Share

BAB 3

last update Last Updated: 2025-03-24 15:31:16

Udara pagi di Ottawa terasa segar, dingin, dan penuh semangat. Cahaya matahari musim dingin yang samar memantul di atas salju yang menutupi trotoar, menciptakan suasana yang hampir magis. Di dalam kamar hotelnya, Elena telah bersiap-siap untuk menikmati hari yang sudah lama ingin ia rasakan kembali—hari tanpa pekerjaan, tanpa tekanan, hanya dirinya sendiri dan kesenangan sederhana menikmati festival musim dingin terbesar di kota ini, Winterlude.

Ia melilitkan syal hangat di lehernya, memastikan jaket tebalnya telah menutup tubuhnya dengan sempurna. Rambut merahnya sengaja ia biarkan terurai agar lehernya tetap hangat, sementara topi dan penutup telinga menambah perlindungan dari angin dingin yang berembus. Sepasang sarung tangan tebal ia kenakan sebelum mengambil tas kecilnya dan memeriksa bahwa semua yang ia butuhkan sudah dibawa.

"Oke, ini sudah cukup hangat. Karena aku akan berada di luar seharian, jadi lebih baik tidak kedinginan," gumamnya sambil memeriksa dirinya sekali lagi. “Baiklah, hari ini khusus jadwalnya bersenang-senang,” tambahnya dengan senyum kecil.

Keluar dari hotel, Elena segera mencari kendaraan pesanannya. Jalanan terlihat lebih sibuk dari biasanya, tak mengherankan karena ini adalah hari pertama Winterlude dan bertepatan dengan akhir pekan. Orang-orang berbondong-bondong menuju festival, siap menikmati atraksi musim dingin yang hanya hadir sekali dalam setahun. Ia bersyukur telah memutuskan untuk tidak membawa mobil sendiri karena pastilah sulit menemukan tempat parkir di tengah keramaian ini.

Ia memesan kendaraan melalui aplikasi dan menunggu di depan hotel. Mobil yang dipesannya tiba, dan ia segera masuk, menikmati kehangatan dari mesin penghangat dalam mobil.

“Good morning,” sapa Elena kepada pengemudi.

“Good morning, Miss,” kata sopir itu ramah. “Tujuan ke Kanal Rideau, benar?”

“Ya, benar. Sepertinya akan sangat ramai hari ini,” jawab Elena sambil tersenyum.

“Pastinya. Ini hari pertama festival diselenggarakan, dan juga akhir pekan. Orang-orang dari luar kota bahkan datang hanya untuk Winterlude,” kata sopir sambil menjalankan mobil dengan hati-hati di tengah kemacetan.

Elena menatap keluar jendela, melihat deretan toko dan gedung yang tertutup lapisan tipis salju. Ia mengingat kapan terakhir kali ia bermain ice skating.

‘Sudah berapa tahun sejak terakhir kali aku bermain skating?’ pikirnya, mengingat kembali kapan terakhir ia benar-benar meluangkan waktu untuk sesuatu yang ia sukai. ‘Dua tahun? Mungkin lebih.’

Kesibukan kerja selalu menjadi alasan. Namun, hari ini berbeda. Hari ini, ia ingin menikmati semuanya tanpa terburu-buru.

Ia menghela napas. ‘Liburan ini adalah waktu yang tepat untuk menikmati sesuatu yang menyenangkan tanpa memikirkan negosiasi atau pekerjaan,’ katanya dalam hati.

Sesampainya di Kanal Rideau, Elena segera menyadari bahwa prediksinya benar—tempat ini penuh sesak dengan orang-orang. Keluarga, pasangan, dan kelompok teman tumpah ruah di sekitar kanal, beberapa tengah menyewa perlengkapan, yang lain sudah meluncur di atas es dengan ekspresi penuh kegembiraan.

Dengan sabar, ia mengantre untuk menyewa sepatu skating. Saat akhirnya mendapatkan perlengkapannya, ia berjalan ke tepi kanal, menarik napas panjang, lalu tersenyum.

"Akhirnya," ucapnya pelan, merasakan antusiasme yang sudah lama tidak ia rasakan.

Ia duduk di bangku panjang, melepas sepatu botnya, dan menggantinya dengan sepatu skating. Saat tali sepatu terikat sempurna, Elena berdiri, menguji keseimbangan tubuhnya sejenak sebelum melangkah ke permukaan es. Dengan gerakan ringan, ia mulai meluncur, membiarkan tubuhnya mengikuti aliran gerakan alami yang perlahan kembali ia ingat.

Udara dingin menerpa wajahnya, tetapi ia tidak peduli. Sensasi meluncur di atas es membuatnya merasa bebas, seolah semua beban pikirannya menghilang begitu saja. Ia berputar dengan lincah, menikmati kesendiriannya di tengah keramaian.

Sesekali, ia berhenti sejenak, mengeluarkan ponselnya untuk mengabadikan momen. Ia mengambil beberapa foto—pemandangan kanal yang dipenuhi skater, pahatan es yang megah di sepanjang tepiannya, dan bahkan swafoto dirinya sendiri dengan senyum puas di wajah. Tanpa ragu, ia mengirim beberapa foto itu ke Shannon.

—[Kau harus melihat ini. Mungkin lain kali kau bisa datang bersamaku.] tulisnya dalam pesan singkat sebelum kembali meluncur.

Di sekelilingnya, suara tawa anak-anak terdengar memenuhi udara, menciptakan suasana hangat di tengah musim dingin. Elena memperhatikan sekelompok anak kecil yang baru belajar bermain skating, tertawa-tawa saat mereka jatuh dan mencoba bangkit kembali.

“Gemasnya,” gumam Elena tanpa sadar melihat tingkah laku mereka yang lucu.

Elena terus menikmati waktunya di atas es, membiarkan dirinya tenggelam dalam kegembiraan sederhana.

❀❀❀❀❀

Langit mulai berubah warna, menciptakan gradasi indah antara jingga dan kebiruan yang membentang luas di atas arena skating. Udara dingin yang menggigit kulit bercampur dengan suara tawa riang, musik festival, serta bunyi benturan sepatu skating yang bergesekan dengan es. Elena mengembuskan napas pelan, uap hangat keluar dari bibirnya saat ia meluncur dengan lincah, menikmati setiap momen kebebasan yang jarang ia rasakan.

Hari ini benar-benar hari yang menyenangkan baginya. Sebagai seseorang yang selalu sibuk dengan pekerjaan dan tuntutan profesionalisme, momen seperti ini terasa begitu berharga. Ia bisa merasakan otot-otot tubuhnya bekerja, membiarkan pikirannya pergi bebas tanpa memikirkan target atau tenggat waktu yang menekannya setiap hari seperti saat berada di kantor.

Meskipun di sekelilingnya banyak pasangan dan keluarga yang berlibur menikmati festival bersama orang-orang terkasih, Elena tidak merasa terganggu dengan kesendiriannya. Justru, ia merasa lebih bebas dan bisa menikmati waktunya tanpa perlu berbagi fokus dengan siapa pun. Sejak menjabat sebagai Manajer R&D di perusahaan parfum ternama, kesempatannya untuk bersantai dan menikmati liburan menjadi semakin langka.

Namun, Elena tahu bahwa setiap kebahagiaan kecil dalam hidup harus dinikmati sebaik mungkin—dan ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menikmati sore ini tanpa gangguan.

Di tengah keramaian yang semakin padat, Elena mulai memperlambat lajunya. Ia berniat mengembalikan sepatu skating-nya dan mencari sesuatu yang hangat untuk mengisi perut. Namun, untuk bisa keluar dari area ini, ia harus melewati lautan manusia yang seakan tak ada habisnya.

Dengan penuh kehati-hatian, ia menyelinap di antara orang-orang, mencoba mencari celah agar bisa menepi tanpa harus bertabrakan dengan siapa pun. Tetapi, meskipun ia sudah berusaha semaksimal mungkin, keramaian ini membuatnya kesulitan bergerak dengan leluasa.

Saat akhirnya berhasil mencapai area yang sedikit lebih lapang, Elena mulai menambah kecepatan. Ia berkonsentrasi penuh, memastikan keseimbangan tubuhnya tetap stabil sambil meluncur menuju tempat persewaan sepatu. Namun, di saat yang bersamaan, tiba-tiba dari arah belakang, ia merasakan sebuah tabrakan kuat menghantam tubuhnya.

“Aduh!”

Elena kehilangan keseimbangan seketika.

Dengan cepat, gravitasi menariknya ke bawah, membuatnya tersungkur dan meluncur terduduk di atas permukaan es yang dingin. Benturan itu tidak terlalu keras, tetapi cukup membuatnya terkejut. Sambil mengerutkan dahi, Elena menoleh ke belakang, mencari tahu siapa yang telah menabraknya tanpa peringatan.

“Siapa yang—oh?”

Di hadapannya, seorang anak kecil—berusia sekitar tujuh tahun—berdiri dengan wajah penuh ketakutan, air mata menggenang di pelupuk matanya. Bocah itu tampak begitu panik, seakan takut akan konsekuensi dari perbuatannya. Namun, alih-alih meminta maaf atau membantu Elena, anak itu justru berbalik dan segera berlari menjauh, menghilang di tengah keramaian.

“Hei!” Teriak Elena kesal.

‘Sial, bocah itu bahkan tidak meminta maaf.”

Elena mengerjapkan mata, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, tiba-tiba sebuah tangan kuat meraih lengannya dengan sigap, mengangkatnya kembali ke posisi berdiri.

“Saya meminta maaf atas kejadian tadi, Miss.” Suara pria yang dalam dan tenang terdengar di telinganya. “Keponakan saya tidak sengaja mendorong Anda. Saya harap Anda tidak terluka.”

Elena nyaris tidak sempat merespons. Begitu ia mendongak untuk melihat wajah pria yang baru saja membantunya berdiri, sosok itu sudah melesat pergi dengan cepat, mengikuti arah tempat anak kecil tadi berlari.

“Jason!” teriak pria itu lantang.

Ia hanya sempat melihat sekilas siluetnya—tinggi, tegap, dengan gerakan yang lincah dan percaya diri di atas es.

Dan kemudian, hanya dalam hitungan detik, pria itu telah menghilang.

Namun, yang mengejutkan Elena bukan hanya peristiwa itu, melainkan sesuatu yang jauh lebih tak terduga.

‘Aroma ini...’

"Hei, tunggu!"

Aroma yang tertinggal dari pria itu begitu kuat, memenuhi udara di sekitarnya seperti jejak tak kasatmata.

Sebagai ahli parfum, indra penciuman Elena sangat tajam. Ia bisa mengenali ratusan aroma hanya dalam hitungan detik.

Dan kali ini, aroma itu mengejutkannya.

Wewangian segar, maskulin—seperti dedaunan yang terkena sinar matahari musim panas. Hangat, bersih, dan alami.

“Ini adalah aroma yang aku inginkan.”

Elena terdiam, terkejut oleh kesadaran itu.

Selama berbulan-bulan ia mencari inspirasi untuk parfum edisi musim panas. Ia ingin aroma yang unik—mewah tapi tetap terasa bebas dan alami. Namun belum ada satu pun yang benar-benar pas.

Dan sekarang, di tengah dinginnya musim salju, ia menemukannya. Bukan dari laboratorium, bukan dari sampel parfum—melainkan dari seorang pria asing yang bahkan belum sempat ia lihat jelas.

Elena tak bisa membiarkannya pergi begitu saja. Ia langsung meluncur mengikuti arah pria itu.

Namun keramaian festival menghambat langkahnya. Anak-anak berlarian, suara musik dan tawa bercampur, membuat pencariannya semakin sulit.

“Kemana perginya pria itu.”

Matanya menyapu arena skating dengan penuh harap. Tapi beberapa menit berlalu, dan pria itu tak terlihat lagi.

Ia menghela napas, berdiri diam di tengah keramaian dengan napas terengah.

“Haa...haaa... Sial, dia menghilang.”

Frustrasi mulai muncul. Ia tak tahu siapa pria itu, di mana mencarinya, atau apakah ia bisa menemukan aroma itu lagi.

Tapi satu hal pasti—aroma itu tidak bisa ia lupakan.

Itu bukan hanya wewangian biasa. Itu bisa jadi kunci untuk menciptakan parfum luar biasa.

Elena menatap sekeliling, mengabaikan keramaian festival. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal: aroma pria itu.

Ia menarik napas panjang, berusaha tenang. Ia tahu, aroma seunik itu tidak sering datang. Dan ia tidak bisa kehilangannya begitu saja.

“Mungkin saja mereka telah keluar dari area skating,” gumamnya dengan positif.

Dengan cepat, Elena meluncur keluar arena skating. Jika pria itu mengejar keponakannya, mereka mungkin menuju area yang lebih sepi.

Ia melepas sepatu skating-nya, mengenakan boots, lalu bergegas keluar.

Udara dingin langsung menyambutnya. Ia merapatkan mantel, menyapu area festival dengan pandangan tajam. Lampu hias berkelap-kelip di antara kios makanan dan wahana permainan.

Namun, tak ada tanda-tanda pria itu.

“Haa... Tetap tidak menemukan mereka. Semoga bertemu dengan mereka di tempat lain.”

Elena menggigit bibirnya, frustasi.

Sekarang, ia hanya punya satu tujuan—menemukan pria itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Seraphine
Lanjut dong thor!
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 111

    Bulan madu. Pulau Bora-bora. Bora Bora menyambut mereka seperti lukisan hidup yang baru selesai diwarnai. Langit biru kobalt, laut laguna berlapis-lapis warna biru pirus, hijau zamrud, dan nila, mengelilingi gunung vulkanik Otemanu yang menjulang megah dengan puncak tersapu awan. Udara hangat dan lembab, beraroma asin segar bercampur harum bunga Tiare Tahiti yang menghiasi sambutan bandara kecil Motu Mute. Mereka menuju resort mewah dengan perahu bermotor yang melaju di atas laguna yang begitu jernih sehingga dasar laut dengan karang dan ikan warna-warni terlihat jelas. Elena memegang erat tangan Ren, matanya takjub menatap sekeliling. Perasaan yang berbeda menyelimutinya: bukan lagi ketegangan atau pencarian, melainkan kedamaian yang mendalam dan kebahagiaan tanpa syarat. “Seperti mimpi,” bisik Elena, menatap Ren. Cahaya matahari sore memantul di wajahnya yang berseri. Ren mencium keningnya. “Apa kamu menyukainya?” Vila mereka adalah sebuah overwater bungalow mewah.

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 110

    SATU TAHUN KEMUDIAN OTTAWA, KANADA Musim semi baru saja menyapa kota, menyapu sisa-sisa dingin dari trotoar, mengganti salju dengan kuntum-kuntum bunga sakura yang perlahan mekar di tepi Sungai Rideau. Di sebuah vila kayu elegan di pinggir danau Gatineau, Elena berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih gading dengan detail renda halus di bahu dan lengan. Rambutnya disanggul longgar, beberapa helai dibiarkan jatuh alami membingkai wajahnya. Di lehernya tergantung liontin kecil berbentuk bulan sabit, warisan dari neneknya yangdk dengan makna baru: bukan lagi simbol kutukan, tapi pelindung ikatan cinta yang kini telah bebas. Suara langkah pelan terdengar dari belakang. Shannon masuk, mengenakan gaun hijau daun zaitun yang menonjolkan warna matanya. “Kau... terlihat seperti sesuatu yang keluar dari puisi musim semi,” katanya sambil tersenyum. Elena membalas senyum itu, wajahnya tenang tapi matanya berkilau. “Terima kasih...” Shannon menyentuh bahunya dengan lembut.

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 109

    Malam semakin pekat, desiran angin berbisik melalui celah-celah jendela tua seolah membawa pesan dari masa silam. Cahaya bulan purnama yang semula menggantung berat kini merayap perlahan, menyentuh lantai kayu vila, menciptakan kolam perak yang dingin. Waktunya semakin dekat. Elena dan Ren berdiri di tengah ruang utama, perapian dan lilin-lilin menjadi saksi bisu. Mereka telah menyapu lantai, menyingkirkan perabot, membuat ruang kosong di bawah jendela besar. Di lantai, mereka menggambar lingkaran besar dengan garam kasar, di dalamnya simbol-simbol aneh yang mereka salin ragu-ragu dari catatan tua Marylin yang terselip di balik rak buku, garis-garis berpotongan, setengah lingkaran, dan titik-titik yang menyerupai konstelasi. Di pusat lingkaran, di atas sehelai kain hitam, belati itu terbaring. Logamnya kini memancarkan cahaya biru pucat yang lebih terang, berdenyut lembut selaras dengan detak jantung Elena. “Siap?” tanya Ren, suaranya serak. Elena mengangguk, napasnya pendek. “K

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 108

    Matahari baru saja mulai terlihat, menebar cahaya lembut ke apartemen Elena yang masih berantakan setelah pergumulan semalam. Ren sudah berdiri di dekat jendela, mengenakan kaus hitam dan celana kargo yang baru saja di belinya, wajahnya serius saat dia mengemas ransel kecil dengan efisien. Jejak-jejak keintiman di lantai kayu. Elena muncul dari kamar mandi, rambutnya masih lembap, membungkus tubuhnya dengan jubah mandi. Matanya langsung tertuju pada Ren dan ranselnya. “Sudah siap?” tanyanya, suaranya sedikit serak. Ren mengangguk, tidak berhenti mengemas. “Sudah. Semakin jauh dari keramaian kota, semakin baik. Tempat yang sunyi... Aku telah menyewa sebuah vila di desa.” Dia melemparkan pandangannya ke belati kuno yang kini terbaring di atas meja kecil antik itu, terbungkus kembali dalam beludru pudar. Logamnya menyerap cahaya pagi, terlihat dingin dan penuh janji berbahaya. Elena berharap semuanya akan berjalan lancar, meski jauh di dalam hatinya, ada ketegangan yang tidak bisa

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 107

    “Di sini,” geram Ren tiba-tiba, tangannya yang besar menekan perut bawah Elena dan mengubah sudutnya sedikit. Dorongan berikutnya-“Ah! REN!” Elena menjerit, matanya membelalak. Ren telah menemukan titik itu, titik rahasia dalamnya yang langsung menyulut api liar. Setiap dorongan berikutnya dengan sengaja menghantam titik G-spotnya, mengikis akal sehatnya. “Lihatlah bagaimana bagian dalamnya mencengkeramku dengan erat,” bisik Ren dengan nafsu, matanya gelap menatap tempat mereka bersatu, menyaksikan bagaimana tubuh Elena menyambutnya, mencengkeram penisnya setiap kali dia menarik. “Sepertinya kau sangat merindukanku.” Tangannya merayap naik, mencubit puting Elena yang sudah keras dan sensitif. Sensasi ganda itu-dorongan dalam yang tepat dan cubitan yang menyengat, membuat Elena menggelepar tak karuan. Batang keras tersebut terus mengenai titik kenikmatannya, seperti kilat panas yang menyambar-nyambar di kegelapan, menghanguskan setiap sisa akal sehat yang masih bertahan. Setiap d

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 106

    Suasana kamar Elena disinari remang-remang lampu jalan Paris yang menyelinap lewat tirai. Ren menurunkannya perlahan di atas ranjang, tubuhnya membayangi Elena seperti perlindungan sekaligus penaklukan. Gaun sutra itu sudah tergelincir hingga pinggang, menyingkapkan bahu dan lekuk tulang selangka yang memikat. Napas Ren memburu saat jemarinya menyusuri garis bahu itu, panas dan gemetar. “Kau sempurna,” gumamnya, suara serak penuh kekaguman yang membuat Elena merinding. Bibirnya menyusuri kembali jejak yang baru saja disentuhnya dimulai dari puncak bahu, turun perlahan ke lekuk leher, lalu berhenti di titik nadi yang berdebar kencang. Setiap ciuman terasa seperti pengakuan, seperti doa. Elena mengerang lemah saat tangan Ren merambat ke punggungnya, menyelesaikan apa yang dimulai resleting itu. Gaun itu akhirnya menyerah, melorot sepenuhnya dan menumpuk di pinggangnya seperti kembang yang layu. Ren menarik napas tajam, memandangi tubuh yang tersingkap dalam cahaya temaram. Lekuk pa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status