Elena menutup matanya sejenak, membiarkan semua yang baru saja mereka bagi tenggelam dalam keintiman malam. Lalu, perlahan ia berbalik, kini menghadap Ren sepenuhnya. Wajah mereka hanya terpaut beberapa inci, dan cahaya bulan yang menyelinap masuk mempertegas garis lembut di wajah Ren, lelaki yang kini bukan lagi hanya sebuah misteri dalam mimpinya. "Apakah kau akan kembali ke Paris setelah satu bulan?" tanya Ren, suaranya terdengar pelan dengan nada yang mengandung ketidakrelaan. "Ya," jawab Elena sambil mengangguk pelan. "Itu pun jika seluruh pekerjaan di sini bisa diselesaikan tepat waktu dan tidak ada kendala yang berarti." Ren tidak langsung membalas. Pria itu hanya diam, sementara jemarinya perlahan memainkan helaian rambut Elena dengan gerakan lembut, seolah berusaha menenangkan kegelisahan yang diam-diam tumbuh di antara mereka. Setelah beberapa saat, Ren kembali bersuara. "Menurutmu… apakah kita bisa menjalani hubungan jarak jauh dengan baik?" Elena menatap mata Ren, men
Cahaya bulan yang lembut masuk lewat jendela, menerangi kamar dengan sinar temaram. Di atas tempat tidur, Ren memeluk Elena dari belakang. Tubuh mereka masih hangat setelah keintiman malam mereka. Malam terasa sunyi. Hanya suara burung hantu dari kejauhan dan angin yang berhembus pelan di luar jendela. Elena menggenggam tangan Ren yang melingkar di pinggangnya, erat, seolah tak ingin melepaskan Mereka tidak berbicara. Diam itu cukup. Dalam pelukan itu, mereka merasa tenang—seolah dunia hanya milik mereka berdua. Elena terus memainkan jemari Ren. Ia menyentuhnya pelan, menggulirkan jari di sepanjang telapak tangan itu. Sesekali ia meremasnya lembut, lalu meluruskan jari-jarinya satu per satu. Tangannya terasa hangat dan tenang. Elena seperti menemukan rasa nyaman hanya dengan menggenggamnya. Elena membuka mulutnya, hendak mengajukan sebuah pertanyaan kepada pria di sebelahnya. “Apa kau bisa menceritakan sesuatu tentang dirimu?” tanyanya sambil membalikkan kepala, menatap pria it
"Percayalah... jangan takut, Elena," bisik Ren lembut di kening Elena yang sedikit berkeringat, bibir pria itu mengecupnya dengan penuh kasih sayang. Ia merasakan tubuh Elena yang menegang di bawahnya dan berusaha memberikan ketenangan. "Aku akan melakukannya dengan perlahan, selembut mungkin. Percayalah padaku." Ren menatap mata Elena dalam-dalam, mata pria itu menyiratkan kejujuran yang mendalam. "Kau tahu, mungkin dalam mimpi-mimpi liar kita, kita sudah melakukan banyak hal hingga keintiman yang paling vulgar sekalipun. Tapi, menyentuhmu seperti ini, dan melakukan hubungan seksual adalah pengalaman pertama yang sesungguhnya bagiku juga, Elena. Kau adalah yang pertama bagiku untuk melakukan hal seperti ini." Dengan hati-hati, Ren mulai memposisikan penisnya di vagina Elena yang sudah basah. Ujung kepala penisnya yang besar dan keras menyentuh bibir vagina Elena, terasa begitu panas dan mengundang. Ren dengan sengaja menggesekkan kepala penisnya yang licin di se
Ren melepaskan tautan bibirnya dari puting Elena yang memerah, meninggalkan jejak basah yang berkilauan. Tanpa jeda, kepalanya merendah terus menurun, napas pria itu terasa panas menerpa kulit perut Elena yang menegang. “Ah!” Seru Elena dengan kaget, akibat tindakan pria itu. Tangan Ren telah membuka lebar kedua paha Elena yang gemetar, memperlihatkan dengan lebih jelas lubang basah miliknya yang sudah berdenyut tak sabar. Lubang vagina Elena terbuka dan tertutup dengan cairan menetes yang keluar dari lubang sempit itu. Mata Ren menggelap oleh hasrat saat ia menatap keindahan yang tersembunyi itu. Elena menutup wajahnya malu, karena dilihat begitu intens oleh Ren. “Cukup melihatnya.” “Sial, kau lebih basah dari sebelumnya,” setelah mengatakan kata-kata cabul tersebut pria itu langsung membenamkan wajahnya di antara lipatan-lipatan lembut yang sudah basah oleh cairan kenikmatan miliknya. Elena menggeliat di bawah sentuh
Dengan perlahan dan hati-hati, Ren membaringkan tubuh telanjang Elena di atas ranjang yang terasa lembut di bawah kulitnya. Namun, ia tidak melepaskan pelukannya. Tubuhnya menindih sebagian tubuh Elena, menahan beratnya di atas kedua lengannya, membiarkan kulit mereka terus bersentuhan dalam kehangatan yang membakar. Tatapan matanya tak pernah lepas dari Elena, seolah ingin mengabadikan setiap ekspresi hasrat yang terpancar dari wajah wanita itu. Udara di sekitar mereka terasa panas, dipenuhi dengan aroma gairah yang tak lagi bisa disembunyikan. Elena merasakan kelembutan sprei di bawah kulitnya yang telanjang, kontras dengan kehangatan tubuh Ren yang menindihnya sebagian. Meskipun begitu dekat, ia menyadari sepenuhnya perbedaan kondisi mereka. Ren masih terbalut pakaian, sementara dirinya benar-benar telanjang. “Kau curang, Ren,” bisik Elena dengan nada merajuk, melihat pria itu masih berpakaian lengkap di atas tubuhnya yang telanjang. Ia mendongak, menatap mata Ren dengan senyum
Saat tali pakaian dalam Elena meluncur melewati bahunya, diikuti oleh tali satunya, kain lembut itu jatuh dengan lambat, mengungkapkan kulitnya yang kini sepenuhnya telanjang dari pinggang ke atas. Cahaya remang-remang ruangan seolah menari di atas lekuk tubuhnya yang halus, menciptakan bayangan yang menggoda dan semakin membakar hasrat Ren. Elena hanya bisa menahan napas, merasakan sensasi dingin udara menyentuh kulitnya yang kini terasa begitu sensitif, bercampur dengan kehangatan napas Ren di belakangnya. Ren mengulurkan tangannya, menyentuh lembut kulit punggung Elena yang terbuka. Jemarinya yang panjang dan hangat menyusuri tulang belakangnya, menciptakan jejak menggelitik yang membuatnya sedikit menggeliat. Kemudian, tangannya bergerak ke samping, merengkuh pinggangnya yang ramping, menariknya semakin merapat hingga tubuh mereka bersentuhan sepenuhnya dari belakang. Elena bisa merasakan panas tubuh Ren menembus tipis kain celana dalamnya, mengirimkan gelombang kejutan yang memb
“Ugh...nngh...” Terjebak di antara tubuh Ren yang keras dan tak kenal ampun, Elena hanya bisa merespons dengan erangan tertahan yang keluar dari mulutnya. Serangan bibir pria itu bagai badai yang tak memberi jeda, bahkan untuk sekadar menarik napas. Setiap isapan kuat dari bibir Ren terasa seperti sengatan listrik yang menjalar ke seluruh tubuh Elena, membuatnya limbung dan kehilangan kendali. Bibirnya terasa semakin membengkak dan berdenyut nyeri, namun anehnya, rasa sakit itu bercampur dengan gelombang kenikmatan yang membingungkan. Lidahnya terasa kaku dan kelu akibat sedotan ganas Ren yang tak henti-hentinya menjelajahi setiap sudut dan celah di dalam mulutnya. Ren benar-benar menguasai dan mengeksplorasi rongga mulut Elena dengan kejam namun memabukkan, seolah ingin mengambil setiap inci napas dan esensinya. Slruuup! Cup! Suara decapan basah yang panas, perpaduan antara ludah dan napas mereka yang bertautan, memenuhi udara di sekitar mereka seperti mantra erotis yang sem
Bibir Ren yang awalnya menyentuh lembut, kini melumat ganas bibir Elena. Kepalanya miring, lidahnya menerobos masuk lebih dalam, menjamah setiap sudut mulut Elena dengan gerakan menghisap dan membelit yang rakus. Sesekali gigitan nakal di bibir bawah Elena menambah liar ciuman itu. Lidah Ren menjelajahi seluruh interior mulut Elena, membuatnya kehilangan kendali. Napas Elena tersengal, seolah ikut dihisap habis oleh ciuman Ren yang mendominasi. Jemarinya mencengkeram kuat lengan pria itu, satu-satunya yang bisa ia pegang di tengah badai sensasi yang menyerbunya. Tanpa melepaskan pagutan bibir mereka yang basah, Ren terus menciuminya sambil menaiki tangga. Ciuman itu adalah satu-satunya fokus mereka. Elena mencoba menarik kepalanya sedikit, mencari udara yang terasa begitu langka. “Ngh… Ren… tunggu… ini tangga…” desahnya di sela bibir mereka yang bertaut. Tanpa mengindahkan permintaannya, Ren tiba-tiba mengangkat tubuh Elena, menggendongnya erat. “Aaakh!” pekik Elena tertahan, ter
Elena menyadari bahwa Ren terus menatapnya sejak mereka mulai berdansa. Tatapan itu bukan sekadar pandangan biasa—ada sesuatu yang dalam, seperti seseorang yang berusaha menyimpan setiap detik dalam ingatannya. Dengan sedikit canggung, Elena mengangkat alis dan tersenyum kecil. “Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanyanya pelan, nyaris berbisik di tengah alunan musik. Ren masih tak memalingkan wajah, seolah tak ingin kehilangan momen itu. “Aku hanya...” Ia menghela napas ringan, mencoba merangkai kata. “Aku masih takjub kita benar-benar bertemu di dunia nyata. Dan sekarang, aku hanya ingin terus melihat wajah cantikmu ini… karena seringkali, saat terbangun dari mimpi, aku lupa seperti apa wajahmu.” Elena terkekeh pelan, meski pipi dan telinganya mulai memerah. “Berhenti… kau membuatku malu,” katanya sambil menunduk sedikit. Ren tersenyum, lalu bertanya, “Aku penasaran… saat pertama kali kita bertatapan, apa kau langsung mengenaliku?” Elena menatapnya sebentar, lalu menggeleng pel