Elena membuka matanya perlahan. Pandangannya sedikit kabur, dan pikirannya masih dalam kabut antara tidur dan sadar. Namun, satu hal yang segera ia sadari adalah ini bukan kamarnya.
Matanya menyapu ruangan yang di dominasi warna putih dengan hati-hati, memerhatikan setiap detail. Cahaya temaram dari lampu meja berlapis kuningan memantulkan kilauan lembut di atas permukaan meja rias mahoni yang mengilap. Cermin besar dengan ukiran halus di bingkainya menangkap bayangan kain putih yang menjuntai dari tempat tidur berkanopi, mengayun perlahan oleh hembusan angin malam yang menyelinap dari jendela berteralis besi. Lantai kayu parket yang tersusun rapi mencerminkan bias hangat dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Dinding ruangan dihiasi lukisan-lukisan berbingkai emas, sementara di meja kecil samping ranjang, beberapa buku berbahasa asing tergeletak seolah baru saja digunakan. Di luar jendela, langit malam terbentang pekat, bertabur bintang-bintang yang bersinar begitu terang, terlalu terang untuk kota tempat tinggalnya. Ia tidak bisa melihat lampu-lampu jalanan, tidak ada suara lalu lintas, tidak ada kehidupan modern yang biasa ia temui. Jantungnya berdegup lebih cepat. ‘Tunggu... Apa yang terjadi? Di mana aku?’ Ia berusaha mengingat kejadian terakhir sebelum tidur. Ia yakin baru saja menyelesaikan riset untuk pekerjaannya. Ia ingat bagaimana dirinya merasa kelelahan setelah membaca berjam-jam, lalu beranjak ke tempat tidur. Namun, mengapa saat ini ia terbangun di tempat yang begitu asing? Elena mencoba bergerak, dan saat itulah ia merasakan sesuatu yang lebih mengejutkan. Tubuhnya terasa hangat karena diselimuti kain yang lembut, tapi... tidak ada sehelai benang pun yang menutupi dirinya di balik selimut itu. “Apa-apaan ini?” bisiknya dengan suara serak, hampir tidak percaya. Refleks, ia menarik selimut lebih erat ke dadanya, merasakan bulu kuduknya meremang. Pikiran pertamanya adalah bahwa ia telah diculik. Namun, itu tidak masuk akal. Apartemennya memiliki sistem keamanan tinggi, dan ia tidak merasakan ada tanda-tanda paksaan di tubuhnya. Tidak ada rasa sakit, tidak ada bekas luka, tidak ada indikasi bahwa ia telah dibawa ke sini secara paksa. Hanya ada satu kemungkinan—bahwa ini mimpi. Namun, segala sesuatu terasa terlalu nyata. Ia bisa merasakan kelembutan kain selimut yang menyentuh kulitnya, aroma kayu mahoni yang memenuhi ruangan, serta kesejukan angin malam yang bertiup dari jendela. Semua ini terlalu detail untuk sekadar mimpi biasa. Jantungnya semakin berdegup kencang. Dengan gugup, ia menoleh ke samping. Saat itulah ia melihatnya. “Oh!” Refleks, ia menutup mulutnya dengan tangan, menahan suara yang hampir lolos dari bibirnya. Jantungnya berdebar seperti genderang perang. ‘Siapa pria ini?’ pikirnya panik. ‘Apa yang terjadi telah terjadi sebenarnya?’ Seorang pria sedang tidur di sebelahnya. Elena terdiam, napasnya tertahan. Pria itu tidur membelakanginya, punggungnya telanjang dan berotot, bergerak naik turun dengan ritme yang stabil saat bernapas. Rambut hitamnya sedikit berantakan, dan tubuhnya memancarkan kehangatan yang dapat ia rasakan bahkan dari jarak sejauh ini. Sekali lagi, Elena mencium aroma segar seperti dedaunan musim panas bercampur dengan wangi maskulin yang khas. ‘Aroma ini...’ pikirnya, merasa aneh karena mengenalinya. Ia menggeser sedikit badannya, berusaha menenangkan diri, tetapi tubuhnya justru semakin tegang. Ia mencoba menggali ingatannya, mencari petunjuk. Tidak ada. Tidak ada ingatan tentang dirinya bertemu dengan pria ini, apalagi tidur satu ranjang dengannya. Elena mengamati pria itu lebih dekat. Bahunya lebar, kulitnya terlihat sehat, napasnya pria itu tenang, seolah tidak terganggu oleh keberadaan Elena yang kini tengah dilanda kepanikan. Pria itu tiba-tiba membalikkan badan menghadapnya, dengan mata yang masih terpejam, wajah pria itu terlihat tampan, rahang tegas, alis tebal yang tajam, dan janggut tipis yang menambah kesan maskulin. Dada bidangnya bergerak perlahan seiring napasnya yang stabil, seakan dunia ini baik-baik saja. Namun bagi Elena, semuanya adalah kekacauan. 'Apa aku mulai gila, karena sering mengonsumsi obat sakit kepala? Mimpi macam apa ini? Bagaimana bisa rasanya begitu nyata.’ Saat Elena masih sibuk dengan pikirannya, pria itu bergerak. Tubuhnya yang semula telentang kini berguling, dan dalam sekejap mata, pria itu berbalik menghadapnya. Elena terpaku. Matanya membelalak saat pria itu membuka matanya, menatapnya dengan sorot tajam yang penuh pesona. “Kau puas melihatnya?” Suara bariton rendah itu bergetar di udara, menelusup ke dalam kesadarannya seperti magnet yang menarik semua atensinya. Elena tersentak mundur, bibirnya terbuka hendak menjawab, tetapi tidak ada suara yang keluar. Jantungnya berdetak liar. Pria itu menyeringai, wajahnya mendekat hingga napas hangatnya menyapu pipi Elena. “Aku tanya, kau puas melihat tubuhku?” Sebelum Elena sempat memahami situasi, pria itu tiba-tiba menggulingkan tubuhnya hingga ia berbaring, dan tubuh kokoh pria itu kini menindihnya. Dekat. Terlalu dekat. Elena bisa merasakan detak jantungnya yang menggila. “Apa kau menginginkannya lagi, sayang?” bisiknya di telinga Elena. Elena terbelalak. Sayang? Otaknya berputar, mencoba menyusun potongan-potongan memori yang hilang. Tetapi nihil. Semua yang tersisa hanya kehampaan. Ia merasakan tubuhnya bergerak dengan refleks, kedua tangannya mendorong dada pria itu. Terlalu keras, terlalu kokoh. Meski dengan seluruh tenaga, hanya ada sedikit celah yang berhasil ia ciptakan di antara mereka. “Maaf, Pak. Apa Anda tahu kita sedang berada di mana? Dan kenapa kita saling tidak berpakaian?” tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar. Pria itu memiringkan kepala, menyeringai dengan tatapan yang menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. “Pak?” ulangnya, seolah menikmati kata itu. “Apa kau ingin bermain peran denganku sekarang ini, sayang?” Elena menggigit bibir, semakin bingung dan waspada. Sebelum Elena sempat mengeluarkan satu kata pun sebagai jawaban, pria itu dengan cepat menangkap wajahnya di antara kedua telapak tangannya yang besar dan hangat. Dalam sekejap, bibirnya yang penuh dan sedikit terbuka langsung dilumat dengan kasar, seolah pria itu tak ingin memberinya kesempatan untuk berpikir atau melawan. Sentuhan bibir mereka begitu panas, begitu mendalam, membuat Elena tersentak, tapi bukan karena keterkejutan—melainkan karena sensasi luar biasa yang langsung menjalar dari bibirnya ke seluruh tubuhnya. Pria itu bukan hanya sekadar mencium, tapi dia mengklaim bibir Elena. Bibirnya menekan kuat, menghisap dengan intensitas yang hampir membuat Elena kehilangan keseimbangan, tangan pria itu merayap ke tengkuknya, menariknya semakin dekat hingga tubuh mereka bertaut tanpa celah. Ia bisa merasakan otot keras pria itu menempel di tubuhnya, suhu panas yang memancar dari kulitnya, seolah membakar bagian tubuhnya yang bersentuhan. “Akh! Tun-ggu, tid-ak!” Elena mencoba bertahan, mencoba menolak dominasi pria itu dengan tidak membuka mulutnya, tapi usaha itu sia-sia. Lidah pria itu dengan gigih mendesak, menggesek celah bibirnya, menuntut akses yang tak bisa ia tahan lebih lama lagi. Hingga akhirnya, dalam satu desahan yang tanpa sadar lolos dari tenggorokannya, pertahanannya runtuh. Bibirnya terbuka, dan dalam hitungan detik, lidah pria itu menerobos masuk, menari di dalam mulutnya dengan gerakan yang panas dan mendominasi. Elena tersentak, sensasi itu begitu intens. Lidah mereka bertemu dalam tarian yang basah dan penuh gairah, bergulat dalam permainan yang tidak ingin ia akui telah membuat lututnya melemas. Pria itu menghisap lidahnya dengan kuat. “Mmmmgh... Hei...” Tangan pria itu semakin erat di tengkuknya, sementara tangan lainnya melingkari pinggangnya, menariknya lebih dalam ke dalam ciuman yang semakin panas. Bibir mereka menyatu dalam ritme yang semakin intens, gerakan pria itu semakin dalam dan menuntut, membuat Elena terhanyut dalam gelombang kenikmatan yang ia sendiri tak bisa lawan. Udara terasa semakin tipis di antara mereka, tapi pria itu tidak mengendurkan ciumannya. Bahkan saat Elena mulai kehilangan napas, dia masih terus melumat bibirnya, menghisapnya seakan tidak ingin melepaskannya. Napas mereka menyatu, panas, memburu, memenuhi udara di antara mereka. Elena merasa tubuhnya semakin lemas, tangannya yang tadi terangkat untuk menahan dada pria itu kini beralih mencengkeram bahunya, seolah mencari pegangan agar tidak tenggelam lebih dalam pusaran hasrat yang baru saja dimulai. Tangan pria itu melanjutkan pergerakannya dengan perlahan namun penuh kepastian, jemarinya yang besar dan hangat menelusuri setiap lekuk tubuhnya dengan gerakan yang terasa menguasai, seolah sedang menghafal dan mengklaim setiap inci kulitnya. Dimulai dari tengkuknya yang sensitif, sentuhan itu mengalir turun dengan lembut, melintasi bahunya yang telanjang, lalu menyusuri tulang selangkanya yang halus dengan penuh kesabaran, seakan pria itu menikmati setiap detik eksplorasi ini. “Ugh... Ber-henti...” Jemarinya yang besar dan hangat kemudian menangkup payudara Elena. Sentuhan itu bukan lagi sekadar belaian lembut, melainkan remasan lembut yang membuat Elena mengejang kecil dan tanpa sadar mengeluarkan erangan tertahan. Pria itu yang mengerti titik sensitifnya, karena jemarinya langsung tertuju pada putingnya yang menegang. Ia memilin dengan gerakan pelan namun menggoda, yang membuat Elena semakin terengah-engah. Tangan pria itu yang lain tidak tinggal diam. Ia melanjutkan perjalanannya ke bawah, melewati perut rata Elena. Jemarinya kemudian menyentuh lembut celana dalam Elena, membelainya dengan gerakan halus tapi penuh tekanan. Elena merasakan bagian bawahnya semakin basah. “Aaaaah...” Elena terbuai oleh sentuhan seorang pria asing ini. Tanpa terduga, salah satu jari pria itu menyelusup masuk ke dalam celana dalamnya. Elena tersentak oleh invasi tiba-tiba itu, dilanjut dengan mengusap klitorisnya, dan salah satu jari pria itu mencoba masuk ke lubang kewanitaannya. Merasakan sakit akibat peregangan dari jari pria itu mencoba masuk ke dalam lubang kewanitaannya. Elena menahan napas, tubuhnya menegang dalam kebingungan antara keterkejutan dan sensasi asing yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa sakit akibat masuknya jari-jari tersebut membuat kesadaran Elena tersentak seperti disiram air es. “Berhenti!” serunya dengan nada panik dan penuh ketegasan, seketika melawan keterkejutan yang sempat melumpuhkannya. Tanpa berpikir lebih jauh, ia mengerahkan seluruh tenaganya dan dengan gerakan refleks, kedua tangannya mendorong dada bidang pria itu dengan kuat. Dorongan itu cukup untuk membuat pria tersebut terlepas dari tubuhnya, berguling ke sisi ranjang, meskipun ekspresi terkejut di wajahnya hanya bertahan sesaat sebelum berubah menjadi seringai penuh arti. Elena akan membuka mulutnya untuk berbicara, tapi tiba-tiba suara deringan telepon memenuhi pendengarannya, derik itu juga sesuatu seperti menyedot kesadarannya, dan semuanya menghitam—— Terkesiap! Kesadarannya kembali, Elena dengan napas memburu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, setelah melihat ke seluruh ruangan dan mengetahui ia sedang berada di kamar miliknya, Elena bernapas dengan lega. “Syukurlah, jadi itu tadi benar-benar mimpi?” Elena mengerang, ia segera memegang mulutnya yang masih bisa merasakan rasa panas dari mulut pria itu, hembusan napasnya, dan tangan panas pria itu yang menjelajahi tubuhnya juga. Memiliki mimpi erotis yang terasa nyata seperti ini benar-benar hal yang tidak terduga. Tring! Tring! Tring! Nada dering ponselnya terus berbunyi dari tadi. “Halo, Mr. Caiden?” Elena mengangkat telepon dari bosnya. —“Miss Hadley, maaf meneleponmu saat pagi buta seperti ini. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan. Kau nanti tidak perlu datang bertemu dengan Mr. Roney, itu sudah di selesaikan. Jadi, langsung saja datang bekerja ke kantor.” Suara bariton dengan kesan dingin bosnya memberi tahu Elena tentang inormasi tersebut. “Baik, Mr. Caiden. Terima kasih atas informasinya,” jawab Elena dengan sopan. —“Oke.” Telepon di matikan. Elena melihat jam yang menunjukkan pukul 05:10, jika itu di suasana hatinya yang sedang normal, Elena mungkin akan marah dan menggerutu sepanjang harinya karena harus menerima telepon pagi buta seperti ini. Tapi sekarang, ia berterima kasih kepada Mr. Caiden yang telah meneleponnya dan membuat ia terbangun dari mimpi konyol miliknya.Bulan madu. Pulau Bora-bora. Bora Bora menyambut mereka seperti lukisan hidup yang baru selesai diwarnai. Langit biru kobalt, laut laguna berlapis-lapis warna biru pirus, hijau zamrud, dan nila, mengelilingi gunung vulkanik Otemanu yang menjulang megah dengan puncak tersapu awan. Udara hangat dan lembab, beraroma asin segar bercampur harum bunga Tiare Tahiti yang menghiasi sambutan bandara kecil Motu Mute. Mereka menuju resort mewah dengan perahu bermotor yang melaju di atas laguna yang begitu jernih sehingga dasar laut dengan karang dan ikan warna-warni terlihat jelas. Elena memegang erat tangan Ren, matanya takjub menatap sekeliling. Perasaan yang berbeda menyelimutinya: bukan lagi ketegangan atau pencarian, melainkan kedamaian yang mendalam dan kebahagiaan tanpa syarat. “Seperti mimpi,” bisik Elena, menatap Ren. Cahaya matahari sore memantul di wajahnya yang berseri. Ren mencium keningnya. “Apa kamu menyukainya?” Vila mereka adalah sebuah overwater bungalow mewah.
SATU TAHUN KEMUDIAN OTTAWA, KANADA Musim semi baru saja menyapa kota, menyapu sisa-sisa dingin dari trotoar, mengganti salju dengan kuntum-kuntum bunga sakura yang perlahan mekar di tepi Sungai Rideau. Di sebuah vila kayu elegan di pinggir danau Gatineau, Elena berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih gading dengan detail renda halus di bahu dan lengan. Rambutnya disanggul longgar, beberapa helai dibiarkan jatuh alami membingkai wajahnya. Di lehernya tergantung liontin kecil berbentuk bulan sabit, warisan dari neneknya yangdk dengan makna baru: bukan lagi simbol kutukan, tapi pelindung ikatan cinta yang kini telah bebas. Suara langkah pelan terdengar dari belakang. Shannon masuk, mengenakan gaun hijau daun zaitun yang menonjolkan warna matanya. “Kau... terlihat seperti sesuatu yang keluar dari puisi musim semi,” katanya sambil tersenyum. Elena membalas senyum itu, wajahnya tenang tapi matanya berkilau. “Terima kasih...” Shannon menyentuh bahunya dengan lembut.
Malam semakin pekat, desiran angin berbisik melalui celah-celah jendela tua seolah membawa pesan dari masa silam. Cahaya bulan purnama yang semula menggantung berat kini merayap perlahan, menyentuh lantai kayu vila, menciptakan kolam perak yang dingin. Waktunya semakin dekat. Elena dan Ren berdiri di tengah ruang utama, perapian dan lilin-lilin menjadi saksi bisu. Mereka telah menyapu lantai, menyingkirkan perabot, membuat ruang kosong di bawah jendela besar. Di lantai, mereka menggambar lingkaran besar dengan garam kasar, di dalamnya simbol-simbol aneh yang mereka salin ragu-ragu dari catatan tua Marylin yang terselip di balik rak buku, garis-garis berpotongan, setengah lingkaran, dan titik-titik yang menyerupai konstelasi. Di pusat lingkaran, di atas sehelai kain hitam, belati itu terbaring. Logamnya kini memancarkan cahaya biru pucat yang lebih terang, berdenyut lembut selaras dengan detak jantung Elena. “Siap?” tanya Ren, suaranya serak. Elena mengangguk, napasnya pendek. “K
Matahari baru saja mulai terlihat, menebar cahaya lembut ke apartemen Elena yang masih berantakan setelah pergumulan semalam. Ren sudah berdiri di dekat jendela, mengenakan kaus hitam dan celana kargo yang baru saja di belinya, wajahnya serius saat dia mengemas ransel kecil dengan efisien. Jejak-jejak keintiman di lantai kayu. Elena muncul dari kamar mandi, rambutnya masih lembap, membungkus tubuhnya dengan jubah mandi. Matanya langsung tertuju pada Ren dan ranselnya. “Sudah siap?” tanyanya, suaranya sedikit serak. Ren mengangguk, tidak berhenti mengemas. “Sudah. Semakin jauh dari keramaian kota, semakin baik. Tempat yang sunyi... Aku telah menyewa sebuah vila di desa.” Dia melemparkan pandangannya ke belati kuno yang kini terbaring di atas meja kecil antik itu, terbungkus kembali dalam beludru pudar. Logamnya menyerap cahaya pagi, terlihat dingin dan penuh janji berbahaya. Elena berharap semuanya akan berjalan lancar, meski jauh di dalam hatinya, ada ketegangan yang tidak bisa
“Di sini,” geram Ren tiba-tiba, tangannya yang besar menekan perut bawah Elena dan mengubah sudutnya sedikit. Dorongan berikutnya-“Ah! REN!” Elena menjerit, matanya membelalak. Ren telah menemukan titik itu, titik rahasia dalamnya yang langsung menyulut api liar. Setiap dorongan berikutnya dengan sengaja menghantam titik G-spotnya, mengikis akal sehatnya. “Lihatlah bagaimana bagian dalamnya mencengkeramku dengan erat,” bisik Ren dengan nafsu, matanya gelap menatap tempat mereka bersatu, menyaksikan bagaimana tubuh Elena menyambutnya, mencengkeram penisnya setiap kali dia menarik. “Sepertinya kau sangat merindukanku.” Tangannya merayap naik, mencubit puting Elena yang sudah keras dan sensitif. Sensasi ganda itu-dorongan dalam yang tepat dan cubitan yang menyengat, membuat Elena menggelepar tak karuan. Batang keras tersebut terus mengenai titik kenikmatannya, seperti kilat panas yang menyambar-nyambar di kegelapan, menghanguskan setiap sisa akal sehat yang masih bertahan. Setiap d
Suasana kamar Elena disinari remang-remang lampu jalan Paris yang menyelinap lewat tirai. Ren menurunkannya perlahan di atas ranjang, tubuhnya membayangi Elena seperti perlindungan sekaligus penaklukan. Gaun sutra itu sudah tergelincir hingga pinggang, menyingkapkan bahu dan lekuk tulang selangka yang memikat. Napas Ren memburu saat jemarinya menyusuri garis bahu itu, panas dan gemetar. “Kau sempurna,” gumamnya, suara serak penuh kekaguman yang membuat Elena merinding. Bibirnya menyusuri kembali jejak yang baru saja disentuhnya dimulai dari puncak bahu, turun perlahan ke lekuk leher, lalu berhenti di titik nadi yang berdebar kencang. Setiap ciuman terasa seperti pengakuan, seperti doa. Elena mengerang lemah saat tangan Ren merambat ke punggungnya, menyelesaikan apa yang dimulai resleting itu. Gaun itu akhirnya menyerah, melorot sepenuhnya dan menumpuk di pinggangnya seperti kembang yang layu. Ren menarik napas tajam, memandangi tubuh yang tersingkap dalam cahaya temaram. Lekuk pa