~Nia~
Pria ini benar-benar tidak akan menyerah, ya? Aku baru saja tiba di ruang kerja dan menemukan buket bunga mawar merah di atas mejaku. Tidak ada kartu nama yang menunjukkan siapa yang mengirimnya, tetapi hanya ada satu orang yang akan melakukan ini untukku. Damian. Jantungku berdebar bahagia ketika aku memikirkan nama itu di kepalaku. Ampun.
Rekan-rekan yang datang lebih dahulu tersenyum penuh arti kepadaku. Mereka yang baru datang berdehem, bersiul, atau menggodaku dengan sengaja lewat di belakangku. Aku yakin rekan kerjaku yang sudah datang memberitahu mereka melalui group chat khusus tim kami tentang bunga ini.
Setelah menyimpan tasku di dalam laci meja dan menguncinya, aku membawa buket itu ke dapur. Aku memeriksa setiap pintu lemari dan menemukan sebuah vas kaca yang tidak dipakai. Aku mengisinya dengan air, kemudian memasukkan tangkai demi tangkai mawar ke dalamnya. Ada total tiga belas tangkai bunga. Mengapa tiga belas?
Meski
“Silakan duduk, Nia,” ucap Sharon saat aku menutup pintu ruangannya kembali. Aku menurutinya. “Sebagai perwakilan divisi pemasaran, aku meminta maaf kepadamu. Kamu masih dalam status trainingdi sini, tetapi sudah melimpahi kamu dengan tanggung jawab yang besar. “Aku sudah menghubungi pihak TV dan mereka memberitahu aku apa yang terjadi. Aku mengerti mengapa kamu meminta aku untuk bertanya kepada mereka langsung dan tidak bertanya kepadamu. Kamu pasti tidak mau kita bertengkar karena Dilan membantah ucapanmu. “Kamu belum punya kewajiban apa pun untuk menyelamatkan muka kami, tetapi terima kasih sudah tampil dengan baik pada wawancara tersebut. Seandainya Dilan yang melakukannya, aku tidak yakin penjualan kita akan naik sedrastis ini. Ini adalah bonus yang sudah disiapkan untuk mereka yang mengikuti wawancara tersebut. Karena kamu yang tampil, maka ini adalah hak kamu.” Sharon meletakkan sebuah amplop di atas meja di depanku. “Aku sudah melaporka
“Semoga kamu sedang tidak menguntitku, Gerald,” kata Damian tanpa melihat ke arah temannya itu. “Sayang, ini asistenku Gerald. Aku harap kamu berhati-hati saat berada di dekatnya.” “Hai, Adonia. Namaku Gerald,” kata pria itu sambil mengulurkan tangannya. Damian segera menepis tangan itu dan menahan tanganku agar tidak menjabatnya. “Kamu tidak perlu menjabat tangannya,” ucap Damian dengan wajah tidak suka. “Tolong, tinggalkan kami. Aku hanya ingin berdua saja dengan tunanganku.” “Oke, oke. Aku senang melihatmu bahagia seperti ini, makanya aku mengalah. Senang bisa bertemu denganmu lagi, Adonia.” Pria bernama Gerald itu tersenyum kepadaku. “Ini kekasihku Erin. Dia juga bekerja di stasiun TV yang sama dengan Ian. Baiklah. Sampai nanti.” “Sampai nanti,” balasku dengan sopan. Wanita itu masih terang-terangan menatapku tidak suka. Gerald mengajaknya mendekati meja lain yang ditunjuk oleh pelayan yang mengantar mereka. “Apa kamu pernah punya hubungan
~Damian~ Pikiranku terganggu selama sisa hari itu di tempat kerja karena ulah Erin. Beraninya dia menyentuh aku seintim itu saat aku tidak mengundang atau mengizinkannya melakukan itu. Ada apa dengan isi kepalanya? Dia baru saja bermesraan dengan asistenku di koridor, berikutnya dia ingin bercumbu denganku juga? Aku segera mendorong tubuhnya menjauh dariku begitu aku sadar apa yang sedang dia lakukan. Dia mengaduh kesakitan karena punggungnya terantuk pintu cukup keras. Aku tidak peduli dengan itu, yang dia lakukan jauh lebih sadis. “Keluar dari ruanganku sekarang!” teriakku marah. Aku bisa melihat badannya gemetar mendengar suara kerasku yang tidak pernah aku gunakan sebelumnya di tempat kerja ini. Tetapi dia tidak mundur atau keluar, dia hanya berdiri dengan mata menantangku. “Ada apa denganmu? Aku tidak percaya kamu tidak tertarik denganku. Apa yang kamu sembunyikan dariku? Aku mencintaimu, Ian. Beri aku kesempatan untuk membuktikan itu kepadamu,”
~Nia~ Damian tidak bisa terus menciumku seintens itu di dalam mobilnya. Kaca depan mobilnya tidak bisa menghalangi kami dari tatapan penasaran orang-orang sekitar. Apalagi pada malam hari, lampu dari kendaraan lain membuat kami beberapa kali menjadi sorotan. Tetapi tentu saja dia tidak peduli. Dia berharap kado ciuman dariku, maka itu yang dimintanya saat aku akan keluar dari mobilnya. Saat dia mengucapkan cinta, lidahku hampir saja membentuk kalimat yang sama. Syukur saja aku berhasil menahan diri. Cinta. Ini tidak mungkin. Kami bahkan belum satu bulan bersama dan aku jatuh cinta kepadanya? Apa yang aku rasakan ini sebenarnya bisa menjadi keuntungan bagiku. Aku tidak perlu susah payah berpura-pura mencintainya. Masalahnya, tujuanku untuk menyakitinya akan terhalang oleh hatiku sendiri. Dan ini pertanda bahaya. Aku tersenyum melihat buket bunga mawar putih di atas meja kerjaku pada pagi hari. Kali ini aku menemukan kartu ucapan pada buket tersebut. Ad
“Lepaskan aku!” kataku dengan cepat berusaha menarik tanganku dari genggamannya. Tetapi dia mempererat pegangannya sehingga aku mengaduh kesakitan. “Bu, apa yang Ibu lakukan? Lepaskan dia!” kata Damian marah. Dua orang petugas keamanan datang mendekat dan membantu kami untuk menjauhkan diri dari perempuan itu. Aku segera mundur menjauh darinya sambil memegang pergelangan tanganku. “Lepaskan aku! Kalian ini siapa pegang-pegang aku begini?! Lepas!” kata wanita itu yang berusaha melepaskan diri dari pegangan kedua petugas sekuriti itu. “Kamu tidak apa-apa, sayang?” tanya Damian sambil melihat kondisi pergelangan tangan kiriku. Aku mengangguk pelan. Dia menggeram ke arah wanita itu. “Apa maksud Ibu tiba-tiba menyakiti Nia?” “Aku yang seharusnya bertanya kau itu siapa?!” semprot wanita itu dengan kesal. “Aku ini bounya. Kau siapa? Lepaskan aku! Aku punya hak untuk membawanya pulang.” Pulang? “Bou kamu, sayang?” tanya Damian bingung. Aku tidak menja
“Buka kaca ini! Hentikan mobilnya!” ucap Bou dengan teriakan keras, tidak peduli dengan orang-orang di sekelilingnya yang bingung melihat tindakannya itu. Apa yang dia inginkan? Daripada dia repot-repot datang mengancam aku atau membuang uang dengan datang ke Jakarta, lebih baik dia selesaikan masalahnya di Medan. Apa dia pikir aku adalah anak kecil yang bisa dia atur sesukanya? Aku sudah bukan Brie berusia dua puluh tahun yang bisa seenaknya diseret ke rumahnya. “Turun! Buka pintunya!” Mendengar ketukan dari kaca pintu belakang, aku nyaris memekik melihat wajah Amangboru. “Kau tidak bisa lari lagi. Buka!” “Ada apa dengan orang-orang ini? Apa mereka tidak mengerti kata tidak?” ucap Damian geram. Dia menepikan mobil, aku segera menyentuh tangannya. “Tidak ada gunanya bicara dengan mereka,” kataku dengan cepat. “Mereka tidak akan berhenti sampai berhasil membawa aku pulang. Aku tidak ingin ikut dengan mereka, Ian.” “Tetapi, sayang. Mereka bisa c
Damian mengajakku mendekati meja penerima tamu. Mereka menyapanya dengan ramah, lalu salah satu dari mereka memasuki restoran dan mengantar kami menuju meja. Aku merasakan beberapa pasang mata tertuju kepada kami, atau lebih tepatnya, kepadaku. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu pemiliknya. Mereka adalah orang tua dan saudara Damian. Aku tahu apa arti dari kedatangan Damian ke tempat ini dengan membawa aku bersamanya. Dia sedang menantang keluarganya secara terang-terangan. Tamu lainnya yang menatap ke arah kami pasti segera mengenali aku. Penampilanku di layar kaca bersama Damian akan membuat mereka tahu siapa aku. Tetapi selain keluarga Damian, mereka belum tahu bahwa kami sedang menjalin hubungan terlarang. Jadi, mereka tidak akan mengerti mengapa wajah orang tua dan saudara Damian terlihat tegang melihat kehadiranku. Kami duduk satu meja dengan saudaranya. Ada delapan kursi yang mengelilingi meja bundar itu. Christos datang bersama istri dan anak laki-lak
“Bisa jelaskan apa ini, Ian?” tanya papa Damian saat hanya ada kami saja di ruang makan itu. Para tamu sudah pulang dan para pelayan sedang membersihkan ruangan. Tetapi mereka menyiapkan tempat di sudut depan ruangan agar kami bisa bicara. “Bila maksud Bapak mengenai aku dan Nia, aku sudah memutuskan untuk tetap maju dan menikahi dia,” ucap Damian dengan serius. Rhea, Cempaka, dan mama Damian menarik napas terkejut. Luhut dan Christos bersikap lebih tenang. Bapaknya memejamkan mata dan menghela napas sejenak. “Kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu ucapkan?” tanya papanya. Kami duduk bersama dengan kursi diatur melingkar sehingga kami bisa melihat satu sama lain. Aku dan Damian duduk berdampingan. Cempaka duduk di sebelah kiriku, tentu dengan ada sedikit jarak di antara kami, sedangkan Luhut duduk di sebelah kanan Damian. Aku hanya duduk diam mendengarkan pembicaraan di antara mereka, tidak berniat sedikit pun untuk menginterupsi atau ikut campur.