Leina duduk di pinggiran ranjang sambil melihat albm foto lawas. Satu per satu halaman dia buka. Terlihat jelas kalau dahulu— Arsen, Hans dan Serena adalah teman baik.
"Arsen, kamu tidak pernah bercerita tentang masa lalumu, aku bahkan tidak tahu kapan ulang tahunmu, kamu tidak pernah mau merayakannya denganku ..." Leina bergumam sendiri. Suaranya begitu lirih nan sedih.Dia semakin terpukul karena menyadari kalau kemungkinan Arsen tidak pernah menganggapnya sebagai asisten.Dia bergumam lagi, "jangan-jangan benar kata Serena ... kamu cuma mengasuhku saja untuk balas budi ke papa, kamu menerimaku di rumahmu cuma karena kasihan ... kamu tidak mau aku hadir di hidupmu. Kamu pasti sudah tahu aku mencintaimu, tapi kamu selalu menghindariku."Air mata menetes di pipinya.Sudah jam sepuluh malam, dan tidak ada tanda-tanda kalau Arsen mencarinya. ... Arsen tidak peduli? ... Arsen sama sekali tidak peduli?... Bahkan, setelah pergi sampai malam pun, pria itu tidak mencarinya?Itulah sederet isi hati Leina. Dia membanting album foto Arsen ke lantai. Baru setelahnya, dia merebahkan diri di atas ranjang."Sudah cukup, jika dia tidak peduli padaku, aku akan berhenti jadi asistennya," katanya sebelum tertidur.***Serena baru selesai mandi. Dia keluar dari dalam kamar mandi hanya dengan dililit oleh handuk putih. Sebagian kulitnya masih terlihat basah.Dia berkata, "Arsen ... bagaimana kalau kita tidur berdua, mumpung tidak ada asistenmu yang ..." ucapannya terhenti kala tidak melihat siapapun di kamar tidur itu. "Mana dia? Arsen?"Kamar tidur ini adalah milik Arsen, perabotannya sangat rapi dan nyaris seperti tak pernah dipindah-pindah. Iya, pria itu biasanya masuk kamar cuma untuk tidur, setelah itu pergi lagi."Arsen? Di mana kamu?" Serena melihat ke jendela yang dibiarkan terbuka. Ada sebuah senapan laras panjang yang biasa dipakai oleh penembak jitu di dekat situ.Angin malam berhembus masuk ke dalam, mengibaran tirai putih jendela itu.Pintu kamar perlahan dibuka.Hans masuk sembari membawa secangki kopi. Pria itu tidak kaget melihat ada Serena di kamar Arsen. "Hai, Serena.""Mana Arsen? Bukankah dia harus menjagaku?""Dia sudah pergi.""Pergi? Tapi pembunuh bayaran itu serius mengincarku!""Tenang saja, saat kamu mandi, orang yang mengincarmu sudah ditembak oleh Arsen dari sini.""Apa ... ditembak dari sini?""Kamar Arsen berada di lantai atas gedung ini, sasaran empuk penembak jitu. Bukan tanpa alasan kamu dibiarkan masuk ke sini— sudah jelas untuk memancing musuh agar mengintai kamar ini. Jadi, Arsen lebih mudah menembaknya.""Oh." Serena sudah lama mengenal Arsen, tapi baru kali ini dia mengetahui kalau kemampuannya dalam menembak memang luar biasa.Hans berkata lagi, "kamu jangan mengira dia membawamu ke kamar tidur untuk hal lain.""Apa maksudmu?""Sudahlah, menyerah saja. Dia itu mencintai orang lain, Serena." Hans tersenyum mengejek. Usai jeda sejenak, dia melanjutkan, "kamu pasti tahu ke mana dia sekarang.""Tapi ini artinya dia mengabaikanku sebagai klien. Sekalipun pembunuh bayarannya sudah diurus, tapi orang suruhan mereka masih banyak.""Jangan khawatir, itulah kenapa aku di sini, aku akan menggantikannya sebagai bodyguard-mu sampai besok."Serena menghela napas panjang, mengetahui apa yang dibicarakan Hans. Dia duduk di pinggiran ranjang sambil mengeluh, "aku baru tahu kalau Arsen memang brengsek ... tega sekali dia meninggalkanku yang dalam bahaya karena takut asistennya digoda playboy."Hans menahan tawa. Dia bersandar di tembok, kemudian menyeruput kopi di cangkirnya."Ya— Arsen sudah berubah, bukan? Dia biasanya jarang marah, gelisah apalagi panik. Lihatlah sekarang, dia panik sendiri hanya karena ditinggal seorang wanita," ucapnya.Tidak ada jawaban dari Serena. Sudah bisa terlihat kalau dia begitu cemburu.***"Akhirnya aku bisa serumah dengan Leina," kata Liam tersenyum lebar sampai kelihatan seperti membelah wajah. Begitu banyak pemikiran kotor memenuhi kepalanya itu.Dia tertawa kecil saat mengendap-endap menuju ke kamar tidur tamu. Berhubung Leina sangat berbakat dalam hal perlindungan diri, maka dia sudah persiapan.Dia menggunakan masker serta kaca mata sebagai antisipasi semprotan merica.Pria itu menyentuh kenop pintu kamar tidur tamu. Mimik wajahnya berubah menjadi mesum."Oke, Sayang, aku datang— keperawananmu akan menjadi milikku," bisiknya lirih."Maju selangkah lagi, kepalamu berlubang," sahut seseorang yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Liam.Liam melotot kaget. Ia meneguk ludah, mengenali suara itu. Perlahan-lahan, dia melirik ke belakang. Suaranya menjadi terbata-bata, "A ... Arsen? Bagaimana ... bagaimana bisa ada di ..."Iya, Arsen sudah dalam posisi menodongkan senjata api ke kepala Liam. Dia menggunakan pakaian serba hitam sehingga seolah berkamuflase dengan suasana gelap tempat itu.Sorot mata dinginnya tampak berkilatan penuh kemarahan.Sambil menekan pistolnya ke kepala Liam, pria itu memperingatkan, "berani kamu mendekati asistenku, aku akan mengantarmu ke neraka."Butiran keringat dingin membasahi kening, leher dan tubuh Liam. Dia tersenyum paksa sambil berkata, "Aku ... aku cuma bercanda. Sumpah. Jangan serius-serius begitu..""Pergilah, aku ke sini untuk menjemput Leina."Tanpa mengatakan apapun, Liam segera pergi meninggalkan tempat itu.Arsen membuka pintu kamar tidur itu, kemudian masuk ke dalam. Dia melihat banyak sekali album foto berserahkan di lantai.Meskipun pencahayaan kamar itu cukup redup, tetapi dia bisa melihat kalau kebanyakan foto di abum itu adalah dirinya, Serena dan juga Hans."Arsen ... kamu sialan ... aku ... benci ..." gumam Leina dalam tidurnya.Arsen menatap Leina. Senyum hangat mengembang di bibir pria itu. Dia lega melihat asisten tersayangnya baik-baik saja. "Bahkan di mimpi pun, kamu berkata kasar padaku."***Leina menuruti permintaan Arsen untuk menginap di rumah Dokter Tony. Dialah yang menyiapkan makan malam untuk mereka semua.Dokter Tony sampai takjub dengan makanan yang ada di meja. Dia melihat Arsen dan Leina yang sudah duduk di kursi masing-masing."Rasanya seperti punya putra dan menantu yang baik," katanya sesekali tersenyum pada Arsen.Arsen fokus makan saja, tak mau menanggapi ucapan bermakna ganda dari pria itu. Iya, dia tahu kalau kemungkinan Dokter Tony sudah menduga niatnya mengajak Leina bermalam di situ."Ngomong-ngomong Leina, kamu harusnya tidak perlu memasak sebanyak ini, kamu pasti lelah—“ kata Dokter Tony.Leina tersenyum. "Tidak masalah, Dok. Aku suka masak, kok ... Lagian ..." Ucapannya terhenti, mana mungkin dia mengatakan kalau dia memang masak banyak untuk memperingati ulang tahunnya besok. "Tidak apa, pokoknya aku senang masak banyak.”Tidak ada yang bicara setelah itu. Baik Arsen maupun Leina sama-sama diam. Iya, apalagi Arsen yang sedikit gugup. Bagaimana tid
Leina mengunjungi Arsen di tempat Dokter beberapa hari sekali. Itupun dia hanya datang untuk mengantarkan sesuatu, entah itu masakannya atau barang-barang yang mungkin bisa membuat Arsen ingat. Dia jarang berinteraksi dengan Arsen sendiri.Arsen merasa jaraknya menjadi lebih jauh dari Leina. Akan tetapi, itu malah membuatnya merasa kalau wanita itu memang dekat dengannya. Dia ingin mengobrol dengannya.Hari ini, Leina datang hanya untuk mengantarkan saus daging buatannya karena Arsen menyukainya. Setelah itu, dia berpamitan pulang.Akan tetapi, saat berjalan menuju gerbang keluar dari rumah tersebut, dia langsung dihadang oleh Arsen. Leina kaget, kenapa pria itu ada di luar rumah?"Pulang lebih cepat tanpa menemuiku dulu?" tanya Arsen dengan suara datar. Dia sepertinya kecewa karena Leina seolah menjaga jarak.Leina menoleh ke arah rumah, lalu kembali menatap Arsen. Dia bertanya, "kenapa kamu malah di sini? Kamu 'kan lagi pengobatan? Cepat masuk— lagian kalau ada kenal sama kamu giman
Hans membuka mata.Untuk sesaat, dia masih memproses apa yang terjadi. Dia melihat langit-langit. Kemudian, dia melihat dirinya sendiri yang terbaring di atas ranjang— di dalam kamar yang tidak asing.Pandangannya mengarah ke luar jendela yang tengah terbuka. Udara pagi terasa sejuk dan menenangkan.Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka, dan seseorang masuk. Dia adalah Ritta— yang langsung kaget melihat pria itu sudah bangun."Hans!“ panggilnya cepat. Dia buru-buru mendekati ranjang. ”Kamu sudah siuman?“Hans bangun dari ranjang. Tubuhnya masih sakit semua, tapi setidaknya sudah baik-baik saja. Dia menatap Ritta, lalu tersenyum. Dia tidak terlalu ingat apa yang terjadi sebelum dia tak sadarkan diri, tapi setidaknya dia berhasil membuat Ritta aman dan Tino ditangkap."Syukurlah kamu baik-baik saja,” katanya.Ritta ingin menangis melihat pria itu. Kedua matanya berair, benar-benar lega. Dia duduk di tepian ranjang, lalu tanpa mengatakan apapun, dia memeluk pria itu dengan seerat mu
Arsen hanya diam saat disuguhi oleh pasta saus daging buatan Leina. Dia masih melihat makanan di atas meja makan depannya itu. Pandangannya menjadi lebih tenang.Entah kenapa— rasanya seperti nostalgia, dan dia sadar akan hal tersebut.Aroma saus yang ada di atas pasta itu menggugah selera, tapi juga membuat sekilas ingatan muncul di kepala. Walaupun, tetap saja— dia masih belum ingat apapun.Dia menatap Leina yang duduk di kursi yang berseberangan meja dengannya. Wanita itu duduk manis sambil memandangi dia. Senyum hangat tampak menghiasi bibirinya.Aneh.Kenapa wanita itu tidak takut? Kenapa masih bisa tersenyum padanya? Kenapa tidak menunjukkan niat membunuh?Padahal tadi dia sudah berbuat kasar, melukainya, membuatnya hampir mati tercekik. Tetapi, senyum hangat tanlepas dari bibirnya.Aneh.Leina heran karena dipandangi terus. Dia bertanya dengan ragu, "ada apa? Kamu ... Kamu tidak suka?“Nasibnya bergantung dari suasana hati Arsen sekarang. Kalau pria itu tidak suka, maka dia sun
Ciuman yang diberikan oleh Leina sangat mengejutkan diri Arsen. Dia tidak mampu bertindak apapun, tidak sanggup melakukan apapun, tidak menolak juga. Bibir wanita itu terasa lembut dan mampu menghangatkan bibirnya yang dingin.Selama beberapa detik, dia hanya terdiam dengan napas yang tertahan. Arsen benar-benar diluluhkan oleh ciuman itu. Untuk sekejap, dia seperti lupa siapa dirinya dan untuk apa di sini. Yang dia pikirkan hanyalah— kenapa rasa ciuman ini begitu hangat?Leina ...Nama itu terlintas di pikiran Arsen. Dia masih betah dengan merasakan ciuman Leina. Dia seperti tertawan oleh bibir wanita itu, seakan tidak sanggup untuk berhenti. Bahkan, dia bak rela kehabisan napas jika itu bisa terus berciuman seperti ini.Segala pemikiran buruknya menjadi sirna untuk sesaat. Hatinya menjadi damai. Dia merasa hidup. Perasaan hangat yang belum pernah dirasakan—Atau ... dia lupakan?Tetapi, dia kemudian tersadar, lalu menjauh dari Leina sehingga ciuman mereka terlepas. Dia menarik napas
Para anak buah Tino membawa pergi Ritta pergi keluar rumah. Ini memaksa Hans untuk berlari mengejarnya. Dia khawatir juga pada Leina, tapi situasinya sangat sulit.Leina sendiri masih berada dalam cengkraman sang kekasih. Dia makin sedih— tidak pernah membayangkan kalau Arsen akan kehilangan ingatannya tentang mereka semua.Butir demi butir air mata mengalir keluar dari kedua matanya. Hanya kesedihan yang menerpanya sekarang."Arsen ... tolong sadarlah!“ pintanya.Dia sama sekali tidak peduli dengan cekikan Arsen yang makin erat. Napasnya sudah sangat terbatas. Ini membuat dada sesak dan pandangan mulai kabur karena pasokan oksigen ke otak menipis.Arsen masih memandangi wajah Leina, berusaha mengingat wanita itu, tapi masih ada kabut hitam yang menyelimutinya. "Aku tidak kenal siapa kamu, tapi kamu memang sepertinya—"Ucapannya terhenti kala merasakan sakit kepala lagi. Entah mengapa, tatapan Leina yang dibanjiri air mata membuatnya tidak nyaman.Ada apa ini?Dia merasa dadanya ikuta