Udara pagi di Ottawa terasa segar, dingin, dan penuh semangat. Cahaya matahari musim dingin yang samar memantul di atas salju yang menutupi trotoar, menciptakan suasana yang hampir magis. Di dalam kamar hotelnya, Elena telah bersiap-siap untuk menikmati hari yang sudah lama ingin ia rasakan kembali—hari tanpa pekerjaan, tanpa tekanan, hanya dirinya sendiri dan kesenangan sederhana menikmati festival musim dingin terbesar di kota ini, Winterlude.
Ia melilitkan syal hangat di lehernya, memastikan jaket tebalnya telah menutup tubuhnya dengan sempurna. Rambut merahnya sengaja ia biarkan terurai agar lehernya tetap hangat, sementara topi dan penutup telinga menambah perlindungan dari angin dingin yang berembus. Sepasang sarung tangan tebal ia kenakan sebelum mengambil tas kecilnya dan memeriksa bahwa semua yang ia butuhkan sudah dibawa. "Oke, ini sudah cukup hangat. Karena aku akan berada di luar seharian, jadi lebih baik tidak kedinginan," gumamnya sambil memeriksa dirinya sekali lagi. “Baiklah, hari ini khusus jadwalnya bersenang-senang,” tambahnya dengan senyum kecil. Keluar dari hotel, Elena segera mencari kendaraan pesanannya. Jalanan terlihat lebih sibuk dari biasanya, tak mengherankan karena ini adalah hari pertama Winterlude dan bertepatan dengan akhir pekan. Orang-orang berbondong-bondong menuju festival, siap menikmati atraksi musim dingin yang hanya hadir sekali dalam setahun. Ia bersyukur telah memutuskan untuk tidak membawa mobil sendiri karena pastilah sulit menemukan tempat parkir di tengah keramaian ini. Ia memesan kendaraan melalui aplikasi dan menunggu di depan hotel. Mobil yang dipesannya tiba, dan ia segera masuk, menikmati kehangatan dari mesin penghangat dalam mobil. “Good morning,” sapa Elena kepada pengemudi. “Good morning, Miss,” kata sopir itu ramah. “Tujuan ke Kanal Rideau, benar?” “Ya, benar. Sepertinya akan sangat ramai hari ini,” jawab Elena sambil tersenyum. “Pastinya. Ini hari pertama festival diselenggarakan, dan juga akhir pekan. Orang-orang dari luar kota bahkan datang hanya untuk Winterlude,” kata sopir sambil menjalankan mobil dengan hati-hati di tengah kemacetan. Elena menatap keluar jendela, melihat deretan toko dan gedung yang tertutup lapisan tipis salju. Ia mengingat kapan terakhir kali ia bermain ice skating. ‘Sudah berapa tahun sejak terakhir kali aku bermain skating?’ pikirnya, mengingat kembali kapan terakhir ia benar-benar meluangkan waktu untuk sesuatu yang ia sukai. ‘Dua tahun? Mungkin lebih.’ Kesibukan kerja selalu menjadi alasan. Namun, hari ini berbeda. Hari ini, ia ingin menikmati semuanya tanpa terburu-buru. Ia menghela napas. ‘Liburan ini adalah waktu yang tepat untuk menikmati sesuatu yang menyenangkan tanpa memikirkan negosiasi atau pekerjaan,’ katanya dalam hati. Sesampainya di Kanal Rideau, Elena segera menyadari bahwa prediksinya benar—tempat ini penuh sesak dengan orang-orang. Keluarga, pasangan, dan kelompok teman tumpah ruah di sekitar kanal, beberapa tengah menyewa perlengkapan, yang lain sudah meluncur di atas es dengan ekspresi penuh kegembiraan. Dengan sabar, ia mengantre untuk menyewa sepatu skating. Saat akhirnya mendapatkan perlengkapannya, ia berjalan ke tepi kanal, menarik napas panjang, lalu tersenyum. "Akhirnya," ucapnya pelan, merasakan antusiasme yang sudah lama tidak ia rasakan. Ia duduk di bangku panjang, melepas sepatu botnya, dan menggantinya dengan sepatu skating. Saat tali sepatu terikat sempurna, Elena berdiri, menguji keseimbangan tubuhnya sejenak sebelum melangkah ke permukaan es. Dengan gerakan ringan, ia mulai meluncur, membiarkan tubuhnya mengikuti aliran gerakan alami yang perlahan kembali ia ingat. Udara dingin menerpa wajahnya, tetapi ia tidak peduli. Sensasi meluncur di atas es membuatnya merasa bebas, seolah semua beban pikirannya menghilang begitu saja. Ia berputar dengan lincah, menikmati kesendiriannya di tengah keramaian. Sesekali, ia berhenti sejenak, mengeluarkan ponselnya untuk mengabadikan momen. Ia mengambil beberapa foto—pemandangan kanal yang dipenuhi skater, pahatan es yang megah di sepanjang tepiannya, dan bahkan swafoto dirinya sendiri dengan senyum puas di wajah. Tanpa ragu, ia mengirim beberapa foto itu ke Shannon. —[Kau harus melihat ini. Mungkin lain kali kau bisa datang bersamaku.] tulisnya dalam pesan singkat sebelum kembali meluncur. Di sekelilingnya, suara tawa anak-anak terdengar memenuhi udara, menciptakan suasana hangat di tengah musim dingin. Elena memperhatikan sekelompok anak kecil yang baru belajar bermain skating, tertawa-tawa saat mereka jatuh dan mencoba bangkit kembali. “Gemasnya,” gumam Elena tanpa sadar melihat tingkah laku mereka yang lucu. Elena terus menikmati waktunya di atas es, membiarkan dirinya tenggelam dalam kegembiraan sederhana. ❀❀❀❀❀ Langit mulai berubah warna, menciptakan gradasi indah antara jingga dan kebiruan yang membentang luas di atas arena skating. Udara dingin yang menggigit kulit bercampur dengan suara tawa riang, musik festival, serta bunyi benturan sepatu skating yang bergesekan dengan es. Elena mengembuskan napas pelan, uap hangat keluar dari bibirnya saat ia meluncur dengan lincah, menikmati setiap momen kebebasan yang jarang ia rasakan. Hari ini benar-benar hari yang menyenangkan baginya. Sebagai seseorang yang selalu sibuk dengan pekerjaan dan tuntutan profesionalisme, momen seperti ini terasa begitu berharga. Ia bisa merasakan otot-otot tubuhnya bekerja, membiarkan pikirannya pergi bebas tanpa memikirkan target atau tenggat waktu yang menekannya setiap hari seperti saat berada di kantor. Meskipun di sekelilingnya banyak pasangan dan keluarga yang berlibur menikmati festival bersama orang-orang terkasih, Elena tidak merasa terganggu dengan kesendiriannya. Justru, ia merasa lebih bebas dan bisa menikmati waktunya tanpa perlu berbagi fokus dengan siapa pun. Sejak menjabat sebagai Manajer R&D di perusahaan parfum ternama, kesempatannya untuk bersantai dan menikmati liburan menjadi semakin langka. Namun, Elena tahu bahwa setiap kebahagiaan kecil dalam hidup harus dinikmati sebaik mungkin—dan ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menikmati sore ini tanpa gangguan. Di tengah keramaian yang semakin padat, Elena mulai memperlambat lajunya. Ia berniat mengembalikan sepatu skating-nya dan mencari sesuatu yang hangat untuk mengisi perut. Namun, untuk bisa keluar dari area ini, ia harus melewati lautan manusia yang seakan tak ada habisnya. Dengan penuh kehati-hatian, ia menyelinap di antara orang-orang, mencoba mencari celah agar bisa menepi tanpa harus bertabrakan dengan siapa pun. Tetapi, meskipun ia sudah berusaha semaksimal mungkin, keramaian ini membuatnya kesulitan bergerak dengan leluasa. Saat akhirnya berhasil mencapai area yang sedikit lebih lapang, Elena mulai menambah kecepatan. Ia berkonsentrasi penuh, memastikan keseimbangan tubuhnya tetap stabil sambil meluncur menuju tempat persewaan sepatu. Namun, di saat yang bersamaan, tiba-tiba dari arah belakang, ia merasakan sebuah tabrakan kuat menghantam tubuhnya. “Aduh!” Elena kehilangan keseimbangan seketika. Dengan cepat, gravitasi menariknya ke bawah, membuatnya tersungkur dan meluncur terduduk di atas permukaan es yang dingin. Benturan itu tidak terlalu keras, tetapi cukup membuatnya terkejut. Sambil mengerutkan dahi, Elena menoleh ke belakang, mencari tahu siapa yang telah menabraknya tanpa peringatan. “Siapa yang—oh?” Di hadapannya, seorang anak kecil—berusia sekitar tujuh tahun—berdiri dengan wajah penuh ketakutan, air mata menggenang di pelupuk matanya. Bocah itu tampak begitu panik, seakan takut akan konsekuensi dari perbuatannya. Namun, alih-alih meminta maaf atau membantu Elena, anak itu justru berbalik dan segera berlari menjauh, menghilang di tengah keramaian. “Hei!” Teriak Elena kesal. ‘Sial, bocah itu bahkan tidak meminta maaf.” Elena mengerjapkan mata, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, tiba-tiba sebuah tangan kuat meraih lengannya dengan sigap, mengangkatnya kembali ke posisi berdiri. “Saya meminta maaf atas kejadian tadi, Miss.” Suara pria yang dalam dan tenang terdengar di telinganya. “Keponakan saya tidak sengaja mendorong Anda. Saya harap Anda tidak terluka.” Elena nyaris tidak sempat merespons. Begitu ia mendongak untuk melihat wajah pria yang baru saja membantunya berdiri, sosok itu sudah melesat pergi dengan cepat, mengikuti arah tempat anak kecil tadi berlari. “Jason!” teriak pria itu lantang. Ia hanya sempat melihat sekilas siluetnya—tinggi, tegap, dengan gerakan yang lincah dan percaya diri di atas es. Dan kemudian, hanya dalam hitungan detik, pria itu telah menghilang. Namun, yang mengejutkan Elena bukan hanya peristiwa itu, melainkan sesuatu yang jauh lebih tak terduga. ‘Aroma ini...’ "Hei, tunggu!" Aroma yang tertinggal dari pria itu begitu kuat, memenuhi udara di sekitarnya seperti jejak tak kasatmata. Sebagai ahli parfum, indra penciuman Elena sangat tajam. Ia bisa mengenali ratusan aroma hanya dalam hitungan detik. Dan kali ini, aroma itu mengejutkannya. Wewangian segar, maskulin—seperti dedaunan yang terkena sinar matahari musim panas. Hangat, bersih, dan alami. “Ini adalah aroma yang aku inginkan.” Elena terdiam, terkejut oleh kesadaran itu. Selama berbulan-bulan ia mencari inspirasi untuk parfum edisi musim panas. Ia ingin aroma yang unik—mewah tapi tetap terasa bebas dan alami. Namun belum ada satu pun yang benar-benar pas. Dan sekarang, di tengah dinginnya musim salju, ia menemukannya. Bukan dari laboratorium, bukan dari sampel parfum—melainkan dari seorang pria asing yang bahkan belum sempat ia lihat jelas. Elena tak bisa membiarkannya pergi begitu saja. Ia langsung meluncur mengikuti arah pria itu. Namun keramaian festival menghambat langkahnya. Anak-anak berlarian, suara musik dan tawa bercampur, membuat pencariannya semakin sulit. “Kemana perginya pria itu.” Matanya menyapu arena skating dengan penuh harap. Tapi beberapa menit berlalu, dan pria itu tak terlihat lagi. Ia menghela napas, berdiri diam di tengah keramaian dengan napas terengah. “Haa...haaa... Sial, dia menghilang.” Frustrasi mulai muncul. Ia tak tahu siapa pria itu, di mana mencarinya, atau apakah ia bisa menemukan aroma itu lagi. Tapi satu hal pasti—aroma itu tidak bisa ia lupakan. Itu bukan hanya wewangian biasa. Itu bisa jadi kunci untuk menciptakan parfum luar biasa. Elena menatap sekeliling, mengabaikan keramaian festival. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal: aroma pria itu. Ia menarik napas panjang, berusaha tenang. Ia tahu, aroma seunik itu tidak sering datang. Dan ia tidak bisa kehilangannya begitu saja. “Mungkin saja mereka telah keluar dari area skating,” gumamnya dengan positif. Dengan cepat, Elena meluncur keluar arena skating. Jika pria itu mengejar keponakannya, mereka mungkin menuju area yang lebih sepi. Ia melepas sepatu skating-nya, mengenakan boots, lalu bergegas keluar. Udara dingin langsung menyambutnya. Ia merapatkan mantel, menyapu area festival dengan pandangan tajam. Lampu hias berkelap-kelip di antara kios makanan dan wahana permainan. Namun, tak ada tanda-tanda pria itu. “Haa... Tetap tidak menemukan mereka. Semoga bertemu dengan mereka di tempat lain.” Elena menggigit bibirnya, frustasi. Sekarang, ia hanya punya satu tujuan—menemukan pria itu.Seperti yang telah dikatakan Ren sebelumnya, masakan Mrs. Hans memang luar biasa. Bahkan dari aromanya saja sudah tercium harum dari makanan yang di atas meja makan, memadukan wangi gurih daging panggang yang masih hangat dengan aroma rempah yang kaya dan mengundang. Perut Elena sontak berbunyi pelan karena lapar, nyaris tak terdengar tapi cukup membuat pipinya memerah malu. Ia menatap Ren sekilas, lalu tertawa kecil, merasa tak sabar untuk mencicipi apapun yang sedang dimasak oleh tangan ajaib Mrs. Hans. Dibenaknya, ia sudah membayangkan hidangan rumahan yang menggoda selera, lengkap dengan roti hangat dan sup kental yang mengepul. Kehadiran aroma-aroma itu seakan menjadi sambutan pribadi yang hangat, bukan hanya dari dalam mansion itu, tetapi juga dari kehidupan baru yang mulai ia jalani di sini. Mrs. Hans, seorang wanita paruh baya dengan rambut disanggul rapi dan senyum hangat di wajahnya, segera keluar. Mrs. Hans menyambut Ren dan Elena dengan antusias, seperti menyambut kel
Elena menarik napas dalam-dalam, menikmati segarnya udara pagi. Udara yang sejuk membuat pikirannya terasa lebih tenang. Hari ini adalah awal liburan yang sudah lama ia tunggu, dan ia akan menjalaninya bersama Ren. Ia tersenyum kecil, membayangkan berbagai momen menyenangkan yang akan mereka lalui bersama. “Apa semua barangmu sudah masuk?” tanya Ren sambil memasukkan barang ke dalam bagasi mobil. Elena menoleh dan mengangguk. “Sudah. Tinggal tas kecil ini.” Ia menyerahkan tasnya pada Ren. Ren meletakkannya di dalam bagasi, lalu menutupnya rapat. “Oke, semua sudah siap. Kita bisa berangkat.” Mereka masuk ke dalam mobil. Ren menyalakan mesin, dan musik lembut mulai terdengar. Suasana pagi terasa tenang dan menyenangkan. Hari ini, mereka akan melakukan perjalanan keluar dari Ottawa menuju sebuah desa kecil yang tenang di Quebec. Tempat tujuan mereka bukan kota besar, melainkan sebuah desa yang menawarkan suasana damai, pemandangan alam yang indah, dan ketenangan khas pedesaan. “Apa
Mereka tiba di rumah sedikit lebih malam dari rencana semula. Perjalanan pulang memakan waktu lebih lama karena mereka sempat mampir untuk membeli perlengkapan liburan, beberapa pakaian berenang, tabir surya, dan camilan. Mobil berhenti perlahan di depan rumah. Langit mulai gelap, hanya tersisa cahaya oranye dari matahari yang hampir tenggelam. Ren turun lebih dulu dan membuka bagasi, mengangkat beberapa kantong belanja. “Banyak sekali yang kita beli,” kata Elena sambil ikut turun dari mobil. Ia mengambil dua kantong lainnya. Ren menoleh dan tersenyum. “Kau bilang harus siap untuk segala kemungkinan. Termasuk kalau tiba-tiba mau berenang di danau.” Elena tertawa kecil. “Kupikir kau akan menolak beberapa pilihanku tadi.” “Aku hanya ingin kau nyaman. Dengan melihat raut wajah betapa senangnya dirimu berbelanja tadi... menyenangkan juga,” balas Ren sambil menutup bagasi mobil. Mereka berjalan berdampingan ke pintu rumah. Suasana terasa tenang, hanya terdengar suara kantong belanj
“Apa Anda baik-baik saja, Miss Hadley?” tanya Audrey dengan nada khawatir. Wanita itu melirik Elena yang tampak lelah, sembari menyerahkan dokumen yang baru saja diperiksa. “Sejak tadi Anda terlihat tidak seperti biasanya… apakah Anda kurang sehat?” Elena menggeleng pelan, tersenyum tipis meski sorot matanya tampak sayu. “Aku tidak apa-apa, hanya sedikit kelelahan.” Sejak pagi, tubuhnya memang terasa letih. Sisa dari malam sebelumnya masih terasa di otot-ototnya, malam panjang yang mereka habiskan dalam kehangatan dan kedekatan penuh gairah. Setelah percakapan mendalam yang menenangkan hati, Ren tak membiarkannya pergi begitu saja. Lelaki itu mencurahkan perasaannya dengan cara lain: lewat sentuhan, belaian, dan kecupan yang tak henti-hentinya mengusik batas kendali Elena. Ren tetap menunjukkan kasihnya melalui kelembutan yang intens. Pria itu seolah bisa membaca setiap sisi bagian sensitif dari tubuhnya seperti lembaran kanvas kosong yang menyapunya dengan sentuhan halus penuh ran
Elena menutup matanya sejenak, membiarkan semua yang baru saja mereka bagi tenggelam dalam keintiman malam. Lalu, perlahan ia berbalik, kini menghadap Ren sepenuhnya. Wajah mereka hanya terpaut beberapa inci, dan cahaya bulan yang menyelinap masuk mempertegas garis lembut di wajah Ren, lelaki yang kini bukan lagi hanya sebuah misteri dalam mimpinya. "Apakah kau akan kembali ke Paris setelah satu bulan?" tanya Ren, suaranya terdengar pelan dengan nada yang mengandung ketidakrelaan. "Ya," jawab Elena sambil mengangguk pelan. "Itu pun jika seluruh pekerjaan di sini bisa diselesaikan tepat waktu dan tidak ada kendala yang berarti." Ren tidak langsung membalas. Pria itu hanya diam, sementara jemarinya perlahan memainkan helaian rambut Elena dengan gerakan lembut, seolah berusaha menenangkan kegelisahan yang diam-diam tumbuh di antara mereka. Setelah beberapa saat, Ren kembali bersuara. "Menurutmu… apakah kita bisa menjalani hubungan jarak jauh dengan baik?" Elena menatap mata Ren, men
Cahaya bulan yang lembut masuk lewat jendela, menerangi kamar dengan sinar temaram. Di atas tempat tidur, Ren memeluk Elena dari belakang. Tubuh mereka masih hangat setelah keintiman malam mereka. Malam terasa sunyi. Hanya suara burung hantu dari kejauhan dan angin yang berhembus pelan di luar jendela. Elena menggenggam tangan Ren yang melingkar di pinggangnya, erat, seolah tak ingin melepaskan Mereka tidak berbicara. Diam itu cukup. Dalam pelukan itu, mereka merasa tenang—seolah dunia hanya milik mereka berdua. Elena terus memainkan jemari Ren. Ia menyentuhnya pelan, menggulirkan jari di sepanjang telapak tangan itu. Sesekali ia meremasnya lembut, lalu meluruskan jari-jarinya satu per satu. Tangannya terasa hangat dan tenang. Elena seperti menemukan rasa nyaman hanya dengan menggenggamnya. Elena membuka mulutnya, hendak mengajukan sebuah pertanyaan kepada pria di sebelahnya. “Apa kau bisa menceritakan sesuatu tentang dirimu?” tanyanya sambil membalikkan kepala, menatap pria it
"Percayalah... jangan takut, Elena," bisik Ren lembut di kening Elena yang sedikit berkeringat, bibir pria itu mengecupnya dengan penuh kasih sayang. Ia merasakan tubuh Elena yang menegang di bawahnya dan berusaha memberikan ketenangan. "Aku akan melakukannya dengan perlahan, selembut mungkin. Percayalah padaku." Ren menatap mata Elena dalam-dalam, mata pria itu menyiratkan kejujuran yang mendalam. "Kau tahu, mungkin dalam mimpi-mimpi liar kita, kita sudah melakukan banyak hal hingga keintiman yang paling vulgar sekalipun. Tapi, menyentuhmu seperti ini, dan melakukan hubungan seksual adalah pengalaman pertama yang sesungguhnya bagiku juga, Elena. Kau adalah yang pertama bagiku untuk melakukan hal seperti ini." Dengan hati-hati, Ren mulai memposisikan penisnya di vagina Elena yang sudah basah. Ujung kepala penisnya yang besar dan keras menyentuh bibir vagina Elena, terasa begitu panas dan mengundang. Ren dengan sengaja menggesekkan kepala penisnya yang licin di se
Ren melepaskan tautan bibirnya dari puting Elena yang memerah, meninggalkan jejak basah yang berkilauan. Tanpa jeda, kepalanya merendah terus menurun, napas pria itu terasa panas menerpa kulit perut Elena yang menegang. “Ah!” Seru Elena dengan kaget, akibat tindakan pria itu. Tangan Ren telah membuka lebar kedua paha Elena yang gemetar, memperlihatkan dengan lebih jelas lubang basah miliknya yang sudah berdenyut tak sabar. Lubang vagina Elena terbuka dan tertutup dengan cairan menetes yang keluar dari lubang sempit itu. Mata Ren menggelap oleh hasrat saat ia menatap keindahan yang tersembunyi itu. Elena menutup wajahnya malu, karena dilihat begitu intens oleh Ren. “Cukup melihatnya.” “Sial, kau lebih basah dari sebelumnya,” setelah mengatakan kata-kata cabul tersebut pria itu langsung membenamkan wajahnya di antara lipatan-lipatan lembut yang sudah basah oleh cairan kenikmatan miliknya. Elena menggeliat di bawah sentuh
Dengan perlahan dan hati-hati, Ren membaringkan tubuh telanjang Elena di atas ranjang yang terasa lembut di bawah kulitnya. Namun, ia tidak melepaskan pelukannya. Tubuhnya menindih sebagian tubuh Elena, menahan beratnya di atas kedua lengannya, membiarkan kulit mereka terus bersentuhan dalam kehangatan yang membakar. Tatapan matanya tak pernah lepas dari Elena, seolah ingin mengabadikan setiap ekspresi hasrat yang terpancar dari wajah wanita itu. Udara di sekitar mereka terasa panas, dipenuhi dengan aroma gairah yang tak lagi bisa disembunyikan. Elena merasakan kelembutan sprei di bawah kulitnya yang telanjang, kontras dengan kehangatan tubuh Ren yang menindihnya sebagian. Meskipun begitu dekat, ia menyadari sepenuhnya perbedaan kondisi mereka. Ren masih terbalut pakaian, sementara dirinya benar-benar telanjang. “Kau curang, Ren,” bisik Elena dengan nada merajuk, melihat pria itu masih berpakaian lengkap di atas tubuhnya yang telanjang. Ia mendongak, menatap mata Ren dengan senyum