Share

Arimbi 8 - Keloyalan Sultan

"Assalammu'alaikum, iya Paman ini Hanna." Suara wanita itu mengecil saat menyebut namanya. Sultan ada di belakang, jadi Hanna begitu hati-hati berbicara.

"Alhamdulillah, Hanna baik-baik saja. Paman ... Hanna sangat merindukan Paman. Eum, ya, Mas Sultan juga sungguh baik pada Hanna, dia selalu membuat Hanna tersenyum bahagia." Hanna tertawa pelan, sesekali melirik Sultan yang mencoba tidak peduli.

"Paman, kapan kita bisa bertemu?" tanyanya sedih, berharap Sultan mendengarnya dan merencenakan pertemuan mereka.

"Secepatnya ya, Paman? In sya Allah." Wajah Hanna pun berbinar saat sang paman juga menginginkan hal sama.

Lima menit sudah berlalu, dan Hanna masih asyik berbicara pada orang di ujung telepon. Sultan mengamatinya dengan bosan. Sepuluh menit ternyata waktu yang cukup lama, sehingga dia pikir tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Tanpa berkata lelaki itu merampas teleponnya, dan mengakhirkan dengan salam.

"Eh ..." Tentu saja Hanna kaget.

Namun, Sultan tidak peduli. Dia malah menyimpan telepon itu ke saku, lalu melenggang pergi. Hanna mengejarnya di belakang, yakin sekali belum sepuluh menit. Dia butuh kepastian.

"Sudah sepuluh menit ya?" tanya Hanna sambil mensejajarkan diri.

"Sudah," jawab Sultan sekenanya.

Sikap Sultan memang selalu berubah-ubah. Ini pertemuan pertama mereka setelah Sultan mengabaikan Hanna seharian penuh. Melihat perlakuan lembut Sultan kepada Arimbi membuatnya enggan menggaggunya semalam, sehingga Hanna datang menemui bunda seorang diri. Untung saja beliau tidak menaruh rasa curiga sedikit pun.

Hanna pikir jika tidak ada telepon dari pamannya, Sultan masih belum menemuinya karena lelaki itu tampak marah sekali. Entah apa yang Hanna perbuat sampai dia sebegitu dingin? Yang jelas Hanna tak merasa bersalah.

Tiba-tiba langkah Sultan berhenti, lalu menghadap ke arah Hanna. Dia pun bertanya, "Kamu tidak ingin meminta maaf?"

Minta maaf? Terus terang Hanna menatap Sultan seperti orang bodoh.

"Ya, minta maaf padaku." Sultan kembali mengatakannya, membuat Hanna tersadar. Dia harus mengalah.

Jika ingin hubungan mereka kembali membaik, Hanna harus mengakui kesalahannya yang tidak dia ketahui. Mungkin bagi Sultan kata maaf dapat menjernihkan hatinya yang kering. Hanna juga tidak betah seperti ini terus, karena pesona Sultan dia bisa bertahan. Keinginannya untuk kabur dari rumah tergantikan dengan rasa selalu ingin berada di dekat Sultan.

"Hmm, ya, aku minta maaf." Hanna berkata lirih, dan sangat menyentuh.

"Berjanji padaku, kamu tidak akan mengulanginya lagi."

Sultan menatap Hanna tajam, yang ditatap buru-buru mengangguk. Takut Sultan berubah pikiran. Mungkin, untuk saat ini Hanna harus banyak mengalah demi perasaannya. Hanna yakin sekali suatu hari nanti Sultan akan membalas cintanya, meski itu butuh waktu yang lama. Sekarang Hanna hanya perlu banyak bersabar.

"Bagus! Sekarang kita berteman lagi," kata Sultan seraya merangkul Hanna.

Lelaki itu tertawa renyah sekali saat melihat Hanna tampak gugup. Hanna tidak pernah melihat Sultan sesantai ini sebelumnya, dan setiap momen yang baru selalu menjadi hal menarik untuknya. Membuat Hanna semakin cinta pada pesona Sultan yang lain.

"Arimbi, apa kamu sudah makan?" tanyanya sambil lalu, sesekali Sultan mengusap puncak kepala Hanna.

"Sudah baru saja," jawab Hanna.

"Makan pakai apa?" Sultan bertanya lagi, seakan belum puas dengan jawaban Hanna.

Ekor matanya terus melirik Hanna, hingga keduanya menginjak kamar.

"Pakai ayam panggang, sambal kecap, dan sayur rebusan."

"Kenapa tidak makan sop iga, Sayang? Marlina selalu memasaknya setiap hari, dan kamu harus memakan menu itu." Lagi, Sultan menekan kehendaknya.

Dengan lambat Hanna mengangguk, dan berkata lirih. "Ya, akan aku coba."

***

Dengan cepat Hanna menyiapkan segala keperluan Sultan di pagi hari. Seperti seragam kerja, memasak sarapan, sampai membersihkan sepatu. Untuk sarapan Sultan hanya ingin Hanna yang memasaknya tanpa alasan apapun. Selama itu bisa Hanna lakukan, maka permintaan Sultan akan terpenuhi. Hanna harap dengan perlakuannya Sultan bisa berubah.

"Sepertinya malam ini aku akan pulang larut malam." Beritahu Sultan.

"Oh, yaa ..."

Sultan mengangguk, mengelap mulut setelah menghabiskan segelas teh. "Kamu tidak perlu menungguku. Kalau ngantuk tidur saja, dan jangan lupa kunci pintunya."

"Jadi, kamu akan tidur di mana?" tanya Hanna begitu perhatian.

"Aku bisa tidur di kamar Arimbi, istri pertamaku. Sudah lama juga aku tidak tidur dengannya, mungkin malam ini."

Hanna tersenyum, sungguh mengerti. Memang seharusnya Sultan membagi waktu untuk kedua istrinya, apalagi Arimbi yang begitu membutuhkan kehadiran suami. Mendengar itu jelas Hanna bahagia, karena Sultan tidak berat kepadanya dan mencoba adil.

"Mulai besok kamu harus membuat jadwal, Mas." Hanna mengingatkan.

Kening Sultan mengernyit, menatap Hanna yang wajahnya sudah merah. "Jadwal apa?"

"Ya, anu, jadwal giliran. Ingat, Mas! Sekarang kamu sudah punya dua istri, dan kamu tidak boleh berat sebelah."

Melirik jam yang melingkar di tangan, Sultan bangkit setelah meraih berkas. Waktunya tidak lama lagi. Sebagai manager Sultan harus memberi contoh yang baik pada bawahannya untuk datang tepat waktu. Sultan mendekati Hanna, lalu mengecup keningnya.

"Sekarang aku harus berangkat kerja. Soal yang tadi, nanti akan kupikirkan." Saat Sultan mengatakannya wajah Hanna sudah semerah tomat. Tersipu.

Sambil menyisir rambut bunda yang hampir putih semua Hanna senyam senyum mengingat kejadian beberapa saat lalu. Sultan mengecup keningnya sebelum berangkat, memperlakukan Hanna sebagai istri sungguhan. Meski Hanna tahu Sultan sangat mencintai istri pertamanya, tapi lelaki itu tidak membantah jika sudah memiliki dua istri. Hal itu membuat Hanna lega.

"Nak, Arimbi, apa kamu sakit?" tanya bunda, menyadarkan lamunan Hanna.

"Ah, tidak, Bunda."

"Bunda pikir kamu sakit, soalnya sejak tadi kamu diam saja," terang bunda.

Melihat wajah cemas bunda Hanna jadi merasa bersalah. Tidak sepatutnya Hanna larut dengan kebahagiaannya sampai mengabaikan bunda. Dari luar Marlina datang tergopoh, membawa sepiring makanan dan beberapa obat. Sambil menaruh bawaannya Marlina melirik Hanna sekilas. Wanita itu pun tersenyum, lalu mendekat sang nyonya.

"Selamat pagi, Nyonya. Saya Marlina. Tadi tidak sengaja saya melihat Nona Hanna dan Tuan Sultan yang sedang bercengkrama. Nyonya harus tahu mereka terlihat begitu romantis dan sangat menggemaskan seperti anak muda pacaran." Cerita Marlina pada Ningsih. Seketika wajah Hanna tersipu.

Kening Ningsih mengeryit bingung, dan bertsnya. "Marlina, apa aku salah dengar? Kamu mengatakan Hanna bukan Arimbi."

Deg! Sontak Hanna melotot. Menatap Marlina yang juga tampak serba salah.

"Hmm, maksud saya Nona Arimbi." Buru-buru Marlina memperbaikinya.

"Marlina, apa ada yang tidak aku ketahui? Apa ada yang kalian sembunyikan dariku?" Ningsih jadi curiga. Dia bukan wanita yang bodoh.

Menyadari kesenjangan itu Hanna langsung mengambil segelas air di atas meja. Dengan lembut Hanna membantu bunda untuk meminum sedikit, mencoba mengalihkannya.

"Bunda tidak boleh banyak berpikir." Suara halus Hanna terdengar menenangkan. Ningsih mengangguk.

"Tadi itu Ibu Marlina hanya salah sebut nama. Dia baru saja memberi makan kucing yang bernama Hanna, makanya sampai jadi salah sebut nama." Hanna memberi alasan yang masuk akal.

"Tapi Nak, perasaan bunda mengatakan jika Hanna itu ..."

"Kucing, Bun. Nanti Arimbi bawa Hanna ke sini ya. Bunda harus mengenalnya, biar tidak berpikiran yang aneh lagi." Jelas Hanna.

Semampunya Hanna menyakinkan sang bunda. Untuk masalah nama saja Hanna akan mendapatkan masalah yang berat, karena Sultan membenci jika nama itu masih berkeliaran di rumah. Sungguh! Semaksimal mungkin Hanna memilimasir kesalahan, kalau tidak ingin Sultan meledak-ledak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status