Leina sebenarnya tidak suka berada di rumah Liam. Bagaimana pun, ini adalah rumah dari adiknya Serena, saingannya dalam hal cinta. Tetapi, dia sengaja datang ke sini juga demi mencari informasi.
Liam adalah seorang pemuda dua puluh tahunan yang memiliki paras tampan. Saat ini, statusnya adalah dokter magang di salah satu rumah sakit ternama.Dia sudah mengenal Leina sejak lama juga. Dahulu, Dokter Gio, ayah dari Leina adalah dosen yang pernah mengajarnya dulu.Pria itu membukakan pintu kamar tamu, lalu berkata, "ini kamarnya. Bilang saja kalau butuh sesuatu.""Aku tidak berencana menginap. Aku ke sini cuma ingin tahu tentang kakakmu," kata Leina yang enggan masuk."Sekarang sudah malam. Kamu mau ke mana memangnya? Kata kakakku, kamu sedang marahan dengan Arsen, jadi tidak mau pulang. Jadi, lebih baik istirahat saja di sini.""Jangan terus mengubah topik obrolan ya—""Apa, sih?""Jelaskan padaku dahulu tentang bahaya apa yang menimpa kakakmu? Itu cuma bohongan 'kan? Dia ngarang cerita kalau diincar pembunuh bayaran hanya untuk dekat dengan Arsen!""Itu serius. Dia saksi kasus suap yang melibatkan pejabat kota. Dia tidak bisa meminta bantuan polisi karena tahu sendiri kalau politik ikut campur— pasti susah. Karena itulah, dia minta Arsen jadi bodyguard.""Tidak mungkin.”"Jangan terlalu cemburu begitu, sabar— cuma beberapa hari.""Aku tidak cemburu, aku ini asisten Arsen, aku tidak mau dia mengambil pekerjaan berbahaya tapi tidak sebanding dengan pembayarannya!“Liam tersenyum. Dia bisa melihat jelas kalau memang Leina sangat cemburu. "Kakakku benar, asisten Arsen makin lama makin posesif.""Sudah kubilang, aku tidak cemburu apalagi posesif! Aku cemas dengan Arsen— dia selalu dbodohi oleh kakakmu itu!""Semakin kamu marah, semakin kelihatan kalau cemburu. Aku jadi ikut cemburu.""Apa maksudmu?”"Bukan apa-apa.“"Lebih baik aku pergi saja. Sampai kakakmu pergi dari rumah Arsen, aku tidak sudi kembali pulang ke sana." Leina melewati Liam dengan langkah cepat. Mimik wajahnya masih dipenuhi perasaan marah dan cemburu."Sebentar.” Liam menyambar lengan Leina. Dia tarik sehingga wanita itu jatuh ke dadanya. "Aku serius, Leina, sekarang sudah malam— kamu tidak takut di luaran sana?""Aku akan menginap di hotel saja.""Di rumahku ini saja. Gratis. Di sini lebih aman, aku bisa menjagamu juga.”"Tidak.""Kenapa?“ Suara Liam menjadi lirih. Dia mencubit dagu Leina, mendekatkan wajah mereka— sangat jelas ingin merayu. "Di luar sana bahaya, mending sama aku saja.""Justru kalau sama kamu, aku tidak merasa aman.""Ayolah, aku ini sangat kuat, loh. Aku bisa jaga kamu. Coba sesekali lihat pria lain, kamu terlalu dibutakan oleh cintamu pada pria itu— dia tidak peduli padamu, tapi aku peduli."Leina mendadak mual mendengar perkataan manis itu. Dia tahu kalau Liam playboy, tapi tak mengira dia akan dirayu begini."Kenapa kamu diam saja?" Liam semakin mendekatkan wajah mereka. Dia mengeluarkan seluruh pesona yang dia miliki untuk merebt hati Leina. "Coba pikir, kalau kamu di sini sama aku, kamu bisa aman— daripada di hotel 'kan?"Dengan cepat, Leina mengeluarkan pisau lipat dari saku roknya— lalu menodong perut pria itu.Dia memperingatkan, "aku ini asisten Arsen, aku terbiasa menghadapi bahaya, terutama pria mesum."Liam merasakan ujung pisaunya makin menekan perutnya. Dia langsung menjauh sambil tertawa. "Maaf, maaf, aku cuma bercanda. Kamu kaku sekali. Aku 'kan ingin mencairkan suasana biar kamu tidak mengomel melulu.""Jangan samakan aku dengan wanita-wanita yang biasa kamu goda. Aku muak kalau mendengarmu merayuku.""Jahatnya kamu.""Aku ini benci playboy.""Masa? Bukannya Arsen juga playboy— tapi kenapa kok kamu suka setengah mati?""Arsen bukan playboy.""Tapi dia selalu dengan kakakku 'kan? Seperti sekarang, kamu sampai minggat karena cemburu ini.""Kalian memang sama saja.”"Kalian?“”Kamu dan kakakmu! Kalian sama-sama penggoda. Arsen mungkin terkena rayuan kakakmu, tapi aku tidak akan terkena rayuanmu!“"Kamu ini makin galak saja. Jangan marah, dong ... aku cuma bercanda. Kita 'kan teman, iya 'kan? Lagipula, mendiang ayah kamu itu mantan dosenku dulu, aku menghormatinya, aku tidak mungkin aneh-aneh padamu.”"Aku pergi.“”Kalau kamu tinggal di sini malam ini, aku akan memberikanmu album foto lawas kakakku bersama Arsen dan Hans. Kamu pasti penasaran dengan hubungan mereka ...""Foto?“"Iya, mereka bertiga sudah bersama bertahun-tahun. Kamu bisa tahu kebersamaan mereka lewat foto itu.”Leina enggan menginap di rumah ini. Namun, tawaran barusan susah untuk dilewatkan.Selama ini, Arsen tidak mau menceritakan tentang masa lalunya. Tidak ada foto juga di rumah seolah-olah pria itu tidak pernah ada.Liam tersenyum kecil. Rencananya berhasil. Setidaknya malam ini, dia bisa bersama Leina dalam satu rumah. Banyak hal mesum yang memenuhi pikirannya.Dia memang playboy. Wanita cantik manapun ingin dia tiduri. Selama ini, dia juga mendambakan Leina.***Leina duduk di pinggiran ranjang sambil melihat albm foto lawas. Satu per satu halaman dia buka. Terlihat jelas kalau dahulu— Arsen, Hans dan Serena adalah teman baik."Arsen, kamu tidak pernah bercerita tentang masa lalumu, aku bahkan tidak tahu kapan ulang tahunmu, kamu tidak pernah mau merayakannya denganku ..." Leina bergumam sendiri. Suaranya begitu lirih nan sedih. Dia semakin terpukul karena menyadari kalau kemungkinan Arsen tidak pernah menganggapnya sebagai asisten.Dia bergumam lagi, "jangan-jangan benar kata Serena ... kamu cuma mengasuhku saja untuk balas budi ke papa, kamu menerimaku di rumahmu cuma karena kasihan ... kamu tidak mau aku hadir di hidupmu. Kamu pasti sudah tahu aku mencintaimu, tapi kamu selalu menghindariku."Air mata menetes di pipinya. Sudah jam sepuluh malam, dan tidak ada tanda-tanda kalau Arsen mencarinya. ... Arsen tidak peduli? ... Arsen sama sekali tidak peduli?... Bahkan, setelah pergi sampai malam pun, pria itu tidak mencarinya?Itulah seder
Keesokan harinya ...Leina terbangun. Untuk satu menit pertama, dia masih bengong, melihat sekitarnya. Aneh, semalam— dia merasa bermimpi sedang digendong oleh Arsen.Mimpi— cuma mimpi."Mimpi 'kan ..." Leina akhirnya tersadar kalau sudah berada di kamar tidur sendiri. "Loh?"Dia segera turun dari ranjangnya, lalu membuka tirai jendela. Suasana pagi jalanan depan gedung kantor detektif milik Arsen langsung terlihat.Kamarnya dan kamar tidur Arsen berada di lantai teratas. Dari situ, dia bisa melihat kondisi sekitar jalanan depan gedung ini dengan jelas..Banyak gedung-gedung pertokoan di luar. Tepat di seberang jalan, ada deretan toko baju. Berhubung sekarang masih jam tujuh pagi, jadi belum ada toko yang buka."Kenapa aku di sini? Aku di rumah Liam 'kan? Arsen ... apa mimpi itu beneran ..." Leina ingin memastikannya dengan pergi keluar kamar.Dia menuruni anak tangga, menuju ke ruang makan yang ada di lantai dua. Biasanya, setiap pagi— dia akan menyiapkan sarapan serta membuatkan kop
Pintu dibuka.Leina tidak melihat siapapun ada di dalam. Suasana kamar tidur Arsen masih rapi seperti biasa. Tetapi, dia bisa mencium aroma parfum khas dari Serena."Serena, keluar kamu!" teriaknya.Arsen berhenti di ambang pintu, lalu bersandar di sekitar situ. Dia menahan tawa melihat Leina yang mencari-cari Serena.Dia berkata, "Dia sudah pergi dari semalam, dia ada di rumah Hans sekarang.""Apa yang kamu lakukan dengannya?""Lakukan apa?""Jangan bohong kamu." Leina mendadak menyesal karena kemarin malah pergi dari rumah. Coba saja dia tetap di sini, pasti dia bisa menjauhan Arsen dari Serena.Dia mendekati pria itu, lalu berjinjit agar bisa menyambar kerah kemeja tidurnya. "Katakan padaku, Arsenio! Apa yang kalian lakukan semalam?""Entahlah.""Arsen!""Untuk apa aku menjelaskannya padamu, ini salahmu sendiri karena minggat dari rumah, jadi kamu tidak tahu."Leina mencekik pria itu dengan emosi tinggi. Dia marah besar. "Katakan apa yang sudah kalian lakukan atau aku akan berhenti
Sudah satu jam lamanya, Arsen menemani Leina jalan-jalan di pertokoan sekitar. Sudah ada sepuluh kantong belanja yang dia bawa.Dan, Leina masih belum puas. Tampaknya dia ingin balas dendam kepada Arsen dengan membelanjakan semua bayaran dari Serena kemarin. Dia berhenti di depan kaca toko baju yang memajang gaun cantik. "Wah, ini bagus banget."Arsen sampai bersadar di tembok toko itu, terlalu capek. Dia menaruh kantong belanja di sekitar kakinya."Awas jangan sampai kantong belanjaanku jatuh, awas saja kalau baju-bajuku kotor." Leina masih betah memandangi gaun yang dipajang di manekin. "Kamu belum puas juga belanja? Kamu sudah belanja banyak sekali ini ...""Sampai pembayaran dari Serena belum habis, aku tidak akan berhenti belanja."Arsen menggerutu lirih, "Sampai segitunya kamu tidak suka Serena. Dasar pencemburu."Leina meliriknya tajam. "Mmm? Ngomong apa barusan?"Arsen agak takut dengan lirikan itu. Dia mengalah, "oke, oke, maaf— uangnya milikmu. Kamu boleh belanja apapun ya
Leina sangat bersemangat sehingga tak terasa seharian jalan-jalan dengan Arsen. Dia benar-benar tidak ingin hari ini berakhir. Hari ini— dia bisa merasakan rasanya menjadi pasangan Arsen.Tetapi, Arsen sudah sangat letih. Dia merasa sudah seperti mengasuh anak yang aktif. Untuk seorang pria yang hobinya duduk dan minum kopi, dia tidak betah berlama-lama berada di luar.Dia sudah ingin sekali pulang, tapi tak tega melihat Leina yang semangatnya minta ampun. Beruntung, matahari akhirnya sudah tenggelam. Mau tidak mau— kencan hari ini harus berakhir.Begitu membuka pintu rumah, dia bergumam, "akhirnya ... penderitaanku berakhir."Leina yang berdiri di belakang pria itu mendengar. Dia meliriknya. "Hah? Bicara apa kamu?“"Tidak. Tidak ada. Aku capek—” balas Arsen buru-buru, lalu masuk ke dalam. Daripada diomeli lagi, mending melarikan diri.Dia menaruh seluruh kantong belanja Leina di atas meja ruang tamu. Baru setelah itu, dia berkata, “aku mau mandi, lalu tidur.”"Kamu tidak may kubuatk
Leina merasa dadanya sesak, otot tubuh seakan tegang seketika. Dia tidak bisa membayangkan Arsen melakukan hal itu dengan wanita lain.Dia melirik pria itu. "Kenapa kamu menyingkir dariku?""Tidak apa.""Cepat jujur, Arsen, kamu ... kamu punya anak?""Sebentar— tenang dulu, Leina," pinta Arsen mundur lagi, menjaga jarak dari wanita itu. Dia buru-buru menjelaskan, "Ini tidak beres, pasti ini ulah Hans. Dia yang menaruh anak ini di sini, dia bisa masuk ke rumah kita.""Kenapa juga ditaruh di kamar kamu!""Mana kutahu!""Pantas kamu baik sekali padaku hari ini! Kamu menyembunyikan anak dariku!""Maksudmu apa? Kamu serius percaya tulisan orang tidak jelas begini?"Leina mendekatinya. Lalu, dia menyambar kemeja yang dipakai Arsen, mengoyaknya.Dia mengomel, "tega sekali kamu! Saat aku di rumah mengkhawatirkanmu kalau pulang telat, kamu malah di luaran sana buat anak?""Hei ... jangan bodoh, kapan aku buat anaknya? Aku selalu di rumah sebelum jam sepuluh— kamu memberikanku jam malam!""Iya j
Keesokan harinya ...Leina terbangun pagi-pagi buta karena mendengar suara tangisan bayi. Dia baru ingat kalau sekarang di rumah mereka ada anak yang harus diurus.Anak perempuan itu tidur di kamar Arsen. Tangisannya yang makin menggila membuat Leina khawatir.Wanita itu pun turun ranjang, dan keluar kamar. Dia berjalan menghampiri kamar tidur Arsen yang hanya terpisah dua ruangan kosong dari kamarnya.Dia mengetuk pintu. "Arsen? Vera menangis itu— periksa popoknya!“Tidak ada jawaban, kecuali tangisan bayi saja."Aku masuk!" Leina membuka pintu kamar itu, lalu melihat di ranjang cuma ada bayi, sementara Arsen tidak ada di manapun. "Arsen!"Dia mendekati bayi itu, lalu memeriksa popoknya— dan ternyata memang sudah penuh.”Kemana dia itu!“ Leina jengkel. Dia menggendong bayi tersebut, lalu pergi ke kamar mandi untuk mengganti popok. "Teganya meninggalkan bayi sendiri di kamar!"Namun, tangisan bayi perempuan itu tidak berhenti juga meskipun popoknya sudah kering lagi. "UWAAH~ UWAAH~~”
Nicholas.Itulah nama pria yang merupakan CEO perusahaan makanan beku, calon klien. Dia tengah duduk di sofa tepat di berseberangan meja dengan Arsen.Mereka duduk berhadapan, jadi bisa saling memperhatikan. Ketika bertemu calon klien, Arsen selalu memperhatikan gerak-geriknya.Dan, yang paling penting untuk diperhatikan adalah pandangan mata. Orang yang sedang berbohong, pasti ketahuan lewat situ."Tolong." Nicholas menyudahi penjelasannya sambil menyerahkan sebuah foto wanita muda di atas meja. "Ini foto wanita itu, Miranda. Saya hanya punya fotonya dua tahunan yang lalu."Miranda?Leina teringat nama dari bayi yang dititipkan di rumah mereka. Bukankah tertulis di surat kalau namanya Miranda?Wanita itu sedari tadi berdiri di sebelah sofa tempat Arsen duduk sambil memeluk nampan. Kopi dan teh sudah disajikan di atas meja untuk Arsen dan tamu mereka.Arsen menatap foto itu. "Anda ini kami mencari wanita ini diam-diam agar tak menimbulkan skandal?""Iya, sebisa mungkin jangan sampai s