Sultan masih tertidur pulas, sementara Hanna bangun lebih cepat seperti biasanya. Melaksanakan salat subuh hingga membaca selembar Al-Qur'an. Semalam mereka sudah tidur berdua, dan Sultan terus memanggilnya Arimbi. Ada perasaan sedih yang menikam hati beserta pikiran Hanna, tapi dia terlalu lelah untuk menyuarakan isi hatinya. Sultan tetap memaksakan kehendaknya tanpa memikirkan perasaan Hanna.
"Mas bangunlah," lirih Hanna sambil mengguncang sedikit pundak Sultan.
Semalam juga Sultan memintanya untuk memanggil dirinya dengan sebutan Mas Sultan, karena Arimbi biasa memanggil seperti itu. Hanna tidak menolak, dia selalu menurut apa yang Sultan perintahkan.
"Mas, bangun, sebentar lagi matahari terbit." Hanna tidak putus asa, meski berulang kali Sultan mengusirnya.
"Pergilah, aku masih mengantuk."
"Sholat subuh dulu, Mas," pinta Hanna.
Sontak Sultan mengernyit, dengan sebelah mata terbuka menatap Hanna yang tengah menunggu, dan bertanya. "Kamu menyuruhku sholat?"
Hanna mengangguk. Tidak butuh waktu lama Sultan pun bangkit mengambil handuk, lantas menuju kamar mandi untuk mandi dan bersuci. Di bangku rias Hanna tersenyum, mengamati dalam diam. Dia benar-benar menunggu Sultan selesai melaksanakan kewajiban satu itu.
"Alhamdulillah, aku senang melihat kamu pakai koko, Mas." Hanna berjalan mendekati Sultan.
"Apa aku terlihat lebih tampan?" tanyanya mulai narsis, Hanna tersenyum.
"Bangunlah setiap adzan berkumandang, laksanakan sholat subuh di masjid. Maka ketampananmu akan terus bertambah."
"Kamu wanita yang shalihah." Sultan menatap wajah manis Hanna, lalu membelainya lembut.
"Hmm, baiklah, sekarang aku ingin menjenguk bunda. Jika kamu perlu sesuatu bisa panggil aku Mas." Hanna memberi pesan. Setelah Sultan mengangguk wanita itu pun pergi.
Arimbi. Sultan tersenyum teringat waktu dulu bersama Arimbi. Istrinya itu memang tidak dapat tergantikan. Tidak akan pernah. Sekalipun sudah ada Hanna, Sultan masih mengingat istri pertamanya. Sudah dua hari ini Sultan sibuk bekerja sehingga tidak sempat menjenguk Arimbi, dia hanya menunggu kabar dari Ratih saja.
Sebelum Sultan menikah dengan Hanna, hari libur memang untuknya. Seharian mereka habiskan bersama. Jadi sekarang sementara Hanna mengurus bunda, Sultan akan mendatangi Arimbi.
"Pagi, Tuan." Ratih menyapa.
Ekspresinya agak terkejut melihat Sultan mengenakan koko lengkap dengan peci yang bertengger.
"Pagi, bagaimana keadaan istriku?" jawab dan tanya Sultan sembari mendekati Arimbi yang tercenung.
"Seperti yang terlihat, Tuan, Nyonya Arimbi baik-baik saja. Bahkan, ada peningkatan." Ratih sengaja membuat Sultan penasaran.
"Katakan apa yang telah terjadi?"
"Kemarin itu Nyonya Arimbi telah menyebut nama Nona Hanna dengan sangat fasih saat dirinya mengenalkan diri." Suara Ratih terdengar begitu semangat, menceritakan kejadian kemarin.
"Siapa Hanna? Di rumah ini tidak ada yang bernama Hanna." Tatapan Sultan berubah tajam, dan juga mengerikan.
"Ma-af," cicitnya ketakutan.
Sultan pun berdecih, suasana hatinya mendadak berubah. Lelaki itu hanya melirik Arimbi sekilas, lantas pergi menuju kamar bunda. Hanna sudah melanggar perjanjiannya tempo lalu. Mereka telah sepakat tidak ada lagi nama Hanna di rumah ini, akan tetapi kebaikan Sultan dia salah gunakan. Seharusnya kedua wanita itu memang tidak boleh bertemu atau akan celaka.
Tanpa berkata apapun Sultan menarik tangan Hanna keluar kamar bunda, menggantikannya dengan Marlina. Saat Sultan sudah marah pikirannya jadi tidak terarah, bahkan tak memedulikan panggilan bunda. Kerap kali Hanna hampir terjatuh, tapi Sultan tetap menyeretnya seperti kantong sampah.
Plaak! Satu tamparan mendarat mulus di pipi Hanna, yang kini memerah.
Dengan kaget Hanna menatap Sultan tidak mengerti, melihat bola matanya yang sudah berapi-api. Hatinya bagai tercabik-cabik. Padahal baru semalam Sultan bersikap lembut dan manis, tapi sekarang dia kembali mengerikan. Tatapan dan sentakan itu seperti hari pertama Hanna di sini. Sangat marah.
"Apa salahku, Mas?" Hanna bertanya.
"Seharusnya aku tidak akan pernah mengizinkanmu bertemu dengan Arimbi istriku. Kamu hanya perlu mendengar dari ceritaku saja, dan menjalankan peranmu dengan baik."
"Sungguh! Aku tidak melakukan apapun pada Mba Arimbi. Mas ... kamu bisa tanyakan kepada Ratih, aku tidak melakukan suatu hal yang buruk."
"Mulai detik ini aku mengharamkan dirimu menemui Arimbi!" tandasnya.
Sesaat Sultan pergi Hanna menangis sejadi-jadinya, sungguh merasa sakit. Sampai hati Sultan menampar tanpa menjelaskan kesalahannya terlebih dulu. Bahkan, Hanna pikir dia tidak melakukan kesalahan apapun. Semua terjadi begitu saja dalam waktu yang singkat, menafikan kejadian semalam.
***
Mata Hanna tampak sembap. Entah mengapa hatinya terasa perih sekali. Hampir seharian Hanna menangis, berharap Sultan datang dan meminta maaf padanya, tapi hingga detik ini dia juga belum terlihat. Hanna tidak munafik jika dirinya sudah jatuh cinta pada Sultan, suaminya yang aneh dan tidak terkontrol. Kekerasan yang Hanna dapat dari Sultan dia anggap sebagai bentuk cintanya, di samping Hanna juga ingin Sultan memperlakukannya wajar. Yakni sebagai istri sungguhan.
"Arimbi," lirih Hanna pelan, membaca nama pada kalungnya yang bersinar.
Hanna merabanya perlahan, menatap nama itu dengan perasaan hancur. Mengingatnya membuat hati Hanna sakit berkali lipat. Menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak memiliki perasaan terhadapnya, bahkan malah menganggap Hanna wanita lain.
"Kenapa kamu menikahi wanita lain jika hatimu masih bersama Arimbi seutuhnya?" Hanna bertanya-tanya.
Karena sungguh tidak semestinya Hanna mengenakan kalung yang bernama wanita lain, bukan namanya sendiri. Hanna bisa saja melepas kalung itu, tapi akibatnya pasti akan fatal. Mengingat Sultan begitu kejam, tidak menutup kemungkinan dia akan melakukan hal yang lebih keji.
Sontak Hanna berjengit dan menoleh.
"Ada apa, Bu?" tanyanya kemudian.
"Saya memanggil sejak tadi, tapi Nona diam saja. Maaf, sudah lancang." Marlina sedikit membungkuk. Hanna mengangguk, lalu menyuruhnya duduk.
Semenjak Hanna bolak balik menemui bunda dan membantunya mengurus wanita itu, hubungannya dengan Marlina membaik. Mereka jadi sering terlibat dalam satu ruangan hingga bekerja sama. Ternyata selama ini Marlina salah menilai Hanna. Dia berpikir seorang Hanna wanita murahan yang berusaha memeras tuannya, dan merebut tempat nyonya Arimbi.
"Hmm, begini, bunda ingin bertemu dengan Tuan Sultan. Sejak tadi beliau sangat cemas memikirkan apa yang telah terjadi di antara Nona dan Tuan, karena kalian pergi tiba-tiba pagi tadi. Sekarang Tuan sedang bersama Nyonya Arimbi, dan tidak ada satu pun yang berani memanggilnya, sementara bunda terus memaksa. Nona, bisakah kamu menemui Tuan Sultan dan mengajaknya ke kamar bunda?"
"Oh ..." Hanna mencoba berpikir.
"Bunda sudah menunggu lama."
"Ya, akan aku coba," jawabnya ragu.
Setelah Marlina memberitahu di mana keberadaan Sultan, Hanna langsung beranjak. Langkahnya amat lambat, menuju balkon yang terdapat di kamar paling atas. Sambil berpikir akibatnya Hanna juga mencemaskan keadaan bunda. Namun, kebaikan sang bunda tentunya lebih utama. Hanna mengesampingkan rasa takutnya demi bunda, dan Sultan pasti mengerti.
"Kamu pasti sembuh, Sayang."
Di depan pintu balkon langkah Hanna terhenti. Kedua matanya mengintip dan berusaha mendengar perkataan Sultan kepada Arimbi.
"Nanti kalau kamu sembuh aku janji, kita akan mengasuh anak dari Panti." Sultan berkata lembut. Hanna bisa melihat tatapan lelaki itu yang teduh.
"Aku percaya, Sayang, suatu saat nanti kamu bisa mengandung anak-anak kita. Seperti wanita lainnya. Ini hanya soal waktu. Sekarang, yang paling utama kesembuhanmu," katanya lagi.
Sultan terus berkata, walaupun tidak ada jawaban dari Arimbi. Lelaki itu tampak penyabar, dan begitu tenang.
"Arimbi, aku sangat mencintaimu."
Tepat di saat Sultan mengecup pipi Arimbi, Hanna memalingkan wajah dengan air mata yang kembali jatuh.
Hanna bangun lebih cepat dari biasanya, dengan hati yang getir wanita itu bermunajat kepada Sang Khaliq, berdoa dan menyampaikan betapa sedih hatinya saat Sultan mengungkit masa lalu yang tidak akan pernah berubah. Lelaki itu menyesal, bahkan masih meratapi kepergian Arimbi.Ketika Hanna pikir suaminya itu telah berubah menjadi lebih baik, ternyata masih sama saja, Sultan tidak tahu bagaimana caranya menghargai sosok Hanna."Ya Allah, jika aku salah dan kau ingin menghukumku, maka aku mohon ringankanlah sedikit hukumanmu ini, rasanya aku tidak sanggup jika terus ditekan, bahkan selalu dibanding-bandingkan dengan Mbak Arimbi.""Akan tetapi, jika ini memang ujian yang kau berikan padaku, maka aku juga memohon tabahkanlah hatiku untuk menerima ketentuan-Mu dan kuatkanlah aku.""Aamiin ya Rabb."Bangkit dari duduknya, Hanna pun melakukan sujud sahwi, sebelum beranjak dari tempat sholat dilanjutkan dengan membuka mukenahnya. Hati yang sempat berkabung, kini menjadi sedikit lebih tenang. Un
Setelah melewati fase sulit yang cukup menjemukkan akhirnya Hanna bisa bernapas dengan lega, wanita itu menatap ke luar jendela yang masih terkunci rapi, dia merasa sangat bahagia. Air mata Hanna menetes, jika dirinya tidak setangguh ini, kemungkinan terbesar dia sudah meninggalkan Sultan dan mencari kebahagiaan sendiri.Tetapi, di sinilah Hanna sekarang, di kamar yang sama dengan perasaan berbeda."Nyonya Hanna," panggil Marlina dari arah luar, wanita itu semakin menghormati sosoknya, bahkan kasih sayangnya juga sangatlah luar biasa terhadap Hanna. "Ada telepon untukmu, Nyonya."Paman Hasan?"Iya, sebentar, Bu!" Hanna menyahut dari dalam, dengan cepat dia menyeka air mata yang berlinangan di pipinya.Merapikan sedikit rambutnya dengan wajah berbinar Hanna membuka pintu kamar, lalu tersenyum kepada Marlina yang tengah tersenyum lebar juga. Hubungan mereka seperti bukan pembantu dan majikan, tetapi bagaikan ibu dan anak yang saling memberikan cinta."Siapa yang menelepon, Bu?" tanya Ha
Selepas kepergian Arimbi, waktu tidur Sultan jadi tidak menentu. Terkadang Sultan bisa tidur lebih cepat, atau tidak dapat tidur semalaman. Kehilangan Arimbi seakan-akan membawa pergi sebagian hidupnya, yang belum bisa Sultan terima. Setiap kali memejamkan mata senyum manis Arimbi muncul beserta gelak tawanya yang renyah, hal itu membuat Sultan kesulitan untuk mengendalikan hidupnya seorang diri.Kehadiran Hanna yang berwajah Arimbi ternyata sama sekali tidak membantunya melupakan sang pujaan hati. Sultan terus mengingat dan membayangkan Arimbi, bahkan dia merasa bersalah pada Hanna.“Maafkan aku,” rintih Sultan di dalam remang lampu tidur, menatap Hanna yang terlelap.“Aku sudah berdosa padamu, mungkin tidak termaafkan.” Membelai sisi wajah Hanna, wanita itu mengerang rendah saat merasa terganggu.Sultan menarik tangannya kembali, menatap dalam pada wajah Hanna yang polos. Itu wajah cintanya Arimbi. “Kalian sudah memiliki wajah yang sama, cantik dan menawan hati. Tapi ... Entah kenap
Mengoleskan lipstik merah menyala, Ratih tersenyum lebar menunjukkan kebahagiaannya. Kematian Arimbi menghilangkan seluruh beban yang selama ini Ratih pikul. Dunia seakan kembali terang benderang, hidupnya yang suram telah sirna dan berganti menjadi orang paling berbahagia. Sayangnya Leo sedang kecewa berat padanya, kalau tidak Ratih ingin sekali mengajak lelaki itu merayakan kemenangannya semalaman penuh.“Oh, Leo, seandainya kamu tahu yang sebenarnya ...” Ratih terkekeh geli saat mengingat wajah marah Leo beberapa waktu lalu. “Tidak mungkin aku menyerahkan kebanggaanku dengan lelaki bodoh seperti Sultan.”Semua sudah Ratih atur sedemikian rupa, sehingga Sultan percaya atas apa yang dia lakukan. Padahal, malam itu tidak terjadi apapun, mereka hanya tidur seranjang dengan pakaian atas terbuka. Ratih mengambil beberapa pose yang panas, selebihnya dia menyerahkan dengan seseorang untuk melepas seluruh pakaiannya Sultan.“Kerja keras yang sangat baik.” Lagi, Ratih terbahak-bahak, sangat
Tanpa mendengarkan perkataan Sultan dan Marlina, Arimbi mengemasi seluruh barang-barang miliknya. Ternyata patah hati tidak sebercanda itu, dengan cepat perasaan cintanya berubah menjadi benci. Arimbi sangat muak terhadap sikap Sultan, yang seolah-olah tidak bersalah. Padahal semua sudah terlihat jelas di mata Arimbi, jika suaminya itu begitu dekat dengan Ratih dan berhubungan serius.Sebagai suami yang sangat mencintai istrinya, Sultan melarangnya, bahkan lelaki itu sampai memeluk kedua kaki Arimbi agar menghentikan semua. Di bawah kaki Arimbi dengan tangguh Sultan menahan. Tidak hanya air mata yang jatuh, tetapi juga harga dirinya. Sultan melakukan itu semua semata untuk mengambil hati Arimbi, meski istrinya tidak mudah tersentuh."Arimbi, aku mohon padamu, Sayang. Toloong! Dengarkan penjelasanku dulu, semua tidak seperti yang kamu pikirkan," kata Sultan sambil menangis."Lepaskan, Mas. Aku sudah tidak percaya lagi denga
Sudah tiga hari Arimbi mengurung diri di kamar, enggan bertemu dengan Sultan sekalipun tinggal serumah. Perasaannya sungguh sakit mengetahui pengkhianatan suami yang begitu dicintainya selama ini. Ketika Arimbi tengah berjuang keras melawan rasa sakit Sultan malah berkelana mencari wanita lain. Di tengah isakannya Arimbi menutup kedua telinga saat mendengar permohonan Sultan di luar kamar. Cinta yang telah Arimbi tanam kini berbuah pahit dan pengkhianatan."Arimbi, aku mohon, buka pintunya, dan aku akan menjelaskan semua." Rintih Sultan di sela tangisan, suara lelaki itu terdengar begitu terluka.Setelah sekian lama Sultan menunggu Arimbi sembuh, kini yang dia terima sebuah penolakan. Istri tercintanya marah kepadanya, dan tidak memberi Sultan kesempatan berbicara. Arimbi sudah termakan omongan Ratih, dan Sultan tidak mengelak jika wanita itu sangat berbahaya. Keberadaannya bagaikan ancaman untuk kehidupan Sultan dan Arimbi, karena dia sel