MasukPagi itu, lantai eksekutif terasa terlalu sunyi, seolah dinding-dinding kaca sedang mengintip, menunggu sesuatu pecah. Suasana bekerja di Atmadja Corp biasanya seperti tapestry yang tertata rapi—setiap karyawan tahu ritme, tahu aturan, tahu batas. Tapi hari ini, Ara merasa seperti ia sedang melangkah dalam labyrinth yang baru… dan Leonard adalah pusatnya.
Ia mengetuk pintu dua kali.
“Masuk,” suara itu rendah dan mengalir, seakan sedang mengorkestrasi sesuatu.
Ara masuk dengan topeng profesional yang sangat ia banggakan—tenang, netral, enigmatic secukupnya. Namun begitu matanya menangkap Leonard, hatinya langsung berdebar kacau.
Leonard berdiri dengan jas setengah terbuka, dasi longgar, dan rambut sedikit kusut, seolah ia baru saja bertarung melawan pikirannya sendiri. Aura dinginnya tetap ada, tapi hari ini berbeda—lebih gelap, lebih intens, secara captivating.
“Pagi, Pak,” Ara berkata sambil meletakkan tablet agenda.
Leonard tidak menjawab langsung.
“Duduk.”
Ara menuruti. Ia duduk di kursi tamu, menjaga jarak seperti protokol. Tapi ruangan itu terasa seperti mosaic rapuh—satu gerakan salah bisa meruntuhkan semuanya.
Leonard memulai, “Tentang semalam—”
“Tidak relevan dengan jam kantor, Pak,” Ara memotong cepat.
Leonard mengangkat alis. “Tidak relevan?”
Ara menunduk, menjaga nada. “Saya bekerja seperti biasa. Tidak ada yang berubah.”
Leonard berjalan mengitari meja, mendekat. Langkahnya tenang… tapi intens. Setiap langkah seperti sedang mengetuk sesuatu di dalam dada Ara.
“Tidak ada yang berubah?” ulangnya pelan, hampir berbisik.
Ara meremas jemarinya di atas pangkuan. “Agenda hari ini padat, Pak. Saya sarankan—”
Leonard bersandar di depan meja, lebih dekat. “Kamu bahkan tidak sanggup melihat aku lima detik. Dan kamu bilang tidak ada yang berubah?”
Ara mengangkat wajah. “Saya menjaga profesionalisme.”
“Hm.” Leonard menatapnya lama, hingga udara ruangan terasa lebih panas dari AC yang bekerja keras.
Darah Ara berdesir.
Dia harus kabur dari percakapan ini sebelum batas-batas yang ia bangun runtuh.
“Jam sembilan meeting dengan tim legal,” Ara kembali membaca jadwal. “Jam dua kita bertemu Arananda Group. Dokumen sudah saya cek ulang.”
Leonard mempersempit mata. “Arananda Group mendadak aktif akhir-akhir ini. Kamu tahu alasan di baliknya?”
Ara menahan napas sepersekian detik.
“Tentu saja tidak, Pak,” jawab Ara lembut.
Leonard mendekat sedikit lagi. “Kamu yakin?”
Ara menatap lurus. “Saya tidak pernah menyembunyikan informasi kerja.”
Satu sudut bibir Leonard terangkat—bukan senyum, tapi sesuatu yang lebih sulit dibaca. Sesuatu yang enigmatic dan berbahaya.
“Kamu menyembunyikan hal lain,” gumamnya.
Ara berdiri spontan. “Kalau tidak ada lagi, saya kembali ke meja saya.”
“Ada,” jawab Leonard cepat.
Ia melangkah mendekat.
Ara merasakan parfum Leonard—maskulin, dingin, tapi ada jejak sesuatu yang verdant, segar… memabukkan.
“Dengarkan aku sebentar.”
Ara membeku.
“Saya sudah melakukan itu, Pak.”
“Tapi aku yang tidak bisa.”
Jantung Ara berdetak lebih keras.
Leonard melanjutkan, lebih lembut:
Ia menatap Ara seperti sedang mencoba delve menembus kulitnya, pikirannya, pertahanannya.
“Tapi,” lanjut Leonard, “jangan hilang dari pandanganku.”
Ara memejam tipis.
“Baik, Pak,” Ara berkata akhirnya, menjaga suara tetap stabil meski tubuhnya terasa seperti di dalam crucible yang membakar perlahan.
Ia keluar sebelum pikirannya kacau.
---
Baru lima menit ia di meja, sebuah pesan masuk.
Dari: L.A
You’re too distracting this morning.
Ara menahan napas.
It creates problems.
Ara menutup layar dengan cepat. Tapi jantungnya tidak ikut tenang.
Dan Leonard—
---
Siang harinya, sebelum meeting dengan investor Jepang, Leonard keluar dari ruangannya. Biasanya ia berjalan lurus dan cepat, tapi kini langkahnya melambat begitu melihat Ara sedang membereskan berkas.
“Ara.”
Ara berbalik. “Ya, Pak?”
“Kamu ikut denganku.”
“Baik, Pak.”
Mereka berjalan berdampingan—jarak aman, langkah profesional. Tapi Ara bisa merasakan betapa udara di koridor terasa… berbeda.
Seperti ada arus listrik tipis yang terus mencoba menyentuh kulitnya.
Saat lift tertutup, ruangan sempit itu seakan menjadi labyrinth kecil tempat batas-batas kantor tidak berlaku.
Leonard berdiri di sampingnya.
Hening, tapi berat.
Ara mencoba fokus pada lantai lift.
“Ara,” katanya tiba-tiba.
“Ya, Pak?”
“Jangan jauh-jauh hari ini.”
Itu bukan instruksi kerja.
Ara menelan ludah.
“Tentu,” Leonard berkata pelan.
Lift berdenting terbuka.
Ara melangkah keluar duluan.
Karena mau dihindari seperti apa pun, hubungan mereka sedang berubah.
Dan Ara tahu—
Ara keluar dari lift Atmadja Corp dengan langkah yang jauh lebih cepat dari biasanya. Begitu pintu gedung menutup di belakangnya, semua yang ia tahan di dalam ruangan Leonard tadi pecah berantakan.Deg-deg-degan. Marah. Malu. Kecewa. Perasaan itu bercampur jadi satu.Angin sore menerpa wajahnya, tapi tidak cukup dingin untuk menenangkan kepalanya yang masih penuh adegan barusan: Claire menggandeng Leonard seperti miliknya, Leonard menahan Ara pergi, tatapan itu, ucapan itu—"Alea Arananda… kamu cemburu."Ara mengerjapkan mata keras-keras, berusaha menghapus kalimat itu dari kepalanya. Tapi tidak bisa. Kalimat itu justru menancap semakin dalam.Dia menatap layar HP. Ada pesan singkat dari sahabat lamanya, Rhea.Rhea:“Babe, tonight? Aku baru balik ke Indo. Lama banget ngga party. Plis bilang iya.”Ara menutup mata.Rasanya sudah lama ia tidak menginjakkan kaki di club. Sejak kejadian di club Venom tempo lalu. Sebelum hidupnya diremukkan oleh mantannya—club adalah tempat ia melarika
Sore itu Atmadja Corp sudah mulai sepi. Hampir semua karyawan pulang setelah kekacauan Divisi Finance resmi diselesaikan. Leonard memberi instruksi terakhir dengan tegas, dingin, dan tanpa kompromi.Ara baru saja keluar dari ruang rapat ketika informasi terakhir masuk ke tablet-nya.“Semuanya sudah dibereskan, Pak. Angka yang dimanipulasi sudah diperbaiki. Divisi Finance akan mengirim laporan final malam ini,” ucap Ara sambil berdiri di depan meja kerja Leonard.Leonard mengangguk kecil. “Good job, Alea.”Ara menunduk, menyembunyikan senyum tipisnya.Namun ketenangan itu hanya bertahan lima detik.TING—Suara elevator berbunyi. Ara dan Leonard sama-sama menoleh.Pintu kaca ruang CEO terbuka. Dan seorang wanita masuk.Wanita itu cantik—cantik dengan cara klasik dan aristokrat: rambut bergelombang rapi, blazer premium, tas branded. Wajahnya menunjukkan kepercayaan diri yang tidak tergoyahkan.“Sayang?” panggilnya sambil melangkah masuk seolah ruangan itu miliknya.Ara langsung menegang
Ara sudah masuk lebih pagi dari biasanya. Bukan karena ada pekerjaan mendesak… tapi karena detak jantungnya sejak tadi malam belum stabil.Bagaimana bisa seseorang yang selama ini ia kagumi dari jauh—pria yang selalu dingin, nyaris tak tersentuh—tiba-tiba berubah menjadi sosok yang begitu dekat, begitu intens, begitu berbahaya bagi warasnya?Nyaris satu kecupan di ruang itu. Satu tarikan napas dekat telinganya. Dan dunia Ara mendadak kehilangan gravitasi.Ara menunduk di meja kerjanya, berusaha terlihat sibuk dengan kalender di layar. Tangannya yang biasanya stabil justru sedikit gemetar."Tenang… jangan sampai kelihatan," gumamnya pelan.Sialnya, tubuhnya punya ingatan yang terlalu baik. Setiap kali ia menutup mata sedikit saja, ia kembali merasakan genggaman Leonard di pinggangnya—hangat, kuat, dan sama sekali tidak profesional.Ara menepuk pipinya sendiri. Fokus. Fokus. Dia bukan cuma asisten… dia pewaris Arananda Group, masa depan perusahaan besar. Dia tidak boleh kehilangan k
Pagi di lantai 52 Atmadja Corp biasanya ramai dengan langkah cepat para staf, suara printer, dan bunyi telepon berdering.Tapi pagi ini ada ritme yang berbeda. Ada bisik-bisik kecil yang cepat menghilang tiap kali Ara lewat.Ara pura-pura tidak sadar. Rambutnya ia ikat rapi, kemeja biru muda dan rok hitam membuatnya tampak profesional… tapi tidak ada yang bisa menutupi aura berbeda yang ia bawa sejak kemarin.Aura yang Leonard kenal.Aura yang membuatnya menatap dua kali.Ketika Ara tiba di ruangannya—ruangan kecil tepat di samping kantor CEO—pintu Leonard langsung terbuka.“Masuk.”Nada suara itu tidak tinggi, tapi padat. Perintah yang tidak memberi ruang berpikir.Ara menutup pintu di belakangnya dan masuk.Leonard berdiri di depan jendela besar, tangan di saku celana, jas hitamnya memeluk tubuh sempurna yang selalu terlihat seperti difoto untuk majalah bisnis. Lampu pagi menyinari siluetnya.Tanpa menoleh, ia berkata,“Laporan cross-check kemarin sudah kamu kumpulkan?”Ara meletakk
Ruang rapat lantai 52 dipenuhi ketegangan yang menggantung pekat. Empat kepala divisi duduk berbaris rapi, tapi tak satu pun berani mengangkat wajah ketika suara pintu terbuka dan langkah berat Leonard memasuki ruangan.Ara berjalan setengah langkah di belakangnya, membawa tablet dan catatan rapat. Sorot matanya tajam, waspada—dia sudah bisa membaca tanda-tandanya sejak di lift.Leonard sedang marah. Bukan marah biasa. Tetapi marah versi Leonard Atmadja: dingin, presisi, dan membuat seluruh ruangan terasa sepuluh derajat lebih dingin.Pria itu meletakkan berkas print out di atas meja dengan suara thap! yang membuat semua orang tersentak.“Siapa,” Leonard memulai tanpa basa-basi, “yang mengubah angka di laporan operasional minggu ini?”Tak ada jawaban. Hanya suara AC yang menyelinap di sela-sela napas tertahan para staf.Ara mengetik cepat, mencatat. Tapi fokusnya tertuju pada rahang Leonard yang mengeras.Leonard menggeser kertas ke tengah meja. “Ini bukan selisih kecil. Ini—” ia meng
Pukul delapan pagi, kantor pusat Atmadja Corp sudah ramai. Namun semuanya berubah begitu lift Presiden Direktur berbunyi.Ding.Leonard Atmadja keluar dengan wajah setenang batu… dan sedingin itu juga.Semua orang langsung menegakkan punggung.Beberapa bahkan menghentikan napas.Ara berjalan setengah langkah di belakangnya sambil membawa tablet kerja, mencoba menyamakan langkah panjang lelaki itu. Aura Leonard pagi ini… berbeda. Lebih gelap, lebih tajam, seperti ada badai yang sedang ditahannya.Begitu masuk ruangannya, Leonard langsung menutup pintu lebih keras dari biasanya.Brak.Alea hampir tersentak.“Pak?” tanyanya hati-hati.Leonard melepaskan jasnya dan melemparnya ke sofa. Napasnya panjang—tanda ia sedang menahan amarah.“Finance Department cari gara-gara,” katanya dingin. “Dan mereka pikir saya tidak akan tahu?”Ara mendekat perlahan. “Kesalahan laporan kemarin?”“Mereka ubah angkanya.” Suara Leonard rendah, mengandung ancaman. “Tanpa izin saya.”Ara tahu apa artinya:Seseor







