Paris, Perancis.
Elena keluar dari pintu kedatangan bandara dengan langkah mantap, menghela napas panjang saat udara kota menyambutnya. Matanya langsung menangkap sosok Shannon yang melambaikan tangan dengan semangat. “El!” suara Shannon terdengar nyaring di tengah keramaian. Elena tersenyum lebar dan mempercepat langkahnya. Mereka berdua langsung berpelukan erat seperti dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu. “Bagaimana dengan Sean? Apa tidak masalah kau meninggalkannya seperti ini?” tanya Elena setelah melepaskan pelukan, matanya penuh rasa ingin tahu. Shannon mengangkat bahu santai. “Ibuku yang merawatnya, jadi semuanya aman. Sekarang, ceritakan padaku! Bagaimana perjalanan bisnismu? Apa kau menikmati festivalnya?” Elena mengangguk. “Sangat menyenangkan. Yah, meskipun ada sesuatu yang kucari, tapi...” ia menggantungkan kalimatnya, matanya menerawang sejenak. Shannon mempersempit matanya curiga. “Tunggu... sesuatu yang kau cari? Maksudmu...kau mencari seorang pria?” Elena menatap Shannon, hendak membantah, tapi akhirnya ia menghela napas dan mengakui. “Benar tapi—” Mata Shannon langsung membesar. “Ya Tuhan?! Benarkah?! Padahal aku hanya asal bicara! Wow… Apa ini akan menjadi tahun romansa dalam hidupmu?” ucapnya heboh. Elena buru-buru menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada orang yang terlalu dekat sebelum mendesis, “Ssst! Pelankan suaramu.” Shannon terkekeh, tapi tetap menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Jadi siapa pria itu? Apa kau jatuh cinta pada pandangan pertama?” Elena mendesah dan menggeleng. “Tidak, ini bukan tentang cinta. Aku hanya penasaran dengan parfum yang dipakai pria itu. Itu saja. Bukan debaran cinta yang konyol.” Shannon menatapnya dengan tatapan jahil. “Apa kau wanita cabul?” godanya. “Bagaimana bisa seorang wanita asing tiba-tiba menanyakan, ‘Permisi, parfum apa yang Anda pakai?’ kepada seorang pria asing?” Elena mendengus, mengambil sebagian barangnya dari tangan Shannon. “Tinggal aku jelaskan saja situasiku dan pekerjaanku kepadanya, beres bukan? Lagipula, aroma milik pria itu sesuai dengan yang kuinginkan untuk launching parfum musim panas ini.” Mereka berbincang sambil berjalan menuju parkiran mobil. Shannon membuka pintu bagasi dan memasukkan koper Elena sebelum mereka berdua masuk ke dalam mobil. Saat perjalanan, Shannon membeli beberapa sandwich dan cola dari drive-thru. Ia menyerahkan satu set kepada Elena, yang menerimanya dengan senang hati. “Terima kasih,” ucap Elena sebelum mulai memakan sandwich dengan lahap. “Jadi bagaimana pertemuanmu dengan Mr. Daniel? Berjalan lancar?” Elena mengangguk, meneguk cola sebelum menjawab. “Sangat lancar. Mr. Daniel sangat sopan dan informatif.” Shannon mengangguk puas. “Bagus kalau begitu. Jadi, semuanya berjalan sesuai rencana?” Elena mendesah. “Untuk sebagian, ya. Tapi keputusan ada di tangan Mr. Rain. Dia pelukis anonim yang tidak menyukai publisitas.” Shannon menghela napas panjang. “Hah... Aku sudah menduga ini. Mr. Rain dari awal debutnya sebagai pelukis tidak pernah menampakkan wajahnya sama sekali. Bahkan dia menolak semua tawaran dari galeri terkenal di dunia.” Elena mengangguk setuju. “Ya, dan dia hanya memamerkan karyanya di Ottawa.” Shannon menepuk setir mobil. “Mungkin karena lukisannya butuh penanganan yang tepat. Bisa jadi itu alasan dia menolak tawaran untuk dipajang di berbagai galeri lain.” Elena berpikir sejenak, lalu menoleh dengan ekspresi penasaran. “Tunggu... kebetulan galeri itu milik keluarga Davis juga, bukan?” Shannon tersenyum kecil. “Benar sekali.” Elena terkekeh. “Kalau begitu, kita bisa meminta tolong kepada Mrs. Davis.” Mereka berdua tertawa bersama, membayangkan betapa konyolnya ide itu. “Yah, semoga dia setuju untuk berkolaborasi dengan kita. Aku harap begitu,” kata Elena akhirnya. “Semoga saja,” Shannon menimpali. Mobil melaju cepat menuju apartemen Elena, sementara di dalam pikirannya, ia masih terbayang akan aroma misterius pria itu. Mungkinkah ini lebih dari sekadar pencarian parfum yang sempurna? ❀❀❀❀❀ Mobil Shannon berhenti di depan apartemen Elena. Dengan sigap, Elena membuka pintu dan turun, menarik napas dalam-dalam, menikmati udara malam yang sejuk. Shannon ikut turun dan membantunya mengeluarkan koper dari bagasi. “Ayo masuk sebentar,” ajak Elena. “Aku akan membuatkan teh atau kopi untukmu.” Shannon mengangkat alis. “Kau sudah mengenalku selama bertahun-tahun dan masih bertanya? Tentu saja kopi!” Elena tertawa kecil dan membuka pintu apartemennya. Interior modern dengan sentuhan minimalis menyambut mereka. Shannon melempar jaketnya ke sofa sementara Elena menuju dapur, menyalakan mesin kopi. “Jadi, apa rencanamu selanjutnya?” tanya Shannon, duduk di stool bar dekat dapur. Elena menuangkan kopi ke dalam dua cangkir sebelum menjawab. “Hmm... Pertama aku akan tinggal di Kanada selama dua bulan untuk mengawasi pengembangan produk baru, karena bahan bakunya yang rentan oksidasi, jadi pembuatannya harus di laboratorium di sana. Kedua, aku akan mulai menyusun anggaran untuk koleksi parfum musim panas ini.” Shannon menerima cangkir kopi yang disodorkan kepadanya, meniup permukaannya sebelum menyesapnya pelan. “Dan bagaimana dengan pria misterius itu? Kau akan mencarinya lagi?” tanyanya dengan nada menggoda. Elena menggeleng sambil tersenyum. “Bukan pria itu yang kucari, Shan. Aku hanya ingin menemukan aroma yang ia pakai. Itu saja.” Shannon menatapnya tajam, lalu menyeringai. “El, kau perfeksionis, dan aku tahu kau tidak akan berhenti sampai kau menemukannya.” Elena mendesah dan menyandarkan tubuhnya pada meja dapur. “Mungkin kau benar. Aku merasa aroma itu bisa menjadi kunci untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar unik. Tapi masalahnya, aku bahkan tidak tahu siapa dia.” Shannon mengetuk jari di bibirnya, berpikir. “Benar juga, mencari teman yang telah lama hilang kontak saja susah sekali. Apalagi ini, hanya orang asing. Elena mengangguk. Suara dering pesan masuk dari ponsel Shannon berbunyi nyaring di apartemennya. Shannon membaca pesan itu dengan wajah tidak suka. “Maaf, El. Aku harus pergi, si brengsek itu minta di belikan makanan. Sungguh merepotkan! Dia yang berulah, tapi aku yang kena getahnya! Sial!” Runtuh Shannon dengan amarah yang menggebu-gebu. Elena tertawa dengan gembira melihat temannya begitu emosi mengurus kembarannya. Shannon berdiri dengan kasar, menyambar jaketnya dari sofa. “Aku harus pergi sebelum dia mengeluh lagi. Sepertinya aku lahir untuk terjebak menjadi budak Sean sepanjang hidupku,” gerutunya sambil berjalan menuju pintu. Elena masih tertawa kecil. “Kasihan sekali dirimu. Seharusnya kau biarkan saja dia kelaparan supaya belajar bertanggung jawab.” “Ha! Kau pikir aku tidak ingin? Tapi kalau itu terjadi, ibuku yang akan marah padaku. Dan percayalah, aku lebih memilih menghadapi Sean yang rewel daripada omelan panjang ibuku.” Shannon membuka pintu dengan kesal. “Aku akan meneleponmu besok. Jangan membuat keputusan gila untuk mencari pria misterius itu tanpa aku, oke?” Elena mengangkat tangan, pura-pura bersumpah. “Aku janji.” Setelah Shannon pergi, Elena menutup pintu dan kembali ke dapur. Ia menyesap kopinya yang mulai dingin, lalu berjalan ke balkon apartemennya. Kota masih sibuk meskipun malam sudah semakin larut. Lampu-lampu kendaraan yang melaju di jalanan menciptakan jejak cahaya yang tak berujung. Di kepalanya, pikiran tentang pria beraroma musim panas itu kembali mengusik. Ia bukan seseorang yang percaya pada takdir, tapi ada sesuatu tentang pertemuan singkat itu yang tak bisa ia lupakan. Elena menarik napas dalam-dalam, membayangkan aroma yang tersisa dalam ingatannya. Segar, sedikit sentuhan woody, dengan sentuhan hangat yang membuatnya nyaman. “Aku harus menemukannya.” Bukan pria itu. Tapi aromanya. Ia memutuskan untuk mencoba memulai membuat formula aroma itu dari ingatannya, hal yang paling sederhana: riset. Mungkin, jika ia bisa mempersempit komposisi aromanya, ia akan bisa menciptakan versinya sendiri. Dengan semangat baru, Elena kembali masuk ke dalam apartemen dan membuka laptopnya. Jari-jarinya mulai mengetik kata kunci di mesin pencari, mencari referensi parfum dengan karakteristik yang serupa.Bulan madu. Pulau Bora-bora. Bora Bora menyambut mereka seperti lukisan hidup yang baru selesai diwarnai. Langit biru kobalt, laut laguna berlapis-lapis warna biru pirus, hijau zamrud, dan nila, mengelilingi gunung vulkanik Otemanu yang menjulang megah dengan puncak tersapu awan. Udara hangat dan lembab, beraroma asin segar bercampur harum bunga Tiare Tahiti yang menghiasi sambutan bandara kecil Motu Mute. Mereka menuju resort mewah dengan perahu bermotor yang melaju di atas laguna yang begitu jernih sehingga dasar laut dengan karang dan ikan warna-warni terlihat jelas. Elena memegang erat tangan Ren, matanya takjub menatap sekeliling. Perasaan yang berbeda menyelimutinya: bukan lagi ketegangan atau pencarian, melainkan kedamaian yang mendalam dan kebahagiaan tanpa syarat. “Seperti mimpi,” bisik Elena, menatap Ren. Cahaya matahari sore memantul di wajahnya yang berseri. Ren mencium keningnya. “Apa kamu menyukainya?” Vila mereka adalah sebuah overwater bungalow mewah.
SATU TAHUN KEMUDIAN OTTAWA, KANADA Musim semi baru saja menyapa kota, menyapu sisa-sisa dingin dari trotoar, mengganti salju dengan kuntum-kuntum bunga sakura yang perlahan mekar di tepi Sungai Rideau. Di sebuah vila kayu elegan di pinggir danau Gatineau, Elena berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih gading dengan detail renda halus di bahu dan lengan. Rambutnya disanggul longgar, beberapa helai dibiarkan jatuh alami membingkai wajahnya. Di lehernya tergantung liontin kecil berbentuk bulan sabit, warisan dari neneknya yangdk dengan makna baru: bukan lagi simbol kutukan, tapi pelindung ikatan cinta yang kini telah bebas. Suara langkah pelan terdengar dari belakang. Shannon masuk, mengenakan gaun hijau daun zaitun yang menonjolkan warna matanya. “Kau... terlihat seperti sesuatu yang keluar dari puisi musim semi,” katanya sambil tersenyum. Elena membalas senyum itu, wajahnya tenang tapi matanya berkilau. “Terima kasih...” Shannon menyentuh bahunya dengan lembut.
Malam semakin pekat, desiran angin berbisik melalui celah-celah jendela tua seolah membawa pesan dari masa silam. Cahaya bulan purnama yang semula menggantung berat kini merayap perlahan, menyentuh lantai kayu vila, menciptakan kolam perak yang dingin. Waktunya semakin dekat. Elena dan Ren berdiri di tengah ruang utama, perapian dan lilin-lilin menjadi saksi bisu. Mereka telah menyapu lantai, menyingkirkan perabot, membuat ruang kosong di bawah jendela besar. Di lantai, mereka menggambar lingkaran besar dengan garam kasar, di dalamnya simbol-simbol aneh yang mereka salin ragu-ragu dari catatan tua Marylin yang terselip di balik rak buku, garis-garis berpotongan, setengah lingkaran, dan titik-titik yang menyerupai konstelasi. Di pusat lingkaran, di atas sehelai kain hitam, belati itu terbaring. Logamnya kini memancarkan cahaya biru pucat yang lebih terang, berdenyut lembut selaras dengan detak jantung Elena. “Siap?” tanya Ren, suaranya serak. Elena mengangguk, napasnya pendek. “K
Matahari baru saja mulai terlihat, menebar cahaya lembut ke apartemen Elena yang masih berantakan setelah pergumulan semalam. Ren sudah berdiri di dekat jendela, mengenakan kaus hitam dan celana kargo yang baru saja di belinya, wajahnya serius saat dia mengemas ransel kecil dengan efisien. Jejak-jejak keintiman di lantai kayu. Elena muncul dari kamar mandi, rambutnya masih lembap, membungkus tubuhnya dengan jubah mandi. Matanya langsung tertuju pada Ren dan ranselnya. “Sudah siap?” tanyanya, suaranya sedikit serak. Ren mengangguk, tidak berhenti mengemas. “Sudah. Semakin jauh dari keramaian kota, semakin baik. Tempat yang sunyi... Aku telah menyewa sebuah vila di desa.” Dia melemparkan pandangannya ke belati kuno yang kini terbaring di atas meja kecil antik itu, terbungkus kembali dalam beludru pudar. Logamnya menyerap cahaya pagi, terlihat dingin dan penuh janji berbahaya. Elena berharap semuanya akan berjalan lancar, meski jauh di dalam hatinya, ada ketegangan yang tidak bisa
“Di sini,” geram Ren tiba-tiba, tangannya yang besar menekan perut bawah Elena dan mengubah sudutnya sedikit. Dorongan berikutnya-“Ah! REN!” Elena menjerit, matanya membelalak. Ren telah menemukan titik itu, titik rahasia dalamnya yang langsung menyulut api liar. Setiap dorongan berikutnya dengan sengaja menghantam titik G-spotnya, mengikis akal sehatnya. “Lihatlah bagaimana bagian dalamnya mencengkeramku dengan erat,” bisik Ren dengan nafsu, matanya gelap menatap tempat mereka bersatu, menyaksikan bagaimana tubuh Elena menyambutnya, mencengkeram penisnya setiap kali dia menarik. “Sepertinya kau sangat merindukanku.” Tangannya merayap naik, mencubit puting Elena yang sudah keras dan sensitif. Sensasi ganda itu-dorongan dalam yang tepat dan cubitan yang menyengat, membuat Elena menggelepar tak karuan. Batang keras tersebut terus mengenai titik kenikmatannya, seperti kilat panas yang menyambar-nyambar di kegelapan, menghanguskan setiap sisa akal sehat yang masih bertahan. Setiap d
Suasana kamar Elena disinari remang-remang lampu jalan Paris yang menyelinap lewat tirai. Ren menurunkannya perlahan di atas ranjang, tubuhnya membayangi Elena seperti perlindungan sekaligus penaklukan. Gaun sutra itu sudah tergelincir hingga pinggang, menyingkapkan bahu dan lekuk tulang selangka yang memikat. Napas Ren memburu saat jemarinya menyusuri garis bahu itu, panas dan gemetar. “Kau sempurna,” gumamnya, suara serak penuh kekaguman yang membuat Elena merinding. Bibirnya menyusuri kembali jejak yang baru saja disentuhnya dimulai dari puncak bahu, turun perlahan ke lekuk leher, lalu berhenti di titik nadi yang berdebar kencang. Setiap ciuman terasa seperti pengakuan, seperti doa. Elena mengerang lemah saat tangan Ren merambat ke punggungnya, menyelesaikan apa yang dimulai resleting itu. Gaun itu akhirnya menyerah, melorot sepenuhnya dan menumpuk di pinggangnya seperti kembang yang layu. Ren menarik napas tajam, memandangi tubuh yang tersingkap dalam cahaya temaram. Lekuk pa