~Damian~
Istri teman-teman lamaku histeris begitu mendengar pengakuan Nia, ah, maksudku, Brie. Mereka tidak kuat menerima kenyataan yang sebenarnya terjadi. Aku mengerti mengapa teman-teman lamaku itu tidak berani mengakui masa lalu mereka. Para wanita itu tidak akan mau menikah dengan mereka bila mengetahuinya sebelum mereka resmi menjadi suami istri.
Aku hanya bisa terduduk di lantai, memeluk kedua lututku, dan membiarkan masa lalu menghantui aku lagi. Bayangan samar saat aku meniduri Brie untuk pertama kalinya. Aku tidak minum alkohol pada acara ulang tahun Dimas, jadi aku tidak tahu mengapa aku bisa mabuk.
Karena tidak bisa mengendalikan gairahku sendiri, aku tidak menolak saat berada di atas tubuh Brie yang sedang tidur. Aku pernah menonton film dewasa bersama teman-temanku sehingga aku tidak kesulitan menentukan apa yang harus aku lakukan.
Bila pada hari pertama aku tidak minum, maka pada hari berikutnya, aku ikut bermabuk-mabukan dengan keenam
Tidur menjadi hal yang sulit bagiku pada malam itu, tetapi aku berhasil pulas walau hanya dua jam saja. Rasa bersalah semakin menjadi-jadi dan aku tidak tahu bagaimana memaafkan diriku sendiri setelah bertemu dengan Brie lagi. Wajahku kusam dan mataku tidak bercahaya adalah kabar buruk bagi seorang pembawa berita. Tetapi tidak ada yang tidak bisa ditutupi oleh alat rias. Aku akan serahkan urusan penampilanku kepada tim penata rias kami. Meskipun tubuhku masih ingin berbaring di tempat tidur, aku tidak mengabaikan tanggung jawab dan tugasku di tempat kerja. Mereka tidak akan bisa mendapatkan pengganti dadakan jika aku sampai tidak masuk kerja hari ini. Maka aku memaksakan diri untuk mandi dan bersiap-siap. Suasana di tempat kerja belum sepi dari wartawan, jadi aku harus masuk lewat pintu samping agar tidak ada yang bisa melihat kehadiranku. Gerald menyambut aku seperti biasanya. Dia memberi aku beberapa hal yang perlu aku ketahui sebelum mengikuti rapat.
Kami masuk ke apartemenku. Mereka duduk di sofa yang tersedia di ruang depan, sedangkan Kak Cece memeriksa konter dan lemari dapur untuk mencari minuman yang bisa dia sediakan untuk kami. Aku mengambil satu kursi dekat konter dan membawanya ke ruang duduk. Mereka pasti datang untuk membicarakan tentang hubunganku dengan Brie. Apa yang membuat mereka memaksakan diri untuk menemui aku? Mereka sudah mengusir aku dari rumah dan aku yakin Kak Christos dan Rhea juga sudah mengetahuinya. Apa berita siang tadi yang mendorong mereka datang pada malam ini? “PunguanParna datang ke rumah semalam dan mereka tidak lagi berharap tetapi mengancam agar kamu tidak meneruskan rencanamu untuk menikahi Nia,” kata Bapak menjawab pertanyaan yang belum aku sampaikan. “Keluar dari punguankita bukan solusi. Pernikahan kamu dengannya tidak boleh terjadi. Tidak ada orang dari punguankita yang boleh mempermalukan marga kita.” “Berhenti bersika
Empat pasang mata menatapku tidak percaya, sedangkan dua pasang mata lainnya melihatku dengan bingung. Topik ini selalu kami hindari. Tetapi melihat mereka begitu membenci Brie, sudah saatnya kami membicarakan apa yang aku pikirkan mengenai perbuatan mereka terhadap aku. “Sepuluh tahun yang lalu?” tanya Rhea bingung. “Apa hubungan kejadian ini dengan sepuluh tahun yang lalu? Hal itu tidak perlu diungkit-ungkit lagi, Kak.” “Ada apa dengan sepuluh tahun yang lalu?” tanya Kak Cece yang melihat kami semua dengan rasa ingin tahu. “Rhea?” Tentu saja tidak ada satu pun dari anggota keluargaku yang akan menceritakannya kepada Kak Cece, juga tidak kepada Lae Luhut. Mereka tidak mau ada yang tahu tentang masa lalu yang buruk itu. Berita mengenai kejadian itu pun sudah dihapus sepenuhnya dari media tanpa sisa. Terima kasih atas bantuan orang tua Dimas, Chyntia, dan teman-teman yang lain. “Bukan hal yang perlu kamu pikirkan, sayang,” ucap Kak Christos. Kak Cece m
Rekan-rekan kerjaku menangis sedih saat Sharon menyampaikan bahwa aku tidak akan bekerja lagi di tempat ini mulai dari keesokan hari. Hari ini adalah hari terakhirku bekerja. Mereka bingung mengapa aku mengundurkan diri. Pekerjaanku baik, perusahaan juga puas dengan semua prestasiku. Hal yang tidak bisa aku beritahukan. Urusanku di kota ini sudah selesai, untuk apa lagi aku masih bekerja di perusahaan ini? Direktur utama juga tahu bahwa penempatan aku di sini hanya sementara. Semua rencana selesai dalam waktu kurang dari satu bulan adalah hal yang sangat mengejutkan aku. Padahal ini misi yang berat. “Seharusnya kamu beri kami waktu. Jangan pergi mendadak begini,” ucap rekan kerja yang duduk di depanku. “Aku tidak menyiapkan apa pun yang bisa aku berikan kepadamu.” “Iya. Masa kamu pergi begitu saja? Kami juga mau memberi kamu kenang-kenangan,” timpal yang lain dengan nada sedih. “Kalian ini bagaimana? Kita bisa keluar bersama sore nanti untuk membeli k
Dahulu Papa dan Mama sering bertengkar entah meributkan apa. Mereka selalu berhenti bicara saat aku berada di dekat mereka. Hal yang selalu mereka lakukan karena mereka tidak mau menambah bebanku. Apalagi sejak keluarga para penjahat itu menawarkan damai dan kami menolak. Serangan demi serangan aku alami di kampus, di tengah keluarga, tetangga, bahkan orang-orang yang ada di gereja. Aku dipandang hina, dicemooh, dan dijauhi orang karena telah memberikan diri kepada para pemuda itu. Kondisi fisikku yang menunjukkan dengan jelas bahwa aku telah diperkosa dan diperlakukan kasar, mereka abaikan. Ada apa dengan isi kepala orang-orang ini, aku tidak tahu. Hanya segelintir orang yang berpihak kepadaku, tetapi mereka memilih diam. Tidak ada yang membela aku dan orang tuaku saat ada yang menghina kami. Dan Papa menyerah. Dia pergi dari rumah saat aku dan Mama terbang ke Medan. Lama tidak bertemu atau mendengar kabarnya, aku pikir Papa sudah meninggal dunia karena duka
Tujuanku membalas perbuatan mereka bukanlah untuk mempermalukan mereka di depan umum. Aku hanya ingin memberi rasa sakit dengan membiarkan mereka mengalami kehilangan orang dan hal yang mereka sayangi, lebih dari mereka sendiri. Jadi, mustahil ada orang yang tahu mengenai rencanaku selain aku dan Ishana. Bagaimana bisa Papa juga mengetahuinya? Lalu mengapa aku tidak tahu bahwa Papa mengawasi aku selama ini? Aku tidak merasakan ada orang yang aku kenal berada di dekatku setiap kali melakukan misiku. “Aku membuka bengkel dan sopir keenam pria itu sering membawa mobil mereka ke bengkelku. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sopir mereka mengenal aku. Hanya Damian yang tidak menggunakan jasa sopir, jadi aku tidak tahu apa-apa mengenai dia,” kata Papa menjelaskan. “Papa membuka bengkel? Bukankah itu pekerjaan yang melelahkan?” tanyaku khawatir. “Aku hanya mengurus administrasi, sedangkan yang berurusan dengan kendaraan adalah pekerja. Kamu tidak perlu khaw
Aku kembali lebih dahulu ke Jakarta, sedangkan Papa tidak mau menyebut di mana dia tinggal. Aku juga tidak diizinkan untuk menemuinya sampai Papa sendiri yang datang menemui aku nanti. Entah apa yang dia sembunyikan dariku, tetapi aku menghormati permintaannya. Berat rasanya bagiku untuk melepaskan Papa di bandara. Panggilan untuk memasuki kabin sudah terdengar dua kali, namun aku belum mau berpisah dengannya. Aku menangis seperti anak kecil yang akan dipisahkan dari orang tuanya untuk pertama kalinya. “Brie, Boru, ini hanya sementara. Satu atau dua minggu itu tidak lama. Aku akan usahakan urusanku sudah selesai tidak lewat dari dua minggu.” Papa mengusap-usap punggungku. Tetapi aku tidak bisa menghentikan tangisanku. “Ayo, ayo, sudah cukup. Kamu bisa ketinggalan pesawat, sedangkan temanmu sudah membayar tiketmu dengan mahal.” “Papa pasti akan menghubungi aku saat urusan Papa di bengkel sudah selesai, ‘kan? Papa tidak akan pergi jauh lagi dariku, ‘kan?” tanya
Agar urusanku dengan Damian selesai dan tidak ada hal yang masih perlu aku bereskan dengannya lagi, aku setuju untuk menemuinya di salah satu restoran yang ada di gedung apartemennya. Sangat aneh mengetahui bahwa para pemrotes memenuhi kantor dan rumahnya, tetapi tidak dengan apartemennya. Apa mereka tidak tahu bahwa dia tinggal di sini sekarang? Melihat keadaan sekitar gedung yang tenang, sepertinya memang tidak ada dari mereka yang tahu bahwa dia tidak tinggal bersama orang tuanya lagi. Walaupun aku kasihan kepada orang tuanya, mereka pantas untuk mendapatkannya. Lagi pula bukan aku yang menyebarkan tentang rencana Damian menikah denganku. Pria itu sendiri yang menemui orang-orang pemuka marga kami demi mencari jalan agar kami bisa menikah meskipun ditentang oleh adat. Kini mereka menyatakan protes dengan pilihannya tersebut, aku tidak bisa apa-apa. Keadaan sudah di luar kendali. Satu-satunya cara adalah menunggu sampai situasi tenang kembali. Akan selalu a