Ji Eun mengeringkan rambutnya seraya duduk di depan meja riasnya. Malam ini ia ada janji makan malan hanya dengan calon ayah mertuanya. Sekaligus ia ingin mendengar beberapa cerita tentang Hwan.
Mereka sudah lama tidak bertemu, dan bahkan di pertemuan mereka, hanya sebatas makan siang.
“Ji Eun-ah, omo, kau baru mandi ?.”
Senyum Ji Eun memudar, “Aku yang seharusnya bilang omo, tidak bisakah kau ketuk pintunya dulu !.”
“Ne..,” Kakak sulungnya itu keluar lagi dan mengetuk pintu, lalu kembali masuk.
“Ada apa ?,” Tanya Ji Eun.
“Kau punya lipstick merah yang tidak terpakai ?.”
Ji Eun mengerutkan dahinya karena heran, apa – apaan ini, “Kenapa ?, mau belajar make up ?,” Tanya Ji Eun.
“Aku kehabisan cat merah,” Jawabnya.
Ji Eun menghela napas, “Baiklah, ambil di laci paling bawah rak hitam,” Ujar Ji Eun.
“Kenapa tidak minta dibelikan pelayan ?,” Tanya Ji Eun sambil memakai skincare.
“Aku ingat tekstur cairan lipstick yang pernah kau pakai dan kurasa aku butuh,” Jawab Jong Suk.
“Ah, yang seperti krim ?,” Tanya Ji Eun.
“Eoh.”
“Sini kuambilkan.”
Setelah urusan lipstick dengan sang kakak, Ji Eun beranjak menuju dressing room dan memilih pakaian. Sederhana saja karena Tn. Lee mengundangnya makan malam di rumah, bukan di restoran.
Ia mengoleskan lip matte sebagai langkah terakhir dari proses bersiapnya, lalu meraih tas dan beranjak keluar. Ji Eun terbiasa untuk mengemudi sendiri untuk urusan pribadi, seperti malam ini.
Waktu menunjukkan puku 19.45 ketika Ji Eun mematikan mesin mobilnya. Rumah Hwan hanya dihuni oleh dua orang dan banyak pelayan karena rumah mereka sangat besar.
Tn. Lee memiliki kolam renang, lapangan berkuda dan perkebunan kecil di rumah ini. Ia meminta Ji Eun untuk segera datang ke salah satu taman.
“Permisi, Choi Ji Eun-ssi ?,” Tanya seorang wanita dengan seragam pelayan.
“Ne.”
“Silahkan ikuti saya,” Ujarnya.
“Ne.”
Ji Eun mengikuti pelayan wanita itu. Tak lama, ia melihat calon mertuanya itu sudah menunggunya di salah satu meja.
Tn. Lee memilih taman kecilnya di dekat kolam renang, udaranya terasa sangat segar karena dekat dengan air dan banyak tanaman gantung.
“Annyeonghaseyo..”
“Ah, duduklah.”
Ji Eun tersenyum dan duduk di hadapan Tn. Lee.
“Ah, senang sekali bisa mengundangmu kemari. Kau pasti sangat lelah karena barusan pulang dari Pohang, kan ?,” Tanya Tn. Lee.
“Aku sudah cukup istirahat, abeonim. Tenang saja,” Ujar Ji Eun.
“Bagaimana kabar orang tuamu ?,” Tanya Tn. Lee.
“Mereka semua sehat, abeoji dan eomoni baru saja pulang dari Paris untuk liburan singkat. Aku sudah menitipkan sedikit oleh – oleh ke pelayan yang tadi,” Ujar Ji Eun.
“Ah, tidak perlu repot – repot, gomawo.”
Tn. Lee menukar piring dengan daging yang sudah ia iris dengan piring Ji Eun.
“Ji Eun-ah aku minta maaf, ternyata aku tidak bisa menemanimu makan malam. Tapi sepertinya yang kau inginkan, kau ingin tahu lebih banyak tentang Hwan. Jadi kau akan makan malan dengan orang yang sudah bersama Hwan sejak bayi,” Ujar Tn. Lee.
“Ne, siapa ?.”
“Kau akan tahu, tunggu sebentar ya. Ah, kalau begitu, aku minta maaf, aku harus pergi dulu,” Pamit Tn. Lee.
“Ah, ne.”
Ji Eun ikut beranjak dan mengantar Tn. Lee sampai mobilnya menghilang, barulah ia kembali ke tempat semula.
“Ah, lalu dengan siapa aku akan bicara ?,” Gumamnya.
“Agassi ( nona ) !.”
Ji Eun mendongak dan mendapati wanita paruh baya tengah tersenyum padanya.
“Kau Choi Ji Eun, kan ?,” Tanya si wanita.
“Ne..,” Jawab Ji Eun seraya mempercepat langkahnya.
“Duduklah..”
“Ne, kamsahamnida.”
Ji Eun tersenyum canggung.
“Perkenalkan, aku ketua pelayan disini, namaku Han Soo Ri. Sajangnim bilang kalau ia ada dua janji mendesak malam ini, salah satunya adalah bersama dengan calon menantunya. Kau tahu sajangnim adalah orang sibuk, ia percaya kalau aku lebih memahami tentang putranya daripada dirinya sendiri,” Ujar Ahjumma.
“Ah, ne.”
“Itu daging rusa betina hasil buruan Sajangnim, kuharap kau suka.”
“Ah, pantas saja terasa berbeda, enak sekali,” Ujar Ji Eun.
Selama beberapa jenak mereka saling diam dan hanya terdengar suara dentingan garpu dan pisau.
“Kau bisa bertanya apapun tentang Hwan, Ji Eun-ssi,” Ujar ahjumma yang kembali memulai percakapan.
“Ne.”
Ji Eun mengelap mulutnya yang agak berminyak, lalu mulai bertanya.
“Apa yang harus kulakukan agar Hwan tetap berada di sisiku ?,” Tanya Ji Eun.
“Hmm.”
Ahjumma meletakkan gelas winenya.
“Inti dari kehidupan Hwan yang sekarang adalah luka. Aku memang dekat dengannya, tapi tidak berarti aku tahu segalanya. Ada beberapa hal yang aku tidak pahami dan tidak tahu,” Ujar Ahjumma.
“Agar Hwan tetap berada di sisimu, bantulah dia menyembuhkan lukanya agar ia bisa menjalani hidup yang lebih baik,” Ujar Ahjumma.
“Luka apa ?,” Tanya Ji Eun.
“Kau harus mengoreknya sendiri, Agassi. Bahkan aku pun tak sanggup, kau harus mengoreknya dan menyembuhkannya dengan caramu. Jangan pernah lelah untuk berada di sisinya, karena dia tidak bisa sendirian, dia sangat rapuh.”
“Dia terlihat baik – baik saja, tapi ketika kau mencoba untuk memandangnya lebih jauh dan memahaminya, dia lebih rapuh dari yang kau kira.”
“Itu tugasmu Agassi, bertarung dengan masa lalu Hwan.”
Ji Eun terdiam sesaat.
“Baiklah, aku akan mencoba menyembuhkan semua lukanya dan terus berada di sisinya. Dengan begitu dia juga akan terus berada di sisiku, kan, ahjumma ?.”
Wanita paruh baya itu tersenyum dan mengangguk, “Ne, tentu.”
Hai temen - temen online !,I'm back, kemarin tanggal 30 September, at the end of the month aku akhirnya dapet email untuk menandatangani kontrak dan siap lanjutin cerita ini.Lil notes, cerita ini terinspirasi sama kehidupan seseorang yang aku harap bisa menjadi pelajaran buat kita.Pelajaran apa ?.Yang pasti tentang kehidupan, karena pelajaran tentang kehidupan gaada kuliahnya, gaada kursusnya, gaada modulnya dan gaada dosennya. Kita harus belajar tentang kehidupan dari hidup itu sendiri.Well, jangan terlalu serius !, semoga kalian enjoy sama ceritaku, aku juga menerima request tentang cerita apa yang pingin kalian baca.Let me know !, kalian juga bisa DM aku di Instagram buat request cerita, see you !
Dua minggu setelah makan malam, Ji Eun belum juga punya kesempatan untuk bertemu dengan calon suami yang sangat ia rindukan. Tapi setidaknya mereka sudah bicara via telpon beberapa kali.Ji Eun lembur sejak kemarin, meski banyak pekerjaan yang sudah ia selesaikan, ternyata banyak juga yang masih harus dikerjakan. Waktu menunjukkan pukul 21.30.Gadis itu meletakkan kembali botol air minumnya.“Aigoo, kapan selesainya ?,” Gumamnya.“Eonnie..,” Aera masuk.“Eoh, ?.”“Aku boleh pulang duluan ?,” Tanya Aera ragu.“Tentu, pulanglah. Hati – hati di jalan, sudah larut,” Pesan Ji Eun“Ne, kamsahamnida.” Aera pun keluar dan tentunya pulang.“Astaga, mataku. Apa masih banyak, oh ? kurang lima lembar,” Ji Eun Kembali berusaha fokus karena tinggal sedikit lagi ia akan selesai. Setelah memeriksa laporan, ia harus mengirimkannya ke Kementrian Keuangan dan beberapa
“Pinggangnya kurang kecil, kalau kau mengecilkan bagian pinggangnya sedikit lagi, kurasa gaun ini akan sempurna.”“Ah, ne. Kulihat – lihat, tubuhnya sangat proporsional ya, kurasa kau cocok menggunakan konsep “The Queen”,” Ujar wanita berusia di pertengahan 30 tahun an itu.“Ah, benarkah ?, bolehkah aku memakai tiara ?,” Tanya Ji Eun.“Tentu, suamimu menatapkan budget yang cukup besar,” Jawabnya.“Benarkah ?.”“Ne. Hati – hati, aku akan melepaskan gaunnya sekarang,” Ujar si desainer“Ne.”“Tapi kau sudah cocok dengan model gaunnya kan ?.”“Ne, aku suka sekali dengan desainnya. Kau tidak pernah mengecewakan Ashley-ssi,” Ujar Ji Eun.Ashley Choi sudah dua tahun menjadi desainer langganan keluarga Ji Eun. Awalnya ibunya menemukan desainer muda dan berbakat ini pada acara Seoul Weekly Fashion, ia tertarik dengan
“Ah, aku tidak sabar untuk menyiapkan setelan dan sarapan oppa setiap paginya,” Celetuk Ji Eun seraya berjalan beriringan keluar dari butik.“Aku tidak sabar tidur bersamamu,” Ujar Hwan.Ji Eun mencibir, “Dasar mesum.”Hwan terkekeh, “ Ayo pulang, biar supirku membawa pulang mobilmu.”“Kita mau kemana ?,” Tanya Ji Eun.“Rahasia, ikut saja,” Ujar Hwan.Hwan menyiapkan kejutan kecil, sebuah makan malam sederhana di taman rumahnya. Ia sudah meminta Yuri untuk menyiapkan makan malam, dan sekretarisnya itu baru saja mengirimi pesan kalau semua sudah siap.Hwan menggandeng Ji Eun memasuki rumahnya menuju ke taman. Ji Eun menatap sekeliling dengan mata berbinar.Apa yang sudah disiapkan Hwan untuknya ?.“Tara.., kejutan kecil. Dinner spesial untuk calon istriku,” Ujarnya.Senyum terkembang di wajah cantik Ji Eun ketika melihat taman yang
Kejadian malam itu tentunya membuat Hwan kalang kabut. Ia terbangun dalam kondisi bingung, pengar dan pusing.Apalagi setelah melihat Ji Eun terbaring di sampingnya.Namun apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur.Yuri yang pagi ini baru saja tiba di rumah Hwan terkejut karena melihat Ji Eun dengan raut wajah yang membingungkan keluar dari kamar Hwan.“Annyeonghaseyo, samunim. Kenapa sudah ada disini sepagi ini ?,” Tanya Yuri.“Kau sendiri ?,” Ji Eun malah balik bertanya.“Aku sekretaris Daepyonim, tentu saja aku harus menjemputnya dan menemaninya sejak sepagi ini,” Jawab Yuri.“Ne, aku pergi dulu,” Pamit Ji Eun.“Samunim, kau belum menjawab pertanyaanku,” Ujar Yuri sambil menahan Ji Eun.“Aku kemalaman dan harus menginap disini,” Jawab Ji Eun singkat dan langsung melenggang pergi.“Apa ?, kemalaman, memangnya apa yang kau lakukan semala
Waktu menunjukkan pukul 07.30.Gadis cantik yang akan merubah statusnya itu sudah siap. Ia sudah mandi dan sedang memakai gaun indahnya.Seluruh mata yang ada di ruangan itu tertuju padanya.Seorang wanita berusia 30 tahun mengoleskan kuasnya dengan terampil, sesekali ia menoleh ke cermin untuk mengecek hasil pekerjaannya. Sementara seorang wanita yang lain sibuk merapikan rambut si gadis pengantin.Sepasang anting yang mungil nan indah sudah terpasang di telinga Ji Eun, begitupun dengan kalung Swarovski pemberian sang calon suami, yang hanya dalam hitungan jam akan menjadi suami sahnya.“Aku tidak akan menghabiskan banyak waktu untuk meriasmu, kau sempurna Agassi (nona),” Ujar si MUA.“Kamsahamnida.”Sementara penata rambut menggelung rambut coklat Ji Eun yg sepanjang siku dan memasangkan tiara kecil.“Kau tidak pernah mencoba jadi model, Agassi ?,” Tanya penata rambut.“Ah, tid
Waktu menunjukkan pukul 17.30.Hwan baru saja mandi dan mengeringkan rambutnya, sementara Ji Eun sudah berada di ruangan lain, sibuk dengan gaunnya.“Ji Eun-ah,” Panggil Hwan.“Ne oppa ?.”“Kau dimana ?,” Tanya Hwan.Ji Eun datang dengan gaun yang masih berusaha ia pakai.“Oh wow, aku suka warnanya. Sini biar kubantu,” Ujar Hwan seraya berjalan mendekat.Ji Eun mendekati Hwan sambil menahan gaunnya agar tidak terlepas dari tubuhnya.“Aku sebenarnya benci sekali melihatmu memakai gaun - gaun seperti ini,” Ujar Hwan.“Benarkah, apa ?, kenapa ?,” Tanya Ji Eun panik.Hwan tertawa melihat reaksi istrinya yang seketika panik, “Aku bercanda !, jangan panik. Aku hanya tidak suka milikku dilihat banyak orang,” Ujar Hwan.Ji Eun menghela napas lega, “Kau membuatku panik.”“Tapi kan ada hal yang hanya milikmu,
“Ah, Lelah sekali, mau kusiapkan air hangat ?,” Tanya Ji Eun.“Boleh, ayo mandi,” Ujar Hwan.Malam ini mereka sudah mulai tinggal di Hannam, seperti yang Hwan katakan, rumah ini tidak kosong kelompong. Masih ada perabotan dan pastinya kasur. Meski belum lengkap, mereka bisa melengkapinya nanti.Ji Eun melepaskan satu per satu perhiasannya di depan kaca dan menghapus riasannya, lalu meraih bathrobe sutra berwarna hitam dari gantungan.“Kau menyiapkan banyak hal,” Gumam Ji Eun.“Chagiya !,” Panggil Hwan.“Ne ?.”“Ayo,” Hwan menggandeng Ji Eun menuju ke kamar mandi.“Setidaknya aku harus memberi kenangan malam pertama kan ?, sebelum kau tahu rasanya hidup denganku yang sebenarnya.”“Sebenarnya ?,” Ji Eun mendongak dan menatap suaminya dengan tatapan bingung.Hwan tidak mengatakan sepatah katapun bahkan ketika mereka mandi.