Share

BAB 4

last update Last Updated: 2025-03-24 15:33:09

Elena terbangun dengan tubuh yang terasa pegal dan nyeri di hampir setiap sendinya. Ia mengerang pelan, mencoba menggerakkan bahunya yang kaku akibat berjalan terlalu lama di udara dingin semalam.

“Lelahnya… kenapa aku bisa se-nekat itu untuk mengejarnya,” gumamnya sambil mengelus tengkuknya yang tegang.

Setelah berjam-jam mengitari daerah Rideau Canal demi mencari pria misterius beraroma musim panas itu, ia akhirnya harus menerima kenyataan bahwa usahanya sia-sia.

Pria itu tetap tidak ditemukan.

Dengan berat hati, Elena duduk di tepi ranjang, menekan pelipisnya yang sedikit berdenyut. Dingin yang menusuk semalam tampaknya juga meninggalkan efek menggigil pada tubuhnya. Ia melirik jam di meja samping tempat tidur—pukul 06:30 pagi. Masih terlalu pagi untuk seseorang yang baru saja mengalami pencarian panjang yang tak membuahkan hasil.

Namun, hari ini ia tidak bisa berlama-lama berbaring.

“Ayo bangun, Elena! Kamu bukan liburan di sini!” ucapnya pada diri sendiri sambil menarik napas panjang.

Ia memiliki jadwal penting—pertemuan dengan Mr. Daniel Cartier di sebuah galeri seni terkenal di kota ini. Dengan langkah malas, Elena akhirnya bangkit dan menuju kamar mandi, membiarkan air hangat merendam tubuhnya untuk meredakan rasa nyeri.

“Oooh.. Enaknya berendam air hangat,” katanya sambil menyandarkan kepala ke bathtub, membiarkan uap memenuhi ruang kecil itu.

Setelah selesai mandi dan bersiap-siap, ia mengenakan setelan krem elegan yang menonjolkan sisi profesionalismenya. Rambutnya ia tata rapi, dan sedikit riasan natural mempertegas fitur wajahnya. Ia berdiri di depan cermin sejenak, memandangi bayangannya sendiri.

“Kamu bisa melakukan ini,” katanya pelan. “Ayo fokus dengan pekerjaan hari ini, Elena!” Ia menyemangati dirinya sendiri di depan cermin.

Setelah memastikan semua berkas penting sudah tersimpan dalam tasnya, Elena bergegas keluar dari hotel

❀❀❀❀❀

Saat tiba di depan bangunan tempat pertemuannya hari ini, Elena berhenti sejenak. Matanya menelusuri setiap detail arsitektur gedung megah itu. Pilar-pilar tinggi berdiri kokoh di bagian depan, jendela-jendela besar berbingkai kayu memperlihatkan sebagian interior, dan ornamen bergaya Eropa menghiasi fasadnya. Meski bernuansa klasik, sentuhan modern terasa lewat penggunaan kaca dan logam, menciptakan keseimbangan antara masa lalu dan masa kini.

Elena menarik napas dalam, membiarkan udara dingin memenuhi dadanya sebelum menghembuskannya perlahan. Jantungnya sedikit berdebar. Ia bukan tipe yang mudah gugup, tapi ada sesuatu dari tempat ini—entah suasananya, atau pertemuan yang akan ia hadapi—yang membuatnya sedikit gelisah.

“Tenang saja,” bisiknya pada diri sendiri. “Ini cuma pertemuan biasa. Profesional.”

Dengan langkah mantap, ia melangkah masuk. Pintu besar dari kayu mahoni tertutup perlahan di belakangnya.

Begitu masuk, suasana tenang langsung menyambutnya. Pencahayaan lembut menciptakan kesan magis dan dramatis, menyoroti karya seni di dinding dan pijakan khusus. Lukisan-lukisan terpajang rapi, memperlihatkan detail yang mungkin terlewat dengan pencahayaan biasa.

Sebagian besar lukisan menggambarkan lanskap alam—pegunungan berkabut, danau yang memantulkan langit senja, dan padang bunga liar berwarna cerah. Ada juga lukisan bunga dalam vas kristal, kelopaknya tampak begitu lembut, serta siluet wanita misterius yang mengundang rasa penasaran.

Namun, bukan hanya lukisannya yang menarik perhatian Elena. Aroma ruangan itu juga memikat.

Udara dipenuhi perpaduan wewangian yang lembut dan elegan. Ada aroma woody yang hangat, floral yang romantis, dan citrus segar sebagai sentuhan akhir. Wewangian itu menyatu sempurna, menciptakan pengalaman sensorik yang kaya. Bahkan bau cat minyak yang biasanya kuat di galeri seni hampir tak terasa.

Tak lama setelah ia mengamati sekeliling, seorang pria jangkung yang berusia sekitar akhir tiga puluhan, dengan rambut hitam berombak yang tampak tertata rapi serta kacamata tipis yang bertengger di hidungnya mulai melangkah mendekat dengan penuh percaya diri.

“Miss Elena Hadley?”

Suara seorang pria terdengar tegas namun tetap berintonasi tenang, dengan aksen Inggris yang begitu khas. Nada bicaranya menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang terbiasa berbicara dengan penuh wibawa dan keyakinan, memberikan kesan profesional yang kuat sejak pertemuan pertama.

Elena mengangkat wajahnya dan langsung menemukan sosok pria jangkung dengan rambut hitam berombak yang tertata rapi, mengenakan kacamata tipis yang semakin menegaskan karisma intelektualnya. Dengan cepat, ia mengukir senyum ramah di wajahnya sebelum mengulurkan tangan dengan sikap percaya diri.

“Ya, saya Elena Hadley,” katanya dengan nada hangat namun profesional. “Anda pasti Mr. Daniel Cartier?”

Pria itu mengangguk kecil sebelum menyambut jabatan tangannya dengan mantap, tidak terlalu kuat, tetapi cukup menunjukkan bahwa ia menghargai etika profesionalitas.

“Senang akhirnya bisa bertemu langsung dengan Anda,” katanya dengan nada yang lebih santai tetapi tetap formal. “Miss Winfrey telah memberi tahu saya bahwa Anda yang akan mewakilinya dalam pertemuan ini.”

Elena mengangguk pelan, lalu menjelaskan dengan tenang, “Ya, sebenarnya Miss Winfrey sangat ingin menghadiri pertemuan ini secara langsung, tetapi karena terjadi keadaan darurat dalam keluarganya yang membutuhkan perhatiannya segera, ia tidak dapat hadir dan meminta saya untuk menggantikannya.”

Mr. Daniel tampak memahami situasi tersebut dengan baik. Ia mengangguk sekali sebelum menggerakkan tangannya, memberi isyarat agar Elena mengikutinya. “Saya mengerti. Kalau begitu, mari kita langsung membahas proyek ini. Saya ingin mendengar lebih banyak tentang konsep yang Anda bawa.”

Mereka berjalan melewati lorong galeri, yang dipenuhi karya seni dari berbagai aliran dan gaya, sebelum akhirnya tiba di sebuah ruangan pertemuan kecil yang dikelilingi rak tinggi berisi buku-buku seni dari berbagai era. Di tengah ruangan, sebuah meja besar dipenuhi dengan sketsa-sketsa desain yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Elena melangkah mendekat, matanya langsung tertarik pada sketsa-sketsa yang tertata rapi di atas meja. Setiap desain memperlihatkan konsep visual yang begitu detail—garis-garis abstraknya menggambarkan pergerakan, permainan warna yang kaya menampilkan emosi yang dalam, sementara catatan-catatan kecil di sampingnya memberikan penjelasan tentang filosofi di balik setiap karya.

Mr. Daniel mengambil salah satu sketsa dan mengamatinya sejenak sebelum menoleh ke arah Elena. “Jadi, proyek ini adalah bentuk kolaborasi antara dunia seni dan parfum?” tanyanya, suaranya terdengar semakin tertarik.

Elena tersenyum tipis, senang karena ia bisa melihat ketertarikan pria itu mulai tumbuh. “Tepat sekali, Mr. Cartier,” jawabnya dengan penuh antusias. “Kami ingin menciptakan pengalaman multisensori yang benar-benar bisa memberikan dampak emosional kepada pengunjung, tidak hanya melalui visual tetapi juga melalui aroma. Ide ini berangkat dari konsep bagaimana indra penciuman memiliki hubungan yang kuat dengan ingatan dan emosi manusia. Kami ingin menghubungkan elemen visual dan olfaktori sehingga setiap jenis aroma parfum bisa langsung terlihat hanya dari desain kemasannya.”

Mr. Daniel mengusap dagunya, tampak memikirkan sesuatu sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Menarik,” katanya sambil menatap Elena dengan penuh perhatian. “Jadi, Anda ingin menciptakan hubungan yang lebih mendalam antara seni, memori, emosi, dan indra penciuman?”

Elena mengangguk mantap. “Benar sekali. Dan itulah alasan mengapa Miss Winfrey begitu tertarik untuk bekerja sama dengan para seniman di sini. Kami yakin bahwa pendekatan ini akan membawa pengalaman seni ke tingkat yang lebih personal dan imersif.”

Tatapan Mr. Daniel beralih ke salah satu sketsa yang menampilkan rancangan ruangan dengan panel-panel interaktif. Setiap panel memiliki warna dan tekstur tertentu yang dirancang agar dapat memberikan pengalaman sensorik berbeda ketika dipadukan dengan aroma yang tersebar di udara.

“Saya dengar lukisan di sini bukan sekadar karya seni biasa,” kata Elena, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.

Mr. Daniel mengangkat alis dan tersenyum, seperti seseorang yang baru saja menemukan pendengar yang benar-benar bisa memahami visi uniknya. “Tentu saja, Miss Hadley,” jawabnya dengan bangga. “Lukisan-lukisan di sini tidak hanya menyajikan estetika visual semata, tetapi juga menghadirkan dimensi baru dalam pengalaman berinteraksi dengan seni. Kami telah mengembangkan teknik khusus yang memungkinkan setiap lukisan memiliki aroma tersendiri—aroma yang telah disesuaikan dengan tema dan suasana yang ingin disampaikan oleh senimannya. Jika seseorang berdiri dalam jarak sekitar satu meter dari lukisan tertentu, mereka akan bisa menghirup aroma yang terpancar darinya.”

Elena membulatkan matanya dengan takjub dan dengan sedikit candaan. “Jadi, Anda benar-benar menciptakan seni yang bisa ‘dihirup’?”

Mr. Daniel terkekeh pelan sebelum mengajak Elena keluar dari ruangan dan membawanya menuju salah satu bagian galeri. Mereka berhenti di depan sebuah lukisan yang memperlihatkan ladang bunga lavender yang luas, dengan siluet seorang wanita berdiri membelakangi penonton, menggenggam seikat bunga lavender di tangannya.

Dengan penasaran, Elena melangkah mendekati lukisan tersebut. Dan saat berada dalam jarak sekitar satu meter, ia tiba-tiba merasakan aroma khas lavender memenuhi udara di sekitarnya. Wanginya begitu alami, seakan-akan ia benar-benar berdiri di tengah ladang lavender yang luas di bawah langit biru yang cerah.

Mata Elena sedikit terpejam saat ia menghirup aroma itu lebih dalam. Wangi lembut yang menenangkan itu membawanya pada kenangan masa kecilnya—saat ia pernah berlari-lari di ladang bunga bersama ibunya di Provence. Ia hampir bisa merasakan angin sejuk yang membelai kulitnya, sinar matahari yang menghangatkan pipinya, dan suara gemerisik batang bunga yang bergoyang diterpa angin.

“Ini… sungguh luar biasa,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.

Mr. Daniel tersenyum puas melihat reaksinya. “Itulah esensi dari pameran ini,” katanya. “Kami ingin membawa seni ke tingkat yang lebih mendalam—lebih dari sekadar sesuatu yang bisa dilihat, tetapi juga sesuatu yang bisa dirasakan dan dikenang.”

Elena mengangguk, masih terpesona dengan pengalaman yang baru saja ia alami. Proyek ini bukan hanya menarik, tetapi juga sangat revolusioner. Dalam pikirannya, ia mulai membayangkan berbagai kemungkinan yang bisa mereka ciptakan dengan kolaborasi ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 76

    Ren mencondongkan tubuhnya, membiarkan ujung penisnya yang tegang dan besar menggesek lembut bibir vagina Elena yang masih basah dan berdenyut setelah orgasmenya. Sentuhan pertama itu mengirimkan aliran listrik ke seluruh tubuh Elena, membuatnya kembali mendesah lirih, menantikan penyatuan yang lebih dalam dan memuaskan. “Ugh... Ren...cepatlah.” Tuntut Elena dengan berani. Mendengar tuntutan Elena yang penuh hasrat, seringai liar terukir di bibir Ren. Tanpa menunggu lebih lama, pria itu meraih pinggul Elena, mengangkatnya sedikit, dan dengan satu gerakan mantap, menusukkan kejantanannya yang keras dan berdenyut ke dalam vagina Elena yang sudah basah dan siap menerimanya. “Aaakh…” Elena kembali menjerit, kali ini bercampur antara rasa penuh dan nikmat yang luar biasa. Ia merasakan kejantanan Ren yang besar mengisi seluruh rongga vaginanya, meregangkan dinding-dindingnya dengan sempurna. Ren terdiam sejenak, membiarkan Elena menyesuaikan diri dengan kehadirannya. Dia bisa merasa

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 75

    Ren mengangkat tubuh Elena dengan sigap, mendudukkannya di atas batu yang lebih tinggi hingga kedua pahanya terbuka lebar. Gerakan tiba-tiba itu membuat Elena sedikit terkejut, namun ia dengan cepat menyadari maksud Ren yang ingin kembali memanjakannya dengan sentuhan intim pria itu. Namun, sebelum Ren dapat mencondongkan tubuhnya dan menghisap area sensitif di antara paha dalam Elena, ia dengan cepat menahan kepala Ren dengan kedua tangannya. “Tunggu!” sergah Elena, meskipun napasnya masih tersengal-sengal akibat gejolak hasrat yang belum sepenuhnya mereda. Ren mengerutkan kening, tampak bingung dengan penolakan tiba-tiba itu. “Kenapa? Apa ada yang salah?” tanyanya dengan suara serak, matanya menatap Elena penuh tanya. Elena menelan ludah, merasakan sedikit gugup sekaligus berdebar-debar. Selama ini, dalam setiap momen keintiman mereka, Ren selalu menjadi pihak yang memberikan kenikmatan padanya. Ia selalu dimanja dengan sentuhan, ciuman, dan penetrasi yang membuatnya mencapa

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 74

    Ren memeluknya dari belakang, hangat tubuh mereka menyatu dengan hangatnya air kolam alami. Elena bersandar di dadanya, matanya terpejam sesaat, menikmati sentuhan lembut angin dan suara dedaunan yang berbisik di atas mereka. Air hangat meredakan lelah dan ketegangan, sementara keheningan di antara mereka terasa lebih dalam dari sekadar diam, ia merasa seperti penuh pemahaman yang tak butuh kata-kata.Ren menunduk, membisikkan sesuatu di telinga Elena. “Aku senang bisa berbagi momen seperti ini denganmu, Elena.”Elena tersenyum kecil, membuka matanya dan menatap pantulan cahaya yang menari di permukaan air. “Aku juga.”Ren mencium pelan punggung bahunya. “Aku harap kita bisa terus menikmati momen lain bersama-sama, selamanya.”Elena membalikkan tubuh perlahan, kini menghadap Ren. Wajah mereka begitu dekat, hanya dipisahkan oleh uap tipis yang mengambang. Tatapan mereka bertemu, tenang, tapi dalam, penuh arti yang tak perlu dijelaskan.“Jangan hanya pandai bicara,” bisik Elena,

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 73

    “Tadaa!” seru Elena ceria, melangkah keluar dari pintu kabin sambil memamerkan bikininya. “Bagaimana?”Cahaya matahari siang hari memantul di kulitnya yang bersinar, menambah pesona pada senyumnya yang percaya diri. Ren, yang sedang bersantai di kursi malas sambil memegang segelas minuman, mengangkat alis dan tersenyum geli melihat penampilan Elena yang penuh semangat.Elena mengenakan bikini berwarna merah tua yang menonjol sempurna di kulitnya yang putih porselen. Warna itu bukan hanya cocok, tapi itu juga memperkuat aura percaya diri Elena, seolah menyatu dengan rambut merahnya yang tergerai lembut di bahunya.“Kombinasi yang sangat cocok, sangat cantik.” Ren mengangguk setuju. “Aku siap bermain seharian!” seru Elena dengan semangat yang meluap-luap, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja tiba di taman bermain.Hari ini, rencananya mereka tak hanya akan berenang, tetapi juga menaiki kayak dan jetski milik Ren yang sudah diparkir rapi di tepi dermaga kayu. Danau di

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 72

    Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya terkulai lemas. Ia menyandarkan diri, memeluk erat tubuh Ren yang juga terengah, mencari kekuatan setelah klimaksnya yang begitu menguras tenaga. “Ah! Ren?” serunya kaget bercampur bingung. Tiba-tiba merasakan tubuhnya yang lunglai terangkat. Penis pria itu, sialnya, masih keras dan tegak sempurna, kini menusuk semakin dalam saat ia berada dalam gendongan Ren. Kepala penisnya yang besar kembali menggesek titik sensitifnya, mengirimkan kejutan-kejutan kecil yang membangkitkan sisa-sisa hasratnya yang belum sepenuhnya padam. Ren menatapnya dengan mata membara, seringai tipis menghiasi bibirnya. “Kamu pikir sudah selesai?” bisiknya serak, membuat bulu kuduk Elena meremang. “Sekarang giliranku, bersiaplah.” Ren membawa Elena keluar dari bak mandi, air menetes dari tubuh mereka yang basah dan saling menempel. Tanpa melepaskan Elena dari gendongannya, pria itu menurunkannya dan membalikkan badannya ke arah wastafel membuka kedua pantatnya lebar. Ele

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 71

    Napas Elena masih tersengal-sengal saat Ren dengan lembut menarik tubuhnya yang lemas kembali ke dalam bak air panas. Tanpa melepaskan pandangan penuh gairah dari mata Elena, Ren mendudukkan wanita itu tepat di atas pangkuannya. Elena merasakan dengan jelas penis Ren yang sudah mengeras sempurna menusuk lembut di antara lipatan pahanya yang sudah basah dan berdenyut nikmat. Kepala penisnya yang besar menggesek-gesek bibir vaginanya yang membengkak, mengirimkan sengatan-sengatan kecil yang kembali membangkitkan hasratnya yang baru saja mereda. “Kali ini coba masukkan sendiri dengan perlahan, “ bisik Ren serak di telinga Elena, tangannya menuntun pinggul wanita itu agar lebih dekat. “Lakukan sendiri sesuai kemauanmu.” Elena menghela napasnya sebentar, dengan tangan gemetar, Elena meraih penis Ren yang terasa begitu panas dan berdenyut di telapak tangannya. Ia merasakan urat-uratnya yang menegang dan kepala penisnya yang licin oleh cairan pre-cum. Ia menggosokkan kepala penisnya ke l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status