“Apa yang terjadi, Jenar?” tanya Patih Danapati begitu raja Astagina itu tiba di istana.Jenar tak menjawab. Perempuan itu terus berjalan cepat menuju istananya diiringi dua pengawal dan beberapa pelayan. Patih Danapati ikut mengekorinya hingga sampai di ambang gerbang istana raja.“Kau tanyakan saja pada Jatiwungu, dia mengetahui semuanya,” ucap Jenar dingin. Perempuan itu segera masuk dan meminta penjaga untuk menutup pintu sekaligus mencegah Patih Danapati untuk masuk.Patih Danapati tertegun. Pasti sudah terjadi peristiwa besar hingga Jenar bersikap demikian. Sekacau-kacaunya ia memimpin kerajaan sebesar Astagina, ia tak pernah begitu acuh dan dingin kepada orang yang lebih tua meski semua bawahannya.Lelaki bertubuh tegap dengan tato di lengan kiri itu beranjak dari istana raja. Tujuannya hanya satu, mencari informasi sebanyak-banyaknya kepada Senopati Jatiwungu. Ia juga tak melihat Putra Mahkota dan kedua penasihat raja. Padahal mereka pergi dari istana bersama-sama dua hari lal
“BRAKK! Jenar menghantam meja di hadapannya hingga terbelah menjadi dua. Patih Danapati dan Senopati Jatiwungu terhenyak. Tak pernah mereka mendapati rajanya sedemikian marah. Kedua mata Jenar dipenuhi emosi yang meledak-ledak. Wajah cantiknya memang masih terlihat, namun ada senggurat kebencian dan dendam di sana. “Apa sudah kau lakukan sesuai perintahku, Jatiwungu?” bentak Jenar. “Ampun, Gusti, kami sudah mencari di dasar jurang itu. Bahkan dua orang prajurit menjadi korban karena terperosok saat mencoba naik ke permukaan,” lapor Senopati Jatiwungu. “Persetan dengan prajurit itu! Aku yakin Arya masih hidup. Tusuk konde emasku tak kembali dan api Cundhamani di istana tak kunjung padam!” ketus Jenar. Baginya lebih baik Arya mati di hadapannya dari pada tak memberi kepastian seperti ini. “Jenar, mohon dimengerti. Medan pencarian teramat sulit dan memang suamimu tak bisa ditemukan,” ucap Patih Danapati mencoba membuat emosi Jenar mereda. Jenar menatap sinis Patih Danapati. Di istan
Aruna berjongkok di sisi pusara kakeknya. Sudah tiga purnama sejak kejadian naas itu dan ia masih tak bisa memaafkan dirinya sendiri. Kematian kakeknya bermula dari ketidakmampuannya mengendalikan diri hingga menewaskan Kertajaya, kakeknya dari ibunda Rara Anjani. Sebelumnya pemuda itu sudah melukai ayundanya dan mungkin luka itu akan terus disandang Rara Sati seumur hidup.Pemuda itu membersihkan dan mencabuti rumput liar yang tumbuh di makam Sanggageni. Hal yang selalu ia lakukan acap kali berkunjung. Tiada bakti yang sempat Aruna persembahkan kepada mantan pimpinan Baka Nirdaya itu semasa hidup.“Kakekmu pasti senang selalu kau kunjungi, Aruna,” suara berat pria tua menghentikan lamunan Aruna.“Guru....”“Aku sudah menceritakan semua tentang kakekmu. Beliau nyaris tak punya kekurangan. Hal tentangnya hanya keberanian dan panutan,” ucap Legawa setelah berjongkok pula di sebelah muridnya itu.“Ya, tidak seperti aku, Guru. Aku lah penyebab tak langsung kematian kakek,” ucap Aruna penu
“Sudah aku duga kau akan menanyakannya, Aruna. Aku tak salah memilihmu sebagai murid.” Legawa kembali menepuk pundak Aruna yang tersenyum sebab sebentar lagi mengetahui jati diri gurunya.“Jadi apa kau benar-benar seorang pangeran, Guru?” tanya Aruna berbinar-binar. Legawa hanya tertawa hingga wajahnya mendongak mendengar tanya muridnya itu.“Bagiku itu sudah tak penting lagi, Aruna.” Legawa melangkah menjauh dari makam Sanggageni. Kedua tangannya sibuk menyibak ilalang demi mendapatkan jalan yang bisa dilalui. Pria itu berhenti manakala dataran sudah menurun.“Apa itu begitu berat, Guru? Maaf menanyakan hal ini. Padahal kau sudah mengatakan kita berdua punya kemiripan,” ucap Aruna setengah menyesali. Namun Legawa menggeleng dan masih tetap menyunggingkan senyum. Pertanda pertanyaan Aruna tak menjadi soal untuknya.“Sena Merhaba, kakek tirimu yang bergelar Kertajaya itu, dia lah yang menghancurkan segalanya,” ucap Legawa sendu. Matanya nanar menghadap bentangan ilalang di hadapan mere
Kabut tipis entah dari mana datangnya mulai menutupi pandangan. Bermula dari puncak tiga gunung yang menghilang, hingga pandangan ke telapak tangan sendiri pun mulai kabur. Tak ada yang bisa dilakukan Aruna selain berdecak kagum. Sedang bagi Legawa, ia sudah beberapa kali melihat Ghanaswara dilakukan.“Luar biasa,” decak Aruna.“Ini belum seberapa. Di titik terkuatnya kau bahkan tak mampu melihat ujung hidungmu sendiri,” timpal Legawa sembari tersenyum. Lelaki itu bersedekap tak bergerak, karena hanya itu yang bisa ia lakukan.“Aku tak menyangka selain ilmu pengobatan, Ki Bayanaka menguasai ilmu sehebat ini!” puji Aruna lagi. Ia sama sekali tak tahu bahwa di balik sosok bersahaja itu terdapat Ghanaswara yang begitu kuat.“Di Rakajiwa kau tak boleh hanya mengandalkan satu ilmu, Aruna. Meski mahir di pengobatan, ilmu kanuraganmu tak boleh kosong begitu saja. Biasanya ada yang lebih menonjol di antara keduanya,” terang Legawa.“Ya, aku mengerti, Guru,” ucap Aruna singkat. Pemuda itu mena
Ki Bayanaka memejamkan mata. Wajahnya memerah pertanda tengah mengalirkan tenaga dalam jumlah besar. Telapak tangan kanan di dada Aruna perlahan menghangat. Tubuh putra Arya dan Jenar itu bergetar seperti tengah dirasuki sesuatu. Namun ia sama sekali tak merasakan sakit.Legawa yang mulanya memperhatikan muridnya dan reaksi yang diterima. Namun kemudian ia lebih memperhatikan wajah dan tubuh Ki Bayanaka yang kian melemah. Telapak tangan pria tua itu kini memendarkan cahaya biru yang segera diserap oleh tubuh Aruna.Sebuah sentakan mengakhiri perpindahan energi itu. Membuat tubuh Aruna terpental sedikit ke belakang. Sedang tangan kanan Ki Bayanaka segera luruh ke pembaringan. Pria tua itu tak lagi bergerak. Tak ada pula gerakan dada karena tarikan napas.“Kakanda!” seru Legawa sembari memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan kakak seperguruannya itu.“Ki!” Aruna segera menghambur turut memeriksa kondisi kakek angkatnya. Hanya menyaksikan wajah Legawa saja ia sudah tahu bahwa Ki Baya
Tatapan mata Jenar mendadak kosong. Jemarinya bergetar, tampak saat menyeka rambut yang menjuntai ke wajah. Setelahnya ia hanya duduk untuk beberapa masa. Entah apa yang ia pikirkan. Sedang Patih Danapati terus menunggu sepatah kata yang keluar dari mulutnya.“Akhirnya dia mati juga,” lirih Jenar.“Apa yang harus kita lakukan, Gusti?” tanya Patih Danapati.Jenar menoleh kepada patihnya itu. Matanya kembali terisi oleh kebencian dan hilangnya simpati. “Kau tak bisa menemukan dia, bukan? Maka hentikan pencarian dan nyalakan kembali api itu?” titahnya.“Api Cundhamani? Bagaimana mungkin aku mendapatkan api itu?” tanya Patih Danapati.“Bodoh!” potong Jenar. “Siapa yang tahu itu api Cundhamani atau bukan? Api itu hanya simbol Astagina dilindungi kekuatan Arya. Nyalakan kembali, terserah dengan api apa!” titahnya.“Sendika, Gusti!” sahut Patih Danapati.Lelaki itu segera meninggalkan raja sekaligus sepupunya itu. Entah sudah berapa kali ia merasa tak dihargai seperti ini. Rasa sesal menerim
“Apa kita bisa ke bawah sana, Guru?” tanya Aruna meski sedikit ragu.“Tentu saja bisa. Tanpa sepengetahuanmu dan Ki Bayanaka, aku selalu mendatangi tempat ini, ke dasarnya. Tapi tiga kedatanganku terakhir aku nyaris tak bisa keluar. Ada hal tak kasat mata yang menyedot tenagaku,” ucap Legawa sekaligus mengubur keinginan Aruna untuk turun.“Mengapa bisa begitu?” Aruna terus memperhatikan jurang gelap itu. Juga beberapa bagian tepi yang menjorok ke bawah. Ia berharap dapat melaluinya.“Aku pun tak tahu. Dan aku tak ingin mengambil risiko untuk ke bawah sana denganmu,” terang Legawa.“Jadi, aku tak bisa menemui ayahandaku?” rengek Aruna.“Setelah berhasil ke bawah pun kau belum tentu menemukannya. Saranku, kuasai dulu Lembat Brabat dan kau akan bisa ke sana seorang diri.” Legawa menatap wajah rikuh muridnya. Ia tahu pemuda itu kecewa.Aruna mengangguk seraya membulatkan tekad untuk segera menguasai ilmu andalan gurunya itu. Tanpa berkata-kata Legawa sudah mengetahui bahwa pangeran Astagi