SUARA-suara jeritan yang saling susul membuat suasana bertambah mencekam. Lebih-lebih bagi dua perempuan di dalam kereta. Pelukan Dyah Wedasri Kusumabuwana pada simbok emban semakin erat saja.
Di kaki langit sebelah barat, matahari telah berubah menjadi bulatan jingga nan sempurna. Siap berlabuh di peraduannya. Gelap sebentar lagi datang.
Sementara pertarungan berlangsung semakin tak seimbang. Para prajurit Panjalu boleh saja masih unggul dalam jumlah. Tapi kemampuan rata-rata mereka nyata sekali berada di bawah lelaki bercadar. Alhasil, dikeroyok dua-tiga pun tidak menyulitkan bagi komplotan pengadang.
Crasss! Crasss!
“Aaaaaaa!”
Dua lagi prajurit Panjalu di sebelah belakang kereta roboh ke tanah. Luka lebar tampak menganga di dada dan perut mereka. Darah segera saja membasahi sekujur tubuh keduanya, lalu mengalir turun ke permukaan tanah.
Kini jumlah pasukan pengawal kereta tinggal sepuluh orang. Empat di depan menghadapi tiga lawan, enam lagi di belakang menghadapi empat orang. Wyara sudah termasuk di dalamnya.
Sahabat Tumanggala tersebut satu di antara sedikit prajurit Panjalu dengan kemampuan di atas rata-rata. Karenanya ia menjadi satu-satunya anggota pasukan yang mampu mendesak lawan.
Dengan cerdik Wyara menyeret salah seorang pengadang keluar dari kalangan. Setelah bertarung setengah jurus, lawannya dibabat roboh dengan satu sabetan maut.
“Modaaar!” seru Wyara menggeram.
Crassss!
Mata pedang Wyara yang tajam menciptakan luka lebar memanjang di punggung lawan. Darah segar muncrat dari tubuh yang segera ambruk ke tanah itu.
Namun kematian satu anggota pengadang harus dibayar mahal. Tiga lelaki bercadar lain tidak terima kawan mereka dihabisi. Sembari menggembor marah, ketiganya meningkatkan serangan. Tiga bilah golok berkesiuran dengan sebat.
Wuuutt! Wuuutt! Wuuutt!
Wyara yang menyadari ancaman tersebut segera kembali bergabung dengan lima temannya. Namun terlambat. Belum sempat prajurit itu melakukan sesuatu, komplotan lelaki bercadar sudah kembali meminta korban.
“Aaaaaa!”
Dua lagi prajurit pengawal kereta di bagian belakang ambruk ke tanah. Mereka berkelojotan sebentar di tanah sambil memegangi bagian tubuh yang terluka. Darah berceceran di mana-mana. Mengantar lepasnya nyawa kedua prajurit tersebut.
Di dalam kereta, Dyah Wedasri kian ketatkan pelukannya pada simbok emban. Susah payah sang puteri menahan tangis akibat rasa takut. Tak urung tubuhnya gemetar, dengan keringat dingin membanjiri wajah dan punggung.
“Bagaimana ini, Mbok? Para pengawal kita agaknya kalah,” desis Dyah Wedasri dalam ketakutannya.
Simbok emban mau tak mau menanggapi. “Pertarungan belum berakhir, Gusti. Semoga saja Arya Tumanggala dan prajurit lain dapat mengalahkan orang-orang jahat itu.”
Sebisa mungkin simbok emban tahan suaranya agar tak terdengar bergetar. Ia tak ingin menambah ketakutan junjungannya, meski tahu hal tersebut sia-sia belaka.
“Di mana Ki Bekel Wikutama, Mbok? Aku tidak melihatnya sejak ia ditendang lelaki bercadar di depan sana,” kata Dyah Wedasri lagi.
Kali ini simbok emban tidak menjawab. Selain karena ia memang tidak memerhatikan sang bekel. Juga karena khawatir pembicaraan itu justru membuat mereka berdua semakin jeri.
Kembali ke pertarungan. Keadaan memaksa Wyara berlaku nekat. Lawan berjumlah tiga orang, dan mereka juga tinggal bertiga. Meski secara jumlah berimbang, Wyara yakin sekali pihaknya bakal keok dengan mudah. Karena itu ia terpaksa memanggil tiga prajurit yang tadi ia minta tetap menjaga kereta.
Pertarungan kembali pecah. Enam prajurit Panjalu yang dipimpin Wyara merangsek tiga lelaki bercadar. Sedangkan keadaan lebih parah terjadi di bagian depan kereta, di mana Tumanggala berada.
Jika kelompok pengawal di belakang kehilangan delapan prajurit, yang di sebelah depan tinggal tiga orang. Sementara lawan yang dihadapi sudah berkurang menjadi dua. Ini menandakan betapa alotnya perlawanan para pengadang.
“Setan alas! Kalau begini terus bisa-bisa keselamatan Gusti Puteri terancam,” geram Tumanggala, mulai mencium adanya ancaman yang kian membesar.
Sejauh itu sang arya masih belum bisa menyelesaikan pertarungan. Kemampuan lelaki bercadar yang menjadi lawan ia rasa tak jauh berbeda dengannya.
Sudah puluhan jurus berlalu, masih belum ada tanda-tanda musuhnya kehabisan tenaga apalagi terdesak. Tumanggala mulai menyadari dirinya hanya bisa menang jika menggunakan otak cerdik alih-alih ototnya.
“Huh, lihat! Prajuritmu sudah berkurang banyak. Andai saja tadi kalian menuruti permintaanku secara baik-baik, tak akan ada korban berjatuhan seperti ini,” ejek si lelaki bercadar, membuyarkan rencana yang sedang dirancang Tumanggala.
“Jangan mimpi! Niatmu jahat, mana mungkin kami akan memenuhinya begitu saja,” balas Tumanggala tak kalah sengit. Sekilas ingatannya kembali mengatakan jika suara itu tidak asing di telinganya, namun ia memilih mengabaikan.
“Hukuman berat menantimu di alun-alun, pengecut keparat!” lanjutnya.
Si lelaki bercadar ganda tertawa sebagai tanggapan. Tapi suara tawanya langsung lenyap manakala Tumanggala menyabetkan pedang dengan sebat. Dengan lincah ia melenting ke belakang untuk menghindar.
Bersamaan dengan itu tangan lelaki bercadar meraup sesuatu dari balik angkin, lalu melemparkannya ke depan. Sejumlah benda tajam melesat ke arah Tumanggala, diiringi suara berdesing nan ribut.
Sing! Sing! Sing!
Meski tak dapat melihat dengan jelas bentuk senjata rahasia tersebut, Tumanggala tak mau celaka. Cepat-cepat tangannya yang masih terayun hendak mengirim sabetan pedang ditarik pulang. Kejap berikutnya ia sudah jatuhkan diri ke tanah dan bergulingan beberapa kali.
Sial! Belum sempat Tumanggala kembali berdiri, si lelaki bercadar sudah menyerang lagi. Golok di tangannya disabetkan dengan deras, menyambut kepala sang arya yang sedang bergerak ke atas.
“Bebedah tengik!” maki Tumanggala geram. Ia merasa tak diberi kesempatan bernapas!
Karena sambaran golok sudah sangat dekat, Tumanggala pilih cara tercepat untuk menggagalkan serangan. Pedang pun ia kiblatkan ke muka, memotong sambaran golok lawan.
Tranggg!
Pedang dan golok beradu. Suara berdentrangan keras menggema dalam senja. Tumanggala mengernyit ketika merasakan tangannya seolah kesemutan. Sedangkan lelaki bercadar di depannya tersurut mundur beberapa langkah.
Tak mau buang-buang kesempatan, Tumanggala mendesak lawan yang tengah lengah. Pedangnya disabetkan sedemikian rupa sehingga mengurung lelaki bercadar. Lalu di satu kesempatan golok lawan berhasil ia buat mental.
Klontang!
“Keparat!” geram si lelaki bercadar. Terdengar napasnya terengah-engah.
Bukan saja senjata lepas dari genggaman yang membuatnya tersentak. Tapi lelaki itu juga merasakan telapak tangan hingga sikunya nyeri bukan main.
“Huh, prajurit sialan ini ternyata benar-benar punya kemampuan mumpuni. Aku harus lebih berhati-hati,” batin lelaki tersebut. Namun ia tak bisa terus berbicara sendiri. Tumanggala sudah datang lagi mengirim serangan.
“Rasakan!” seru Tumanggala yang arahkan ujung pedangnya ke dada lawan.
Si lelaki bercadar mendengus pendek. Tak mungkin serangan itu ditangkis dengan tangan kosong. Satu-satunya pilihan adalah melompat menghindar. Maka ia pun bersiap hendak lentingkan tubuh.
Rupanya tusukan Tumanggala tadi hanya tipuan belaka. Karena begitu tubuh si lelaki bercadar bergerak melenting, sang arya cepat-cepat tarik serangannya. Berikutnya dengan tak kalah sigap ia lemparkan pedang ke depan.
Wuuttt!
Senjata tersebut melesat secepat angin dalam gerakan berputar-putar bagai kitiran. Nyaris tak terlihat mata, tahu-tahu saja sudah tinggal sejengkal dari punggung lelaki bercadar.
Yang diserang memaki jengkel, tapi hanya bisa pasrah. Ia tak mungkin membuat gerakan lagi di saat tubuhnya sedang berjungkir balik di udara begitu rupa.
Tumanggala menyeringai puas. Yakin sekali serangannya tak dapat dihindari lawan. Namun tinggal sejari lagi ujung pedang menembus kulit orang, terdengar suara bentakan keras dari arah samping. Lalu diikuti suara berdesing yang disertai berkelebatnya satu benda.
Traanggg!
***
Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut
"INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."
ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s
USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me
"ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia
"ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski
"APA maksudmu, Keparat?" tanya Tumanggala setengah menggeram. "Apa yang telah kau perbuat pada ayah kandungku?" Genggaman Tumanggala kian erat memegangi pergelangan tangan Kridapala. Ia tak sudi melepas mantan atasannya itu sebelum mendapatkan kejelasan mengenai kedua orang tuanya. Dari apa yang diucapkan Kridapala kepadanya sejak di atas sampan tadi, Tumanggala langsung menduga kuat jika Kridapala mengenal baik ayah-ibu kandungnya. Bahkan bisa jadi mantan bekel tersebut tahu banyak apa yang menimpa dua orang tersebut. Kridapala sendiri menyeringai susah payah sebagai tanggapan. Setengah menahan sakit, setengahnya lagi sengaja mengejek Tumanggala yang tampak kian penasaran terhadap apa yang sudah ia sampaikan. "Ayahmu seorang terhormat, Tumanggala, seorang besar yang disegani semua kalangan di kerajaan ini," jawab Kridapala kemudian, meski dengan napas terengah-engah. "Andai saja nasib malang tidak menimpanya, aku pastikan masa kecilmu sangat bahagia. Kau tumbuh di puri indah lagi
SAMBIL terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada, hati Tumanggala seketika berdesir. Dari sini saja ia langsung tahu jika Kridapala sesungguhnya memiliki kemampuan tenaga dalam lebih tinggi.Wajar sebetulnya, sebab seorang bekel kerajaan memang haruslah menguasai setidaknya tenaga dalam tingkat menengah. Tumanggala yang belum lama naik jabatan jadi wira tamtama, serta selalu melarikan diri dari gurunya, masih belum terlalu mendalami kepandaian tersebut."Aku harus mencari akal," gumam Tumanggala kemudian.Ia paham benar, dirinya tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Kridapala. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang baru saja ia derita bakal semakin parah. Bahkan dapat mengancam nyawa!Di kejauhan, Kridapala tampak berdiri tenang-tenang. Sekilas pandang sepertinya lelaki tersebut tidak merasakan apa-apa. Beradunya pukulan tenaga dalam tadi seolah tidak menimbulkan akibat buruk sedikit pun padanya.Namun itu hanyalah akal-akalan Kridapala. Ia tak sudi terlihat lebih lemah
"BAJINGAN kau, Tumanggala!" Triguna meraung setinggi langit. Diikuti mendesis-desis tak karuan.Tadi, ketika melihat pertahanan Triguna terbuka, Tumanggala langsung memanfaatkan kesempatan bagus tersebut. Ia entakkan sebelah kaki sekuat tenaga, mengirim tendangan bertenaga dalam tinggi ke dada lawan.Karena gerakannya semakin lamban, Triguna tak kuasa bergerak menghindar. Lelaki itu hanya bisa coba menangkis dengan kedua tangan, tetapi tendangan Tumanggala terlalu deras baginya.Dadanya memang terhindar dari terjangan, tetapi tapak kaki Tumanggala tanpa ampun menghajar kedua tangan Triguna. Suara berderak tadi adalah pertanda jika sepasang tangan lelaki tersebut mengalami patah tulang.Di tempatnya, Kridapala bergidik menyaksikan keadaan Triguna. Sudahlah pangkal bahunya bergeser, kini kedua tangan pun terkulai lemah karena mengalami patah tulang."Menyerahlah, Triguna. Tabib istana pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu," ujar Tumanggala yang juga tampak mengernyit ngeri. Bagaimanapun