Share

05. Asisten Tersayang

Leina duduk di pinggiran ranjang sambil melihat albm foto lawas. Satu per satu halaman dia buka. Terlihat jelas kalau dahulu— Arsen, Hans dan Serena adalah teman baik.

"Arsen, kamu tidak pernah bercerita tentang masa lalumu, aku bahkan tidak tahu kapan ulang tahunmu, kamu tidak pernah mau merayakannya denganku ..." Leina bergumam sendiri. Suaranya begitu lirih nan sedih.

Dia semakin terpukul karena menyadari kalau kemungkinan Arsen tidak pernah menganggapnya sebagai asisten.

Dia bergumam lagi, "jangan-jangan benar kata Serena ... kamu cuma mengasuhku saja untuk balas budi ke papa, kamu menerimaku di rumahmu cuma karena kasihan ... kamu tidak mau aku hadir di hidupmu. Kamu pasti sudah tahu aku mencintaimu, tapi kamu selalu menghindariku."

Air mata menetes di pipinya.

Sudah jam sepuluh malam, dan tidak ada tanda-tanda kalau Arsen mencarinya.

... Arsen tidak peduli?

... Arsen sama sekali tidak peduli?

... Bahkan, setelah pergi sampai malam pun, pria itu tidak mencarinya?

Itulah sederet isi hati Leina. Dia membanting album foto Arsen ke lantai. Baru setelahnya, dia merebahkan diri di atas ranjang.

"Sudah cukup, jika dia tidak peduli padaku, aku akan berhenti jadi asistennya," katanya sebelum tertidur.

***

Serena baru selesai mandi. Dia keluar dari dalam kamar mandi hanya dengan dililit oleh handuk putih. Sebagian kulitnya masih terlihat basah.

Dia berkata, "Arsen ... bagaimana kalau kita tidur berdua, mumpung tidak ada asistenmu yang ..." ucapannya terhenti kala tidak melihat siapapun di kamar tidur itu. "Mana dia? Arsen?"

Kamar tidur ini adalah milik Arsen, perabotannya sangat rapi dan nyaris seperti tak pernah dipindah-pindah. Iya, pria itu biasanya masuk kamar cuma untuk tidur, setelah itu pergi lagi.

"Arsen? Di mana kamu?" Serena melihat ke jendela yang dibiarkan terbuka. Ada sebuah senapan laras panjang yang biasa dipakai oleh penembak jitu di dekat situ.

Angin malam berhembus masuk ke dalam, mengibaran tirai putih jendela itu.

Pintu kamar perlahan dibuka.

Hans masuk sembari membawa secangki kopi. Pria itu tidak kaget melihat ada Serena di kamar Arsen. "Hai, Serena."

"Mana Arsen? Bukankah dia harus menjagaku?"

"Dia sudah pergi."

"Pergi? Tapi pembunuh bayaran itu serius mengincarku!"

"Tenang saja, saat kamu mandi, orang yang mengincarmu sudah ditembak oleh Arsen dari sini."

"Apa ... ditembak dari sini?"

"Kamar Arsen berada di lantai atas gedung ini, sasaran empuk penembak jitu. Bukan tanpa alasan kamu dibiarkan masuk ke sini— sudah jelas untuk memancing musuh agar mengintai kamar ini. Jadi, Arsen lebih mudah menembaknya."

"Oh." Serena sudah lama mengenal Arsen, tapi baru kali ini dia mengetahui kalau kemampuannya dalam menembak memang luar biasa.

Hans berkata lagi, "kamu jangan mengira dia membawamu ke kamar tidur untuk hal lain."

"Apa maksudmu?"

"Sudahlah, menyerah saja. Dia itu mencintai orang lain, Serena." Hans tersenyum mengejek. Usai jeda sejenak, dia melanjutkan, "kamu pasti tahu ke mana dia sekarang."

"Tapi ini artinya dia mengabaikanku sebagai klien. Sekalipun pembunuh bayarannya sudah diurus, tapi orang suruhan mereka masih banyak."

"Jangan khawatir, itulah kenapa aku di sini, aku akan menggantikannya sebagai bodyguard-mu sampai besok."

Serena menghela napas panjang, mengetahui apa yang dibicarakan Hans. Dia duduk di pinggiran ranjang sambil mengeluh, "aku baru tahu kalau Arsen memang brengsek ... tega sekali dia meninggalkanku yang dalam bahaya karena takut asistennya digoda playboy."

Hans menahan tawa. Dia bersandar di tembok, kemudian menyeruput kopi di cangkirnya.

"Ya— Arsen sudah berubah, bukan? Dia biasanya jarang marah, gelisah apalagi panik. Lihatlah sekarang, dia panik sendiri hanya karena ditinggal seorang wanita," ucapnya.

Tidak ada jawaban dari Serena. Sudah bisa terlihat kalau dia begitu cemburu.

***

"Akhirnya aku bisa serumah dengan Leina," kata Liam tersenyum lebar sampai kelihatan seperti membelah wajah. Begitu banyak pemikiran kotor memenuhi kepalanya itu.

Dia tertawa kecil saat mengendap-endap menuju ke kamar tidur tamu. Berhubung Leina sangat berbakat dalam hal perlindungan diri, maka dia sudah persiapan.

Dia menggunakan masker serta kaca mata sebagai antisipasi semprotan merica.

Pria itu menyentuh kenop pintu kamar tidur tamu. Mimik wajahnya berubah menjadi mesum.

"Oke, Sayang, aku datang— keperawananmu akan menjadi milikku," bisiknya lirih.

"Maju selangkah lagi, kepalamu berlubang," sahut seseorang yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Liam.

Liam melotot kaget. Ia meneguk ludah, mengenali suara itu. Perlahan-lahan, dia melirik ke belakang. Suaranya menjadi terbata-bata, "A ... Arsen? Bagaimana ... bagaimana bisa ada di ..."

Iya, Arsen sudah dalam posisi menodongkan senjata api ke kepala Liam. Dia menggunakan pakaian serba hitam sehingga seolah berkamuflase dengan suasana gelap tempat itu.

Sorot mata dinginnya tampak berkilatan penuh kemarahan.

Sambil menekan pistolnya ke kepala Liam, pria itu memperingatkan, "berani kamu mendekati asistenku, aku akan mengantarmu ke neraka."

Butiran keringat dingin membasahi kening, leher dan tubuh Liam. Dia tersenyum paksa sambil berkata, "Aku ... aku cuma bercanda. Sumpah. Jangan serius-serius begitu.."

"Pergilah, aku ke sini untuk menjemput Leina."

Tanpa mengatakan apapun, Liam segera pergi meninggalkan tempat itu.

Arsen membuka pintu kamar tidur itu, kemudian masuk ke dalam. Dia melihat banyak sekali album foto berserahkan di lantai.

Meskipun pencahayaan kamar itu cukup redup, tetapi dia bisa melihat kalau kebanyakan foto di abum itu adalah dirinya, Serena dan juga Hans.

"Arsen ... kamu sialan ... aku ... benci ..." gumam Leina dalam tidurnya.

Arsen menatap Leina. Senyum hangat mengembang di bibir pria itu. Dia lega melihat asisten tersayangnya baik-baik saja. "Bahkan di mimpi pun, kamu berkata kasar padaku."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status