Di sisi lain, seorang pria melangkah mantap menuruni tangga menuju sebuah ruang bawah tanah yang tersembunyi. Langkahnya tenang, penuh percaya diri, seolah ia sudah sangat akrab dengan tempat itu. Dua orang penjaga berkulit hitam, bertubuh tinggi dan berotot, mengikutinya dari dekat dengan sikap waspada. Mereka membawa senjata api yang tergenggam erat di tangan, mata mereka terus mengawasi sekeliling dengan tajam. Sesampainya di ruangan utama bawah tanah, cahaya temaram dari lampu gantung menciptakan bayangan panjang di dinding-dinding lembab yang dingin. Suasana ruangan itu penuh dengan aroma alkohol, asap cerutu, dan jejak-jejak kekuasaan yang sunyi namun mengintimidasi. Di tengah ruangan, seorang pria paruh baya duduk santai diatas sofa kulit gelap yang tampak usang namun masih berkelas. Ia dikelilingi oleh dua perempuan muda yang menemaninya dengan senyum tipis dan pandangan kosong, seolah mereka sekadar bagian dari dekorasi ruangan. Di tangannya tergenggam segelas minuman kera
Tring! Tring! Tring! Suara deringan telepon terus berulang di dalam kamar yang masih gelap. Elena terbangun dengan mata setengah terbuka, ia baru tertidur beberapa jam saja, sambil sedikit memicingkan matanya memfokuskan pandangan ke arah meja di samping tempat tidur. Layar ponselnya menyala dan terus bergetar, menyiratkan urgensi yang tak biasa. Dengan gerakan malas, ia meraih ponsel tersebut. Jam di meja menunjukkan pukul 04:20 dini hari. 'Siapa yang menelepon sepagi ini?’ “Audrey?” gumamnya pelan, membaca nama yang tertera di layar. ‘Apa telah terjadi sesuatu?’ Hatinya berdesir. Ia segera melepaskan diri dari pelukan Ren yang masih tertidur lelap di sampingnya, lalu berjalan keluar kamar agar tak mengganggunya. Begitu sampai di lorong, ia menekan tombol hijau di layar dan menjawab panggilan. “Halo, Audrey?” —“Miss Hadley, gawat...” Suara tercekat dan napas tersengal Audrey langsung menyergap telinga Elena, penuh kepanikan dan ketakutan. Firasat buruk langsung menyelimuti
Elena masih terengah-engah, tubuhnya lemas setelah orgasme yang begitu intens. Matanya yang berkaca-kaca menatap Ren dengan campuran kepuasan dan keinginan yang belum sepenuhnya terpuaskan. “Ren...” desisnya, suaranya serak. “Kau benar-benar menyiksaku tadi.” Ren hanya tersenyum, matanya gelap oleh nafsu yang masih membara. La melangkah mendekati Elena, tangannya yang besar meraih paha wanita itu, membelai kulitnya yang halus dengan sentuhan penuh kepemilikan. “Kau suka itu, bukan?” bisiknya, jari-jarinya perlahan menyusuri celah basahnya yang masih berdenyut. “Kau bahkan lebih basah sekarang.” Elena mengerang saat Ren menyentuh klitorisnya yang sensitif, tubuhnya langsung bereaksi meski baru saja mencapai puncak. “Ngh... Ren, jangan disentuh... aku masih sensitif...” Tapi Ren mengabaikan permintaannya. Kali ini, ia tidak berniat menggoda lebih lama. Gairahnya sendiri sudah terlalu tinggi untuk ditahan. Dengan gerakan cepat, pria itu membuka celananya, membebaskan ereksi
"Kau harus buka kakimu lebih lebar lagi, Elena." Ren mengamati dengan tatapan penuh nafsu saat Elena duduk di atas meja, tubuhnya telanjang bulat, pahanya terbuka lebar, memperlihatkan bagian paling intimnya dengan vulgar. Lubang kewanitaannya yang basah terbuka dan menutup seperti mencoba menyedot sesuatu, mengungkapkan kelembaban yang sudah mulai mengkilat di antara celahnya. Ren menggigit bibir bawahnya, menahan keinginan untuk langsung menyentuh, memuaskan dirinya dengan menggambar setiap lekuk tubuh Elena yang memanas. Plak! Tamparan keras mendarat di paha bagian dalam Elena, membuatnya menggeliat. “Akh-!” suaranya tercekik, tapi bukan karena sakit, justru sebaliknya. Sensasi panas dari pukulan itu menyebar, membuat lubangnya semakin berdenyut, mengeluarkan lebih banyak lagi cairan yang membuat celah lubangnya semakin licin. “Lebih lebar,” Ren mendesak, suaranya berat dan penuh kendali. “Aku ingin melihat semuanya. Setiap lipatan, setiap tetes yang keluar dari dirimu.
Ren mencondongkan tubuhnya, membiarkan ujung penisnya yang tegang dan besar menggesek lembut bibir vagina Elena yang masih basah dan berdenyut setelah orgasmenya. Sentuhan pertama itu mengirimkan aliran listrik ke seluruh tubuh Elena, membuatnya kembali mendesah lirih, menantikan penyatuan yang lebih dalam dan memuaskan. “Ugh... Ren...cepatlah.” Tuntut Elena dengan berani. Mendengar tuntutan Elena yang penuh hasrat, seringai liar terukir di bibir Ren. Tanpa menunggu lebih lama, pria itu meraih pinggul Elena, mengangkatnya sedikit, dan dengan satu gerakan mantap, menusukkan kejantanannya yang keras dan berdenyut ke dalam vagina Elena yang sudah basah dan siap menerimanya. “Aaakh…” Elena kembali menjerit, kali ini bercampur antara rasa penuh dan nikmat yang luar biasa. Ia merasakan kejantanan Ren yang besar mengisi seluruh rongga vaginanya, meregangkan dinding-dindingnya dengan sempurna. Ren terdiam sejenak, membiarkan Elena menyesuaikan diri dengan kehadirannya. Dia bisa merasa
Ren mengangkat tubuh Elena dengan sigap, mendudukkannya di atas batu yang lebih tinggi hingga kedua pahanya terbuka lebar. Gerakan tiba-tiba itu membuat Elena sedikit terkejut, namun ia dengan cepat menyadari maksud Ren yang ingin kembali memanjakannya dengan sentuhan intim pria itu. Namun, sebelum Ren dapat mencondongkan tubuhnya dan menghisap area sensitif di antara paha dalam Elena, ia dengan cepat menahan kepala Ren dengan kedua tangannya. “Tunggu!” sergah Elena, meskipun napasnya masih tersengal-sengal akibat gejolak hasrat yang belum sepenuhnya mereda. Ren mengerutkan kening, tampak bingung dengan penolakan tiba-tiba itu. “Kenapa? Apa ada yang salah?” tanyanya dengan suara serak, matanya menatap Elena penuh tanya. Elena menelan ludah, merasakan sedikit gugup sekaligus berdebar-debar. Selama ini, dalam setiap momen keintiman mereka, Ren selalu menjadi pihak yang memberikan kenikmatan padanya. Ia selalu dimanja dengan sentuhan, ciuman, dan penetrasi yang membuatnya mencapa