GEROBAK berisi upeti yang dirampas Begal Alas Wengker merupakan milik Baginda Raja. Upeti itu dikirim oleh penguasa Wurawan sebagai tanda setia pada Panjalu. Kembali ditemukannya upeti tersebut merupakan satu hal yang bakal sangat menyenangkan hati Sang Prabu.
Di pelupuk mata Arya Lembana seketika terbayang, penghargaan seperti apa yang bakal diberikan oleh Sang Prabu padanya atas keberhasilan menemukan upeti tersebut. Belum lagi berbagai macam harta benda yang akan diterimanya sebagai hadiah.
Sembari terus mengulum senyum, di dalam hatinya Arya Lembana mulai menyusun cerita yang hendak ia jadikan sebagai laporan pada Sang Prabu. Pada saat itulah sang senopati tiba-tiba saja teringat pada Tumanggala.
"Lalu, apa yang dilakukan oleh prajurit bernama Tumanggala itu terhadap Ranasura?" tanya Arya Lembana kemudian.
Kridapala melirik ke arah Wipaksa, memberi isyarat agar lurah prajurit tersebut yang memberi jawaban. Yang diberi isyarat segera menangkap maks
Ada istilah baru di bab ini, yakni Rakryan Rangga. Ini bukan nama orang ya, tapi merupakan jabatan dalam tata keprajuritan di masa kerajaan dahulu kala. Kalau dalam militer jaman sekarang, Rakryan Rangga kira-kira setara dengan jabatan Kepala Divisi. Jadi, pangkat seorang Rakryan Rangga setara dengan seorang Brigadir Jenderal.
SEMENTARA itu, Senopati Arya Lembana yang masih berdiri di tempatnya berteriak memberi perintah. Suara lelaki tersebut terdengar menggelegar bak petir di siang bolong."Panggil prajurit bernama Tumanggala itu kemari!"Dua prajurit jaga langsung membungkuk hormat dan keluar meninggalkan ruangan tersebut. Berselang beberapa saat, keduanya kembali dengan mengapit Tumanggala yang menenteng bungkusan kain berisi kepala Ranasura.Tumanggala diantar kedua prajurit jaga hingga berdiri beberapa langkah di hadapan Arya Lembana. Begitu berhadap-hadapan dengan sang senopati, prajurit tersebut menghaturkan sikap menghormat."Saya datang memenuhi panggilan, Gusti Senopati," ujarnya sembari membungkukkan badan dan menundukkan kepala.Arya Lembana tak menanggapi. Tatapan mata sang senopati tertuju pada bungkusan kain berbau anyir darah yang ditenteng Tumanggala."Apa yang kau bawa itu, Prajurit?" tanya sang senopati kemudian.Tumanggala telan ludahny
TUMANGGALA tentu saja tak mau mengakhiri hidup di atas batu pancung. Ia sungguh tidak rela mati terhina sebagai seorang terhukum. Terlebih hukuman itu dijatuhkan untuk perbuatan yang tidak pernah ia lakukan.Hukuman yang diberikan semata-mata berdasarkan syak wasangka. Entah apa alasannya Tumanggala tak mengerti. Dugaan tersebut hanya didasarkan pada prasangka, tapi sudah dianggap sebagai kebenaran oleh Senopati Arya Lembana.Tumanggala jelas tidak dapat menerima hal itu. Prajurit tersebut harus melawan. Ia harus menunjukkan bahwa dirinya benar-benar tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan padanya."Gusti Senopati, mohon ampunkan saya jika berkata lancang. Tapi saya harap Gusti berlaku bijaksana dengan tidak menjatuhkan tuduhan hanya berdasarkan prasangka," ucap Tumanggala seraya bersimpuh di hadapan Arya Lembana."Saya berani bersumpah, saya tidak berkomplot dengan gerombolan begal yang dipimpin Ranasura itu!" lanjut sang prajurit dengan suara bergetar
DUA prajurit jaga ruangan Senopati Arya Lembana cepat-cepat berusaha mengelak. Namun gerakan tersebut sudah sangat terlambat. Tendangan yang dilepas Tumanggala tahu-tahu saja sudah berada di depan mata!Tanpa ampun hantaman kaki Tumanggala pun mendarat telak di pipi kedua prajurit jaga tersebut secara bergantian. Membuat kepala mereka terpuntir seolah hendak copot dari batang leher.Pekik kesakitan terlontar dari mulut kedua prajurit jaga. Lalu mulut mereka tiba-tiba saja terasa asin. Pertanda ada darah di sana. Sementara itu tubuh keduanya terlempar ke belakang akibat begitu kerasnya tendangan yang dilepas Tumanggala.Bukk!Suara bergedebukan keras memenuhi lorong manakala tubuh kedua prajurit jaga itu jatuh terkapar tanpa daya. Sekali lagi mereka mengaduh, merasakan sakit akibat menghantam kerasnya permukaan lantai."Bedebah kurang ajar!" maki salah satu dari dua prajurit jaga tersebut seraya cepat-cepat bangkit berdiri. "Kau minta mati rupanya,
TUMANGGALA menyeringai senang menyaksikan keadaan kedua lawan. Masih dengan terus mengembangkan seringai, sang prajurit Panjalu langkahkan kakinya perlahan mendekati dua prajurit jaga.Kaki Tumanggala berhenti sejarak satu setengah depa dari hadapan kedua orang tersebut. Sepasang tangannya ditekuk ke pinggang. Sementara matanya memandangi keadaan mereka yang kepayahan dengan tatapan mengejek."Tahu rasa kalian sekarang," gumam Tumanggala, masih sembari menyeringai lebar.Meski hanya berupa gumaman, tapi kedua prajurit jaga yang tengah terduduk di lantai dapat mendengar ucapan itu. Salah seorang dari mereka menggeram marah. Namun tak dapat melakukan apa-apa."Kau yang akan tahu rasa, Tumanggala. Jangan kau pikir Gusti Senopati akan diam saja saat mengetahui perbuatanmu ini," sahut prajurit jaga tersebut, seraya berusaha berdiri dengan susah payah.Ketika kemudian dapat berdiri tegak, tubuh dua prajurit jaga itu terhuyung-huyung bagaikan orang mabuk.
TINGGAL seujung jari lagi ujung pedang Tumanggala mengenai sasaran, tahu-tahu saja terdengar suara bentakan keras menggelegar. Diiringi munculnya kelebatan senjata yang kemudian mematahkan serangan Tumanggala. Suara berdentrang nyaring terdengar memenuhi sepanjang lorong. Mengagetkan siapa pun yang berada di sana. Tumanggala terbeliak kaget. Tangannya yang memegang pedang bergetar hebat. Wajahnya berubah ketika kemudian melihat sosok Senopati Arya Lembana, diikuti segerombolan prajurit bersenjata tombak panjang. "Apa yang telah kau lakukan di sini, Tumanggala?" bentak Arya Lembana dengan sepasang mata berkilat-kilat. Tumanggala telan ludah sejenak, baru memberanikan diri menjawab, "Ma-maafkan saya, Gusti Senopati. Saya hanya mencoba membela diri." "Membela diri, katamu?" ulang Arya Lembana, menggeram. "Be-benar, Gusti. Dua prajurit ini telah berlaku seenaknya pada saya, sehingga saya merasa perlu memberi pelajaran," sahut Tumanggala.
SURAWANA merupakan sebuah perkampungan nun jauh di timur laut Dahanapura. Berjarak nyaris lima belas ribu depa, atau lima puluh empat lie jika menggunakan satuan ukuran Bangsa Song. Dibutuhkan waktu sekitar sepenanakan nasi dengan berkuda untuk menuju ke sana. Waktu yang tidak sebentar. Tapi menjadi tidak ada apa-apanya jika dilakukan demi melepas rindu pada orang-orang terkasih. Waktu selama itulah yang biasa Tumanggala habiskan untuk pulang menemui anak dan isterinya di akhir masa tugas. Melepas kerinduan barang beberapa hari dengan bercengkerama bersama puteranya, sebelum kembali berangkat memenuhi panggilan tugas lainnya. "Kenapa Ayah tidak pulang-pulang juga, Ibu?" suara bocah kecil bertanya pada ibunya terdengar dari satu rumah di ujung perkampungan. Sama seperti rumah-rumah lainnya di sana, rumah tersebut berbentuk persegi dengan dinding anyaman bambu. Bagian atapnya terbuat dari susunan ilalang yang dijepit menggunakan belahan bambu.
PAGI datang membawa rintik-rintik gerimis. Jalanan tanah Kotaraja Dahanapura menjadi basah dibuatnya. Seorang kusir yang membawa gerobak bertutup kain hitam tampak berwajah masam. Jalanan yang basah mengakibatkan roda-roda kendaraannya sering tergelincir. Namun kusir tersebut tak punya pilihan lain. Pagi itu juga ia harus mengantar gerobak berpenutup kain hitam tersebut ke tujuan. Tak peduli apa pun yang terjadi. Dan jika menilik pada sekelompok prajurit bersenjata yang mengawal gerobak tersebut, isinya tentulah barang berharga. Atau pemiliknya dari kalangan petinggi istana Kerajaan Panjalu. Atau justru gabungan keduanya. "Apakah kita tidak sebaiknya singgah di kediaman Gusti Senopati terlebih dahulu?" tanya salah seorang prajurit pengawal gerobak di bagian depan. Yang diajak bicara seorang berpangkat lurah prajurit. Tak lain adalah Wipaksa, tangan kanan Bekel Kridapala, juga anggota pasukan Senopati Arya Lembana. "Gusti Senopati sudah menungg
SETELAH beberapa saat, Rakryan Rangga yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Semua orang yang ada di balai paseban bergegas bangkit berdiri. Sama-sama menghaturkan sembah hormat.Rakryan Rangga adalah jabatan kedua tertinggi dalam tata keprajuritan. Tepat di bawah Rakryan Tumenggung sebagai panglima perang kerajaan. Seorang Rakryan Rangga membawahkan para senopati, termasuk Senopati Arya Lembana.Dengan pandangan tajam dan wajah datar, Rakryan Rangga merayapi satu demi satu wajah-wajah yang ada di hadapannya. Matanya kemudian tertumbuk pada peti panjang berisi upeti dari Wurawan yang terletak di tengah-tengah ruangan."Hmm, jadi ini upeti dari Wurawan yang sempat dirampas gerombolan begal dari Wengker itu?" tanya Rakryan Rangga sembari mendekati peti kayu tersebut.Meski Rakryan Rangga tak menyebut nama, namun semua yang ada di sana sudah mafhum jika pertanyaan tersebut ditujukan pada Arya Lembana. Sontak sang senopati angkat kedua tangan di depan dad