Share

Pertempuran Celaka

TUMANGGALA sempat dibuat bingung melihat Ki Bekel Wikutama malah menyerang musuh. Bukankah tadi atasannya itu sudah membagi tugas? Dan menghadapi keempat lelaki bercadar di hadapan mereka menjadi tanggung jawab Tumanggala.

Amarah yang membuncah agaknya membuat sang bekel lupa pada segala-galanya. Termasuk ucapannya sendiri. Alih-alih menunggu lawan melakukan serangan, lelaki tersebut justru terlebih dahulu menyerbu.

Namun  sudah terlanjur. Serangan Ki Bekel Wikutama sedikit lagi sampai. Maka Tumanggala cepat mengambil  tindakan. Ia pun memberi isyarat tangan pada Wyara, meminta sahabatnya itu untuk mengamankan kereta.

"Lindungi kereta! Mereka menginginkan yang kita bawa!" seru Tumanggala. Sengaja ia mengatakan ‘yang kita bawa’ agar tidak tegas-tegas menyebut nama Dyah Wedasri yang tengah diincar para pengadang.

Wyara cepat mengangguk, lalu tampak memberi perintah pada beberapa prajurit lain. Mereka memusatkan kekuatan di sekitar pintu kereta.

Sementara serangan Ki Bekel Wikutama kian dekat. Pedang di tangan lelaki ini menyabet dua kali. Satu terarah pada batang leher lawan, sedangkan satu lagi mengincar perut. Sungguh serangan berganda yang sangat mematikan.

Sring! Sring!

Toh, lelaki bercadar hitam yang diserang justru keluarkan tawa gelak-gelak. Tawa yang membuat darah Ki Bekel Wikutama semakin mendidih.

"Ah, kau ini rupanya sebangsa kesatria yang cepat marah, Orang Tua," ujar si lelaki bercadar. Lagi-lagi sengaja membakar amarah Ki Bekel Wikutama.

Usai berkata begitu, lelaki tersebut cabut golok besar yang sedari tadi tergantung di pinggang. Sret! Alih-alih menunggu serangan lawan mendekat, ia justru merangsek ke depan. Bergerak menyongsong dengan golok diputar-putar di depan dada.

Trang! Trang!

Sabetan pedang Ki Bekel Wikutama menghantam badan golok lawan. Suara berdentrang keras pun memecah udara. Tak terima serangan pertamanya digagalkan dengan mudah, sang bekel langsung susulkan serangan kedua.

"Makan ini!" geram Ki Bekel Wikutama sembari mengirim sambaran ke arah dada.

Lelaki pengadang keluarkan dengusan. Lalu tidak disangka-sangka ia malah lentingkan tubuh ke atas. Kejap berikutnya kedua kaki si lelaki bercadar sudah mendarat di batang pedang Ki Bekel Wikutama. Seolah-olah dirinya seekor capung saja!

Sang bekel berseru kaget. Demikian pula dengan Tumanggala yang sejauh itu masih tetap di atas punggung kudanya. Apa yang dilakukan lelaki bercadar tersebut menandakan kemampuan peringan tubuhnya tidak bisa dianggap main-main.

"Kau yang makan ini, Orang Tua Besar Mulut!" bentak lelaki tersebut, bersamaan dengan gerak kakinya mengirim satu tendangan cepat.

Ki Bekel Wikutama yang masih ternganga kaget tak sempat menghindar. Tendangan itu pun mendarat telak di rahang kiri sang bekel. Menimbulkan suara berderak seperti tulang bergeser atau patah.

"Aaaaa!"

Kerasnya tendangan itu tak hanya membuat leher Ki Bekel Wikutama terpelintir. Tubuhnya juga ikut terpental beberapa langkah ke belakang. Hampir saja lelaki paruh baya itu jatuh duduk di tanah, andai tak dapat segera menyeimbangkan diri.

Jeritan Ki Bekel Wikutama terdengar sampai kereta. Baik Dyah Wedasri maupun simbok emban hapal betul suara itu. Tak urung mereka merasa perlu mengintip dari balik tirai untuk memastikan.

"Ki Bekel kena hantam!" seru simbok emban sembari tutup mulut dengan kedua tangan. Wajahnya benar-benar pucat.

"Oh!" Dyah Wedasri tak dapat berkata apa-apa. Hanya sepasang matanya yang membelalak ngeri, dengan paras tegang ketakutan.

Di tempatnya, wajah Ki Bekel Wikutama sudah berubah merah kehitaman seluruhnya. Pertanda amarah benar-benar telah menguasai lelaki tersebut.

"Setan haram jadah!" geram sang bekel dengan suara bergetar. Kepalan tangannya menggenggam gagang pedang erat-erat.

Melihat itu Tumanggala buru-buru melompat turun dari kudanya. Segera ditahannya gerakan sang bekel yang sudah bersiap hendak melakukan serangan lagi.

"Tahan, Ki Bekel! Biar aku saja yang mengurus cecunguk kurang ajar ini," seru Tumanggala.

"Bunuh dia, Tumanggala! Kelancangannya harus ditebus dengan nyawa!" sahut Ki Bekel Wikutama menggeram.

"Serahkan dia padaku, Ki Bekel. Aku pastikan dia akan menyesali perbuatannya ini," kata Tumanggala pula. Setelah itu, sret! Pedang andalannya tahu-tahu saja sudah keluar dari warangka.

Lelaki bercadar menyeringai sinis. Tangannya yang kosong sekali lagi ditelusupkan ke balik cadar. Lalu terdengar suitan panjang lagi keras.

Tumanggala dan Ki Bekel Wikutama tercekat. Tadi suitan seperti itu adalah isyarat bagi serangan panah. Apakah sekarang juga demikian?

Tak mau menduga-duga, Ki Bekel Wikutama langsung meloncat ke arah kereta. Bergabung bersama Wyara dan prajurit lain. Agaknya sang bekel sudah ingat pada pengaturan tugas yang tadi dibuatnya.

Sring! Sring! Sring!

Pada saat bersamaan terdengar suara berdesing ramai. Disusul munculnya belasan anak panah dari balik semak-semak. Tapi kali ini para prajurit Panjalu sudah bersiaga. Pedang di tangan mereka cepat bergerak menghalau serangan.

Tring! Tring! Tring!

Sekali lagi tempat itu dipenuhi oleh suara berdentringan nan ramai. Anak-anak panah yang terkena sabetan pedang berjatuhan ke tanah dalam keadaan terpotong dua.

Namun agaknya para pengadang tak mau memberi kesempatan. Belum sempat para prajurit Panjalu bernapas lega, kembali belasan anak panah melesat ke arah mereka.

"Keparat!" maki Ki Bekel Wikutama dengan geraham bergemeletuk. Sambil memutar-mutar pedangnya untuk menghalau lesatan anak panah, lelaki paruh baya itu melompat ke arah semak-semak.

Di lain pihak, Tumanggala menggembor keras sembari buka serangan pada empat lelaki bercadar di hadapannya.

"Jangan diam saja! Serang mereka!" serunya memberi perintah pada para prajurit lain.

Sret! Sret!

Sepuluh prajurit di bagian depan kereta kuda mencabut pedang masing-masing. Lalu bersamaan dengan gerakan Tumanggala, mereka ikut melesat pula ke arah para pengadang.

Sebelas pedang berkiblat di udara. Empat lelaki bercadar yang diserang sama menggeram. Masing-masing cabut golok dari warangka di pinggang, lalu bergerak menyongsong datangnya serangan.

"Hiaaaattt!"

Wuuttt! Wuuttt! Wuuttt!

Lelaki bercadar yang paling depan terlihat hendak mengeluarkan satu suitan lagi. Namun Tumanggala bergerak sigap, merangsek ke arah orang itu sembari babatkan pedang ke perut yang terbuka lebar.

Yang diserang mau tak mau urungkan niat. Cepat-cepat tangannya kembali diturunkan. Bersamaan dengan itu tangannya yang memegang golok disabetkan untuk menghalau serangan.

Traaanggg!

Pertempuran pun pecah setelahnya. Tumanggala menghadapi lelaki yang sedari tadi menjadi juru bicara para pengadang. Sementara sepuluh prajurit mengurung tiga anggota komplotan bercadar lainnya.

Di sebelah belakang, empat lelaki bercadar hitam menyerbu para prajurit yang berjaga-jaga di sekitar pintu kereta. Wyara memberi isyarat pada empat rekannya untuk menghadapi serangan. Sementara tiga lainnya tetap pada posisi semula.

Sayang, Wyara dan empat prajurit lain langsung dibuat keteteran oleh lawan mereka. Belum lagi tiga jurus berlalu, korban jiwa sudah jatuh dari pihak pengawal kereta. Seorang prajurit roboh bersimbah darah. Jeritannya menyayat hati.

"Sial dangkalan!" maki Wyara. Kalau lima lawan empat saja mereka kalah, apalagi sekarang empat lawan empat. Maka ia pun berseru ke depan, "Tumanggala, bantu kami!"

Kejadian tersebut sebenarnya tak luput dari amatan Tumanggala. Meski tengah sibuk meladeni serangan lawan, sudut mata sang arya masih dapat menangkap adanya ketimpangan jumlah prajurit dengan gerombolan pengadang.

Tumanggala tak mau keselamatan Dyah Wedasri terancam. Begitu mendengar seruan Wyara, di sela-sera gerakannya menyerang dan menghindar ia keluarkan perintah.

"Empat orang cepat pindah ke belakang!" serunya pada sepuluh prajurit di bagian depan.

Tanpa mengurangi ancaman pada tiga lelaki bercadar yang tengah mereka keroyok, empat dari sepuluh prajurit tersebut keluar dari kalangan pertempuran. Mereka langsung bergabung ke bagian belakang.

Sekilas, kini pertarungan terlihat lebih seimbang. Setiap anggota gerombolan pengadang dihadapi oleh setidaknya dua-tiga prajurit Panjalu. Namun Tumanggala mungkin lupa jika keunggulan jumlah tidak selalu berarti keunggulan dalam hal kemampuan.

Berjalan empat-lima jurus lagi, jeritan menyayat terdengar susul-menyusul. Diikuti rebahnya dua-tiga prajurit Panjalu dengan tubuh bersimbah darah.

"Aaaaaa!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status