Elena masih terpaku di depan lukisan itu, matanya menelusuri setiap detail sapuan kuas yang begitu halus, menciptakan ilusi tekstur kelopak lavender yang seakan-akan bisa ia sentuh. Aroma yang menguar dari kanvas semakin membuatnya tenggelam dalam suasana, membangkitkan kenangan yang selama ini terkubur di sudut pikirannya.
Ia menoleh ke arah Mr. Daniel, yang masih mengamatinya dengan ekspresi penuh kepuasan. “Teknologi seperti apa yang memungkinkan untuk membuat lukisan bisa seperti ini?” tanyanya, suaranya penuh kekaguman sekaligus rasa ingin tahu. Mr. Daniel menyilangkan tangannya di depan dada. “Mr. Rain—pelukis gambar ini, mengembangkan teknik mikroenkapsulasi aroma yang dapat dilepaskan saat ada perubahan suhu atau ketika seseorang bergerak mendekat. Partikel wewangian ini ditanamkan ke dalam pigmen cat khusus yang digunakan oleh para seniman. Hasilnya, lukisan ini tidak hanya berbicara melalui warna dan bentuk, tetapi juga melalui aroma yang membangkitkan emosi dan ingatan.” Elena mengangguk, pikirannya mulai memproses informasi itu dengan cepat. Teknologi ini bisa membuka peluang baru dalam industri seni, pemasaran, bahkan dalam dunia parfum yang sedang ia garap. “Sungguh inovatif,” katanya akhirnya, lalu mengamati beberapa lukisan lain di sekitarnya. “Apakah setiap lukisan milik Mr. Rain di sini memiliki aroma tersendiri?” Mr. Daniel tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja. Mari saya tunjukkan beberapa di antaranya.” Mereka berjalan melewati deretan lukisan lain. Elena berhenti di depan sebuah kanvas besar yang menggambarkan sebuah pantai saat senja, ombaknya bergulung lembut di bawah langit berwarna jingga keemasan. Begitu ia berdiri lebih dekat, aroma air laut yang asin, dicampur dengan sedikit wewangian kayu, musk dan citrus segar, menguar ke udara. Seolah-olah ia benar-benar sedang berdiri di tepi pantai, mendengarkan debur ombak yang menerpa pasir. “Luar biasa,” gumamnya sambil memejamkan mata sesaat, merasakan bagaimana aroma itu membawa pikirannya ke suatu tempat yang jauh lebih hangat dan damai. “Kami ingin menciptakan hubungan emosional yang lebih dalam antara seni dan audiensnya,” jelas Mr. Daniel. “Sama seperti parfum yang bisa membangkitkan kenangan dengan satu hirupan, seni juga bisa melakukannya. Sekarang, bayangkan jika pengalaman ini diterapkan dalam dunia branding parfum. Setiap kemasan atau iklan tidak hanya menunjukkan visual yang indah, tetapi juga membawa aroma yang langsung menghubungkan konsumen dengan emosi tertentu.” Elena tersenyum, merasakan semangat inovasi yang sama mengalir dalam dirinya. “Itulah yang ingin kami ciptakan dengan proyek ini,” katanya penuh keyakinan. “Kami ingin memperkenalkan cara baru bagi orang-orang untuk mengalami dan mengingat parfum brand kami, bukan hanya sebagai sesuatu yang mereka pakai, tetapi sebagai sesuatu yang mereka rasakan secara mendalam.” Mr. Daniel menatapnya dengan penuh apresiasi. “Saya rasa kita sedang melihat awal dari sesuatu yang benar-benar luar biasa, Miss Hadley.” Elena mengangguk, merasa bahwa pertemuan ini bukan sekadar perbincangan bisnis biasa. Ada gairah, ada visi, dan ada kemungkinan yang tak terbatas di depan mereka. Di sudut pikirannya, ia kembali mengingat pria beraroma musim panas yang tidak berhasil ia temukan lagi. Sebuah ide tiba-tiba muncul dalam benaknya—mungkin, suatu hari nanti, ia bisa menciptakan parfum yang menangkap esensi dari aroma itu, dan membiarkan kenangan itu tetap hidup dalam bentuk yang bisa ia hirup kapan saja. Elena menghela napas panjang, membiarkan aroma laut yang menguar dari lukisan itu mengisi paru-parunya sebelum akhirnya kembali berjalan mengelilinginya galeri bersama Mr. Daniel. Tiba-tiba ada sesuatu yang menggelitik pikirannya—sebuah gagasan yang baru mulai terbentuk dalam benaknya. “Mr. Cartier,” katanya sambil menoleh ke pria itu dengan tatapan penuh keyakinan. “Bagaimana jika kita membawa konsep ini lebih jauh?” Mr. Daniel mengangkat alis, tertarik. “Maksud Anda?” Elena mengambil tablet dari dalam tasnya, ujung jarinya menyentuh desain panel interaktif yang sebelumnya mereka diskusikan. “Bagaimana jika lukisan-lukisan ini diubah menjadi sebuah seni digital? Perusahaan kami bisa menciptakan formula wewangian yang identik dengan aroma yang terinspirasi dari setiap lukisan karya Mr. Rain. Dengan begitu, para konsumen brand parfum kami bisa menikmati seni sekaligus aroma yang membuat mereka merasa relaksasi seperti di dalam gambar yang mereka inginkan tersebut. Mereka akan memilih gambar yang sesuai dengan keinginan, dan saat mereka mengeklik gambar tersebut, parfum dengan aroma yang sesuai gambar itu akan langsung disemprotkan.” Mr. Daniel menatap Elena dengan penuh kekaguman, lalu perlahan tersenyum. “Ini lebih dari sekadar pengalaman multisensori. Ini adalah cara baru untuk membuat seni bisa benar-benar dirasakan secara mendalam.” Elena mengangguk, semangatnya semakin membara. “Bayangkan seseorang yang memiliki kenangan indah tentang pantai saat senja, tetapi tidak bisa sering berkunjung ke sana. Dengan konsep ini, mereka bisa memilih lukisan ombak keemasan, lalu mencium aroma laut yang asin dan hangat, membangkitkan kenangan mereka seolah-olah mereka benar-benar berada di sana.” Mr. Daniel menyilangkan tangannya, matanya berbinar karena gagasan yang begitu revolusioner. “Dan ini bisa diaplikasikan ke lebih banyak aspek sebenarnya. Misalnya, pameran yang memungkinkan pengunjung menciptakan parfum mereka sendiri berdasarkan emosi yang mereka rasakan saat melihat lukisan tertentu.” Elena tersenyum lebar. “Atau bahkan koleksi parfum edisi terbatas yang terinspirasi dari seni. Setiap botol parfum bisa memiliki desain eksklusif yang terhubung dengan satu lukisan. Orang-orang bisa memilih wewangian berdasarkan perasaan yang mereka inginkan—ketenangan, kegembiraan, nostalgia—semuanya berdasarkan interaksi mereka dengan seni.” Mr. Daniel menepuk tangannya perlahan, seolah merayakan sebuah ide brilian. “Saya harus mengakui, ini bukan sekadar proyek seni biasa. Ini adalah evolusi dalam cara orang berinteraksi dengan parfum dan seni secara bersamaan.” Elena merasa ini adalah momen yang tepat. “Saya yakin jika kita bisa menggabungkan keahlian Mr. Rain di sini dengan teknologi yang kami miliki, kita bisa menciptakan pengalaman yang belum pernah ada sebelumnya.” Mereka berdua terdiam sejenak. “Saya sangat mengapresiasi ide brilian dari proyek Miss Hadley. Namun, saya perlu mengonfirmasikannya terlebih dahulu kepada Mr. Rain. Beliau adalah seorang pelukis anonim yang tidak ingin terlalu banyak terekspos dalam publikasi.” “Ah... Baiklah. Saya akan meninggalkan proposalnya kepada Anda, Mr. Cartier. Tolong sampaikan kepada Mr. Rain,” Elena meminta tolong kepada Mr. Daniel dengan sopan dan tulus. “Tentu, Miss Hadley. Saya akan memastikan beliau menerima proposal ini dan menyampaikannya dengan sebaik mungkin. Jika ada tanggapan dari beliau, saya akan segera menginformasikannya kepada Anda atau Miss Winfrey.” Elena mengangguk dengan penuh rasa terima kasih. “Saya menghargai bantuan Anda, Mr. Cartier.” Ia melirik sekilas ke arah lukisan-lukisan di sekitarnya, pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai kemungkinan yang bisa terwujud dari proyek ini. Mr. Daniel tersenyum tipis. “Senang bisa menjadi penghubung untuk sesuatu yang berpotensi besar. Jika Mr. Rain tertarik, saya yakin ini bisa menjadi kolaborasi yang luar biasa.” “Terima kasih banyak, Mr. Cartier. Saya pamit undur diri.” Mr. Daniel mengangguk sopan. “Sama-sama, Miss Hadley. Saya akan mengantar Anda keluar.” “Oh! Tidak perlu Mr. Cartier. Saya baik-baik saja sendiri.” Elena tersenyum kecil, lalu melangkah menuju pintu keluar galeri dengan tenang. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sekali lagi ke arah lukisan-lukisan di dalam ruangan itu. Lukisan ladang bunga lavender dengan siluet gadis itu adalah sebuah lukisan yang paling membekas dalam ingatannya. Seperti ada sesuatu dalam karya-karya Mr. Rain yang terasa begitu akrab, begitu dekat, seolah-olah ia sedang membaca kembali halaman-halaman kenangan yang hampir terlupakan. Saat sedang melamun melihat lukisan, tiba-tiba, aroma itu datang lagi. Hangat, manis, dengan sedikit sentuhan citrus yang segar—aroma yang selama ini menghantuinya. Elena menoleh cepat, matanya mencari ke seluruh ruangan. Kali ini, perasaannya lebih kuat. Ia tahu pria itu ada di sini. Namun pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. Apakah ini hanya kebetulan? Atau… apakah pria itu ada di sini, di tempat yang sama dengannya? Ia menghirup udara sekali lagi, mencoba menangkap jejak aroma itu sebelum menghilang sepenuhnya. Dan, aroma itu telah menghilang tanpa bisa menemukan jejak pria itu lagi.Bulan madu. Pulau Bora-bora. Bora Bora menyambut mereka seperti lukisan hidup yang baru selesai diwarnai. Langit biru kobalt, laut laguna berlapis-lapis warna biru pirus, hijau zamrud, dan nila, mengelilingi gunung vulkanik Otemanu yang menjulang megah dengan puncak tersapu awan. Udara hangat dan lembab, beraroma asin segar bercampur harum bunga Tiare Tahiti yang menghiasi sambutan bandara kecil Motu Mute. Mereka menuju resort mewah dengan perahu bermotor yang melaju di atas laguna yang begitu jernih sehingga dasar laut dengan karang dan ikan warna-warni terlihat jelas. Elena memegang erat tangan Ren, matanya takjub menatap sekeliling. Perasaan yang berbeda menyelimutinya: bukan lagi ketegangan atau pencarian, melainkan kedamaian yang mendalam dan kebahagiaan tanpa syarat. “Seperti mimpi,” bisik Elena, menatap Ren. Cahaya matahari sore memantul di wajahnya yang berseri. Ren mencium keningnya. “Apa kamu menyukainya?” Vila mereka adalah sebuah overwater bungalow mewah.
SATU TAHUN KEMUDIAN OTTAWA, KANADA Musim semi baru saja menyapa kota, menyapu sisa-sisa dingin dari trotoar, mengganti salju dengan kuntum-kuntum bunga sakura yang perlahan mekar di tepi Sungai Rideau. Di sebuah vila kayu elegan di pinggir danau Gatineau, Elena berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih gading dengan detail renda halus di bahu dan lengan. Rambutnya disanggul longgar, beberapa helai dibiarkan jatuh alami membingkai wajahnya. Di lehernya tergantung liontin kecil berbentuk bulan sabit, warisan dari neneknya yangdk dengan makna baru: bukan lagi simbol kutukan, tapi pelindung ikatan cinta yang kini telah bebas. Suara langkah pelan terdengar dari belakang. Shannon masuk, mengenakan gaun hijau daun zaitun yang menonjolkan warna matanya. “Kau... terlihat seperti sesuatu yang keluar dari puisi musim semi,” katanya sambil tersenyum. Elena membalas senyum itu, wajahnya tenang tapi matanya berkilau. “Terima kasih...” Shannon menyentuh bahunya dengan lembut.
Malam semakin pekat, desiran angin berbisik melalui celah-celah jendela tua seolah membawa pesan dari masa silam. Cahaya bulan purnama yang semula menggantung berat kini merayap perlahan, menyentuh lantai kayu vila, menciptakan kolam perak yang dingin. Waktunya semakin dekat. Elena dan Ren berdiri di tengah ruang utama, perapian dan lilin-lilin menjadi saksi bisu. Mereka telah menyapu lantai, menyingkirkan perabot, membuat ruang kosong di bawah jendela besar. Di lantai, mereka menggambar lingkaran besar dengan garam kasar, di dalamnya simbol-simbol aneh yang mereka salin ragu-ragu dari catatan tua Marylin yang terselip di balik rak buku, garis-garis berpotongan, setengah lingkaran, dan titik-titik yang menyerupai konstelasi. Di pusat lingkaran, di atas sehelai kain hitam, belati itu terbaring. Logamnya kini memancarkan cahaya biru pucat yang lebih terang, berdenyut lembut selaras dengan detak jantung Elena. “Siap?” tanya Ren, suaranya serak. Elena mengangguk, napasnya pendek. “K
Matahari baru saja mulai terlihat, menebar cahaya lembut ke apartemen Elena yang masih berantakan setelah pergumulan semalam. Ren sudah berdiri di dekat jendela, mengenakan kaus hitam dan celana kargo yang baru saja di belinya, wajahnya serius saat dia mengemas ransel kecil dengan efisien. Jejak-jejak keintiman di lantai kayu. Elena muncul dari kamar mandi, rambutnya masih lembap, membungkus tubuhnya dengan jubah mandi. Matanya langsung tertuju pada Ren dan ranselnya. “Sudah siap?” tanyanya, suaranya sedikit serak. Ren mengangguk, tidak berhenti mengemas. “Sudah. Semakin jauh dari keramaian kota, semakin baik. Tempat yang sunyi... Aku telah menyewa sebuah vila di desa.” Dia melemparkan pandangannya ke belati kuno yang kini terbaring di atas meja kecil antik itu, terbungkus kembali dalam beludru pudar. Logamnya menyerap cahaya pagi, terlihat dingin dan penuh janji berbahaya. Elena berharap semuanya akan berjalan lancar, meski jauh di dalam hatinya, ada ketegangan yang tidak bisa
“Di sini,” geram Ren tiba-tiba, tangannya yang besar menekan perut bawah Elena dan mengubah sudutnya sedikit. Dorongan berikutnya-“Ah! REN!” Elena menjerit, matanya membelalak. Ren telah menemukan titik itu, titik rahasia dalamnya yang langsung menyulut api liar. Setiap dorongan berikutnya dengan sengaja menghantam titik G-spotnya, mengikis akal sehatnya. “Lihatlah bagaimana bagian dalamnya mencengkeramku dengan erat,” bisik Ren dengan nafsu, matanya gelap menatap tempat mereka bersatu, menyaksikan bagaimana tubuh Elena menyambutnya, mencengkeram penisnya setiap kali dia menarik. “Sepertinya kau sangat merindukanku.” Tangannya merayap naik, mencubit puting Elena yang sudah keras dan sensitif. Sensasi ganda itu-dorongan dalam yang tepat dan cubitan yang menyengat, membuat Elena menggelepar tak karuan. Batang keras tersebut terus mengenai titik kenikmatannya, seperti kilat panas yang menyambar-nyambar di kegelapan, menghanguskan setiap sisa akal sehat yang masih bertahan. Setiap d
Suasana kamar Elena disinari remang-remang lampu jalan Paris yang menyelinap lewat tirai. Ren menurunkannya perlahan di atas ranjang, tubuhnya membayangi Elena seperti perlindungan sekaligus penaklukan. Gaun sutra itu sudah tergelincir hingga pinggang, menyingkapkan bahu dan lekuk tulang selangka yang memikat. Napas Ren memburu saat jemarinya menyusuri garis bahu itu, panas dan gemetar. “Kau sempurna,” gumamnya, suara serak penuh kekaguman yang membuat Elena merinding. Bibirnya menyusuri kembali jejak yang baru saja disentuhnya dimulai dari puncak bahu, turun perlahan ke lekuk leher, lalu berhenti di titik nadi yang berdebar kencang. Setiap ciuman terasa seperti pengakuan, seperti doa. Elena mengerang lemah saat tangan Ren merambat ke punggungnya, menyelesaikan apa yang dimulai resleting itu. Gaun itu akhirnya menyerah, melorot sepenuhnya dan menumpuk di pinggangnya seperti kembang yang layu. Ren menarik napas tajam, memandangi tubuh yang tersingkap dalam cahaya temaram. Lekuk pa