Flashback, lima bulan yang lalu.
Musim dingin. Ottawa, Kanada Elena Hadley duduk tegak di kursinya. Tangannya dengan lembut menggenggam sebuah botol kecil berisi cairan bening yang memancarkan aroma segar dan elegan. Wajahnya memancarkan ketenangan dan keyakinan saat ia menatap Mrs. Davis, seorang wanita dengan penampilan anggun dan profesional, yang duduk di seberangnya. “Terima kasih atas kepercayaan Anda terhadap perusahaan kami, Mrs. Davis. Saya berjanji akan mengolah bibit parfum ini menjadi sesuatu yang tidak hanya mewah, tetapi juga menyegarkan dan memiliki ciri khas tersendiri bagi para konsumen,” ucap Elena dengan tulus, suaranya penuh keyakinan. Mrs. Davis tersenyum tipis, menyilangkan jemarinya di atas meja sambil mengangguk pelan. “Saya pun menantikan hasil akhirnya, Miss Hadley. Saya sangat yakin bahwa bibit parfum dari perusahaan kami memiliki keunggulan dan nilai eksklusif yang tak tertandingi,” jawabnya dengan nada percaya diri. Sejenak, suasana di dalam ruang pertemuan terasa tenang. Beberapa rekan kerja Mrs. Davis yang ikut hadir dalam pertemuan itu juga terlihat puas dengan diskusi yang telah mereka lakukan. Aroma samar dari berbagai ekstrak bunga dan pepohonan dari hutan boreal Kanada yang sebelumnya mereka uji coba masih tercium di udara, menambah nuansa elegan pada ruangan modern dengan dinding kaca besar yang memperlihatkan pemandangan kota di sore hari. Elena tersenyum lembut sambil mengangguk sebagai tanda kesepakatan. “Saya akan memastikan bahwa proyek ini berjalan dengan sempurna. Konsumen tidak hanya akan mendapatkan parfum yang harum, tetapi juga pengalaman emosional yang berkesan dari setiap semprotannya,” tambahnya penuh semangat. Mrs. Davis mengulurkan tangan, dan Elena menyambutnya dengan jabatan erat yang penuh keyakinan. “Kami menaruh harapan besar pada kerja sama ini, Miss Hadley,” ucap Mrs. Davis. “Saya juga, Mrs. Davis. Ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa,” jawab Elena dengan antusias. Setelah berpamitan dengan sopan kepada Mrs. Davis dan seluruh timnya, Elena bangkit dari kursinya dan melangkah keluar dari ruang pertemuan. Saat ia berjalan melewati koridor kantor Natura Davis Ltd., ia menarik napas panjang, membiarkan dirinya meresapi momen keberhasilan negosiasi yang baru saja terjadi.Natura Davis adalah perusahaan global yang dikenal sebagai produsen sabun, sampo, dan pengharum ruangan berkualitas tinggi. Mereka juga memproduksi bibit parfum unggulan yang dijual secara terbatas di berbagai negara. Produk-produk Natura Davis diminati karena bebas dari paraben dan bahan kimia berbahaya, serta menggunakan bahan alami dan organik yang aman dan bermanfaat. Sementara itu, perusahaan tempat Elena bekerja adalah merek parfum ternama yang dikenal akan keharuman mewah dan eksklusif. Sebagai Manajer R&D, Elena bekerja keras untuk memenangkan tender kerja sama dengan Natura Davis, meski harus bersaing dengan banyak perusahaan lain yang juga mengincar bibit parfum unggulan tersebut. Setelah berbagai upaya dan strategi, Elena akhirnya berhasil. Mrs. Davis dan timnya memilih perusahaan Elena sebagai mitra kolaborasi. Kesepakatan ini menjadi pencapaian besar, menandakan pengakuan terhadap kualitas dan visi mereka. Bagi Elena, ini bukan hanya kemenangan profesional, tetapi juga peluang besar untuk menghadirkan inovasi parfum yang lebih eksklusif bagi pecinta wewangian di seluruh dunia. Begitu keluar dari gedung, angin musim dingin sore menyambutnya. Dengan senyum puas di wajahnya, Elena merasa lega dan semakin yakin bahwa proyek ini akan menjadi langkah besar dalam kariernya di industri parfum. Elena melangkah menuju mobilnya, pikirannya masih dipenuhi oleh kegembiraan atas keberhasilannya dalam pertemuan tadi. Ia membuka pintu mobil, tetapi sebelum masuk, ponselnya bergetar di dalam tas. Dilihatnya nama yang muncul di layar: Shannon Winfrey. Elena segera mengangkat telepon dan menaruhnya di dudukan mobil, menyambungkan panggilan ke sistem speaker. Ia menyalakan mesin mobil dan mulai berkendara keluar dari gedung Natura Davis Ltd. “Shannon!” Elena menyapa dengan nada bersemangat. “Aku baru saja keluar dari pertemuan dan tebak apa? Aku berhasil! Natura Davis resmi bekerja sama sebagai pemasok perusahaan kita!” Dari speaker mobil, terdengar suara Shannon yang langsung berseru gembira. “Elena! Serius? Astaga, itu luar biasa! Aku tahu kalau kau pasti bisa meyakinkan mereka. Ini suatu pencapaian besar! Kau telah bekerja keras, darling.” Elena terkekeh, merasa puas dengan reaksinya. “Ya, akhirnya semua kerja keras ini terbayar. Aku tidak sabar untuk mulai proyek ini.” “Aku yakin hasilnya akan luar biasa, seperti biasa,” kata Shannon dengan nada kagum. “Kita harus merayakannya saat kau kembali pulang ke Paris!” Elena tersenyum, tetapi kemudian mengingat sesuatu. “Ah, benar! Shannon, bukankah kau datang ke Kanada besok? Aku ingat kau ada urusan di sini lusa.” Elena mengingat hal itu karena Shannon, yang bekerja sebagai desainer grafis, memiliki janji dengan galeri seni di sana untuk bertemu dengan kurator pameran dan mendiskusikan kemungkinan kolaborasi dalam proyek desain visual mereka. Terdengar helaan napas dari Shannon di ujung telepon sebelum akhirnya ia menjawab dengan nada sedikit muram. “Ah... masalahnya, Elena. Aku tidak bisa datang...” Elena mengernyit. “Kenapa? Apa telah terjadi sesuatu?” Shannon terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan nada penuh kekesalan. “Sean. Dia mengalami kecelakaan saat bekerja.” Elena terkejut. “Tunggu, apa? Kecelakaan? Seberapa parah?” “Beruntungnya dia hanya mengalami beberapa patah tulang saja. Si brengsek itu harusnya bersyukur tidak ada cedera yang lebih serius, tapi tetap saja, aku benar-benar kesal!” Suara Shannon terdengar frustrasi. “Aku sudah bilang berkali-kali kalau pekerjaannya sebagai pembalap motor itu berbahaya! Dan lihat sekarang, dia harus istirahat berminggu-minggu. Jadi aku harus tetap di sini untuk mengurusnya.” Elena menghela napas, memahami perasaan sahabatnya. “Shannon, aku mengerti kamu kesal, tapi yang penting sekarang adalah Sean selamat. Dia hanya butuh waktu untuk pulih.” “Ya, aku tahu...” Shannon menggerutu. “Tapi tetap saja, ini menyebalkan.” Elena tersenyum kecil. “Itu saudara kembarmu, Shannon. Mau sekeras apa pun kamu marah, kamu tetap peduli padanya.” “Hah... ya, kamu benar,” Shannon akhirnya menyerah, suaranya mulai melembut. “Aku hanya frustrasi, Elena. Aku ingin dia berhenti melakukan hal-hal yang bisa mencelakainya, tapi dia keras kepala.” “Itu sudah sifatnya,” kata Elena menenangkan. “Yang bisa kamu lakukan sekarang adalah membantunya pulih.” Shannon menghela napas panjang. “Ya... kau benar. Ngomong-ngomong, karena aku tidak bisa datang, bisakah kau menggantikanku ke galeri seni itu lusa? Kumohon, Elena...” “Tentu,” jawab Elena tanpa ragu. “Aku bisa mengurusnya.” “Terima kasih, bestie. Aku berutang padamu.” Elena tertawa. “Kalau begitu, kau bisa membayarnya dengan mentraktirku makan di restoran mewah saat aku kembali.” Shannon ikut tertawa. “Tidak masalah! Aku akan mentraktirmu di restoran terbaik di Paris. Aku janji!” “Aku pegang janjimu itu,” kata Elena dengan nada main-main. “Baiklah, baiklah,” Shannon terkekeh. “Dan terima kasih sudah mendengar ocehanku tadi.” “Kapan pun, Shannon,” kata Elena tulus. “Titip salamku kepada Sean. Semoga dia cepat pulih.” “Oke, aku harus pergi sekarang. Kita akan bicara lagi nanti!” “Oke, sampai nanti!” Elena menutup telepon, masih tersenyum. Ia merasa puas. Hari ini bukan hanya hari penuh kemenangan, tetapi juga momen yang mengingatkannya betapa pentingnya hubungan dan dukungan dari orang-orang di sekelilingnya. Dengan perasaan ringan, Elena melanjutkan perjalanannya menuju hotel. Saat mobilnya melaju mulus di jalanan Ottawa yang mulai dipenuhi cahaya lampu kota, Elena masih merasakan euforia dari negosiasi penting yang baru saja ia selesaikan. Rasa bangga dan puas atas pencapaian itu masih hangat dalam dirinya. Namun, pikirannya mulai berpindah ke pertemuan selanjutnya di sebuah galeri seni ternama—tanggung jawab baru yang harus ia tangani. Shannon, sahabatnya, telah mempercayakan tugas ini padanya. Meski begitu, Elena sadar bahwa dunia seni bukanlah keahliannya. Ia lebih terbiasa dengan dunia bisnis, angka, dan negosiasi, bukan kanvas dan diskusi tentang makna karya seni. Meski merasa asing, ia tetap bertekad melakukan yang terbaik. Saat berhenti di lampu merah, Elena membuka pesan dari Shannon yang dikirim beberapa jam lalu. Di dalamnya terdapat detail penting soal pertemuan: alamat galeri, nama kurator yang akan ia temui—Mr. Daniel Cartier—dan beberapa catatan tentang proyek yang akan dibahas. Ia membaca cepat poin-poin penting, lalu kembali fokus saat lampu hijau menyala dan mobil kembali melaju menuju hotel. Sesampainya di kamar hotel yang hangat dan tenang, malam telah menyelimuti Ottawa dengan udara dingin khas musim dingin. Elena melepas mantelnya, menyalakan lampu di sudut ruangan, lalu duduk sambil membuka laptop. Ia memutuskan mencari tahu lebih banyak tentang Mr. Daniel Cartier. Namanya terdengar familiar, dan rasa penasarannya pun makin besar seiring dengan hasil pencariannya di internet. “Daniel Cartier... Kenapa namanya terdengar familiar?” Setelah beberapa saat menggulirkan layar, ia menemukan bahwa Mr. Daniel Cartier bukanlah sembarang kurator seni, melainkan seorang figur ternama dalam dunia seni yang pernah bekerja di berbagai galeri prestisius, termasuk Galeri Seni Paris, tempat ia dikenal karena pendekatan avant-garde-nya yang inovatif dan penuh keberanian dalam dunia seni visual. Kini, ia bekerja sama dengan Galeri Seni Ottawa, membawa perspektif uniknya ke dalam dunia seni di Kanada. “Ah, pantas saja namanya terasa familiar. Ternyata, beliau adalah kurator di Galeri Seni Paris yang terkenal itu.” Mr. Daniel Cartier adalah seseorang yang dihormati di dunia seni karena kejeliannya dalam menilai sebuah karya. Artinya, Elena harus lebih mempersiapkan diri. Ia tidak bisa datang ke pertemuan besok tanpa setidaknya memahami sedikit tentang cara berpikir orang-orang dalam bidang kesenian. Menemukan fakta tersebut membuat Elena semakin tertarik dan merasa bahwa pertemuannya besok akan menjadi sesuatu yang menarik sekaligus penuh tantangan. Sambil tersenyum kecil, ia meletakkan ponselnya di atas meja dan mengambil segelas anggur merah dari minibar hotel, menikmati setiap tegukan yang perlahan menghangatkan tubuhnya yang mulai lelah. Setelah menyimpan semua informasi penting yang ia temukan, Elena memutuskan untuk memanjakan dirinya dengan berendam air hangat di bathtub kamar hotelnya. Sensasi relaksasi langsung menyelimuti tubuhnya saat ia meresapi kehangatan air yang menenangkan, membiarkan pikirannya beristirahat sejenak setelah berbagai hal yang memenuhi kepalanya sepanjang hari. Setelah berendam, Elena mengenakan jubah mandi dan duduk di sofa dekat jendela kamar hotel. Ia memperhatikan beberapa brosur yang tadi diambil dari lobi, berisi info tentang festival budaya yang sedang berlangsung di kota. Dari sana, ia tahu bahwa Ottawa sedang mengadakan Winterlude, festival musim dingin terkenal yang selalu menarik banyak pengunjung. Karena besok hanya ada satu pertemuan di galeri seni, Elena memutuskan untuk menyempatkan diri mengunjungi festival itu. Brosur menyebutkan berbagai atraksi menarik: pahatan es, arena seluncur di Kanal Rideau, pertunjukan seni, hingga makanan khas musim dingin yang menggoda. “Sepertinya seru. Mumpung di sini, kenapa tidak coba pengalaman barunya,” gumamnya. Dengan semangat baru untuk menjelajah sisi lain Ottawa, Elena menyimpan brosur di meja, lalu merebahkan diri di tempat tidur. Malam ini, ia akan beristirahat dengan tenang—siap menghadapi pertemuan penting besok dan menikmati festival musim dingin yang penuh keseruan.Di sisi lain, seorang pria melangkah mantap menuruni tangga menuju sebuah ruang bawah tanah yang tersembunyi. Langkahnya tenang, penuh percaya diri, seolah ia sudah sangat akrab dengan tempat itu. Dua orang penjaga berkulit hitam, bertubuh tinggi dan berotot, mengikutinya dari dekat dengan sikap waspada. Mereka membawa senjata api yang tergenggam erat di tangan, mata mereka terus mengawasi sekeliling dengan tajam. Sesampainya di ruangan utama bawah tanah, cahaya temaram dari lampu gantung menciptakan bayangan panjang di dinding-dinding lembab yang dingin. Suasana ruangan itu penuh dengan aroma alkohol, asap cerutu, dan jejak-jejak kekuasaan yang sunyi namun mengintimidasi. Di tengah ruangan, seorang pria paruh baya duduk santai diatas sofa kulit gelap yang tampak usang namun masih berkelas. Ia dikelilingi oleh dua perempuan muda yang menemaninya dengan senyum tipis dan pandangan kosong, seolah mereka sekadar bagian dari dekorasi ruangan. Di tangannya tergenggam segelas minuman kera
Tring! Tring! Tring! Suara deringan telepon terus berulang di dalam kamar yang masih gelap. Elena terbangun dengan mata setengah terbuka, ia baru tertidur beberapa jam saja, sambil sedikit memicingkan matanya memfokuskan pandangan ke arah meja di samping tempat tidur. Layar ponselnya menyala dan terus bergetar, menyiratkan urgensi yang tak biasa. Dengan gerakan malas, ia meraih ponsel tersebut. Jam di meja menunjukkan pukul 04:20 dini hari. 'Siapa yang menelepon sepagi ini?’ “Audrey?” gumamnya pelan, membaca nama yang tertera di layar. ‘Apa telah terjadi sesuatu?’ Hatinya berdesir. Ia segera melepaskan diri dari pelukan Ren yang masih tertidur lelap di sampingnya, lalu berjalan keluar kamar agar tak mengganggunya. Begitu sampai di lorong, ia menekan tombol hijau di layar dan menjawab panggilan. “Halo, Audrey?” —“Miss Hadley, gawat...” Suara tercekat dan napas tersengal Audrey langsung menyergap telinga Elena, penuh kepanikan dan ketakutan. Firasat buruk langsung menyelimuti
Elena masih terengah-engah, tubuhnya lemas setelah orgasme yang begitu intens. Matanya yang berkaca-kaca menatap Ren dengan campuran kepuasan dan keinginan yang belum sepenuhnya terpuaskan. “Ren...” desisnya, suaranya serak. “Kau benar-benar menyiksaku tadi.” Ren hanya tersenyum, matanya gelap oleh nafsu yang masih membara. La melangkah mendekati Elena, tangannya yang besar meraih paha wanita itu, membelai kulitnya yang halus dengan sentuhan penuh kepemilikan. “Kau suka itu, bukan?” bisiknya, jari-jarinya perlahan menyusuri celah basahnya yang masih berdenyut. “Kau bahkan lebih basah sekarang.” Elena mengerang saat Ren menyentuh klitorisnya yang sensitif, tubuhnya langsung bereaksi meski baru saja mencapai puncak. “Ngh... Ren, jangan disentuh... aku masih sensitif...” Tapi Ren mengabaikan permintaannya. Kali ini, ia tidak berniat menggoda lebih lama. Gairahnya sendiri sudah terlalu tinggi untuk ditahan. Dengan gerakan cepat, pria itu membuka celananya, membebaskan ereksi
"Kau harus buka kakimu lebih lebar lagi, Elena." Ren mengamati dengan tatapan penuh nafsu saat Elena duduk di atas meja, tubuhnya telanjang bulat, pahanya terbuka lebar, memperlihatkan bagian paling intimnya dengan vulgar. Lubang kewanitaannya yang basah terbuka dan menutup seperti mencoba menyedot sesuatu, mengungkapkan kelembaban yang sudah mulai mengkilat di antara celahnya. Ren menggigit bibir bawahnya, menahan keinginan untuk langsung menyentuh, memuaskan dirinya dengan menggambar setiap lekuk tubuh Elena yang memanas. Plak! Tamparan keras mendarat di paha bagian dalam Elena, membuatnya menggeliat. “Akh-!” suaranya tercekik, tapi bukan karena sakit, justru sebaliknya. Sensasi panas dari pukulan itu menyebar, membuat lubangnya semakin berdenyut, mengeluarkan lebih banyak lagi cairan yang membuat celah lubangnya semakin licin. “Lebih lebar,” Ren mendesak, suaranya berat dan penuh kendali. “Aku ingin melihat semuanya. Setiap lipatan, setiap tetes yang keluar dari dirimu.
Ren mencondongkan tubuhnya, membiarkan ujung penisnya yang tegang dan besar menggesek lembut bibir vagina Elena yang masih basah dan berdenyut setelah orgasmenya. Sentuhan pertama itu mengirimkan aliran listrik ke seluruh tubuh Elena, membuatnya kembali mendesah lirih, menantikan penyatuan yang lebih dalam dan memuaskan. “Ugh... Ren...cepatlah.” Tuntut Elena dengan berani. Mendengar tuntutan Elena yang penuh hasrat, seringai liar terukir di bibir Ren. Tanpa menunggu lebih lama, pria itu meraih pinggul Elena, mengangkatnya sedikit, dan dengan satu gerakan mantap, menusukkan kejantanannya yang keras dan berdenyut ke dalam vagina Elena yang sudah basah dan siap menerimanya. “Aaakh…” Elena kembali menjerit, kali ini bercampur antara rasa penuh dan nikmat yang luar biasa. Ia merasakan kejantanan Ren yang besar mengisi seluruh rongga vaginanya, meregangkan dinding-dindingnya dengan sempurna. Ren terdiam sejenak, membiarkan Elena menyesuaikan diri dengan kehadirannya. Dia bisa merasa
Ren mengangkat tubuh Elena dengan sigap, mendudukkannya di atas batu yang lebih tinggi hingga kedua pahanya terbuka lebar. Gerakan tiba-tiba itu membuat Elena sedikit terkejut, namun ia dengan cepat menyadari maksud Ren yang ingin kembali memanjakannya dengan sentuhan intim pria itu. Namun, sebelum Ren dapat mencondongkan tubuhnya dan menghisap area sensitif di antara paha dalam Elena, ia dengan cepat menahan kepala Ren dengan kedua tangannya. “Tunggu!” sergah Elena, meskipun napasnya masih tersengal-sengal akibat gejolak hasrat yang belum sepenuhnya mereda. Ren mengerutkan kening, tampak bingung dengan penolakan tiba-tiba itu. “Kenapa? Apa ada yang salah?” tanyanya dengan suara serak, matanya menatap Elena penuh tanya. Elena menelan ludah, merasakan sedikit gugup sekaligus berdebar-debar. Selama ini, dalam setiap momen keintiman mereka, Ren selalu menjadi pihak yang memberikan kenikmatan padanya. Ia selalu dimanja dengan sentuhan, ciuman, dan penetrasi yang membuatnya mencapa