~Nia~
Aneh. Mengapa jantungku seolah-olah setuju dengan berdebar lebih kencang mendengar kalimat itu? Aku hanya menggodanya dengan mengajaknya bercanda. Aku tidak menganggap bahwa ucapannya itu tulus, ‘kan? Pria ini seorang pemain perempuan. Dia tidak mungkin serius. Bila aku tidak percaya kepadanya, lalu mengapa jantungku untuk pertama kalinya berdebar secepat ini?
Aku tertawa kecil untuk menutupi apa yang aku rasakan. “Mengapa kamu malah tertawa?” tanyanya tersinggung. Kedua alisnya membentuk kerutan di puncak hidungnya yang mancung.
“Sudah cukup, Damian. Kamu jangan bercanda terus.” Aku segera mengalihkan pembicaraan. “Ayo, kita segera menuju dermaga supaya bisa makan siang. Aku juga sudah lapar.”
Dia mendesah napas pelan. Aku bersyukur dia menuruti permintaanku. Aku harus berhati-hati terhadap pria ini. Dia mudah saja mendapatkan perhatian dari para wanita yang terpikat pesonanya. Bisa jadi dia hanya merasa tertantang untuk menaklukkan aku karena
“Ada apa, Nia? Kamu kehilangan sesuatu?” tanya Damian yang melihat aku dengan bingung. Aku mengangkat kepalaku dan menatapku. “A-aku tidak bisa menemukan dompetku.” Aku mulai panik. “Sepertinya ada yang mengambilnya tanpa sepengetahuanku.” “Kamu yakin dompetmu tidak ada di dalam tasmu?” tanyanya lagi. “Coba periksa baik-baik.” Aku menuruti ucapannya dengan memeriksa lebih teliti. Dompetku tidak ada. “Bagaimana ini? Ada kartu identitasku di dalamnya. Aku punya paspor dan tidak akan membutuhkan kartu identitas itu sekarang. Tetapi kamu tahu sendiri betapa susah membuat kartu baru. Lalu kartu debit dan kreditku juga ada di dompet itu. Aku tidak akan punya uang pegangan sama sekali untuk keadaan darurat.” Aku berbicara sendiri begitu rasa panik menguasaiku. “Kamu tenang dahulu. Kita akan menemukan dompetmu itu.” Dia melihat ke arah dari mana kami tadi datang. “Kita coba periksa pelan-pelan. Kamu yang membayar crêpestadi, j
Begitu kami sampai di lantai paling atas, semua orang di dalam elevator ikut keluar. Kami menuju arah yang sama dan saat melihat pemandangan di depanku melalui jendela kacanya, mulutku menganga lebar. Pemandangan malam kota Bangkok yang penuh dengan cahaya lampu, baik dari bangunan, jalan, maupun kendaraan yang melaju menyambutku. Segalanya terlihat semakin indah saat kami melewati pintu kaca tersebut. Bukan pemandangan itu saja yang menyambut kami, tetapi juga para pelayan yang sangat ramah. Aku tidak bisa berhenti kagum memandang indahnya suasana malam kota dari atas. Ada banyak orang yang berkumpul pada ujung bar ini yang berbentuk lingkaran. Mereka rata-rata memotret atau mengambil video pemandangan di sekitar mereka. Hal ini memang layak untuk diabadikan. “Kamu mau duduk atau berdiri di sana bersama mereka?” tanya Damian membuyarkan lamunanku. “Ini tempat duduk kita.” Dia menunjuk meja dengan dua kursinya yang masih kosong yang ada di depanku. Aku terlalu sibuk
~Damian~ Aku sangat terkejut dengan dorongan yang begitu kuat yang aku rasakan saat kami berdiri di pagar pembatas bar di atap hotel tadi. Aku tidak pernah begini sebelumnya. Berapa kali pun wanita menggoda dan memberikan diri mereka secara rela kepadaku, aku tidak tertarik. Apa yang ada pada diri seorang Nia sehingga aku begitu terpesona kepadanya? Aku seperti terbius tidak bisa membuang dia dari kepalaku. Wajah cantik, senyum manis, sikap yang sedikit menjaga jarak, dan suara indahnya selalu menghiasi benakku. Ini tidak mungkin. Apa iya aku sedang jatuh cinta? Secepat ini? Kami baru bertemu beberapa jam saja. Ini bahkan belum genap empat puluh delapan jam dan aku sudah menciumnya seperti remaja puber yang baru pertama kali jatuh cinta. Aku pria dewasa berusia dua puluh delapan tahun tetapi tidak bisa menahan keinginanku sendiri. Seandainya saja dia marah atau menamparku dengan keras, aku akan merasa lebih baik. Sayangnya, dia hanya marah sesaat dan
~Nia~ Aku membutuhkan satu kalimat terakhir darinya untuk tahu bahwa dia serius dengan ajakannya. Dan dia akhirnya mengatakannya juga. Aku tidak perlu mengkhawatirkan biaya apa pun selama berada di Chiang Mai nanti. Dia membeli tiket kelas satu dan aku pikir kami akan berada pada satu ruangan yang sama, ternyata aku salah. Kami mendapat bilik masing-masing lengkap dengan tempat tidurnya. Ruangan kecil itu memiliki penyejuk ruangan, meja dan kursi untuk satu orang, stop kontak bila ingin menggunakan alat listrik, tempat tidurnya juga dilengkapi dengan bantal dan selimut. “Kamar kamu di mana?” tanyaku setelah meletakkan koperku di dalam. “Di sini.” Dia menunjuk pintu di sampingku. “Ini pintu penghubung antara bilik kita.” Dia mendorong gerendel, membukanya, dan melewatinya. Ruangan itu mirip cerminan dari kamarku. Semuanya sama hanya berbeda posisi saja. “Ini ide yang bagus dibandingkan naik pesawat,” kataku pelan. “Kita tidak perlu membayar kam
Orang-orang yang ada di sekeliling kami menarik napas terkejut. Beberapa dari mereka bahkan berhenti berjalan. Aku hanya bisa bersikap panik karena mendadak menjadi pusat perhatian. “Nia, menikahlah denganku. Aku berjanji aku akan membuat kamu bahagia. Kita memang belum lama saling mengenal, tetapi aku pastikan kepadamu bahwa aku akan menyayangi kamu dan tidak akan pernah menyakiti kamu,” katanya mengucapkan lamarannya sambil menyodorkan sebuah kotak dengan cincin bertatahkan berlian di dalamnya. Aku belum selesai dari rasa terkejut mendengar pernyataan cintanya, malah dilanjutkan dengan mendengarkan lamarannya? Ini benar-benar cepat sekali. Damian menatapku penuh harap. Aku melihat ke sekeliling kami. Mereka juga memberiku tatapan serupa. Damian adalah pria yang tampan, berbakat, mapan, baik hati, dan pantang menyerah. Oh, satu lagi. Dia pencium yang hebat. Aku percaya bahwa semua yang dia ucapkan akan dia tepati. Tetapi ini terlalu cepat. Kami baru bertemu
Damian begitu antusias membawaku menemui keluarganya. Pada hari terakhir kami di Chiang Mai, dia mengajak aku ke sebuah pusat kecantikan. Rambut panjangku dicat berwarna pirang kemerahan oleh Namboru karena permintaan pihak laki-laki yang ingin menikahkan aku dengan anak mereka. Damian mengembalikan warna alami rambutku. Setelah mendapatkan perawatan rambut, kaki, dan tangan, aku juga mendapatkan perawatan kulit serta pijat. Total sepanjang hari itu kami habiskan di tempat tersebut. Ketika aku keluar mengenakan dressberwarna hitam, rambut yang dibiarkan tergerai, dan wajah yang sedikit diberi riasan, dia nyaris tidak bisa berkata-kata. Penerbangan kami kembali ke Jakarta masih dengan kelas yang sama. Dia mengalami serangan panik, dan aku menolong untuk menenangkannya dengan memegang tangannya. Saat kami tiba di Bandara Soekarno-Hatta, aku menolak untuk pulang bersamanya. “Baiklah,” katanya mengalah. Dia mencium bibirku, lalu membukakan pintu mo
Papa Damian menatap putranya tanpa berkedip. Seluruh anggota keluarga yang lain juga melihat ke arah pria itu. Aku tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan, jadi aku juga ikut melihat ke arah tunanganku. Sebaliknya, Damian sedang mengarahkan pandangannya kepadaku. Sebenarnya, aku belum bisa menyebutnya sebagai tunangan karena ada proses panjang yang harus kami jalani dalam adat Batak sebelum resmi menjadi tunangan. Tidak semudah memberikan cincin dan menerima lamarannya. Hal itu tidak akan pernah terjadi dalam adat kami. “Maafkan aku. Ada apa ini, Damian? Mengapa reaksi keluargamu aneh begini?” tanyaku bingung. Mereka semua bergerak tidak nyaman di tempat duduk mereka masing-masing, tetapi tidak ada yang mau membuka mulut. “Nia, apa kamu berkata jujur mengenai boru* kamu?” tanya Damian dengan nada serius. Aku mengangguk meskipun tidak mengerti maksud dari pertanyaannya itu. “Iya. Aku serius. Itu adalah margaku,” kataku membenarkan. Dia memejamkan
~Damian~ “Wah! Senang sekali yang mau bawa calon istrinya ke rumah,” goda Rhea yang sedang duduk di ruang tengah sambil asyik memakan potongan apel yang dibersihkan oleh suaminya, Lae* Luhut. “Jaga sikapmu saat dia ada di sini nanti. Aku tidak mau dia kabur karena ulahmu,” ucapku yang dengan serius mengingatkannya. “Sayang, dengar, tuh. Kakak memarahi aku,” adunya kepada suaminya. “Lae, mengalahlah. Dia sedang hamil tua.” Lae Luhut melirik ke arah perut istrinya yang sangat besar. Adikku diperkirakan akan melahirkan pada bulan depan. Seluruh keluarga kami sudah tidak sabar menantikan kehadiran cucu kedua di rumah ini. “Begitu anak kalian lahir, apa lagi alasanmu untuk menyuruh aku mengalah dengannya?” tanyaku kepadanya. Pria itu hanya tertawa, sedangkan adikku menjulurkan lidahnya. “Kamu akan menjemput Nia?” tanya Mama yang berjalan masuk ke rumah dari teras, pasti baru saja memeriksa kebun kecilnya. Aku mengangguk. “Hati-hati di jalan