Home / Pendekar / Arya Tumanggala 2 / Pertempuran Celaka

Share

Pertempuran Celaka

Author: Kebo Rawis
last update Last Updated: 2021-10-03 09:05:12

TUMANGGALA sempat dibuat bingung melihat Ki Bekel Wikutama malah menyerang musuh. Bukankah tadi atasannya itu sudah membagi tugas? Dan menghadapi keempat lelaki bercadar di hadapan mereka menjadi tanggung jawab Tumanggala.

Amarah yang membuncah agaknya membuat sang bekel lupa pada segala-galanya. Termasuk ucapannya sendiri. Alih-alih menunggu lawan melakukan serangan, lelaki tersebut justru terlebih dahulu menyerbu.

Namun  sudah terlanjur. Serangan Ki Bekel Wikutama sedikit lagi sampai. Maka Tumanggala cepat mengambil  tindakan. Ia pun memberi isyarat tangan pada Wyara, meminta sahabatnya itu untuk mengamankan kereta.

"Lindungi kereta! Mereka menginginkan yang kita bawa!" seru Tumanggala. Sengaja ia mengatakan ‘yang kita bawa’ agar tidak tegas-tegas menyebut nama Dyah Wedasri yang tengah diincar para pengadang.

Wyara cepat mengangguk, lalu tampak memberi perintah pada beberapa prajurit lain. Mereka memusatkan kekuatan di sekitar pintu kereta.

Sementara serangan Ki Bekel Wikutama kian dekat. Pedang di tangan lelaki ini menyabet dua kali. Satu terarah pada batang leher lawan, sedangkan satu lagi mengincar perut. Sungguh serangan berganda yang sangat mematikan.

Sring! Sring!

Toh, lelaki bercadar hitam yang diserang justru keluarkan tawa gelak-gelak. Tawa yang membuat darah Ki Bekel Wikutama semakin mendidih.

"Ah, kau ini rupanya sebangsa kesatria yang cepat marah, Orang Tua," ujar si lelaki bercadar. Lagi-lagi sengaja membakar amarah Ki Bekel Wikutama.

Usai berkata begitu, lelaki tersebut cabut golok besar yang sedari tadi tergantung di pinggang. Sret! Alih-alih menunggu serangan lawan mendekat, ia justru merangsek ke depan. Bergerak menyongsong dengan golok diputar-putar di depan dada.

Trang! Trang!

Sabetan pedang Ki Bekel Wikutama menghantam badan golok lawan. Suara berdentrang keras pun memecah udara. Tak terima serangan pertamanya digagalkan dengan mudah, sang bekel langsung susulkan serangan kedua.

"Makan ini!" geram Ki Bekel Wikutama sembari mengirim sambaran ke arah dada.

Lelaki pengadang keluarkan dengusan. Lalu tidak disangka-sangka ia malah lentingkan tubuh ke atas. Kejap berikutnya kedua kaki si lelaki bercadar sudah mendarat di batang pedang Ki Bekel Wikutama. Seolah-olah dirinya seekor capung saja!

Sang bekel berseru kaget. Demikian pula dengan Tumanggala yang sejauh itu masih tetap di atas punggung kudanya. Apa yang dilakukan lelaki bercadar tersebut menandakan kemampuan peringan tubuhnya tidak bisa dianggap main-main.

"Kau yang makan ini, Orang Tua Besar Mulut!" bentak lelaki tersebut, bersamaan dengan gerak kakinya mengirim satu tendangan cepat.

Ki Bekel Wikutama yang masih ternganga kaget tak sempat menghindar. Tendangan itu pun mendarat telak di rahang kiri sang bekel. Menimbulkan suara berderak seperti tulang bergeser atau patah.

"Aaaaa!"

Kerasnya tendangan itu tak hanya membuat leher Ki Bekel Wikutama terpelintir. Tubuhnya juga ikut terpental beberapa langkah ke belakang. Hampir saja lelaki paruh baya itu jatuh duduk di tanah, andai tak dapat segera menyeimbangkan diri.

Jeritan Ki Bekel Wikutama terdengar sampai kereta. Baik Dyah Wedasri maupun simbok emban hapal betul suara itu. Tak urung mereka merasa perlu mengintip dari balik tirai untuk memastikan.

"Ki Bekel kena hantam!" seru simbok emban sembari tutup mulut dengan kedua tangan. Wajahnya benar-benar pucat.

"Oh!" Dyah Wedasri tak dapat berkata apa-apa. Hanya sepasang matanya yang membelalak ngeri, dengan paras tegang ketakutan.

Di tempatnya, wajah Ki Bekel Wikutama sudah berubah merah kehitaman seluruhnya. Pertanda amarah benar-benar telah menguasai lelaki tersebut.

"Setan haram jadah!" geram sang bekel dengan suara bergetar. Kepalan tangannya menggenggam gagang pedang erat-erat.

Melihat itu Tumanggala buru-buru melompat turun dari kudanya. Segera ditahannya gerakan sang bekel yang sudah bersiap hendak melakukan serangan lagi.

"Tahan, Ki Bekel! Biar aku saja yang mengurus cecunguk kurang ajar ini," seru Tumanggala.

"Bunuh dia, Tumanggala! Kelancangannya harus ditebus dengan nyawa!" sahut Ki Bekel Wikutama menggeram.

"Serahkan dia padaku, Ki Bekel. Aku pastikan dia akan menyesali perbuatannya ini," kata Tumanggala pula. Setelah itu, sret! Pedang andalannya tahu-tahu saja sudah keluar dari warangka.

Lelaki bercadar menyeringai sinis. Tangannya yang kosong sekali lagi ditelusupkan ke balik cadar. Lalu terdengar suitan panjang lagi keras.

Tumanggala dan Ki Bekel Wikutama tercekat. Tadi suitan seperti itu adalah isyarat bagi serangan panah. Apakah sekarang juga demikian?

Tak mau menduga-duga, Ki Bekel Wikutama langsung meloncat ke arah kereta. Bergabung bersama Wyara dan prajurit lain. Agaknya sang bekel sudah ingat pada pengaturan tugas yang tadi dibuatnya.

Sring! Sring! Sring!

Pada saat bersamaan terdengar suara berdesing ramai. Disusul munculnya belasan anak panah dari balik semak-semak. Tapi kali ini para prajurit Panjalu sudah bersiaga. Pedang di tangan mereka cepat bergerak menghalau serangan.

Tring! Tring! Tring!

Sekali lagi tempat itu dipenuhi oleh suara berdentringan nan ramai. Anak-anak panah yang terkena sabetan pedang berjatuhan ke tanah dalam keadaan terpotong dua.

Namun agaknya para pengadang tak mau memberi kesempatan. Belum sempat para prajurit Panjalu bernapas lega, kembali belasan anak panah melesat ke arah mereka.

"Keparat!" maki Ki Bekel Wikutama dengan geraham bergemeletuk. Sambil memutar-mutar pedangnya untuk menghalau lesatan anak panah, lelaki paruh baya itu melompat ke arah semak-semak.

Di lain pihak, Tumanggala menggembor keras sembari buka serangan pada empat lelaki bercadar di hadapannya.

"Jangan diam saja! Serang mereka!" serunya memberi perintah pada para prajurit lain.

Sret! Sret!

Sepuluh prajurit di bagian depan kereta kuda mencabut pedang masing-masing. Lalu bersamaan dengan gerakan Tumanggala, mereka ikut melesat pula ke arah para pengadang.

Sebelas pedang berkiblat di udara. Empat lelaki bercadar yang diserang sama menggeram. Masing-masing cabut golok dari warangka di pinggang, lalu bergerak menyongsong datangnya serangan.

"Hiaaaattt!"

Wuuttt! Wuuttt! Wuuttt!

Lelaki bercadar yang paling depan terlihat hendak mengeluarkan satu suitan lagi. Namun Tumanggala bergerak sigap, merangsek ke arah orang itu sembari babatkan pedang ke perut yang terbuka lebar.

Yang diserang mau tak mau urungkan niat. Cepat-cepat tangannya kembali diturunkan. Bersamaan dengan itu tangannya yang memegang golok disabetkan untuk menghalau serangan.

Traaanggg!

Pertempuran pun pecah setelahnya. Tumanggala menghadapi lelaki yang sedari tadi menjadi juru bicara para pengadang. Sementara sepuluh prajurit mengurung tiga anggota komplotan bercadar lainnya.

Di sebelah belakang, empat lelaki bercadar hitam menyerbu para prajurit yang berjaga-jaga di sekitar pintu kereta. Wyara memberi isyarat pada empat rekannya untuk menghadapi serangan. Sementara tiga lainnya tetap pada posisi semula.

Sayang, Wyara dan empat prajurit lain langsung dibuat keteteran oleh lawan mereka. Belum lagi tiga jurus berlalu, korban jiwa sudah jatuh dari pihak pengawal kereta. Seorang prajurit roboh bersimbah darah. Jeritannya menyayat hati.

"Sial dangkalan!" maki Wyara. Kalau lima lawan empat saja mereka kalah, apalagi sekarang empat lawan empat. Maka ia pun berseru ke depan, "Tumanggala, bantu kami!"

Kejadian tersebut sebenarnya tak luput dari amatan Tumanggala. Meski tengah sibuk meladeni serangan lawan, sudut mata sang arya masih dapat menangkap adanya ketimpangan jumlah prajurit dengan gerombolan pengadang.

Tumanggala tak mau keselamatan Dyah Wedasri terancam. Begitu mendengar seruan Wyara, di sela-sera gerakannya menyerang dan menghindar ia keluarkan perintah.

"Empat orang cepat pindah ke belakang!" serunya pada sepuluh prajurit di bagian depan.

Tanpa mengurangi ancaman pada tiga lelaki bercadar yang tengah mereka keroyok, empat dari sepuluh prajurit tersebut keluar dari kalangan pertempuran. Mereka langsung bergabung ke bagian belakang.

Sekilas, kini pertarungan terlihat lebih seimbang. Setiap anggota gerombolan pengadang dihadapi oleh setidaknya dua-tiga prajurit Panjalu. Namun Tumanggala mungkin lupa jika keunggulan jumlah tidak selalu berarti keunggulan dalam hal kemampuan.

Berjalan empat-lima jurus lagi, jeritan menyayat terdengar susul-menyusul. Diikuti rebahnya dua-tiga prajurit Panjalu dengan tubuh bersimbah darah.

"Aaaaaa!"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Arya Tumanggala 2   Kata Penutup

    Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut

  • Arya Tumanggala 2   Rindu Citrakara

    "INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."

  • Arya Tumanggala 2   Kembali ke Daha

    ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s

  • Arya Tumanggala 2   Kejutan Dyah Wedasri

    USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me

  • Arya Tumanggala 2   Rahasia Petapa Tua

    "ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia

  • Arya Tumanggala 2   Penolong Tak Terduga

    "ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status