Beranda / Romansa / Api Dendam Brianna / Bab 6 - Pertanda

Share

Bab 6 - Pertanda

Penulis: Meina H.
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-19 23:18:25

~Damian~

“Maaf, Pak.” Aku menoleh mendengar suara merdu itu. Seorang wanita muda yang sangat cantik bicara dengan seorang pria yang memegang sebuah wadah. Wanita itu mengenakan baju berwarna hitam juga sepatu berhak tinggi bertali dengan warna yang sama. Dia akan menaiki pesawat dengan sepatu itu? Aku benar-benar tidak bisa memahami perempuan.

Dua orang gadis melewatiku sambil tertawa cekikikan. Aku tersenyum kepada mereka, keduanya tertawa histeris. Mereka berjalan di depanku sambil berbisik dan sesekali menoleh ke arahku. Bukan hal yang baru lagi bagiku. Sebagai pembawa acara berita di televisi, wajahku sudah tidak asing lagi. Setiap pagi dan malam, aku membawakan berita utama pada saluran televisi tempatku bekerja.

Aku berjalan menuju bagian imigrasi, mengisi formulir terlebih dahulu bersama penumpang lainnya. Wanita tadi bicara dengan salah satu pegawai di konter, lalu dengan wajah cemberut mendatangi meja di mana aku berada. Aku memberikan satu formulir kosong kepadanya.

Tidak pernah sebelumnya aku bertemu wanita yang melihat wajahku, bersikap tidak acuh seperti dia. Apa dia tidak mengenal aku atau hanya berpura-pura tidak tahu? Zaman di mana orang lebih suka menonton video daring daripada berita di televisi tidak membuat popularitasku turun. Tetapi bagaimana bisa wanita muda ini tidak mengenali aku?

Hal menarik lainnya terjadi. Aku mengantri di belakangnya berharap kami bisa mengobrol sampai masuk ke pesawat nanti. Namun dia lagi-lagi mengejutkan aku dengan berjalan menuju gerbang tempat di mana pesawatnya diparkirkan, tanpa menunggu aku. Walaupun dia tidak mengenal aku, apa dia benar-benar tidak tertarik kepadaku? Aku yang selalu mendapat perhatian wanita di sekelilingku mendadak diabaikan? Dia yang buta atau ada sesuatu di wajahku?

Dia berusaha lari dariku, aku mengejarnya. Aku mengundangnya duduk bersamaku di kelas satu, menduduki kursi yang ditinggalkan oleh asistenku. Dia mendadak tidak bisa ikut tanpa menyebut alasannya. Aku juga mencari cara agar kami bisa bersama setelah turun dari pesawat.

Namun aku kehabisan akal. Usai makan malam, aku tidak punya alasan untuk lebih lama bersamanya. Saat taksi yang dia tumpangi pergi, aku berdiri beberapa saat di trotoar mengikuti mobil itu menjauh dengan mataku. Bagaimana bisa aku baru bertemu dengannya sekarang? Di mana wanita itu berada selama ini? Dan kami harus berpisah begitu saja di saat aku merasakan sesuatu untuknya?

Yang aku rasakan ini memang gila. Tetapi aku sudah terbiasa dengan perempuan yang bertekuk lutut di depanku. Yang memberikan diri mereka tanpa aku perlu bersusah payah atau meminta. Mereka rela walau hanya satu malam saja bersamaku. Wanita bernama Nia ini berbeda.

Thailand bukanlah negara yang asing untukku. Ini kunjunganku yang kesekian kalinya ke negeri ini. Aku berniat untuk singgah sebentar saja di kota ini lalu menuju Chiang Mai untuk mengikuti Festival Songkran. Hari Tahun Baru bagi mereka yang beragama Buddha di Thailand yang dirayakan dengan mengguyur air sebagai simbol pembersihan diri. Lokasi yang terbaik untuk merayakannya adalah di Chiang Mai. Itu menurut pengalaman pribadiku.

Masalahnya, semangatku untuk mengikuti festival itu sudah surut. Asistenku batal ikut, dan wanita yang aku pikir bisa menjadi teman perjalananku malah tidak tertarik menggunakan waktunya lebih lama bersamaku. Apa bagusnya merayakan sesuatu seorang diri?

Dengan langkah terseret, aku berjalan memasuki lobi hotel menuju konter resepsionis. Aku selalu menginap di hotel ini setiap kali mengunjungi Bangkok. Lokasinya dekat dengan Sungai Chao Phraya yang selalu memberikan pemandangan yang indah dari jendela kamar. Pelayanan hotelnya juga sangat memuaskan, makanan mereka enak, dan kamarnya sangat nyaman.

Langkahku terhenti melihat wanita cantik itu berdiri di depanku, sedang bicara dengan pegawai di konter resepsionis. Aku tadi menyebut mengenai hotel ini sebagai tempatku menginap saat kami berada di taksi dan dia tidak mengatakan apa pun. Ternyata dia menginap di sini juga.

Aku tidak malu mengakui bahwa aku marah kepadanya yang berusaha menghindari aku. Tetapi aku tidak berani mengakui bahwa ada sesuatu pada dirinya yang menarikku untuk terus mendekatinya. Matanya menunjukkan luka yang sebelumnya tidak aku lihat. Itukah sebabnya dia menghindari aku? Apa dia punya pengalaman di masa lalu yang membuatnya takut dengan laki-laki?

Mudah saja bagiku untuk mendapatkan nomor kamarnya. Wanita di meja resepsionis itu memberi tanpa aku minta. Hanya tinggal mengetuk pintu kamarnya, aku yakin dia akan membukakannya untukku. Namun mengingat tatapan matanya tadi menghalangi aku untuk melakukan itu. Dia perlu waktu untuk sendiri.

“Aku benar-benar minta maaf, Ian. Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa kamu berhasil tiba di Bangkok dengan selamat?” tanya Gerald, asisten pribadiku, lewat hubungan telepon.

“Apa yang membuatmu tega melakukan ini?” Aku membuka koper untuk mengambil pakaian ganti, lalu aku putuskan untuk memakai celana saja.

“A-aku minta maaf.” Dia menarik napas panjang. Aku diam menunggu dia menjawab pertanyaanku. “Jangan marah. Erin datang menemui aku saat aku akan berangkat. Katanya, kamu menolak cintanya dan dia menangis saat menceritakannya. Aku tidak tahu siapa yang memulai, kami malah tidur bersama. Jadi, aku tidak sempat mengejar penerbangan.”

“Mengapa aku memilihmu menjadi asisten pribadiku?” Aku menggeleng tidak percaya.

“Apa kamu marah? Aku tidak bermaksud melakukan itu,” katanya dengan nada khawatir.

“Aku tidak marah. Aku sama sekali tidak tertarik dengan Erin. Silakan saja kalau kamu menginginkan dia.” Aku memijat puncak hidungku dengan jempol dan telunjukku. “Tapi bisakah kamu berhenti meniduri semua perempuan yang aku tolak? Aku tidak mau punya asisten yang menderita penyakit kelamin. Reputasiku harus dijaga.”

“Erin berbeda, Ian. Aku menyukainya. Kami saling tertarik dan ingin hubungan ini berhasil,” katanya dengan nada serius. Ponselku hampir meluncur jatuh dari genggamanku.

“Kamu sudah gila.” Gerald yang adalah seorang playboy mengaku bahwa dia tertarik dengan seorang wanita? Omong kosong.

“Aku bisa menyusul ke sana dengan penerbangan pertama, langsung ke Chiang Mai.”

“Tidak,” ucapku cepat. Aku sudah punya rencana sendiri dan aku tidak akan membiarkan siapa pun merusaknya. “Kamu bisa cuti sampai aku kembali.”

“Tetapi bagaimana kamu bisa kembali nanti? Kamu tidak punya teman yang mendampingi kamu dalam penerbangan, Ian,” ujarnya khawatir.

“Biar aku yang pikirkan itu. Sampai nanti.” Aku mengakhiri hubungan telepon sebelum dia bicara terus memaksakan keinginannya.

Aku tidak akan membuang kesempatan emas yang diberikan kepadaku. Wanita itu menginap di hotel ini, maka ini adalah pertanda. Bahkan di alam bawah sadarku pun, dia tidak berhenti mengusik aku. Dia terlihat secantik aslinya saat menyapaku di dalam mimpi.

Tempat wisata yang ingin didatanginya sangat membosankan dan klise. Tetapi aku mengikutinya. Aku seharusnya pergi dengan kereta malam ke Chiang Mai pada hari ini. Demi mendekati wanita ini, aku memutuskan untuk mengundurnya. Mengetahui apa yang membuat wanita ini menolak aku adalah hal yang lebih penting. Damian Yunadi tidak pernah ditolak oleh perempuan mana pun.

Aku menggandeng tangannya, duduk di dekatnya, menjadi seorang pria sejati dengan membayar tiket kapal dan karcis masuk ke tempat wisata, mendengar semua kesannya mengenai tempat yang dia kunjungi, semua itu malah tidak membuatnya tertarik kepadaku.

Yang terjadi justru sebaliknya, aku jatuh semakin dalam pada pesonanya. Dia menutup diri tetapi juga membuka pikirannya untuk aku kenal. Dia bersikap hati-hati namun tidak segan tertawa lepas mengekspresikan dirinya kepadaku. Dia menjaga jarak sekaligus tidak menolak setiap sentuhanku.

Sikapnya membuatku bingung juga penasaran. Dan semakin mengamati wajah indahnya, aku merasa bahwa aku pernah bertemu dengannya sebelumnya. Tetapi di mana? Bagaimana bisa aku lupa bahwa aku pernah bertemu dengan wanita semenarik dia?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rohajati Tampubolon
seruuu...lanjut Mel.......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Api Dendam Brianna   Bab 92 - Sayangku untuk Selamanya

    ~Damian~ Meskipun tidak ada banyak hal yang bisa aku lakukan di tempat ini, aku menggunakan fasilitas yang ada dengan baik. Aku membaca hampir semua buku yang ada di perpustakaan, berolahraga setiap pagi dan sore bersama teman-teman, menjauhi masalah, dan berkenalan dengan orang-orang baru. Sebagian besar dari mereka adalah orang baik yang terpaksa berbuat jahat karena keadaan. Aku menyukai diriku yang baru. Aku mengetahui lebih banyak hal baru, bukan hanya yang telah aku pelajari selama ini di dunia jurnalistik. Ilmu yang aku dapat tidak hanya dari membaca, tetapi juga dari bicara dengan orang-orang yang ada di penjara. Keluarga dan sahabatku tidak pernah datang berkunjung atas permintaanku. Walaupun ini adalah keinginanku sendiri, aku tidak mau mereka melihat aku dalam keadaan paling terpuruk. Aku lebih memilih menahan rasa rindu yang berat kepada istriku daripada melihatnya berduka setiap kali melihat aku berada di tempat yang tidak bisa dijangkaunya.

  • Api Dendam Brianna   Bab 91 - Pulang

    ~Brie~ “Sayang, ayo, cepat!” seruku dari ambang pintu apartemen. Aku menepati semua kesepakatan yang kami bicarakan pada hari terakhir kami bersama. Aku tidak datang menjenguknya atau mengirim apa pun untuknya. Aku fokus menjalani hidup dan pekerjaanku. Setelah sahabatku menikah, aku yang bertanggung jawab penuh atas hotel. Sebagai seorang wanita yang jauh dari suami, tentu saja aku mengalami banyak godaan. Apalagi aku bekerja di hotel. Meskipun aku jarang bertemu dengan orang-orang karena aku mengangkat Gerald menjadi asistenku untuk urusan rapat dan bertemu dengan klien di luar hotel. Tetapi aku sering bertemu tamu hotel yang tertari kepadaku saat makan bersama Papa dan Saoirse di restoran. Waktu berjalan begitu cepat karena kesibukanku di hotel. Ditambah lagi putri kami yang sangat aktif menyita waktu luangku yang sepenuhnya aku curahkan untuknya. Hanya pada saat aku tidur seorang diri di kamar, aku merasakan kesepian yang tidak bisa ditutupi denga

  • Api Dendam Brianna   Bab 90 - Penebusan Dosa

    ~Damian~ Aku tidak pernah menyangka bahwa aku bisa jatuh cinta semakin dalam kepada istriku. Aku pikir rasa cintaku kepadanya sangat dalam dan tidak akan bisa lebih dalam lagi. Tetapi aku merasakan sendiri pada hari ini bahwa hal itu bisa terjadi. Dia duduk di sana, di kursi saksi dengan wajah yang berani, mata menatap tajam ke seluruh penjuru, saat menjawab satu per satu pertanyaan yang diajukan oleh jaksa penuntut, kuasa hukum yang membela kami para pelaku, bahkan hakim. Meskipun sesekali dia bersuara berat mengulang kembali kejadian menyakitkan itu, dia tidak gugup apalagi bicara dengan gagap. Mendengar semua kalimat itu, aku teringat pada peristiwa pada hari reuni tersebut. Malam di mana untuk pertama kalinya, aku tahu siapa dia yang sebenarnya. Sikap teman-temanku masih sama, merasa layak untuk menudingkan jari mereka menyalahkan dia. Hari ini aku tidak melihat tatapan arogan itu. Foto-foto bukti kekerasan yang kami lakukan sudah cukup untuk memb

  • Api Dendam Brianna   Bab 89 - Keputusan yang Berat

    Aku menatap putriku yang tertidur pulas setelah aku membacakan sebuah cerita untuknya. Dia anak yang baik, tidak pernah sekalipun aku mendengar dia mengeluh. Kami baru saja beberapa minggu bersama, bagaimana aku tega merebut kebahagiaan ini darinya? Dia telah kehilangan kasih sayang orang tuanya sejak dia lahir ke dunia. Setelah dia begitu bahagia bisa tinggal bersama kami, aku tidak sanggup memisahkan dia dari ayahnya sendiri. Aku tidak mau putriku menderita seperti aku. Papa dan Damian tidak bisa melakukan ini kepadaku, kepada putriku. Apa yang kami miliki sekarang telah kami perjuangkan dengan mahal. Aku menikah dengan laki-laki satu margaku dan menentang adat, kami menanggalkan nama keluarga kami, dan kami tinggal jauh dari komunitas yang menjadi identitas kami sejak lahir. Setelah melalui semua tantangan, aku tidak mau berpisah dari suamiku. Namun apa yang kami jalani saat ini juga tidak sehat. Dia tidak jauh dariku, dia ada di sini di dekatku. Tetapi ka

  • Api Dendam Brianna   Bab 88 - Tidak Sehati

    Kami baru menikah selama satu minggu, membicarakan banyak hal mengenai masa depan keluarga kecil kami, mendiskusikan yang terbaik untuk putri kami, dan dia meminta aku untuk melakukan hal yang akan merenggut dia dariku? Apa yang sedang dia pikirkan? “Apa kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan?” tanyaku yang menatapnya dengan saksama. Inikah hal yang beberapa hari ini meresahkannya? “Iya. Aku juga sudah membicarakan ini dengan psikolog. Dia mendukung keputusanku, tetapi keputusan terakhir tetap ada di tanganmu. Kamulah yang menentukan segalanya.” Dia menatapku penuh harap. Aku menarik kedua tanganku dari genggamannya. “Aku tidak mau melakukan itu. Aku tidak akan menuntut suamiku sendiri. Apalagi kasus ini sudah sangat lama dan kamu sudah mendapatkan balasannya. Kamu tidak punya hutang apa pun lagi padaku,” kataku menolak. “Itu bukan hukuman, Brie. Aku tidak bisa selamanya lari dari jerat hukum. Hal ini yang menghalangi aku untuk bahagia. Kam

  • Api Dendam Brianna   Bab 87 - Apa Adanya

    Aku tidak membiarkan kekurangannya itu merusak suasana bulan madu kami. Ada banyak hal yang bisa kami lakukan bersama yang membuat pengalaman bercinta tetap menyenangkan. Beberapa kali dia berhasil membuatku mencapai puncak kenikmatan, dan wajahnya sangat bahagia. Bukan ini yang aku pikirkan sebagai solusi, tetapi dia tidak kelihatan keberatan hanya aku yang bisa menikmati setiap kali kami bercinta. Melihat wajah bahagianya, maka aku tidak mau membuatnya merasa sedih dengan merasa bersalah. “Aku mencintaimu, Ian. Apa adanya,” ucapku saat sekali lagi dia membuatku bahagia. “Aku tahu. Dan aku mencintaimu, istriku.” Dia mengecup keningku, lalu memeluk tubuhku saat kami berbaring bersama. Sesaat setelahnya, kami tertidur pulas. Bosan hanya berdua saja di dalam kamar dan melihat pemandangan itu-itu saja, maka pada Minggu malam itu, kami memutuskan untuk makan malam di restoran. Keluarga kami sedang makan juga, jadi kami segera bergabung bersama mereka.

  • Api Dendam Brianna   Bab 86 - Menjadi Satu

    ~Brie~ Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagiku. Pendeta yang baik hati itu mengumumkan bahwa aku dan keluargaku diterima sebagai anggota jemaat yang baru. Aku senang sekali karena pertemuan Papa dengan pendeta itu membuahkan hasil. Usai ibadah, aku dan Damian menemui pendeta tersebut di ruang rapat. Dia memberi kami daftar dokumen yang perlu kami siapkan sebagai syarat menikah. Begitu semua syarat dipenuhi, maka kami boleh menentukan tanggal. Sembari menunggu berkas dari orang tua Damian dikirim, dia memberi pilihan tanggal untuk melakukan konseling pranikah yang segera kami iyakan. Entah bagaimana Mama bisa membujuk papa Damian menandatangani surat persetujuan dari orang tua, kami menangis bahagia saat melihat tanda tangan dan namanya tersebut. Karena kami sudah mengikuti konseling dan tetap bertekad melangsungkan pernikahan, maka begitu berkas kami dinyatakan lengkap, pendeta setuju untuk menikahkan kami pada minggu berikutnya. Kami se

  • Api Dendam Brianna   Bab 85 - Kejutan

    ~Damian~ Saoirse berenang begitu bahagia dari satu tepi ke tepi lain kolam renang. Aku tidak menduga bahwa dia bisa berenang. Keahlian apa lagi yang dimiliki anak perempuan ini? Dia masih begitu muda, tetapi dia tidak berhenti membuat aku kagum pada bakatnya. Yang tidak terduga adalah bagaimana dia bisa menyayangi aku begitu cepat. Kami bertahun-tahun tidak pernah bertemu sepertinya bukan fakta yang menakutkan baginya. Iya bagiku. Mendadak menjadi seorang ayah bukanlah hal yang menyenangkan karena aku tidak siap dengan ini. Aku harus mengubah begitu banyak kebiasaan buruk agar dia tidak menirunya, dan aku harus belajar dengan cepat untuk memahami dia sekaligus ibunya. Mengerti hati seorang wanita saja menjadi tantangan besar bagiku, apalagi dua. Aku kagum melihat Papa bisa menangani kedua wanita rumit ini dengan baik. Wajar saja, mereka adalah anak dan cucunya. Aku menarik napas panjang saat putriku berjalan mendekati aku. “Sayang, jangan berjalan sec

  • Api Dendam Brianna   Bab 84 - Terlalu Baik

    Makanan sudah hampir siap, Damian keluar dari kamarnya dengan wajah masih mengantuk. Wajar saja. Dia tidak berhenti menciumku sampai lewat tengah malam. Dia menyapaku, lalu memberi kecupan di bibirku sebelum ke kamarku untuk membangunkan putri kami. “Jangan marah lagi kepadanya. Dia masih terlalu muda saat semua itu terjadi. Dan dia tidak bisa sendirian melawan kedua orang tuanya juga orang tua teman-temannya yang ingin melindungi reputasi mereka. Kamu tahu sendiri bahwa mereka melakukan segalanya untuk menyembunyikan perbuatan jahat anak-anak mereka.” Kalimat Papa tadi kembali terngiang di telingaku. Aku tidak marah lagi kepadanya, aku bahkan tidak kecewa saat tahu dia adalah ayah kandung Saoirse. Tetapi mengetahui semua ini membuat aku semakin mengerti beban yang telah dia tanggung sendirian selama ini. Dia dan aku berada pada posisi yang sama. Aku dijebak oleh dua sahabatku, sedangkan dia oleh teman-temannya. Kejahatan mereka semakin biadab karena membiark

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status