MasukMeeting dengan investor Jepang berlangsung selama satu jam, dan biasanya Leonard adalah orang yang paling stabil di ruangan—dingin, penuh kendali, dan tajam melihat detail. Tapi hari ini, ada sesuatu yang off.
Ara memperhatikan dari samping.
Leonard menatapnya terlalu lama.
Bukan dengan cara tidak pantas—tapi dengan konsentrasi yang mencurigakan. Seolah Ara adalah satu-satunya hal yang rasional di ruangan itu, satu-satunya yang bisa ia jadikan pegangan.
Dan itu membuat Ara gelisah.
Ketika meeting selesai, para investor berdiri dan menyalami Leonard. Suasana masih formal. Namun begitu tangan terakhir dilepaskan, Leonard langsung menoleh ke Ara:
“Bisa ikut sebentar?”
Nada suaranya rendah.
Ara mengangguk. “Baik, Pak.”
Mereka berjalan keluar ruangan. Tapi tidak menuju lantai kantornya. Leonard memutar ke arah lorong yang lebih sepi, sisi yang jarang dilewati karyawan. Alea mengikuti sambil mencoba menenangkan debaran di dadanya.
“Pak Leonard?”
Leonard berhenti. Berbalik.
“Kenapa kamu seperti itu di meeting?” Leonard bertanya pelan.
Ara terkejut. “Seperti apa, Pak?”
Leonard melangkah mendekat. “Menghindari tatapanku.”
Ara menahan napas. “Saya fokus kerja.”
“Kamu tidak biasanya begitu.”
“Alea.”
Ara menggigit bibir dalam.
“Maka dari itu,” Leonard berkata, mendekat lagi, “kamu jangan terlalu mencuri fokusku.”
Ara terpaku.
“Aku tidak bisa bekerja dengan normal kalau kamu seperti ini, Alea.”
Ara merasa panas menjalar dari telinga hingga leher.
Suasana lorong tiba-tiba terasa lebih sempit.
Bukannya dia sendiri yang meminta aku menjauhinya?
Leonard menatapnya lama sekali—lama sampai Ara merasa lututnya melemah.
Ara membalas tatapannya.
Rasa ingin tahu.
“Saya tidak nyaman, Pak,” Ara akhirnya menjawab.
Leonard tertawa pendek.
“Kita berdua buat,” Ara membalas.
Leonard menatapnya, seolah ingin mengatakan sesuatu yang lebih besar… tapi ia menahan.
Ara mengalihkan pandang. “Agenda selanjutnya—”
“Bukan tentang agenda.”
Ara mengangkat wajah lagi.
Leonard menarik napas pelan, seperti sedang berjuang mempertahankan ketenangannya.
Ara menunggu.
“Tapi aku pergi.”
Ara teringat neon ungu, sorot mata Leonard yang gelap dan lelah, dan bagaimana ia hampir menyapanya sebagai “Ara yang berbeda.”
“Pak—”
“Aku tidak menyesal,” Leonard menambahkan.
Detik itu, jantung Ara seperti dijatuhkan dari ketinggian.
Leonard mendekat lagi, menurunkan suara.
Ara melangkah mundur setengah langkah. “Itu bukan… hubungan kantor.”
“Tapi itu tetap kamu dan aku,” Leonard membalas.
Keheningan mengalir di lorong itu.
Leonard akhirnya menarik diri, mengembuskan napas. Ia merapikan kerah jasnya, kembali memakai topeng dinginnya.
“Kita harus kembali.”
“Baik, Pak.”
Tapi sebelum Ara berbalik, Leonard menahan lengannya—ringan, tapi jelas.
Ara berhenti.
“Jangan… menghindari aku.”
Nada suaranya hampir memohon.
Aneh.
Ara menatapnya.
“Baik, Pak,” Ara menjawab pelan.
Leonard melepaskan genggaman, lalu berjalan kembali ke arah kantor.
Tapi perasaan itu tidak hilang.
Perasaan bahwa hubungan mereka barusan bergeser lagi.
Perasaan bahwa batas profesional… sudah bukan hanya retak.
Dan Ara tahu—
Hubungan ini tidak akan bisa disembunyikan lebih lama lagi.
Ara keluar dari lift Atmadja Corp dengan langkah yang jauh lebih cepat dari biasanya. Begitu pintu gedung menutup di belakangnya, semua yang ia tahan di dalam ruangan Leonard tadi pecah berantakan.Deg-deg-degan. Marah. Malu. Kecewa. Perasaan itu bercampur jadi satu.Angin sore menerpa wajahnya, tapi tidak cukup dingin untuk menenangkan kepalanya yang masih penuh adegan barusan: Claire menggandeng Leonard seperti miliknya, Leonard menahan Ara pergi, tatapan itu, ucapan itu—"Alea Arananda… kamu cemburu."Ara mengerjapkan mata keras-keras, berusaha menghapus kalimat itu dari kepalanya. Tapi tidak bisa. Kalimat itu justru menancap semakin dalam.Dia menatap layar HP. Ada pesan singkat dari sahabat lamanya, Rhea.Rhea:“Babe, tonight? Aku baru balik ke Indo. Lama banget ngga party. Plis bilang iya.”Ara menutup mata.Rasanya sudah lama ia tidak menginjakkan kaki di club. Sejak kejadian di club Venom tempo lalu. Sebelum hidupnya diremukkan oleh mantannya—club adalah tempat ia melarika
Sore itu Atmadja Corp sudah mulai sepi. Hampir semua karyawan pulang setelah kekacauan Divisi Finance resmi diselesaikan. Leonard memberi instruksi terakhir dengan tegas, dingin, dan tanpa kompromi.Ara baru saja keluar dari ruang rapat ketika informasi terakhir masuk ke tablet-nya.“Semuanya sudah dibereskan, Pak. Angka yang dimanipulasi sudah diperbaiki. Divisi Finance akan mengirim laporan final malam ini,” ucap Ara sambil berdiri di depan meja kerja Leonard.Leonard mengangguk kecil. “Good job, Alea.”Ara menunduk, menyembunyikan senyum tipisnya.Namun ketenangan itu hanya bertahan lima detik.TING—Suara elevator berbunyi. Ara dan Leonard sama-sama menoleh.Pintu kaca ruang CEO terbuka. Dan seorang wanita masuk.Wanita itu cantik—cantik dengan cara klasik dan aristokrat: rambut bergelombang rapi, blazer premium, tas branded. Wajahnya menunjukkan kepercayaan diri yang tidak tergoyahkan.“Sayang?” panggilnya sambil melangkah masuk seolah ruangan itu miliknya.Ara langsung menegang
Ara sudah masuk lebih pagi dari biasanya. Bukan karena ada pekerjaan mendesak… tapi karena detak jantungnya sejak tadi malam belum stabil.Bagaimana bisa seseorang yang selama ini ia kagumi dari jauh—pria yang selalu dingin, nyaris tak tersentuh—tiba-tiba berubah menjadi sosok yang begitu dekat, begitu intens, begitu berbahaya bagi warasnya?Nyaris satu kecupan di ruang itu. Satu tarikan napas dekat telinganya. Dan dunia Ara mendadak kehilangan gravitasi.Ara menunduk di meja kerjanya, berusaha terlihat sibuk dengan kalender di layar. Tangannya yang biasanya stabil justru sedikit gemetar."Tenang… jangan sampai kelihatan," gumamnya pelan.Sialnya, tubuhnya punya ingatan yang terlalu baik. Setiap kali ia menutup mata sedikit saja, ia kembali merasakan genggaman Leonard di pinggangnya—hangat, kuat, dan sama sekali tidak profesional.Ara menepuk pipinya sendiri. Fokus. Fokus. Dia bukan cuma asisten… dia pewaris Arananda Group, masa depan perusahaan besar. Dia tidak boleh kehilangan k
Pagi di lantai 52 Atmadja Corp biasanya ramai dengan langkah cepat para staf, suara printer, dan bunyi telepon berdering.Tapi pagi ini ada ritme yang berbeda. Ada bisik-bisik kecil yang cepat menghilang tiap kali Ara lewat.Ara pura-pura tidak sadar. Rambutnya ia ikat rapi, kemeja biru muda dan rok hitam membuatnya tampak profesional… tapi tidak ada yang bisa menutupi aura berbeda yang ia bawa sejak kemarin.Aura yang Leonard kenal.Aura yang membuatnya menatap dua kali.Ketika Ara tiba di ruangannya—ruangan kecil tepat di samping kantor CEO—pintu Leonard langsung terbuka.“Masuk.”Nada suara itu tidak tinggi, tapi padat. Perintah yang tidak memberi ruang berpikir.Ara menutup pintu di belakangnya dan masuk.Leonard berdiri di depan jendela besar, tangan di saku celana, jas hitamnya memeluk tubuh sempurna yang selalu terlihat seperti difoto untuk majalah bisnis. Lampu pagi menyinari siluetnya.Tanpa menoleh, ia berkata,“Laporan cross-check kemarin sudah kamu kumpulkan?”Ara meletakk
Ruang rapat lantai 52 dipenuhi ketegangan yang menggantung pekat. Empat kepala divisi duduk berbaris rapi, tapi tak satu pun berani mengangkat wajah ketika suara pintu terbuka dan langkah berat Leonard memasuki ruangan.Ara berjalan setengah langkah di belakangnya, membawa tablet dan catatan rapat. Sorot matanya tajam, waspada—dia sudah bisa membaca tanda-tandanya sejak di lift.Leonard sedang marah. Bukan marah biasa. Tetapi marah versi Leonard Atmadja: dingin, presisi, dan membuat seluruh ruangan terasa sepuluh derajat lebih dingin.Pria itu meletakkan berkas print out di atas meja dengan suara thap! yang membuat semua orang tersentak.“Siapa,” Leonard memulai tanpa basa-basi, “yang mengubah angka di laporan operasional minggu ini?”Tak ada jawaban. Hanya suara AC yang menyelinap di sela-sela napas tertahan para staf.Ara mengetik cepat, mencatat. Tapi fokusnya tertuju pada rahang Leonard yang mengeras.Leonard menggeser kertas ke tengah meja. “Ini bukan selisih kecil. Ini—” ia meng
Pukul delapan pagi, kantor pusat Atmadja Corp sudah ramai. Namun semuanya berubah begitu lift Presiden Direktur berbunyi.Ding.Leonard Atmadja keluar dengan wajah setenang batu… dan sedingin itu juga.Semua orang langsung menegakkan punggung.Beberapa bahkan menghentikan napas.Ara berjalan setengah langkah di belakangnya sambil membawa tablet kerja, mencoba menyamakan langkah panjang lelaki itu. Aura Leonard pagi ini… berbeda. Lebih gelap, lebih tajam, seperti ada badai yang sedang ditahannya.Begitu masuk ruangannya, Leonard langsung menutup pintu lebih keras dari biasanya.Brak.Alea hampir tersentak.“Pak?” tanyanya hati-hati.Leonard melepaskan jasnya dan melemparnya ke sofa. Napasnya panjang—tanda ia sedang menahan amarah.“Finance Department cari gara-gara,” katanya dingin. “Dan mereka pikir saya tidak akan tahu?”Ara mendekat perlahan. “Kesalahan laporan kemarin?”“Mereka ubah angkanya.” Suara Leonard rendah, mengandung ancaman. “Tanpa izin saya.”Ara tahu apa artinya:Seseor







