Beranda / Romansa / Arimbi / Arimbi 8 - Keloyalan Sultan

Share

Arimbi 8 - Keloyalan Sultan

Penulis: Indkhrsya
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-24 10:04:47

"Assalammu'alaikum, iya Paman ini Hanna." Suara wanita itu mengecil saat menyebut namanya. Sultan ada di belakang, jadi Hanna begitu hati-hati berbicara.

"Alhamdulillah, Hanna baik-baik saja. Paman ... Hanna sangat merindukan Paman. Eum, ya, Mas Sultan juga sungguh baik pada Hanna, dia selalu membuat Hanna tersenyum bahagia." Hanna tertawa pelan, sesekali melirik Sultan yang mencoba tidak peduli.

"Paman, kapan kita bisa bertemu?" tanyanya sedih, berharap Sultan mendengarnya dan merencenakan pertemuan mereka.

"Secepatnya ya, Paman? In sya Allah." Wajah Hanna pun berbinar saat sang paman juga menginginkan hal sama.

Lima menit sudah berlalu, dan Hanna masih asyik berbicara pada orang di ujung telepon. Sultan mengamatinya dengan bosan. Sepuluh menit ternyata waktu yang cukup lama, sehingga dia pikir tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Tanpa berkata lelaki itu merampas teleponnya, dan mengakhirkan dengan salam.

"Eh ..." Tentu saja Hanna kaget.

Namun, Sultan tidak peduli. Dia malah menyimpan telepon itu ke saku, lalu melenggang pergi. Hanna mengejarnya di belakang, yakin sekali belum sepuluh menit. Dia butuh kepastian.

"Sudah sepuluh menit ya?" tanya Hanna sambil mensejajarkan diri.

"Sudah," jawab Sultan sekenanya.

Sikap Sultan memang selalu berubah-ubah. Ini pertemuan pertama mereka setelah Sultan mengabaikan Hanna seharian penuh. Melihat perlakuan lembut Sultan kepada Arimbi membuatnya enggan menggaggunya semalam, sehingga Hanna datang menemui bunda seorang diri. Untung saja beliau tidak menaruh rasa curiga sedikit pun.

Hanna pikir jika tidak ada telepon dari pamannya, Sultan masih belum menemuinya karena lelaki itu tampak marah sekali. Entah apa yang Hanna perbuat sampai dia sebegitu dingin? Yang jelas Hanna tak merasa bersalah.

Tiba-tiba langkah Sultan berhenti, lalu menghadap ke arah Hanna. Dia pun bertanya, "Kamu tidak ingin meminta maaf?"

Minta maaf? Terus terang Hanna menatap Sultan seperti orang bodoh.

"Ya, minta maaf padaku." Sultan kembali mengatakannya, membuat Hanna tersadar. Dia harus mengalah.

Jika ingin hubungan mereka kembali membaik, Hanna harus mengakui kesalahannya yang tidak dia ketahui. Mungkin bagi Sultan kata maaf dapat menjernihkan hatinya yang kering. Hanna juga tidak betah seperti ini terus, karena pesona Sultan dia bisa bertahan. Keinginannya untuk kabur dari rumah tergantikan dengan rasa selalu ingin berada di dekat Sultan.

"Hmm, ya, aku minta maaf." Hanna berkata lirih, dan sangat menyentuh.

"Berjanji padaku, kamu tidak akan mengulanginya lagi."

Sultan menatap Hanna tajam, yang ditatap buru-buru mengangguk. Takut Sultan berubah pikiran. Mungkin, untuk saat ini Hanna harus banyak mengalah demi perasaannya. Hanna yakin sekali suatu hari nanti Sultan akan membalas cintanya, meski itu butuh waktu yang lama. Sekarang Hanna hanya perlu banyak bersabar.

"Bagus! Sekarang kita berteman lagi," kata Sultan seraya merangkul Hanna.

Lelaki itu tertawa renyah sekali saat melihat Hanna tampak gugup. Hanna tidak pernah melihat Sultan sesantai ini sebelumnya, dan setiap momen yang baru selalu menjadi hal menarik untuknya. Membuat Hanna semakin cinta pada pesona Sultan yang lain.

"Arimbi, apa kamu sudah makan?" tanyanya sambil lalu, sesekali Sultan mengusap puncak kepala Hanna.

"Sudah baru saja," jawab Hanna.

"Makan pakai apa?" Sultan bertanya lagi, seakan belum puas dengan jawaban Hanna.

Ekor matanya terus melirik Hanna, hingga keduanya menginjak kamar.

"Pakai ayam panggang, sambal kecap, dan sayur rebusan."

"Kenapa tidak makan sop iga, Sayang? Marlina selalu memasaknya setiap hari, dan kamu harus memakan menu itu." Lagi, Sultan menekan kehendaknya.

Dengan lambat Hanna mengangguk, dan berkata lirih. "Ya, akan aku coba."

***

Dengan cepat Hanna menyiapkan segala keperluan Sultan di pagi hari. Seperti seragam kerja, memasak sarapan, sampai membersihkan sepatu. Untuk sarapan Sultan hanya ingin Hanna yang memasaknya tanpa alasan apapun. Selama itu bisa Hanna lakukan, maka permintaan Sultan akan terpenuhi. Hanna harap dengan perlakuannya Sultan bisa berubah.

"Sepertinya malam ini aku akan pulang larut malam." Beritahu Sultan.

"Oh, yaa ..."

Sultan mengangguk, mengelap mulut setelah menghabiskan segelas teh. "Kamu tidak perlu menungguku. Kalau ngantuk tidur saja, dan jangan lupa kunci pintunya."

"Jadi, kamu akan tidur di mana?" tanya Hanna begitu perhatian.

"Aku bisa tidur di kamar Arimbi, istri pertamaku. Sudah lama juga aku tidak tidur dengannya, mungkin malam ini."

Hanna tersenyum, sungguh mengerti. Memang seharusnya Sultan membagi waktu untuk kedua istrinya, apalagi Arimbi yang begitu membutuhkan kehadiran suami. Mendengar itu jelas Hanna bahagia, karena Sultan tidak berat kepadanya dan mencoba adil.

"Mulai besok kamu harus membuat jadwal, Mas." Hanna mengingatkan.

Kening Sultan mengernyit, menatap Hanna yang wajahnya sudah merah. "Jadwal apa?"

"Ya, anu, jadwal giliran. Ingat, Mas! Sekarang kamu sudah punya dua istri, dan kamu tidak boleh berat sebelah."

Melirik jam yang melingkar di tangan, Sultan bangkit setelah meraih berkas. Waktunya tidak lama lagi. Sebagai manager Sultan harus memberi contoh yang baik pada bawahannya untuk datang tepat waktu. Sultan mendekati Hanna, lalu mengecup keningnya.

"Sekarang aku harus berangkat kerja. Soal yang tadi, nanti akan kupikirkan." Saat Sultan mengatakannya wajah Hanna sudah semerah tomat. Tersipu.

Sambil menyisir rambut bunda yang hampir putih semua Hanna senyam senyum mengingat kejadian beberapa saat lalu. Sultan mengecup keningnya sebelum berangkat, memperlakukan Hanna sebagai istri sungguhan. Meski Hanna tahu Sultan sangat mencintai istri pertamanya, tapi lelaki itu tidak membantah jika sudah memiliki dua istri. Hal itu membuat Hanna lega.

"Nak, Arimbi, apa kamu sakit?" tanya bunda, menyadarkan lamunan Hanna.

"Ah, tidak, Bunda."

"Bunda pikir kamu sakit, soalnya sejak tadi kamu diam saja," terang bunda.

Melihat wajah cemas bunda Hanna jadi merasa bersalah. Tidak sepatutnya Hanna larut dengan kebahagiaannya sampai mengabaikan bunda. Dari luar Marlina datang tergopoh, membawa sepiring makanan dan beberapa obat. Sambil menaruh bawaannya Marlina melirik Hanna sekilas. Wanita itu pun tersenyum, lalu mendekat sang nyonya.

"Selamat pagi, Nyonya. Saya Marlina. Tadi tidak sengaja saya melihat Nona Hanna dan Tuan Sultan yang sedang bercengkrama. Nyonya harus tahu mereka terlihat begitu romantis dan sangat menggemaskan seperti anak muda pacaran." Cerita Marlina pada Ningsih. Seketika wajah Hanna tersipu.

Kening Ningsih mengeryit bingung, dan bertsnya. "Marlina, apa aku salah dengar? Kamu mengatakan Hanna bukan Arimbi."

Deg! Sontak Hanna melotot. Menatap Marlina yang juga tampak serba salah.

"Hmm, maksud saya Nona Arimbi." Buru-buru Marlina memperbaikinya.

"Marlina, apa ada yang tidak aku ketahui? Apa ada yang kalian sembunyikan dariku?" Ningsih jadi curiga. Dia bukan wanita yang bodoh.

Menyadari kesenjangan itu Hanna langsung mengambil segelas air di atas meja. Dengan lembut Hanna membantu bunda untuk meminum sedikit, mencoba mengalihkannya.

"Bunda tidak boleh banyak berpikir." Suara halus Hanna terdengar menenangkan. Ningsih mengangguk.

"Tadi itu Ibu Marlina hanya salah sebut nama. Dia baru saja memberi makan kucing yang bernama Hanna, makanya sampai jadi salah sebut nama." Hanna memberi alasan yang masuk akal.

"Tapi Nak, perasaan bunda mengatakan jika Hanna itu ..."

"Kucing, Bun. Nanti Arimbi bawa Hanna ke sini ya. Bunda harus mengenalnya, biar tidak berpikiran yang aneh lagi." Jelas Hanna.

Semampunya Hanna menyakinkan sang bunda. Untuk masalah nama saja Hanna akan mendapatkan masalah yang berat, karena Sultan membenci jika nama itu masih berkeliaran di rumah. Sungguh! Semaksimal mungkin Hanna memilimasir kesalahan, kalau tidak ingin Sultan meledak-ledak.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Arimbi   Arimbi 41 - Sultan frustrasi

    Hanna bangun lebih cepat dari biasanya, dengan hati yang getir wanita itu bermunajat kepada Sang Khaliq, berdoa dan menyampaikan betapa sedih hatinya saat Sultan mengungkit masa lalu yang tidak akan pernah berubah. Lelaki itu menyesal, bahkan masih meratapi kepergian Arimbi.Ketika Hanna pikir suaminya itu telah berubah menjadi lebih baik, ternyata masih sama saja, Sultan tidak tahu bagaimana caranya menghargai sosok Hanna."Ya Allah, jika aku salah dan kau ingin menghukumku, maka aku mohon ringankanlah sedikit hukumanmu ini, rasanya aku tidak sanggup jika terus ditekan, bahkan selalu dibanding-bandingkan dengan Mbak Arimbi.""Akan tetapi, jika ini memang ujian yang kau berikan padaku, maka aku juga memohon tabahkanlah hatiku untuk menerima ketentuan-Mu dan kuatkanlah aku.""Aamiin ya Rabb."Bangkit dari duduknya, Hanna pun melakukan sujud sahwi, sebelum beranjak dari tempat sholat dilanjutkan dengan membuka mukenahnya. Hati yang sempat berkabung, kini menjadi sedikit lebih tenang. Un

  • Arimbi   Arimbi 40 - Dipatahkan oleh kenyataan

    Setelah melewati fase sulit yang cukup menjemukkan akhirnya Hanna bisa bernapas dengan lega, wanita itu menatap ke luar jendela yang masih terkunci rapi, dia merasa sangat bahagia. Air mata Hanna menetes, jika dirinya tidak setangguh ini, kemungkinan terbesar dia sudah meninggalkan Sultan dan mencari kebahagiaan sendiri.Tetapi, di sinilah Hanna sekarang, di kamar yang sama dengan perasaan berbeda."Nyonya Hanna," panggil Marlina dari arah luar, wanita itu semakin menghormati sosoknya, bahkan kasih sayangnya juga sangatlah luar biasa terhadap Hanna. "Ada telepon untukmu, Nyonya."Paman Hasan?"Iya, sebentar, Bu!" Hanna menyahut dari dalam, dengan cepat dia menyeka air mata yang berlinangan di pipinya.Merapikan sedikit rambutnya dengan wajah berbinar Hanna membuka pintu kamar, lalu tersenyum kepada Marlina yang tengah tersenyum lebar juga. Hubungan mereka seperti bukan pembantu dan majikan, tetapi bagaikan ibu dan anak yang saling memberikan cinta."Siapa yang menelepon, Bu?" tanya Ha

  • Arimbi   Arimbi 39 - Awal kebahagiaan

    Selepas kepergian Arimbi, waktu tidur Sultan jadi tidak menentu. Terkadang Sultan bisa tidur lebih cepat, atau tidak dapat tidur semalaman. Kehilangan Arimbi seakan-akan membawa pergi sebagian hidupnya, yang belum bisa Sultan terima. Setiap kali memejamkan mata senyum manis Arimbi muncul beserta gelak tawanya yang renyah, hal itu membuat Sultan kesulitan untuk mengendalikan hidupnya seorang diri.Kehadiran Hanna yang berwajah Arimbi ternyata sama sekali tidak membantunya melupakan sang pujaan hati. Sultan terus mengingat dan membayangkan Arimbi, bahkan dia merasa bersalah pada Hanna.“Maafkan aku,” rintih Sultan di dalam remang lampu tidur, menatap Hanna yang terlelap.“Aku sudah berdosa padamu, mungkin tidak termaafkan.” Membelai sisi wajah Hanna, wanita itu mengerang rendah saat merasa terganggu.Sultan menarik tangannya kembali, menatap dalam pada wajah Hanna yang polos. Itu wajah cintanya Arimbi. “Kalian sudah memiliki wajah yang sama, cantik dan menawan hati. Tapi ... Entah kenap

  • Arimbi   Arimbi 38 - Melaporkan Ratih

    Mengoleskan lipstik merah menyala, Ratih tersenyum lebar menunjukkan kebahagiaannya. Kematian Arimbi menghilangkan seluruh beban yang selama ini Ratih pikul. Dunia seakan kembali terang benderang, hidupnya yang suram telah sirna dan berganti menjadi orang paling berbahagia. Sayangnya Leo sedang kecewa berat padanya, kalau tidak Ratih ingin sekali mengajak lelaki itu merayakan kemenangannya semalaman penuh.“Oh, Leo, seandainya kamu tahu yang sebenarnya ...” Ratih terkekeh geli saat mengingat wajah marah Leo beberapa waktu lalu. “Tidak mungkin aku menyerahkan kebanggaanku dengan lelaki bodoh seperti Sultan.”Semua sudah Ratih atur sedemikian rupa, sehingga Sultan percaya atas apa yang dia lakukan. Padahal, malam itu tidak terjadi apapun, mereka hanya tidur seranjang dengan pakaian atas terbuka. Ratih mengambil beberapa pose yang panas, selebihnya dia menyerahkan dengan seseorang untuk melepas seluruh pakaiannya Sultan.“Kerja keras yang sangat baik.” Lagi, Ratih terbahak-bahak, sangat

  • Arimbi   Arimbi 37 - Arimbi meninggal dunia

    Tanpa mendengarkan perkataan Sultan dan Marlina, Arimbi mengemasi seluruh barang-barang miliknya. Ternyata patah hati tidak sebercanda itu, dengan cepat perasaan cintanya berubah menjadi benci. Arimbi sangat muak terhadap sikap Sultan, yang seolah-olah tidak bersalah. Padahal semua sudah terlihat jelas di mata Arimbi, jika suaminya itu begitu dekat dengan Ratih dan berhubungan serius.Sebagai suami yang sangat mencintai istrinya, Sultan melarangnya, bahkan lelaki itu sampai memeluk kedua kaki Arimbi agar menghentikan semua. Di bawah kaki Arimbi dengan tangguh Sultan menahan. Tidak hanya air mata yang jatuh, tetapi juga harga dirinya. Sultan melakukan itu semua semata untuk mengambil hati Arimbi, meski istrinya tidak mudah tersentuh."Arimbi, aku mohon padamu, Sayang. Toloong! Dengarkan penjelasanku dulu, semua tidak seperti yang kamu pikirkan," kata Sultan sambil menangis."Lepaskan, Mas. Aku sudah tidak percaya lagi denga

  • Arimbi   Arimbi 36 - Wajah Hanna menjadi Arimbi

    Sudah tiga hari Arimbi mengurung diri di kamar, enggan bertemu dengan Sultan sekalipun tinggal serumah. Perasaannya sungguh sakit mengetahui pengkhianatan suami yang begitu dicintainya selama ini. Ketika Arimbi tengah berjuang keras melawan rasa sakit Sultan malah berkelana mencari wanita lain. Di tengah isakannya Arimbi menutup kedua telinga saat mendengar permohonan Sultan di luar kamar. Cinta yang telah Arimbi tanam kini berbuah pahit dan pengkhianatan."Arimbi, aku mohon, buka pintunya, dan aku akan menjelaskan semua." Rintih Sultan di sela tangisan, suara lelaki itu terdengar begitu terluka.Setelah sekian lama Sultan menunggu Arimbi sembuh, kini yang dia terima sebuah penolakan. Istri tercintanya marah kepadanya, dan tidak memberi Sultan kesempatan berbicara. Arimbi sudah termakan omongan Ratih, dan Sultan tidak mengelak jika wanita itu sangat berbahaya. Keberadaannya bagaikan ancaman untuk kehidupan Sultan dan Arimbi, karena dia sel

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status