Paris, Perancis.
Elena keluar dari pintu kedatangan bandara dengan langkah mantap, menghela napas panjang saat udara kota menyambutnya. Matanya langsung menangkap sosok Shannon yang melambaikan tangan dengan semangat. “El!” suara Shannon terdengar nyaring di tengah keramaian. Elena tersenyum lebar dan mempercepat langkahnya. Mereka berdua langsung berpelukan erat seperti dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu. “Bagaimana dengan Sean? Apa tidak masalah kau meninggalkannya seperti ini?” tanya Elena setelah melepaskan pelukan, matanya penuh rasa ingin tahu. Shannon mengangkat bahu santai. “Ibuku yang merawatnya, jadi semuanya aman. Sekarang, ceritakan padaku! Bagaimana perjalanan bisnismu? Apa kau menikmati festivalnya?” Elena mengangguk. “Sangat menyenangkan. Yah, meskipun ada sesuatu yang kucari, tapi...” ia menggantungkan kalimatnya, matanya menerawang sejenak. Shannon mempersempit matanya curiga. “Tunggu... sesuatu yang kau cari? Maksudmu...kau mencari seorang pria?” Elena menatap Shannon, hendak membantah, tapi akhirnya ia menghela napas dan mengakui. “Benar tapi—” Mata Shannon langsung membesar. “Ya Tuhan?! Benarkah?! Padahal aku hanya asal bicara! Wow… Apa ini akan menjadi tahun romansa dalam hidupmu?” ucapnya heboh. Elena buru-buru menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada orang yang terlalu dekat sebelum mendesis, “Ssst! Pelankan suaramu.” Shannon terkekeh, tapi tetap menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Jadi siapa pria itu? Apa kau jatuh cinta pada pandangan pertama?” Elena mendesah dan menggeleng. “Tidak, ini bukan tentang cinta. Aku hanya penasaran dengan parfum yang dipakai pria itu. Itu saja. Bukan debaran cinta yang konyol.” Shannon menatapnya dengan tatapan jahil. “Apa kau wanita cabul?” godanya. “Bagaimana bisa seorang wanita asing tiba-tiba menanyakan, ‘Permisi, parfum apa yang Anda pakai?’ kepada seorang pria asing?” Elena mendengus, mengambil sebagian barangnya dari tangan Shannon. “Tinggal aku jelaskan saja situasiku dan pekerjaanku kepadanya, beres bukan? Lagipula, aroma milik pria itu sesuai dengan yang kuinginkan untuk launching parfum musim panas ini.” Mereka berbincang sambil berjalan menuju parkiran mobil. Shannon membuka pintu bagasi dan memasukkan koper Elena sebelum mereka berdua masuk ke dalam mobil. Saat perjalanan, Shannon membeli beberapa sandwich dan cola dari drive-thru. Ia menyerahkan satu set kepada Elena, yang menerimanya dengan senang hati. “Terima kasih,” ucap Elena sebelum mulai memakan sandwich dengan lahap. “Jadi bagaimana pertemuanmu dengan Mr. Daniel? Berjalan lancar?” Elena mengangguk, meneguk cola sebelum menjawab. “Sangat lancar. Mr. Daniel sangat sopan dan informatif.” Shannon mengangguk puas. “Bagus kalau begitu. Jadi, semuanya berjalan sesuai rencana?” Elena mendesah. “Untuk sebagian, ya. Tapi keputusan ada di tangan Mr. Rain. Dia pelukis anonim yang tidak menyukai publisitas.” Shannon menghela napas panjang. “Hah... Aku sudah menduga ini. Mr. Rain dari awal debutnya sebagai pelukis tidak pernah menampakkan wajahnya sama sekali. Bahkan dia menolak semua tawaran dari galeri terkenal di dunia.” Elena mengangguk setuju. “Ya, dan dia hanya memamerkan karyanya di Ottawa.” Shannon menepuk setir mobil. “Mungkin karena lukisannya butuh penanganan yang tepat. Bisa jadi itu alasan dia menolak tawaran untuk dipajang di berbagai galeri lain.” Elena berpikir sejenak, lalu menoleh dengan ekspresi penasaran. “Tunggu... kebetulan galeri itu milik keluarga Davis juga, bukan?” Shannon tersenyum kecil. “Benar sekali.” Elena terkekeh. “Kalau begitu, kita bisa meminta tolong kepada Mrs. Davis.” Mereka berdua tertawa bersama, membayangkan betapa konyolnya ide itu. “Yah, semoga dia setuju untuk berkolaborasi dengan kita. Aku harap begitu,” kata Elena akhirnya. “Semoga saja,” Shannon menimpali. Mobil melaju cepat menuju apartemen Elena, sementara di dalam pikirannya, ia masih terbayang akan aroma misterius pria itu. Mungkinkah ini lebih dari sekadar pencarian parfum yang sempurna? ❀❀❀❀❀ Mobil Shannon berhenti di depan apartemen Elena. Dengan sigap, Elena membuka pintu dan turun, menarik napas dalam-dalam, menikmati udara malam yang sejuk. Shannon ikut turun dan membantunya mengeluarkan koper dari bagasi. “Ayo masuk sebentar,” ajak Elena. “Aku akan membuatkan teh atau kopi untukmu.” Shannon mengangkat alis. “Kau sudah mengenalku selama bertahun-tahun dan masih bertanya? Tentu saja kopi!” Elena tertawa kecil dan membuka pintu apartemennya. Interior modern dengan sentuhan minimalis menyambut mereka. Shannon melempar jaketnya ke sofa sementara Elena menuju dapur, menyalakan mesin kopi. “Jadi, apa rencanamu selanjutnya?” tanya Shannon, duduk di stool bar dekat dapur. Elena menuangkan kopi ke dalam dua cangkir sebelum menjawab. “Hmm... Pertama aku akan tinggal di Kanada selama dua bulan untuk mengawasi pengembangan produk baru, karena bahan bakunya yang rentan oksidasi, jadi pembuatannya harus di laboratorium di sana. Kedua, aku akan mulai menyusun anggaran untuk koleksi parfum musim panas ini.” Shannon menerima cangkir kopi yang disodorkan kepadanya, meniup permukaannya sebelum menyesapnya pelan. “Dan bagaimana dengan pria misterius itu? Kau akan mencarinya lagi?” tanyanya dengan nada menggoda. Elena menggeleng sambil tersenyum. “Bukan pria itu yang kucari, Shan. Aku hanya ingin menemukan aroma yang ia pakai. Itu saja.” Shannon menatapnya tajam, lalu menyeringai. “El, kau perfeksionis, dan aku tahu kau tidak akan berhenti sampai kau menemukannya.” Elena mendesah dan menyandarkan tubuhnya pada meja dapur. “Mungkin kau benar. Aku merasa aroma itu bisa menjadi kunci untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar unik. Tapi masalahnya, aku bahkan tidak tahu siapa dia.” Shannon mengetuk jari di bibirnya, berpikir. “Benar juga, mencari teman yang telah lama hilang kontak saja susah sekali. Apalagi ini, hanya orang asing. Elena mengangguk. Suara dering pesan masuk dari ponsel Shannon berbunyi nyaring di apartemennya. Shannon membaca pesan itu dengan wajah tidak suka. “Maaf, El. Aku harus pergi, si brengsek itu minta di belikan makanan. Sungguh merepotkan! Dia yang berulah, tapi aku yang kena getahnya! Sial!” Runtuh Shannon dengan amarah yang menggebu-gebu. Elena tertawa dengan gembira melihat temannya begitu emosi mengurus kembarannya. Shannon berdiri dengan kasar, menyambar jaketnya dari sofa. “Aku harus pergi sebelum dia mengeluh lagi. Sepertinya aku lahir untuk terjebak menjadi budak Sean sepanjang hidupku,” gerutunya sambil berjalan menuju pintu. Elena masih tertawa kecil. “Kasihan sekali dirimu. Seharusnya kau biarkan saja dia kelaparan supaya belajar bertanggung jawab.” “Ha! Kau pikir aku tidak ingin? Tapi kalau itu terjadi, ibuku yang akan marah padaku. Dan percayalah, aku lebih memilih menghadapi Sean yang rewel daripada omelan panjang ibuku.” Shannon membuka pintu dengan kesal. “Aku akan meneleponmu besok. Jangan membuat keputusan gila untuk mencari pria misterius itu tanpa aku, oke?” Elena mengangkat tangan, pura-pura bersumpah. “Aku janji.” Setelah Shannon pergi, Elena menutup pintu dan kembali ke dapur. Ia menyesap kopinya yang mulai dingin, lalu berjalan ke balkon apartemennya. Kota masih sibuk meskipun malam sudah semakin larut. Lampu-lampu kendaraan yang melaju di jalanan menciptakan jejak cahaya yang tak berujung. Di kepalanya, pikiran tentang pria beraroma musim panas itu kembali mengusik. Ia bukan seseorang yang percaya pada takdir, tapi ada sesuatu tentang pertemuan singkat itu yang tak bisa ia lupakan. Elena menarik napas dalam-dalam, membayangkan aroma yang tersisa dalam ingatannya. Segar, sedikit sentuhan woody, dengan sentuhan hangat yang membuatnya nyaman. “Aku harus menemukannya.” Bukan pria itu. Tapi aromanya. Ia memutuskan untuk mencoba memulai membuat formula aroma itu dari ingatannya, hal yang paling sederhana: riset. Mungkin, jika ia bisa mempersempit komposisi aromanya, ia akan bisa menciptakan versinya sendiri. Dengan semangat baru, Elena kembali masuk ke dalam apartemen dan membuka laptopnya. Jari-jarinya mulai mengetik kata kunci di mesin pencari, mencari referensi parfum dengan karakteristik yang serupa.Elena membuka matanya perlahan. Pandangannya sedikit kabur, dan pikirannya masih dalam kabut antara tidur dan sadar. Namun, satu hal yang segera ia sadari—ini bukan kamarnya. Matanya menyapu ruangan yang di dominasi warna putih dengan hati-hati, memerhatikan setiap detail. Cahaya temaram dari lampu meja berlapis kuningan memantulkan kilauan lembut di atas permukaan meja rias mahoni yang mengilap. Cermin besar dengan ukiran halus di bingkainya menangkap bayangan kain putih yang menjuntai dari tempat tidur berkanopi, mengayun perlahan oleh hembusan angin malam yang menyelinap dari jendela berteralis besi. Lantai kayu parket yang tersusun rapi mencerminkan bias hangat dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Dinding ruangan dihiasi lukisan-lukisan berbingkai emas, sementara di meja kecil samping ranjang, beberapa buku berbahasa asing tergeletak seolah baru saja digunakan. Di luar jendela, langit malam terbentang pekat, bertabur bintang-bintang yang b
Sesampainya di kantor, Elena berjalan dengan gontai menuju lift. Langkahnya terasa berat, matanya masih terasa panas karena kurang tidur. Ia mengusap lehernya yang sedikit kaku, berusaha mengusir kantuk yang masih tersisa.Di depan lift, ia melihat Shannon berdiri dengan kedua tangan sibuk memainkan ponselnya. Saat Elena semakin dekat, Shannon mengangkat wajahnya dan langsung mengerutkan kening.“El, kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir.Elena menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Hanya jetlag. Aku tidak bisa tidur nyenyak semalam.”Shannon menatapnya dengan mata menyipit. “Kau harusnya ambil cuti satu hari. Lihatlah wajahmu, lingkar matamu tebal seperti panda.”Elena terkekeh kecil, meskipun lelah, ia masih bisa menghargai usaha Shannon untuk membuatnya tertawa. “Aku baik-baik saja. Aku harus menyelesaikan pekerjaan yang tertinggal.”“Tapi bukankah Mr. Caiden sudah menyelesaikannya?”Ia menoleh ke Shannon dengan ekspresi terkejut. “Apa? Mr. Caiden telah me
Sepanjang hari, Elena berusaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Tangannya otomatis mengetik di atas keyboard, matanya menatap layar komputer penuh angka dan laporan, tapi pikirannya melayang ke tempat lain. Ia masih terjebak dalam mimpi aneh yang dialaminya semalam—mimpi yang terasa begitu nyata hingga masih membekas sampai sekarang.Sejak pagi, ia terus mencoba mengingat wajah pria dalam mimpinya. Pria asing yang membuatnya kehilangan kendali dalam ciuman panas yang menggoda. Tapi semakin ia berusaha mengingat, semakin samar bayangan pria itu. Yang tertinggal hanya sensasi bibir pria itu di bibirnya, aroma segar maskulinnya yang lembut, dan helaian rambut hitam yang jatuh rapi di dahinya. Setiap kali ia mencoba fokus pada wajahnya, pikirannya terasa seperti tertutup kabut tebal.Elena menghela napas panjang dan menunduk dengan frustrasi. Tangannya mencengkeram rambut, berharap sedikit rasa sakit bisa membantunya mengingat mimpi yang begitu membekas itu. “Kau baik-baik s
Setelah beristirahat dan berbincang dengan Shannon, Elena kembali ke kantornya dengan langkah yang lebih ringan. Namun, saat masuk, ia menyadari ruangan masih sepi. Belum ada rekan kerja yang kembali dari istirahat. Suasana hening ini terasa agak asing baginya.Satu-satunya yang terlihat hanyalah Mr. Caiden, tetap bekerja di dalam ruangannya meski jam istirahat. Pria itu memang dikenal sebagai bos yang sangat serius. Dari luar, ia bisa melihat Mr. Caiden duduk di belakang meja, fokus pada layar komputer, jari-jarinya mengetik cepat. Biasanya, bosnya memang tidak keluar saat makan siang, hanya menyantap sandwich dan jus yang dia bawa sendiri atau dibelikan asistennya.Kali ini, Elena membawa sendiri sebuah paper bag berisi sandwich dan jus segar. Bukan kebiasaannya, tapi ia ingin mengucapkan terima kasih. Meskipun hubungan mereka hanya profesional, Elena merasa perlu menunjukkan apresiasinya atas bantuan Mr. Caiden selama ini.Sebenarnya, Elena agak enggan bertemu langsung dengannya
Elena tersenyum lega saat membuka matanya dan menyadari bahwa kali ini ia tidak mengalami mimpi apa pun. Tidak ada bayangan pria asing, tidak ada ciuman panas yang membuatnya terbangun dengan debaran jantung yang tak terkendali. Hanya tidur yang nyenyak dan pagi yang tenang. "Akhirnya," gumamnya pelan sambil meregangkan tubuh di atas ranjang. Ia benar-benar bersyukur karena doa-doanya terkabul. Ia tak perlu lagi mengalami mimpi aneh yang membuatnya gelisah sepanjang hari. Dengan perasaan lebih ringan, Elena beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Pancuran air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan sensasi segar, menghapus sisa-sisa kantuk yang masih tersisa. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian santai, ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti biasa, ia membuat roti panggang dengan selai favoritnya dan secangkir kopi hitam. Aroma kopi yang kuat memenuhi ruangan, memberinya ketenangan sebelum memulai hari. Rutinitas paginya selalu
Duduk di dalam pesawat dengan tenang, setelah kejadian yang begitu kilat sebelumnya. Ini adalah sebuah perjalanan yang begitu mendadak yang pernah terjadi dalam sepanjang hidupnya ini. Tapi ia tidak menyangka akan duduk di business class alih-alih ekonomi. Mr. Caiden memang terkenal perfeksionis orangnya, dengan perjalanan bisnis yang begitu tiba-tiba tapi dia masih bisa memesan business class.Elena melihat di sampingnya, Mr. Caiden telah tertidur. Pesawat belum lepas landas dikarenakan delay setelah boarding akibat cuaca buruk. Melihat begitu tenangnya Mr. Caiden tertidur, sepertinya dia belum tidur sama sekali. Elena juga merasakan kantuk yang berat, karena ia belum bisa beristirahat dengan nyenyak setelah pulang dari Kanada.“Hari ini sibuk sekali rasanya.”Saat ia bersandar di kursinya, mencoba untuk rileks, pikirannya kembali melayang pada perjalanan yang tidak terduga ini. Pekerjaannya memang menuntutnya untuk selalu siap dalam kondisi apapun, tapi kali ini, segalanya terasa
Ren sama sekali tidak memedulikan keterkejutan yang terpancar jelas dari wajah Elena. Dengan gerakan kasar namun penuh hasrat, pria itu meremas payudara Elena, sementara bibirnya melumat bibir Elena dengan ciuman yang dalam dan menuntut. Akibat jawaban Elena yang membuatnya kehilangan kendali, Ren menjatuhkan diri ke atas kasur, menarik Elena bersamanya dalam pelukan erat. Sentuhan Ren terus menjelajahi tubuh Elena, membangkitkan gelombang gairah yang melanda wanita itu hingga ia terbuai dalam kenikmatan. Tangannya perlahan turun, menyibak kain pakaian dalam Elena yang tipis, dan dengan lembut menyentuh puncak kelembutan di antara kedua pahanya. Gerakan jari-jarinya yang lihai terus menggosok klitoris Elena, menciptakan gesekan yang membakar. “Ah... Hmm...” Erangan tertahan keluar dari bibir Elena yang sedang dilumat dalam ciuman yang panas. Ia ingin berteriak, melepaskan segala hasrat yang membuncah, namun bibir pria itu terus membungkamnya, menenggelamkannya dalam gelombang keni
"Miss Hadley, bangun," suara berat Mr. Caiden memasuki pendengarannya bertimpangan dengan suara kru kabin yang sedang mengumumkan sesuatu. Elena terperanjat dari tidurnya yang nyenyak, matanya terbuka lebar dengan wajah terkejut bercampur bingung. Ia mendapati Mr. Caiden berdiri di sampingnya , sosoknya yang tinggi dan tegap tampak begitu dekat. Jantung Elena berdegup kencang, ia berusaha menenangkan diri dan memahami apa yang sedang terjadi, namun sisa-sisa mimpi itu masih berputar-putar di benaknya, membuatnya sulit membedakan antara khayalan dan kenyataan. Tiba-tiba, suara lain terdengar, memecah keheningan yang menyesakkan. "Kencangkan sabuk pengamannya, pesawat segera take off." Elena yang masih setengah sadar akibat mimpinya, tanpa pikir panjang mengikuti instruksi pramugari. Tangannya yang gemetar meraih sabuk pengaman dan mengencangkannya. Seakan ia masih berada dalam mimpi tadi. Ia menoleh ke jendela, melihat lampu-lampu bandara yang berkelap-kelip. Baru saat itu ia
ELENA POV Selepas pulang dari makan bersama dengan Ren, ia melanjutkan dengan berbelanja kebutuhan pribadinya. Sesampainya di rumah, Elena meletakkan tas belanjaannya di meja dapur, lalu melepaskan mantelnya dengan gerakan malas. Malam di Ottawa terasa sejuk, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang terasa lebih hangat—mungkin karena percakapannya dengan Ren tadi. Ia membuka salah satu kantong belanjaan dan mengeluarkan sebotol parfum yang baru saja ia beli di toko milik Ren. Bukan sesuatu yang mahal atau rumit, hanya wewangian sederhana dengan aroma citrus dan kayu ringan, ia memilih yang ini karena aromanya sedikit mendekati dengan konsep yang ia bicarakan dengan Ren. Elena menyemprotkan sedikit ke pergelangan tangannya, lalu menghirupnya perlahan. Aroma segar bercampur dengan sesuatu yang lebih dalam, sedikit nostalgia, sedikit kerinduan. Ia tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu tentang aroma ini yang mengingatkannya pada sesuatu yang belum bisa ia rangkai dengan jelas. Ia ber
REN POV Ren terus memotong steaknya sambil mendengarkan perkataan Elena. Nada suaranya terdengar serius, namun juga menyiratkan ketertarikan yang mendalam. Ia bisa melihat bagaimana mata perempuan itu sedikit berbinar ketika berbicara tentang parfum dan konsep musim panas yang sedang dikembangkannya. Menarik. Ren meletakkan pisaunya dengan perlahan, kemudian menyandarkan punggung ke kursi. "Aroma yang kita bahas tadi?" ulangnya, memastikan ia tidak salah dengar. "Jadi, kau ingin menjadikannya sebagai referensi utama untuk proyek parfummu?" Elena mengangguk mantap. "Ya, aku ingin menciptakan parfum edisi musim panas yang memiliki aroma yang mampu menangkap esensi kebebasan dan petualangan, sesuatu yang segar namun tetap elegan.” Ren menyipitkan mata sedikit, seolah membayangkan wangi yang Elena maksud. “Kebebasan dan petualangan…” gumamnya. “Itu bisa berarti banyak hal. Laut, udara pegunungan, atau bahkan aroma jalanan kota di sore hari setelah hujan.” Elena tersenyum tipis
ELENA POV Elena menelan kembali kata-katanya, merasa ragu untuk melanjutkan. Sebenarnya, ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, begitu banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya—terutama tentang aroma wewangian yang baru saja mereka bahas. Namun, sesuatu menahannya. Apakah itu rasa takut? Ataukah hanya kebingungan yang terlalu mendalam? Tangannya secara refleks menggenggam pisau dan garpu di hadapannya, mencoba mencari ketenangan dalam dinginnya dari pegangan besi garpu dan pisau yang merambat ke ujung jari-jarinya. Ia sangat ingin menanyakan sesuatu yang selama ini mengusiknya—tentang mimpinya. Tentang bagaimana setiap kali ia tertidur, fragmen-fragmen aneh selalu muncul dalam benaknya, membawanya ke tempat-tempat yang terasa familiar tetapi tidak bisa ia ingat kapan atau di mana pernah mengalaminya. Karena aroma parfum yang tadi ia cium adalah menjadi pemicu awal mulai semuanya. Elena terus mengiris potongan daging steaknya, supaya lebih mudah untuk dimakan. “Ah, b
REN POV Sesuai dengan dugaannya, wanita yang kini berdiri di hadapannya ternyata benar-benar sosok yang selama ini muncul dalam mimpi-mimpinya. Ia semakin yakin setelah melihat adanya titik tahi lalat kecil di belakang leher wanita itu, yang persis seperti yang selalu ia bayangkan. Pengakuannya tentang tanda lahir di pinggang kanannya pun semakin memperkuat keyakinannya bahwa semua ciri-ciri fisik yang ada pada wanita itu benar-benar sesuai dengan gambaran yang selama ini menghantui pikirannya di alam bawah sadar. Ren merasakan detak jantungnya semakin cepat, seolah tubuhnya bereaksi sebelum pikirannya sempat memproses semuanya dengan logis. Perasaan yang aneh, campuran antara kelegaan, kebingungan, dan sesuatu yang sulit ia definisikan, mengalir dalam dirinya. Bagaimana mungkin seseorang yang hanya ia kenal dalam mimpi kini benar-benar berdiri di hadapannya? Apakah ini kebetulan semata, atau ada sesuatu yang lebih besar yang menghubungkan mereka? Matanya terpaku pada wanita itu
Pegawai toko itu tersenyum ramah, menunggu Elena mengutarakan maksud kedatangannya. Dengan cepat, ia mengingat kembali alasan utamanya berada di sini—mengirimkan proposal dari Shannon. Namun, rasa penasarannya terhadap aroma yang begitu familiar masih mengganggu pikirannya. “Ah, maaf,” Elena akhirnya berbicara setelah menarik napas pelan. “Sebenarnya, saya ke sini untuk mengantarkan sesuatu.” Ia membuka tasnya dan mengeluarkan proposal yang telah dipersiapkannya sejak pagi. Pria muda itu mengernyitkan dahi sebentar sebelum menerima dokumen tersebut. “Oh, ini untuk siapa, ya?” tanyanya sambil melirik sampul proposal itu. Elena tersenyum kecil. “Untuk, Mr. Rain? Apa benar alamatnya berada di sini?” Pegawai itu mengangguk paham. “Ah, benar. Karena alasan privasi. Saya yang akan menyampaikan ini.” Elena mengangguk, “Tolong sampaikan juga, segera menghubungi nomor yang tertera, atau balas melalui e-mail.” “Baik, akan saya sampaikan.” “Terima kasih.” Sebelum pergi, Elena yang
Keesokan harinya, Elena masuk ke dalam mobil dengan perasaan cukup bersemangat. Hari ini, ia memiliki beberapa agenda penting yang harus diselesaikan. Pertama, ia harus mengirimkan proposal dari Shannon, sebuah tugas yang membutuhkan ketelitian karena menyangkut proyek yang sedang mereka kerjakan. Setelah itu, ia berencana untuk mampir ke supermarket guna berbelanja berbagai kebutuhan sehari-hari, memastikan bahwa persediaan di rumahnya cukup untuk beberapa minggu ke depan. Di balik semua aktivitasnya, Elena juga berusaha untuk semakin beradaptasi dengan lingkungan barunya. Ia ingin membiasakan diri dengan ritme kehidupan di kota ini, mulai dari memahami rute jalan hingga mengenali tempat-tempat yang akan sering ia kunjungi. Meskipun hanya akan tinggal di sini selama sebulan, ia ingin memastikan bahwa hari-harinya berjalan dengan nyaman dan efisien. Ia mencari alamat di navigasi. “Oh! Ini berada di dekat sini?” Elena tidak menyangka bahwa alamat yang di berikan oleh Shannon te
Elena yang telah mengumpulkan keberanian sejak semalam, kini berdiri di depan cermin, memastikan bahwa dirinya terlihat rapi dan siap untuk menjalankan niatnya. Setelah melalui perjalanan panjang dan adaptasi dengan lingkungan barunya, ia merasa sudah saatnya untuk memperkenalkan diri kepada tetangganya. Baginya, ini bukan sekadar formalitas—ia ingin membangun hubungan yang baik, meski hanya akan tinggal di tempat ini selama sebulan. Dengan tekad yang mantap, ia meraih bingkisan yang telah ia persiapkan sejak kemarin. Botol wine berkelas yang ia bawa langsung dari Paris menjadi pilihannya sebagai hadiah kecil. Bukan hanya karena kualitasnya yang istimewa, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan dan keramahan. Ia berharap tetangganya akan menghargainya. Langkahnya mantap saat ia berjalan keluar rumah, udara pagi yang sejuk menyambutnya. Dengan napas yang diatur agar tetap tenang, ia mendekati pintu rumah tetangganya, lalu mengulurkan tangan untuk menekan bel. Sejenak, ia berdiri m
Ren memarkirkan mobilnya dengan hati-hati di depan rumah, matanya tanpa sadar melirik ke arah rumah di sebelahnya. Lampu-lampu di dalamnya menyala terang, menerangi hampir setiap sudut rumah, menciptakan kesan bahwa penghuninya tengah sibuk dengan sesuatu. Ia langsung teringat pada perkataan Rose kemarin tentang adanya tamu yang akan datang, atau lebih tepatnya—tetangga baru. Dengan cepat, ia menyelesaikan proses parkir, memastikan mobilnya berada di posisi yang benar sebelum mematikan mesin. Dalam hati, ia hanya bisa berharap bahwa orang yang akan tinggal di sana bukan tipe yang terlalu ramah atau suka berbasa-basi secara berlebihan. Ia tidak ingin terlibat dalam percakapan panjang yang melelahkan, terutama dengan seseorang yang baru saja pindah ke lingkungan ini. Tanpa membuang waktu, Ren keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu rumahnya dengan langkah cepat. Sejak kemarin, setelah mendengar informasi dari Rose bahwa ia akan segera memiliki tetangga baru, ia memilih untuk me
Lima bulan yang lalu, Ren mulai memimpikan sosok seorang wanita berambut merah yang selalu muncul dalam tidurnya, seorang wanita dengan aroma bunga lavender yang lembut namun memabukkan, seakan-akan wangi itu sengaja diciptakan hanya untuknya, menguar dari setiap helai rambut dan kulitnya yang tampak halus bagai sutra, sementara pakaian tidurnya yang tipis membalut tubuhnya dengan sempurna, memperlihatkan lekuk-lekuk menggoda yang seolah menantangnya untuk mendekat, untuk menyentuh, untuk tenggelam lebih dalam dalam godaan yang ia sendiri tak mampu tolak, membuatnya terjebak dalam pusaran hasrat dan misteri yang semakin lama semakin sulit ia bedakan antara kenyataan dan mimpi. Ren mulai menyadari bahwa wanita itu menunjukkan interaksi yang tidak seperti biasanya, sesuatu yang berbeda dari kebiasaan yang selama ini terjadi dalam mimpinya. Biasanya, begitu ia terbangun di dalam alam bawah sadarnya, wanita berambut merah itu akan langsung menggodanya tanpa banyak kata, menjeratnya dala