Di kejauhan tempat lain, di sebuah jalan berbatu yang sunyi, Ren akhirnya tiba di Mansion tempat penyulingan berada. Sebagian besar jendelanya tertutup rapat, hanya cahaya redup dari beranda yang menyambut kedatangannya. Kabut tipis mulai menggantung rendah di udara malam. Ren memarkir mobilnya tak jauh dari pintu depan. Ia duduk sejenak, membiarkan angin malam yang lembab dan dingin menerpa wajahnya yang letih. Saat ia membuka pintu mobil dan berdiri, sosok Bibi Louise muncul dari balik pintu dengan langkah tergesa-gesa, wajahnya tampak cemas. “Ren... Kenapa kembali?” serunya, napasnya sedikit tersengal. “Ya Tuhan, kau pasti kelelahan. Apa ada yang tertinggal? Kenapa tidak menelepon saja dulu?” Ren hanya mengangguk kecil, suaranya rendah dan singkat, “Ada sesuatu yang harus kucari. Ini mendesak.” Langkah-langkah Ren menggema pelan saat ia menaiki anak tangga kayu yang mulai usang menuju pintu besar berukir yang menyimpan begitu banyak kenangan. Udara di sekitarnya terasa berat,
Selama perjalanan semuanya penuh keheningan. Suara mesin mobil terdengar seperti latar sunyi yang menegaskan betapa tegang suasana di dalam kendaraan itu. Cahaya lampu jalan menyinari interior mobil sesekali, menyorot wajah-wajah yang tegang dan penuh pikiran masing-masing. Hingga akhirnya, Mr. Caiden yang sejak tadi memperhatikan kaca spion, membuka suara. “Sepertinya truk di belakang sedang mengikuti mobil kita,” katanya tanpa mengalihkan pandangan dari spion samping. “Benarkah?” sahut Audrey, dengan nada curiga, matanya langsung melirik ke cermin spion dalam. Elena juga menoleh ke belakang, matanya menyipit berusaha menangkap bayangan kendaraan yang dimaksud. Sebuah truk berwarna gelap, besar dan tampak usang, melaju di jalur yang sama, dengan jarak yang terlalu konsisten sejak beberapa kilometer terakhir. “Kecepatannya sama dengan kita. Saat tadi ada kesempatan menyalip, truk itu tetap di belakang. Tidak ada niat mendahului,” lanjut Mr. Caiden. Kali ini ia menoleh pada Audrey.
Mereka berempat melangkah keluar dari gedung kantor polisi, meninggalkan suasana tegang di balik tembok bata merah itu. Angin sore menyapu lembut trotoar. Untuk saat ini, yang bisa mereka lakukan hanyalah menunggu hasil analisis dari tim forensik siber yang tengah menelusuri jejak digital Samuel Brody. Ren menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Kalian bertiga bisa melanjutkan pencarian. Aku harus kembali ke tempat Penyulingan—ada sesuatu yang harus kucari tahu di sana sebelum malam ini.” Perkataan itu sontak membuat Elena menoleh dengan alis terangkat. Ia terkejut mendengarnya, terlebih karena Ren baru saja kembali dari lokasi yang sama pagi tadi, dan perjalanan menuju Mansion Penyulingan bukanlah rute singkat. Perjalanan itu memakan waktu panjang, menyusuri jalan-jalan sempit pedesaan dan melewati perbukitan yang tak ramah di malam hari. “Ren, apa tidak sebaiknya kau pergi besok saja?” ujar Elena cemas, suaranya lembut namun sarat kekhawatiran. “Kau bahkan belum sempat bena
Mereka berempat telah sampai di kantor polisi yang menangani kasus mereka. Gedung itu tampak sederhana dari luar, dengan tembok bata merah dan plakat logam yang memudar terkena hujan dan waktu. Di dalam, suasana lebih sibuk daripada yang mereka perkirakan. Beberapa petugas lalu-lalang, suara telepon dan bunyi ketikan komputer berpadu membentuk irama khas ruangan yang dihuni oleh urgensi dan keteraturan. Seorang perwira muda menyambut mereka begitu Audrey memperkenalkan diri. “Tunggu sebentar. Inspektur Harlan sudah menunggu kalian,” katanya sebelum mempersilahkan mereka mengikuti ke ruang penyelidikan di lantai dua. Ruangannya tidak terlalu besar, dengan jendela yang menghadap ke jalan utama dan papan gabus penuh catatan tempel serta foto-foto. Di balik meja kayu yang penuh berkas, duduk seorang pria paruh baya dengan rambut perak yang disisir rapi dan sorot mata tajam seperti sedang menimbang setiap gerakan mereka. “Silakan duduk,” katanya tanpa basa-basi. “Saya Inspektur Harlan.”
“Miss Hadley!” Suara itu menggema cukup keras di tengah hiruk-pikuk lalu lintas kota. Elena spontan menoleh, alisnya bertaut karena suara itu terdengar begitu familiar, membangkitkan kilasan masa lalu yang baru saja ingin ia tinggalkan. Begitu matanya menangkap sosok yang mendekat, napasnya tertahan. Ia membelalak, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Mr. Caiden...?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar oleh siapa pun di sekitarnya. Itu benar-benar Mr. Caiden—dengan jas gelap yang sedikit kusut, dasi yang terlepas dari simpul sempurnanya, dan wajah yang tampak lelah namun menyimpan kegelisahan yang jelas terbaca. Ia baru saja turun dari sebuah taksi, dan tanpa memperdulikan sekeliling, segera berlari menghampiri Elena. Langkahnya cepat, penuh urgensi, seolah waktu sedang mengejarnya dan setiap detik berarti. Elena berdiri terpaku di tempat, seolah kedua kakinya tertambat pada trotoar. Otaknya berusaha keras memproses kenyataan bahwa pria itu kini berdiri hanya beberapa
Mereka akhirnya tiba di Ottawa tepat saat matahari mulai terbit, sinarnya yang hangat perlahan menyibak kabut tipis pagi dan menyinari jalanan yang masih lengang. Mobil berhenti di depan gedung utama, dan Elena menatap pemandangan di depannya dengan sorot mata penuh kecemasan. Meskipun situasi tampak lebih tenang dibandingkan yang ia bayangkan, bekas kekacauan masih jelas terlihat. Beberapa petugas keamanan berjaga, garis polisi membentang di sekitar area yang terkena dampak. Pecahan kaca, sisa-sisa serpihan, dan aroma samar dari asap yang sempat membumbung masih terasa di udara. Elena melangkah keluar dari mobil dan mengamati gedung dengan saksama. Hatinya sedikit lega saat mengetahui bahwa ledakan tidak menyebar ke seluruh bangunan. Hanya satu ruangan yang terdampak parah, dan itu pun berhasil diisolasi dengan cepat berkat respons tanggap dari tim keamanan dan pemadam. Ia tahu keadaan bisa jauh lebih buruk, dan rasa syukur perlahan menggantikan kekhawatirannya. Dari kejauhan, Ele