"Kirani, ternyata Kevin ini anaknya? Pantas aku merasa tidak asing lagi dengan nama ini." Theo bergumam seorang diri seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku jas yang dikenakannya.
Theo tak menyangka jika ternyata Kirani mati-matian bekerja di perusahaan dan tidak membantah dengan hukuman yang ia berikan, dikarenakan tengah membiayai pengobatan Kevin yang saat ini menderita penyakit yang Theo sendiri belum tahu penyakit apa."Daddy kenapa melamun?" Kevin membingkai wajah Theo dan menatap leka-lekat manik mata lelaki itu.Theo tersenyum sambil mengusap pucuk kepala Kevin. Ia kembali teringat pada Rafael yang tak bisa diselamatkan. Bukan karena biaya yang membuat Rafael tidak bisa diselamatkan, tapi karena Rafael terlalu lemah dan akhirnya menyerah pada penyakit tersebut."Ke depannya Ibumu tidak akan pernah memarahimu lagi." Theo memberi keyakinan kepada Kevin, seakan-akan dia tahu bagaimana karakter Kirani.Kevin mengernyitkan keningnya ketika mendengar ucapan Theo. Ia menganggap lelaki dewasa yang berada di hadapannya itu tengah bercanda."Itu tidak mungkin, Daddy. Ibuku orangnya sangat jutek. Dia suka marah-marah," sahut Kevin."Tapi bukannya Ibumu bekerja keras demi membiayai pengobatanmu?" Theo duduk di samping Kevin dan menoleh pada bocah berwajah polos itu."Iya sih." Kevin tertunduk."Jika Ibumu mau bekerja keras, itu artinya Ibumu teramat sangat menyayangimu. Jangan pernah berpikir kalau ia tidak mencintaimu. Justru ia marah karena dia sangat sayang padamu." Theo berkata sambil tersenyum dan mengusap-usap punggung Kevin."Lalu bagaimana Daddy tahu kalau Ibu tidak akan marah-marah lagi?" Dengan wajah polosnya, Kevin menoleh ke arah Theo yang duduk di sampingnya"Tentu saja melalui doa yang Daddy panjatkan. Nanti Daddy akan berdoa pada Tuhan agar Ibumu dilembutkan hatinya, sehingga tidak suka marah-marah lagi dengan Kevin," sahut Theo sambil menoel ujung hidung Kevin dengan lembut.Kevin berhambur memeluk Theo. Ia merasakan kenyamanan setiap kali berada dipelukan lelaki itu. Terlebih lelaki itu selalu mengusap punggungnya dengan lembut setiap kali mereka berpelukan."Sejak kecil aku tidak pernah merasakan pelukan seorang Ayah. Apa Daddy mau jadi ayahku?" Kevin mendongak dan meminta jawaban dari Theo."Boleh." Theo menyahut singkat."Maksudku menjadi Daddy tanpa menikah dengan Ibu. Soalnya Ibuku pasti tidak mau menikah lagi," sahut Kevin."Emangnya Ibumu pernah berkata tidak mau menikah lagi?" Theo mendekatkan wajahnya di hadapan Kevin sehingga jarak mereka terpangkas sempurna.Kevin mengangguk dan tertunduk. Ia memang pernah merengek pada Ibunya untuk mencarikannya seorang Ayah. Kevin malu pada teman-temannya yang selalu menyebut dia anak tak berayah."Ibu selalu bilang bahwa pernikahan itu menyakitkan. Ibu tidak mau mencarikan Ayah untukku. Katanya laki-laki dewasa itu jahat dan suka menyakiti hati perempuan," sahut Kevin.Theo termangu mendengar ucapan Kevin. Ia tak menyangka jika ternyata Kirani trauma dengan yang namanya pernikahan."Sebenarnya tidak juga. Daddy juga gagal dalam rumah tangga, tapi Daddy tidak pernah trauma yang namanya pernikahan. Daddy masih berharap kalau suatu saat mendapatkan seorang istri yang jauh lebih baik dari istri pertama Daddy," sahut Theo sambil menatap bunga-bunga yang bermekaran di taman.Teringat oleh Theo bagaimana hancurnya rumah tangganya karena istri yang teramat sangat dicintainya ternyata main gila dengan sahabatnya sendiri. Theo merasa sakit hati ketika pulang dari luar negeri, mendapati istrinya sedang bercinta dengan seorang lelaki yang Theo percayai sebagai sahabat melebihi saudara."Bolehkah Aku berharap sesuatu?" Kevin menyandarkan kepala kecilnya di lengan Theo."Apa?" Theo menoleh."Aku ingin Ibuku menikah dengan Daddy. Aku ingin memiliki keluarga yang sempurna."***"Dasar laki-laki gila. Bisa-bisanya dia mengurungku di dalam apartemen seperti ini. Mana perutku lapar banget." Kirani mondar-mandir di depan ranjang berukuran king size.Ia tidak berani keluar dari kamar apartemen karena Theo baru saja mengirimkan pesan padanya."Jangan coba-coba pulang sebelum aku datang. Gajimu aku potong lima puluh persen kalau kamu berulah." Begitulah pesan yang dikirimkan oleh Theo kepada Kirani.Kirani gelisah karena waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Perutnya tidak bisa terlambat diisi makanan karena ia memiliki penyakit maag yang cukup kronis. Ia khawatir jika maag kronis itu yang nanti bisa menyebabkannya tidak fokus dalam bekerja."Aku lapar!" Kirani mengirimkan pesan kepada Theo.Theo yang sudah pulang dari menemui Kevin hanya tersenyum ketika membaca pesan yang dikirimkan oleh Kirani."Mampir di cafe biasa. Aku sudah memesan menu dan tinggal menjemputnya saja," ujar Theo sambil menepuk pundak sopirnya.Sementara itu, Kirani semakin merasa jengkel karena Theo tak kunjung membalas pesan darinya. Padahal saat ini perutnya benar-benar terasa lapar dan melilit-lilit."Gimana ini? Aku bisa mati kalau sampai tidak makan sekarang juga." Kirani menggigit bibir bawahnya dan hendak membuka pintu apartemen.Namun Kirani membatalkan niatnya yang hendak membuka pintu apartemen karena khawatir jika gajinya benar-benar dipotong oleh Theo."Nggak! Aku harus kuat! Aku nggak boleh lemah seperti ini!" Kirani memegangi perutnya yang terus melilit.Wajah Kirani perlahan memucat dengan keringat sebesar biji jagung yang membasahi pelipisnya. Rasa pusing dan perasaan tidak nyaman pun ikut bercampur baur dengan perasaan lapar yang tak tertahan."Apa aku pesan go-food saja ya? Tapi gimana kalau Bos marah-marah?" Kirani terus berjalan mondar mandir memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk mengganjal perutnya yang terasa lapar.Sementara Kirani menderita menahan lapar di dalam apartemen, Theo berjalan melenggang turun dari mobil sambil membawa paper bag yang berisi aneka makanan yang sudah dibelinya dari sebuah cafe ternama. Senyum terkulum di bibir lelaki itu karena sebentar lagi ia akan memberi hukuman pada Kirani."Hmmmm. Bagusnya aku memberi dia hukuman dengan alasan apa ya?" Theo mengetuk-ngetuk jari telunjuk di dagunya ketika ia sudah berada di dalam lift.Ada rasa candu pada diri Theo terhadap bibir Kirani yang ia rasa sangat manis. Ia ingin menikmati bibir itu setiap hari dan terus memberikan Kirani hukuman.Theo semakin mempercepat langkah karena ia merasa perutnya sudah mulai hiruk pikuk oleh rasa lapar. Sejak tadi, ia hanya menyaksikan bagaimana Kevin menikmati makanannya. Bagi Theo, melihat Kevin makan dengan lahap saja sudah cukup membuatnya bahagia.Theo membuka pintu apartemen, lalu mengangkat makanan yang berada di tangannya dan bersiap-siap memberi hukuman kepada Kirani. Namun paper bag yang berada di tangan Theo tiba-tiba terlepas begitu saja ketika ia melihat Kirani yang tergeletak di depan televisi."Kirani! Apa yang terjadi denganmu?" Theo menepuk-tepuk pipi Kirani yang memperlihatkan wajah pucat.Theo merasa khawatir melihat Kirani yang pucat pasi dengan tubuh yang sangat dingin. Keringat membanjiri wajah Kirani, membuat Theo sangat yakin bahwa perempuan itu sedang menahan sakit yang teramat sangat."Kirani, apa yang terjadi denganmu?" Theo langsung menggendong Kirani keluar apartemen dan memanggil sopir untuk membawa asisten pribadinya itu ke rumah sakit."Nona Kirani menderita maag kronis. Dia terlambat makan sehingga pingsan," ujar Dokter yang menangani Kirani. Kacamata Dokter itu ia naikkan saat berbicara dengan Theo.Theo berdecak kesal karena ia tidak tahu jika ternyata Kirani memiliki riwayat penyakit maag kronis. Dia juga lupa menanyakan kepada perempuan itu apakah tadi pagi sudah sarapan atau belum."Sebaiknya Nona Kirani dirawat dulu di sini selama dua hari," tambah Dokter lagi.Theo mengangguk dan meminta perawat untuk memindahkan Kirani ke ruang rawat inap VVIP. Ia tidak ingin dianggap sebagai Bos yang kejam karena meletakkan asisten pribadinya di ruangan kelas biasa.Lelaki itu mengikuti perawat yang membawa brangkar Kirani menuju ruang rawat inap yang sudah ia pesan. Lelaki itu menatap cemas pada Kirani yang masih pingsan dan belum sadarkan diri ."Maafin aku, Kirani. Aku benar-benar bersalah karena sudah memberi hukuman yang salah padamu." Theo menggenggam erat tangan Kirani dan mencium punggung tangan perempuan itu denga
"Cukup, Kirani!" Theo menahan pergerakan tangan Kirani yang hendak mencabut selang infus dari punggung tangannya."Lepaskan aku! Aku capek kamu salahkan terus. Pokoknya aku mau resign!" Kirani berusaha melepaskan tubuhnya dari pelukan Theo.Theo memang memeluk Kirani dari belakang dan berusaha sekuat tenaga agar perempuan itu tidak menarik selang infusnya. Tarik menarik antara keduanya terjadi, sehingga tiba-tiba selang infus Kirani mengeluarkan darah."Kirani! Apa yang kamu lakukan!" Theo langsung mengambil sesuatu dari saku celananya dan menutup mulut Kirani dengan sebuah sapu tangan. "Maaf, aku terpaksa melakukan ini!"Seketika Kirani langsung pingsan tak sadarkan diri. Theo yang melihat Kirani yang pingsan langsung menekan tombol darurat untuk memanggil perawat yang berjaga di rumah sakit. Ia meminta perawat jaga untuk segera memperbaiki infus yang menancap di punggung tangan Kirani."Apa yang terjadi, Pak? Kenapa infusnya bisa bergeser dan berdarah seperti ini?" Perawat dengan h
"Aku akan membayar gajimu dua kali lipat jika kamu tidak memberitahukan kepada Kevin bahwa kamu sedang sakit." Theo berbisik di telinga Kirani.Kirani ternganga mendengar ucapan Theo. "Jadi gaji pertama saya seratus juta?" Ucap Kirani terbata-bata."Iya. Kenapa?"Kirani menelan ludah. Uang seratus juta bukanlah jumlah uang yang sedikit. Dengan uang itu ia bisa melakukan kemoterapi pada Kevin. "Mungkin ini adalah kesempatanku untuk menuruti permintaan dokter agar Kevin segera di kemoterapi." Kirani bergumam seorang diri.Namun rasa rindunya pada Kevin tidak bisa ia bendung, sehingga ia ragu dan kembali menimbang-nimbang keputusannya itu."Tapi aku rindu dengan Kevin. Aku sudah terbiasa untuk melihatnya sebelum tidur," ujar Kirani.Theo membuang napas kasar. Ia paham bahwa Kirani pasti sudah terbiasa membelai wajah Kevin atau mencium pipi Kevin sebelum tidur. Sama halnya seperti dulu dia yang selalu ingin melihat wajah Rafael ketika bocah kecil itu hendak memejamkan mata."Oke. Kamu bi
"Membawamu terbang." Theo semakin merangkak di atas tubuh Kirani sehingga saat ini posisi wajah mereka sejajar."Di dalam perjanjian hanya disebutkan kalau Bos akan merawat saya sampai sembuh. Tidak dengan melakukan ...." Kirani seketika terdiam ketika Theo menaikkan selimut Kirani sampai ke dada."Melakukan apa? Bukankah memasangkan selimut pada pasien juga merupakan salah satu tugas merawat?" Dada Kirani semakin berdegup dengan kencang ketika Theo membelai wajahnya dengan lembut."Bos ... bisakah Bos menyingkir dari tubuhku?""Tidak.""Tapi aku mau tidur.""Aku juga." Theo pun langsung membaringkan tubuhnya di samping Kirani. Detik berikutnya lelaki itu menarik Kirani ke dalam dekapannya dan mengunci tubuh perempuan itu agar tidak pergi dari pelukannya."Bos. Kenapa kita harus tidur satu ranjang seperti ini?""Aku hanya tidak mau kalau nanti malam kamu tiba-tiba mengeluh saat merasakan sakit di lambungmu." Theo mengurai pelukannya dan menatap Kirani dengan seksama."Itu tidak akan
"Mas, kamu tidak berhak membawa Kevin dariku." Kirani bergegas menghadang Tomo yang sudah masuk ke dalam mobil.Perempuan itu menghadang mobil yang dibawa oleh Tomo dengan kedua tangannya."Ibu!" Kevin yang berada di dalam mobil berteriak ketika melihat Kirani yang sudah berada di depan mobil.Bocah kecil itu berusaha memberontak dari cengkraman tangan Ayahnya."Diam, Kevin. Aku lebih berhak mengasuhmu daripada Ibumu." Tomo membentak Kevin yang berusaha melepaskan diri darinya.Kevin semakin ketakutan mendengar suara bentakan dari lelaki yang sama sekali tidak dikenalnya. Bocah kecil itu terus memanggil-manggil nama Kirani."Buka pintunya!" Kirani menggedor-gedor kaca mobil dan berharap Tomo segera membuka kaca mobil itu.Namun Tomo malah meminta sopir pribadinya untuk melajukan mobil dengan kecepatan tinggi."Kevin!" Kirani menangis tersedu-sedu dan berusaha mengejar Kevin yang sudah dibawa pergi oleh Tomo. Perempuan itu segera menuju mobil milik Theo yang dikemudikan oleh anak buah
Cup"Bos!""Bibir ini hanya menjadi milikku!" Theo mengusap bibir Kirani setelah mengecupnya dengan lembut.Air mata Kirani semakin berderai mendengar syarat yang diajukan oleh Theo. Dia merasa keberatan jika bibirnya dikuasai sepenuhnya oleh Theo. Ia merasa masih memiliki harga diri yang harus dijaga. Tidak perlu sampai tubuhnya dijamah oleh lelaki yang bukan suaminya meskipun yang dijamah itu hanya bagian bibir saja."Aku tidak bisa memenuhi syarat ini! Bos hanya boleh mencium bibirku kalau aku melakukan kesalahan saja." Kirani berusaha membuang wajah.Namun kali ini, Theo membingkai wajahnya dan mengusap bibir Kirani dengan lebih intens.CupLagi lagi Theo melakukan kecupan di bibir Kirani dan melumatnya dengan penuh perasaan. Kirani yang tadinya hendak menolak ciuman dari Theo, seketika membiarkan lelaki itu melumat bibirnya dengan lembut."Bibir ini adalah candu untukku. Aku tidak rela jika ada orang lain yang menyentuhnya. Aku akan memberikan gajimu dua kali lipat setiap bulan j
"Aku harus segera ke rumah sakit untuk membayar biaya rumah sakit putraku." Kirani bangkit dari pangkuan Theo dan mengambil tas jinjingnya."Aku antar.""Nggak usah, Bos.""Ini sudah larut malam, Kirani." Theo mencegat pergelangan tangan Kirani dan menggandeng tangan perempuan itu keluar dari pintu apartemen.Mereka bergandengan tangan turun dari lift menuju mobil Theo. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Kirani tidak berkata sepatah katapun. Ia membuang pandangan ke luar jendela sambil menatap pohon gelodokan yang berjejer dengan rapi yang meninggalkan bayangan karena terkena pantulan sinar rembulan."Kirani." "Iya, Bos.""Besok kamu nggak usah kerja dulu. Fokus aja pada kesehatan anakmu. Kamu boleh bekerja dua hari kemudian," ujar Theo sambil menatap lurus ke depan."Ehm, kenapa?""Kan anak kamu pasti membutuhkanmu disaat seperti ini. Biar semua pekerjaan kantor aku yang handle." Theo menoleh ke arah Kirani dan mengusap-usap pucuk kepala perempuan itu dengan mesra."Bagaimana
"Kirani? Kok kamu ke sini? Bukannya kamu menemani anakmu di rumah sakit?" Theo mengerutkan kening ketika membuka pintu apartemen dan mendapati Kirani yang berdiri di depan pintu."Boleh aku masuk?""Tentu saja!" Theo langsung meraih pinggang Kirani dan membawa perempuan itu duduk di sofa ruang tamu."Bos sudah mau berangkat kerja?" Kirani memindai penampilan Theo yang sudah rapi."Iya.""Baru pukul tujuh pagi.""Aku memang selalu siap pada pukul tujuh pagi. Hanya saja kemarin itu asisten pribadiku terlambat datang."Kirani tertunduk karena merasa tertampar mendengar ucapan Theo. Di hari pertama bekerja, dia datang pada pukul tujuh pagi. Pantaslah Theo menghukumnya seperti itu."Ada apa? Kangen sama ciumanku?" Theo tersenyum dan duduk di samping Kirani. Lelaki itu memutar tubuh Kirani dan menatap Kirani dengan seksama."Mata teduh ini terlihat sangat lelah. Lihatlah, ada lingkaran hitam di bawahnya." Theo mengusap-usap bagian bawah mata Kirani yang memang seperti mata panda."Kenapa ka