Rara diam terpengkur di tempatnya berdiri. Ia measa ada yang terlewatkan olehnya. Ada kalimat yang sangat menganggu, yang diucapkan atasannya tapi ia lupa tepatnya kalimat yang mana. Ia terus berusaha untuk mengingat. Dirunutnya satu persatu percakapan yang terjadi diantara mereka, mulai kalimat terakhir hingga dirinya tiba di ruangan ini. Kedua netra Rara terbuka. Ia berhasil mengingat kalimat pengganggu itu, dan memang benar, kalimat ini sangat aneh dan jika dipikir dengan hati-hati, akan menyiksa dirinya di kemudian hari. Bahwa dirinya harus selalu siap dua puluh empat jam sehari, untuk Raka. Jika ia menyetujuinya, maka, hidupnya, mulai hari ini adalah milik Raka. Ia harus bersedia melakukan apa pun permintaan Raka. Bukankah itu pemaksaan? "Maaf, Pak. Tampaknya ada kesalah-pahaman di sini," jelas Rara akhirnya. Ia harus membuat terang semuanya. Jangan sampai ia jatuh dalam jebakan atasannya itu. "Kesalahpahaman dimana? Aku tidak melihat ada kesalahpahaman di sini." "Bahwa ham
Sepanjang perjalanan ke kantin, tidak ada seorang karyawan yang tidak menoleh ke arah mereka. Bukan kehadiran Raka dan Wisnu yang menarik perhatian para karyawan, namun sosok Rara yang berada diantara keduanya. Siapa gadis yang dapat berjalan bersisian dengan petinggi perusahaan? "Magnetmu memang besar, Ra. Kehadiranmu berhasil menarik perhatian mereka," bisik Wisnu tepat di telinga sebelah kanan Rara. "Bukan saya, Pak tapi Bapak berdua yang menarik perhatian mereka. Pemimpin mereka akhirnya keluar kandang juga," seloroh Rara, mengundang decihan Raka, dan kekehan Wisnu di sisi yang lain. "Kamu benar. Mungkin mereka kangen." Wisnu menarik keluar kursi untuk Rara, lalu menarik satu untuk dirinya sendiri. Sedangkan Raka, ia biarkan memilih kursinya sendiri. Rara menikmati kopi pahit yang baru saja disajikan di depannya. Wisnu asyik mengunyah soto ayam sedangkan Raka memilih satu pisang untuk sarapannya. Menu kantin yang sangat sederhana. Ia mulai mengamati ruang berukuran dua puluh ka
"Tidak akan pernah. Dia dari awal untukku, maka selamanya akan seperti itu," jawab Raka dingin. Ia mulai kembali menatap Rara yang sejak tadi hanya diam, dan memperhatikan kubikelnya yang baru saja jadi. Benar kata wakil direkturnya. Ruangan itu terlalu sederhana. Bagaimana ia akan bergerak melakukan investigasi di perusahaan ini? Miris memang, tapi mau bagaimana lagi. Mungkin ia harus memikirkan sendiri, bagaimana nanti dirinya dapat bekerja dengan nyaman. "Jika tidak bersedia memberikan Rara padaku, maka berikan dia ruangan yang layak untuknya bekerja. Bukankah ada ruangan kosong di samping ruanganmu? Di belakang meja sekretarismu itu. Kau pindahkan saja meja sekretaris kemari dan biarkan Rara menggunakan ruangan itu. Paling tidak, Rara juga bisa mengawasi kinerja sekretarismu itu, biar tidak sibuk dandan melulu," usul Wisnu, yang langsung menyindir Susan yang saat itu juga tengah memperhatikan mereka. Raka memikirkan usulan Wisnu, lalu memberi kode agar ketiga pria yang masih me
Sepanjang perjalanan Raka memikirkan alasan yang dikemukakan oleh Rara. Benarkah perusahaannya saat ini benar-benar sedang kacau? Ia masih menyangsikan itu. Di matanya, perusahaan yang ia pimpin masih baik-baik saja. Laporan yang ia terima setiap akhir bulan juga selalu menunjukkan perkembangan. Perkembangan? Ini yang sejak tadi diributkan oleh Wisnu. Menurut wakil direkturnya itu. Perusahaan mereka tidak menunjukkan kemajuan sesuai yang diharapkan. Dan jika diteliti lebih jauh, ada banyak data yang tidak sesuai dengan yang ada di lapangan. Wisnu sering kali mengecek bagian produksi. Barang mentah begitu banyak tapi laporan barang jadi yang terjual tidak sepadan dengan hasil produksi yang dihasilkan. Dan ia sudah berulang kali membicarakan hal ini pada Raka tapi jawabannya selalu saja sama, tidak mungkin terjadi kecurangan. Mobil Raka akhirnya terparkir dengan sempurna di parkir lantai dasar gedung apartemennya. Rasa kantuk yang semula menggelayui kedua matanya sirna sudah. Resep ko
Pikiran Raka yang dipenuhi dengan igauan Rara yang beberapa menit lalu ia dengar, membuat Raka tidak sadar jika khasiat susu sebagai mood stabilizer mulai bekerja. Gelombang rasa kantuk mulai datang menyerangnya. Berulang kali dirinya menguap dan rasa berat mulai menggantung di dua kelopak matanya. Matanya mulai berair, dan lama kelamaan ia tidak dapat menahan lagi kantuknya. Raka berjalan masuk ke dalam kamarnya dengan sempoyongan, dan sambil terus menguap. Saat dirinya melihat kasur, bantal dan gulingnya, Raka mempercepat jalannya dan segera merebahkan dirinya dengan posisi serampangan, hingga akhirnya, ia tidak mengigat apapun. Raka sudah berpindah alam. -0- Rara seketika terjaga. Sebagian tubuhnya terasa sakit. Kedua matanya masih setengah terbuka, kesadarannya-pun belum genap seratus persen. Ada dimana dirinya sekarang? Rara melihat sekelilingnya. Ini jelas bukan kamarnya. Kamarnya tidak mungkin ada kursi dan meja makan sekaligus. Perhatiannya berhenti pada kresek putih da
Rara kembali ke ruangannya, dan ia mendapati Wisnu masih setia menunggu di sana. Wisnu terus menatap Rara hingga gadis itu duduk di kursinya. "Ada apa? Kalian bertengkar? Mengapa aku merasa kalian berdua seperti sepasang kekasih?" "Kekasih dilihat darimana, Pak? Jangan bercanda yang aneh-aneh deh," sungut Rara. Ia masih merasa kesal dengan Raka. Mengapa ada orang yang begitu keras kepala. Tangannya sudah sangat gatal untuk menarik orang-orang yang ia curigai sejak kedatangannya di kantor ini. "Kamu ingin melakukan sesuatu?" Wisnu tampaknya mengerti jika Rara sedang merasa kesal. "Bolehkah saya mengambil datanya sekarang?" "Biarkan mereka mengantarkannya kemari. Aku tidak akan membiarkanmu menjadi seperti karyawan biasa. Ingat, Ra. Kamu adalah tangan kanan pemilik perusahaan ini, maka jagalah wibawa Om Wid. Kamu mengerti maksuduku?" "Tapi mereka akan tahu jika saya sedang menyelidiki mereka," jawab Rara. Ini adalah ketakutan terbesarnya. Jika mereka mengetahui dirinya sedang me
Wisnu tidak langsung menyetujui permintaan Rara yang tidak pernah terlintas dalam benaknya sekalipun. Ini terlalu berbahaya. Bagaimana jika sampai Raka tahu? Pria berkacamata itu terus menatap Rara yang juga terus menatap dirinya, menanti jawaban atas permintaannya. "Tidak ada ide lain? Mengapa ide itu yang kamu pilih?" "Tidak ada, Pak. Saya pikir itu adalah ide terbaik." Wisnu menggelengkan kepalanya sekali lagi. Ia masih tidak percaya jika gadis di depannya itu memiliki ide sangat aneh dan sangat beresiko. Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya? "Menjadi dua orang dalam waktu yang bersamaan?" ulang Wisnu memutar-mutar pena di tangan kanannya. "Bukan di waktu yang sama, tapi di tempat yang sama," ralat Rara. "Hanya berbeda sedikit tapi kamu tahu? Itu sangat berbahaya. Di divisi mana aku harus menempatkanmu?" "Tidak akan berbahaya, jika saya melakukannya dengan benar," ucap Rara bersikukuh. "Boleh ya, Pak?" rayu Rara. "Aku tidak dapat membantumu jika terjadi sesuatu nanti."
"Jangan pernah mengira aku akan diam saja. Apapun yang kamu lakukan tidak akan luput dari pengawasanku!" ujar Raka penuh ancaman. "Bukan begitu, Pak. Saya belum bisa memberitahukan semua pada Bapak...." "Apa lagi? Kamu harus melakukan penyelidikan lagi?? Sudahlah, Rara. Hentikan semua omong kosongmu itu! Tidak ada pengkhianat di sini. Mereka semua adalah pegawai lama Papa. Loyalitas mereka tidak perlu diragukan lagi. Justru yang baru seperti dirimu itu yang perlu dikhawatirkan, dan mendapatkan perhatian lebih." 'Aaah! Mengapa jadi seperti ini??' keluh Rara dalam hati. 'Tidak mungkinkan ia membuka semua rencananya pada orang yang jelas-jelas tidak menyukai kedatangan dan keberadaanya di perusahaan ini. Ingin rasanya Rara mengatakan jika dirinya bukan satu dua tahun mengikuti Widjanarko. Bahwa dirinya mungkin lebih lama mengenal Widjanarko dibandingkan beberapa pegawai yang dimaksudkan Raka. Tapi Rara mengurungkan keinginannya. Raka tidak akan pernah mendengarkan perkataannya. Diriny