Mita sampai rumah tepat pukul sembilan malam. Gadis itu sudah bersih-bersih dan mulai merebahkan dirinya saat jarum jam menunjuk angka sepuluh. Suasana di dalam rumahnya sangat sunyi senyap sebab para keluarganya sudah mulai memasuki kamar masing-masing.
Mita seketika menerawang langit-langit kamarnya. Dia semakin menaikkan selimut bergambar mickey mouse hingga batas dada. Dinginnya malam apalagi dirinya belum lama selesai mandi membuat tubuhnya butuh penghangatan.
Selimut tebal sudah lebih dari cukup bisa menghangatkan kembali tubuh gadis berata sipit itu.
"Gimana ya jadi Kak Vano? Kak Billy sering cerita soal Kak Vano, jadi agak kerasa gimana gitu aku liat berita ini apalagi liat komentar-komentarnya."
Semakin melihat langit-langit kamar, pikiran-pikiran Mita kian melayang-layang. Dia kembali mengingat ucapan Bianca setelah dirinya selesai berbicara dengan Gilang lewat telepon.
"Bunga tuh orangnya gimana ya, dia polos tapi ingin
Siang hari yang cukup cerah nan panas membakar kulit. Mita berjalan dengan flat shoes yang sangat nyaman di kakinya untuk menyebrang jalan. Dia sehabis membeli tiga cup kopi untuk dirinya, Vano dan Billy. Kedua laki-laki itu saat Mita tinggal sedang melakukan diskusi serius, dan rasa-rasanya dirinya nggak begitu penting untuk ikut dalam diskusi tersebut, sehingga Mita lebih memilih untuk keluar dengan alibi membeli kopi walau pada sesungguhnya dirinya hanya menghindar. Langkah kakinya kian mendekati perusahaan. Pagi tadi saat berangkat beberapa wartawan berkumpul di depan gerbang dengan Billy yang mencoba menengahi. Mita merasa simpatik dengan pacar sahabatnya itu. Laki-laki itu sungguh bekerja sangat keras. Dedikasinya dalam membantu Vano harus diacungi jempol. Ia begitu serius dan menyelesaikan masalah yang terjadi yang ditimbulkan oleh Vano. Atas hal itu Mita jadi berharap agar Billy berani mengomeli si bos yang suka membuat ricuh atas ketidakdewasaa
"Saya pusing kenapa harus ada masalah lagi," keluh Vano memijit pelipisnya yang terasa pusing. Sehabis di marahi sang Papa, lalu mendapat pukulan kuat dan kemudian berdebat dengan Mita soal mertua dan suami idaman. Ia kembali mendesah lelah. Sungguh perdebatan yang nggak ada faedahnya dan malah semakin membuat kepala Vano semakin berdenyut pusing. Sedangkan Mita tampak merasa simpati dengan keadaan bosnya. Gadis bermata sipit itu menyenderkan punggungnya ke sandaran sofa. "Nggak ada cara lain, bapak harus bicara sama Bunga," kata Mita kemudian. Dia begitu tau watak bosnya yang keras dan suka nyinyir, namun ketika melihat bosnya yang berbeda seperti beberapa hari terakhir yang seolah nggak berdaya, membuat sisi kemanusiaan gadis itu terpanggil. Apalagi gadis itu memang bekerja untuk mengurus Vano. "Apa yang harus dibicarakan? Lagian kenapa Bunga malah mempermalukan dirinya sendiri dengan seperti itu," ucap laki-laki itu nyinyir. Dia menyandarka
Jarum jam di arloji merk Daniel Wellingtonmenunjuk pada garis yang sama dengan angka tujuh, sedangkan hari sudah petang dan angin pun tampak stabil berhembus. Nampaknya suasana yang telah berganti malam nggak membuat masyarakat berhenti antusias menikmati kesejukan yang terpancar di sebuah taman kota.Lampu-lampu yang terang dan warna-warni menambah ketenangan saat berjalan-jalan. Beberapa anak kecil pun nampak senang berlarian bersama dengan anggota keluarganya. Ada yang hanya sendiri, bersama keluarga dan ada juga yang bersama teman maupun pasangan.Satu hal yang sangat terasa di lubuk hati terdalam, yaitu rasa sepi saat melihat kebahagian terpancar beberapa orang yang melewatinya dengan gelak canda tawa. Nggak ada yang mengenalnya, sebab Bunga sudah bertransformasi menjadi sesosok manusia biasa yang hanya tampil dengan kaos dan celana jeans panjang tanpa make up yang super heboh. Gaya yang sangat sederhana nggak seperti biasanya.Sebab perempua
Akhir-akhir ini banyak sekali ingatan-ingatan terdahulu yang muncul. Seperti ingatan tentang bagaimana bisa Mita pada akhirnya terperangkap di sebuah perusahaan besar dengan Bos yang begitu unik dan mengesalkan. Hal-hal tersebut menjadikan gadis itu kerap diam dan melamun sekarang-sekarang ini. Nggak seperti Mita biasanya. Dulu, gadis bermata sipit yang memiliki ambisi itu riang dan lucu dengan celotehan-celotehannya yang membuat orang lain tertawa. Ya walaupun beberapa saat sempat terlihat diam dan sangat lelah, tetapi Mita bisa kembali riang lagi. Sepertinya memang karakter Mita yang memiliki mood swing yang suka berubah-ubah. Namun tetap saja bagi Farhan, temannya itu nggak seperti biasanya dan membuatnya selalu terganggu saat melihat Mita melamun. Seperti saat ini. Dia sempat memperhatikan gadis itu mengaduk kopi di pantri dapur dengan sorot mata yang menerawang jauh lewat pintu masuk dan keluar. Dan segera laki-laki berpakaian kemeja yang mulai kusut itu
Vano harusnya nggak perlu heran kalau Mita mampu mendatangkan Bunga di depannya. Namun walaupun dia percaya, tetap saja ada keterkejutan saat seorang perempuan dengan jaket kulitnya bak rocker itu mengambil duduk di depannya.Bahkan Bunga terlihat santai membuka kacamata hitamnya, mencoba acuh kepada sosok laki-laki yang terus menatapnya.Dan bagaimana bisa Vano melepaskan pandangan. Sebab apa yang dia lihat nggak seperti Bunga yang dia kenal. Biasanya perempuan itu selalu bergaya feminim dan terlihat manis maupun sok manis.Namun sesaat Vano tertegun. Bunga sudah berubah. Perempuan itu tampak lebih kuat juga acuh dari Bunga yang dia kenal sebelumnya. Hal itu tentu membuat Vano sedikit tertohok sekaligus merasa simpati akan perubahan Bunga yang nggak biasanya.Kan mungkin saja diakibatkan karenanya.Kendati Vano masih kaget, Mita malah menyambut kedatangan Bunga dengan wajah yang sumringah. Dia menampilkan senyumnya dan memberikan salam ba
Seperti kasus Bunga, mungkin orang lain yang mengenalnya akan tetap mengira dia tetap Bunga yang menyebalkan dan suka membanggakan dirinya sendiri. Nggak banyak orang yang ingin mengerti mengapa Bunga memiliki sikap seperti itu. Mita memang nggak mengenal akrab, atau mengenal lama seperti Bianca yang mengenal Bunga. Tetapi rasa empati itu melebihi dari orang yang tau Bunga sejak lama. Mita memang menganggap Bunga sebagai orang yang menyebalkan dan nggak asik, sukanya membanggakan dirinya sendiri juga egois. Namun dibalik itu, Mita merasa kasihan atas kehidupan yang menyedihkan perempuan yang dia kenal sebagai pacar bosnya itu. Bagaimana enggak. Bunga begitu plin-plan dulu. Sejak awal Bunga memang nggak pernah melihatnya dengan sinis. Tetapi selalu saja mengajaknya berbincang walau kendali penuh obrolan di pegang oleh Bunga. Perempuan itu menyombongkan diri, bahwa dirinya memiliki banyak teman, memiliki pengalaman, gaul dan lebih plus-plus sosialnya ketimbang
[Flashback] "Van, sudah punya pasangan?" tanya laki-laki dewasa yang sering Vano panggil Papa. Ia sedang duduk di ruang tengah sembari menonton acara televisi saat Vano lewat akan menuju kamarnya. "Kok tiba-tiba?" tanya Vano mengernyit bingung sendiri. Dia nggak jadi menuju kamarnya dan mengambil duduk di samping Papanya. "Tiba-tiba gimana? Emang umur kamu berapa coba?" "Masih dua puluh enam, Pah." "Masih?" Pak Iskandar menoleh dramatis. "Dua puluh enam itu sudah tua, Van." "Tua apanya?" Vano nggak terima. Jelas saja, baginya usianya sekarang masih tergolong muda bukan tua seperti yang dikatakan sang papa. "Ya tua, apalagi kamu belum pernah punya pasangan kan?" "Kata siapa?" "Loh, emang ada?" "Enggak sih," balas Vano membuat sang papa mendengus. "Di usia kamu Van, harusnya sudah menggandeng perempuan, ya minimal kenalkan lah dulu sama mama dan papa," timpal sosok wanita anggun yang tiba-
“Gimana? Selesai, Pak?” tanya Mita setelah mendapati seorang laki-laki masuk ke dalam mobil Mercedes-Benz GLB-Class. Raut wajahnya datar seperti biasa, sehingga membuat Mita kesulitan menebak apakah semua baik-baik saja atau malah kebalikannya. “Hemm.” Hem kali ini, iya. Tetapi gadis bermata sipit itu belum puas atas jawaban bosnya. Ada perasaan was-was karena dirinya masih menebak-nebak tentang apa yang telah terjadi. “Semua baik-baik kan, Pak?” “Hem,” guman Vano sekali lagi. Kemudian laki-laki itu menyuruh Mang Joko untuk pergi dari parkiran restoran yang menjadi pertemuannya dengan Bunga. Ia masih acuh dengan asistennya, membuat Mita mendengus karena mendapat jawaban hem lagi. Walaupun hem yang ini juga bermaksud iya. “Bunga gimana?” “Apanya yang gimana?” Mita kian berdecak. Semakin nggak jelas saja obrolan dengan bosnya. Lagipula mengapa bosnya sangat menyebalkan di saat yang nggak memungkinkan. Mita bertanya dengan baik-ba