Share

Bab 6 - Pertanda

~Damian~

“Maaf, Pak.” Aku menoleh mendengar suara merdu itu. Seorang wanita muda yang sangat cantik bicara dengan seorang pria yang memegang sebuah wadah. Wanita itu mengenakan baju berwarna hitam juga sepatu berhak tinggi bertali dengan warna yang sama. Dia akan menaiki pesawat dengan sepatu itu? Aku benar-benar tidak bisa memahami perempuan.

Dua orang gadis melewatiku sambil tertawa cekikikan. Aku tersenyum kepada mereka, keduanya tertawa histeris. Mereka berjalan di depanku sambil berbisik dan sesekali menoleh ke arahku. Bukan hal yang baru lagi bagiku. Sebagai pembawa acara berita di televisi, wajahku sudah tidak asing lagi. Setiap pagi dan malam, aku membawakan berita utama pada saluran televisi tempatku bekerja.

Aku berjalan menuju bagian imigrasi, mengisi formulir terlebih dahulu bersama penumpang lainnya. Wanita tadi bicara dengan salah satu pegawai di konter, lalu dengan wajah cemberut mendatangi meja di mana aku berada. Aku memberikan satu formulir kosong kepadanya.

Tidak pernah sebelumnya aku bertemu wanita yang melihat wajahku, bersikap tidak acuh seperti dia. Apa dia tidak mengenal aku atau hanya berpura-pura tidak tahu? Zaman di mana orang lebih suka menonton video daring daripada berita di televisi tidak membuat popularitasku turun. Tetapi bagaimana bisa wanita muda ini tidak mengenali aku?

Hal menarik lainnya terjadi. Aku mengantri di belakangnya berharap kami bisa mengobrol sampai masuk ke pesawat nanti. Namun dia lagi-lagi mengejutkan aku dengan berjalan menuju gerbang tempat di mana pesawatnya diparkirkan, tanpa menunggu aku. Walaupun dia tidak mengenal aku, apa dia benar-benar tidak tertarik kepadaku? Aku yang selalu mendapat perhatian wanita di sekelilingku mendadak diabaikan? Dia yang buta atau ada sesuatu di wajahku?

Dia berusaha lari dariku, aku mengejarnya. Aku mengundangnya duduk bersamaku di kelas satu, menduduki kursi yang ditinggalkan oleh asistenku. Dia mendadak tidak bisa ikut tanpa menyebut alasannya. Aku juga mencari cara agar kami bisa bersama setelah turun dari pesawat.

Namun aku kehabisan akal. Usai makan malam, aku tidak punya alasan untuk lebih lama bersamanya. Saat taksi yang dia tumpangi pergi, aku berdiri beberapa saat di trotoar mengikuti mobil itu menjauh dengan mataku. Bagaimana bisa aku baru bertemu dengannya sekarang? Di mana wanita itu berada selama ini? Dan kami harus berpisah begitu saja di saat aku merasakan sesuatu untuknya?

Yang aku rasakan ini memang gila. Tetapi aku sudah terbiasa dengan perempuan yang bertekuk lutut di depanku. Yang memberikan diri mereka tanpa aku perlu bersusah payah atau meminta. Mereka rela walau hanya satu malam saja bersamaku. Wanita bernama Nia ini berbeda.

Thailand bukanlah negara yang asing untukku. Ini kunjunganku yang kesekian kalinya ke negeri ini. Aku berniat untuk singgah sebentar saja di kota ini lalu menuju Chiang Mai untuk mengikuti Festival Songkran. Hari Tahun Baru bagi mereka yang beragama Buddha di Thailand yang dirayakan dengan mengguyur air sebagai simbol pembersihan diri. Lokasi yang terbaik untuk merayakannya adalah di Chiang Mai. Itu menurut pengalaman pribadiku.

Masalahnya, semangatku untuk mengikuti festival itu sudah surut. Asistenku batal ikut, dan wanita yang aku pikir bisa menjadi teman perjalananku malah tidak tertarik menggunakan waktunya lebih lama bersamaku. Apa bagusnya merayakan sesuatu seorang diri?

Dengan langkah terseret, aku berjalan memasuki lobi hotel menuju konter resepsionis. Aku selalu menginap di hotel ini setiap kali mengunjungi Bangkok. Lokasinya dekat dengan Sungai Chao Phraya yang selalu memberikan pemandangan yang indah dari jendela kamar. Pelayanan hotelnya juga sangat memuaskan, makanan mereka enak, dan kamarnya sangat nyaman.

Langkahku terhenti melihat wanita cantik itu berdiri di depanku, sedang bicara dengan pegawai di konter resepsionis. Aku tadi menyebut mengenai hotel ini sebagai tempatku menginap saat kami berada di taksi dan dia tidak mengatakan apa pun. Ternyata dia menginap di sini juga.

Aku tidak malu mengakui bahwa aku marah kepadanya yang berusaha menghindari aku. Tetapi aku tidak berani mengakui bahwa ada sesuatu pada dirinya yang menarikku untuk terus mendekatinya. Matanya menunjukkan luka yang sebelumnya tidak aku lihat. Itukah sebabnya dia menghindari aku? Apa dia punya pengalaman di masa lalu yang membuatnya takut dengan laki-laki?

Mudah saja bagiku untuk mendapatkan nomor kamarnya. Wanita di meja resepsionis itu memberi tanpa aku minta. Hanya tinggal mengetuk pintu kamarnya, aku yakin dia akan membukakannya untukku. Namun mengingat tatapan matanya tadi menghalangi aku untuk melakukan itu. Dia perlu waktu untuk sendiri.

“Aku benar-benar minta maaf, Ian. Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa kamu berhasil tiba di Bangkok dengan selamat?” tanya Gerald, asisten pribadiku, lewat hubungan telepon.

“Apa yang membuatmu tega melakukan ini?” Aku membuka koper untuk mengambil pakaian ganti, lalu aku putuskan untuk memakai celana saja.

“A-aku minta maaf.” Dia menarik napas panjang. Aku diam menunggu dia menjawab pertanyaanku. “Jangan marah. Erin datang menemui aku saat aku akan berangkat. Katanya, kamu menolak cintanya dan dia menangis saat menceritakannya. Aku tidak tahu siapa yang memulai, kami malah tidur bersama. Jadi, aku tidak sempat mengejar penerbangan.”

“Mengapa aku memilihmu menjadi asisten pribadiku?” Aku menggeleng tidak percaya.

“Apa kamu marah? Aku tidak bermaksud melakukan itu,” katanya dengan nada khawatir.

“Aku tidak marah. Aku sama sekali tidak tertarik dengan Erin. Silakan saja kalau kamu menginginkan dia.” Aku memijat puncak hidungku dengan jempol dan telunjukku. “Tapi bisakah kamu berhenti meniduri semua perempuan yang aku tolak? Aku tidak mau punya asisten yang menderita penyakit kelamin. Reputasiku harus dijaga.”

“Erin berbeda, Ian. Aku menyukainya. Kami saling tertarik dan ingin hubungan ini berhasil,” katanya dengan nada serius. Ponselku hampir meluncur jatuh dari genggamanku.

“Kamu sudah gila.” Gerald yang adalah seorang playboy mengaku bahwa dia tertarik dengan seorang wanita? Omong kosong.

“Aku bisa menyusul ke sana dengan penerbangan pertama, langsung ke Chiang Mai.”

“Tidak,” ucapku cepat. Aku sudah punya rencana sendiri dan aku tidak akan membiarkan siapa pun merusaknya. “Kamu bisa cuti sampai aku kembali.”

“Tetapi bagaimana kamu bisa kembali nanti? Kamu tidak punya teman yang mendampingi kamu dalam penerbangan, Ian,” ujarnya khawatir.

“Biar aku yang pikirkan itu. Sampai nanti.” Aku mengakhiri hubungan telepon sebelum dia bicara terus memaksakan keinginannya.

Aku tidak akan membuang kesempatan emas yang diberikan kepadaku. Wanita itu menginap di hotel ini, maka ini adalah pertanda. Bahkan di alam bawah sadarku pun, dia tidak berhenti mengusik aku. Dia terlihat secantik aslinya saat menyapaku di dalam mimpi.

Tempat wisata yang ingin didatanginya sangat membosankan dan klise. Tetapi aku mengikutinya. Aku seharusnya pergi dengan kereta malam ke Chiang Mai pada hari ini. Demi mendekati wanita ini, aku memutuskan untuk mengundurnya. Mengetahui apa yang membuat wanita ini menolak aku adalah hal yang lebih penting. Damian Yunadi tidak pernah ditolak oleh perempuan mana pun.

Aku menggandeng tangannya, duduk di dekatnya, menjadi seorang pria sejati dengan membayar tiket kapal dan karcis masuk ke tempat wisata, mendengar semua kesannya mengenai tempat yang dia kunjungi, semua itu malah tidak membuatnya tertarik kepadaku.

Yang terjadi justru sebaliknya, aku jatuh semakin dalam pada pesonanya. Dia menutup diri tetapi juga membuka pikirannya untuk aku kenal. Dia bersikap hati-hati namun tidak segan tertawa lepas mengekspresikan dirinya kepadaku. Dia menjaga jarak sekaligus tidak menolak setiap sentuhanku.

Sikapnya membuatku bingung juga penasaran. Dan semakin mengamati wajah indahnya, aku merasa bahwa aku pernah bertemu dengannya sebelumnya. Tetapi di mana? Bagaimana bisa aku lupa bahwa aku pernah bertemu dengan wanita semenarik dia?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rohajati Tampubolon
seruuu...lanjut Mel.......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status