita berkacak pinggang mengamati keadaannya saat ini. Lagi-lagi ia mempermalukan dirinya sendiri demi bisa mendapatkan persetujuan untuk tinggal di apartemen milik Ferrel selama tiga hari. Nirbita pun tak habis pikit mengapa ia mengambil solusi seperti ini. Tapi ... gadis itu benar-benar bingung dan tak tahu harus bagaimana sekarang. Jika ia kembali pada Helen, temannya itu pasti akan curiga dan tahu dirinya telah ditipu oleh Rey. Meski sadar jika kepribadiannya cukup menyebalkan, Nirbita tak ingin merepotkan Helen terus-terusan. Yang terbesit di otaknya hanya memohon pada Ferrel untuk menempati apartemennya selama tiga hari. Dalam waktu singkat itu pula, Nirbita bertekad mencari pinjaman uang dan menyewa sebuah apartemen dengan anggaran deposit rendah. Semoga saja ia bisa menemukan tempat tinggal yang ramah biaya.Ada 2 tempat yang bisa dijadikan kamar dalam apartemen ini. Kamar milik Ferrel berada di bagian ujung, letaknya deka
Waktu seakan berhenti ketika manik mata mereka saling tatap. Untuk pertama kalinya, Ferrel dan Nirbita berinteraksi cukup lama meski tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka. Keduanya terasa canggung berada di situasi seperti ini."Ekhem! Kamu..." Ferrel berdekhem. Tadinya ia ingin mengajukan pertanyaan, nahas, mendadak isi kepalanya kosong."Ah, permisi, Pak. Maaf, tapi ... apakah Rey ada di rumah?" tanya Nirbita gusar. Kalau boleh memilih, ia ingin kabur segera dari lelaki yang ada di hadapannya sekarang. Sungguh, Nirbita tak bisa melupakan kejadian di mana dirinya melakukan hal gila sewaktu di kafe. Meski tak mengenalnya, tetap saja gadis itu merasa malu."Rey? Maksud kamu pemilik apartemen sebelumnya?" tanya Ferrel.Dahi Bitna membentuk garis samar. Entah kenapa mendadak perasaannya tidak