Keesokan harinya ...
Leina terbangun. Untuk satu menit pertama, dia masih bengong, melihat sekitarnya. Aneh, semalam— dia merasa bermimpi sedang digendong oleh Arsen.Mimpi— cuma mimpi."Mimpi 'kan ..." Leina akhirnya tersadar kalau sudah berada di kamar tidur sendiri. "Loh?"Dia segera turun dari ranjangnya, lalu membuka tirai jendela. Suasana pagi jalanan depan gedung kantor detektif milik Arsen langsung terlihat.Kamarnya dan kamar tidur Arsen berada di lantai teratas. Dari situ, dia bisa melihat kondisi sekitar jalanan depan gedung ini dengan jelas..Banyak gedung-gedung pertokoan di luar. Tepat di seberang jalan, ada deretan toko baju. Berhubung sekarang masih jam tujuh pagi, jadi belum ada toko yang buka."Kenapa aku di sini? Aku di rumah Liam 'kan? Arsen ... apa mimpi itu beneran ..." Leina ingin memastikannya dengan pergi keluar kamar.Dia menuruni anak tangga, menuju ke ruang makan yang ada di lantai dua. Biasanya, setiap pagi— dia akan menyiapkan sarapan serta membuatkan kopi untuk Arsen.Seperti dugaannya, pria itu sudah duduk di salah satu kursi yang mengintari meja. Ia tampak membaca koran pagi ini.Senyum mengembang di bibir Leina. Arsen membawanya pulang, artinya pria ini peduli padanya.Dia mendekat perlahan. "Arsen, apa kemarin kamu yang ... ""Kamu ini ..." sela Arsen dengan nada angkuh. Pandangannya tetap fokus membaca koran, enggan menoleh ke Leina.Usai jeda sejenak, dia melanjutkan, "kamu selalu saja membuatku dalam masalah. Yang benar saja menginap di rumah pria playboy berdua saja. Bahkan, anak SMA pun pasti waspada, tidak akan mudah dirayu untuk tidur di rumah begitu."Senyum Leina menjadi luntur. Padahal dia ingin sekali memeluk Arsen.Dia mengomel, "Kenapa sih kamu itu selalu sok, kenapa tidak mengaku saja kalau kamu khawatir padaku? Karena itulah, kamu menjemputku pulang diam-diam!""Aku tidak khawatir padamu.""Lalu kenapa kamu membawaku pulang?"Arsen menaruh korannya di meja. Akhirnya, dia menatap wanita itu, tapi dengan sorot mata datar. "Aku lebih khawatir pada adiknya Serena. Dia bisa saja kamu tusuk. Kamu kalau marah 'kan suka sekali menyiksa orang. Dasar gadis darah tinggian.""Apa katamu!""Apalagi kamu masih kecil, kalau kamu melukai orang— aku yang harus tanggung jawab. Aku ini sudah seperti ayahmu.""Siapa yang kamu sebut kecil! Aku sudah dua puluh tahun!""Sudahlah, jangan mengomel terus, anak baik tidak mengomeli ayahnya.""Ayah, ayah bodoh!""Cepat buatkan kopi."Kedua tangan Leina mengepal kesal. Dia tahu kalau sebenarnya Arsen peduli padanya, tapi gengsi untuk mengakui hal tersebut. Ini membuatnya kesal bukan main.Dia memalingan pandangan. "Tidak. Buat saja sendiri— atau suruh wanita yang tidur di kamarmu itu membuatkan!""Di kamarku?""Serena itu!""Tidak ada siapapun di kamarku.""Bohong! Kamu pikir aku tidak tahu kamu membiarkannya tidur di kamarmu. Seharusnya kamu biarkan saja aku pergi, kamu bisa enak-enakan dengannya sepanjang hari.""Sampai kapan kamu akan mengomeliku karena cemburu? Aku tidak melakukan apapun dengan Serena."Pipi Leina memerah. Dia memang cemburu, tapi terlalu malu dan gengsi kalau mengaku semudah itu. Dia gugup. "Si-Siapa bilang aku cemburu?""Semakin kamu marah, semakin kelihatan cemburu.""Aku marah bukan karena cemburu!""Masa?""Iya, untuk apa aku cemburu padamu?"Arsen tersenyum kecil. Pandangan matanya seperti ingin menggoda Leina. "Kamu benar, Leina. Kenapa juga kamu harus cemburu, kamu 'kan bukan siapa-siapaku.""Iya.""Kalau begitu— jika aku bersama wanita lain, kamu harusnya tidak semarah ini 'kan?"Leina terjebak ucapannya sendiri. Tentu saja dia tidak rela kalau harus berbagi Arsen dengan wanita manapun, terutama Serena.Meskipun saat ini, hubungan mereka sebatas partner kerja— tapi, perasaannya tak bisa ditipu.Dia berkata, "tapi, tetap saja, aku ini asistenmu. Kita hidup berdua di satu bangunan. Aku berhak melarangmu bersama wanita asing, apalagi tidur berdua! Ini tidak bermoral!""Tidak bermoral apanya?""Ya itu tidur sekamar!""Tapi 'kan aku sudah dewasa, aku berhak tidur dengan wanita manapun. Lagipula, ini rumahku.""Jadi kalian sungguh tidur bersama!"Arsen menahan diri agar tidak tersenyum. Dia masih betah menggoda Leina. Semakin wanita itu mengamuk, maka semakin dadanya geli ingin tertawa.Leina melototinya. "Jawab! Apa saat aku pergi, kalian tidur bersama? Kamu dan Serena!""Tidak.""Bohong!""Cemburu 'kan?"Otot-otot bermunculan di pelipis Leina, membuktikan kalau dia benar-benar emosi dengan sikap Arsen. "Arsen, kamu ..."Bukannya berhenti, Arsen makin menggoda wanita itu, "aku akui tadi malam dia berada di kamarku.""Di mana dia sekarang!""Sudah pergi.""Bohong.""Cek sendiri kalau tidak percaya."Tidak percaya, Leina berlari keluar, kemudian menaiki anak tangga lagi. Dia berjalan menuju ke kamar Arsen.Arsen berdiri, ikut pergi ke lantai atas, melihat apa yang akan dilakukan Leina."Dia ini cemburuan sekali," gumamnya sambil tersenyum kecil.***Pintu dibuka.Leina tidak melihat siapapun ada di dalam. Suasana kamar tidur Arsen masih rapi seperti biasa. Tetapi, dia bisa mencium aroma parfum khas dari Serena."Serena, keluar kamu!" teriaknya.Arsen berhenti di ambang pintu, lalu bersandar di sekitar situ. Dia menahan tawa melihat Leina yang mencari-cari Serena.Dia berkata, "Dia sudah pergi dari semalam, dia ada di rumah Hans sekarang.""Apa yang kamu lakukan dengannya?""Lakukan apa?""Jangan bohong kamu." Leina mendadak menyesal karena kemarin malah pergi dari rumah. Coba saja dia tetap di sini, pasti dia bisa menjauhan Arsen dari Serena.Dia mendekati pria itu, lalu berjinjit agar bisa menyambar kerah kemeja tidurnya. "Katakan padaku, Arsenio! Apa yang kalian lakukan semalam?""Entahlah.""Arsen!""Untuk apa aku menjelaskannya padamu, ini salahmu sendiri karena minggat dari rumah, jadi kamu tidak tahu."Leina mencekik pria itu dengan emosi tinggi. Dia marah besar. "Katakan apa yang sudah kalian lakukan atau aku akan berhenti
Sudah satu jam lamanya, Arsen menemani Leina jalan-jalan di pertokoan sekitar. Sudah ada sepuluh kantong belanja yang dia bawa.Dan, Leina masih belum puas. Tampaknya dia ingin balas dendam kepada Arsen dengan membelanjakan semua bayaran dari Serena kemarin. Dia berhenti di depan kaca toko baju yang memajang gaun cantik. "Wah, ini bagus banget."Arsen sampai bersadar di tembok toko itu, terlalu capek. Dia menaruh kantong belanja di sekitar kakinya."Awas jangan sampai kantong belanjaanku jatuh, awas saja kalau baju-bajuku kotor." Leina masih betah memandangi gaun yang dipajang di manekin. "Kamu belum puas juga belanja? Kamu sudah belanja banyak sekali ini ...""Sampai pembayaran dari Serena belum habis, aku tidak akan berhenti belanja."Arsen menggerutu lirih, "Sampai segitunya kamu tidak suka Serena. Dasar pencemburu."Leina meliriknya tajam. "Mmm? Ngomong apa barusan?"Arsen agak takut dengan lirikan itu. Dia mengalah, "oke, oke, maaf— uangnya milikmu. Kamu boleh belanja apapun ya
Leina sangat bersemangat sehingga tak terasa seharian jalan-jalan dengan Arsen. Dia benar-benar tidak ingin hari ini berakhir. Hari ini— dia bisa merasakan rasanya menjadi pasangan Arsen.Tetapi, Arsen sudah sangat letih. Dia merasa sudah seperti mengasuh anak yang aktif. Untuk seorang pria yang hobinya duduk dan minum kopi, dia tidak betah berlama-lama berada di luar.Dia sudah ingin sekali pulang, tapi tak tega melihat Leina yang semangatnya minta ampun. Beruntung, matahari akhirnya sudah tenggelam. Mau tidak mau— kencan hari ini harus berakhir.Begitu membuka pintu rumah, dia bergumam, "akhirnya ... penderitaanku berakhir."Leina yang berdiri di belakang pria itu mendengar. Dia meliriknya. "Hah? Bicara apa kamu?“"Tidak. Tidak ada. Aku capek—” balas Arsen buru-buru, lalu masuk ke dalam. Daripada diomeli lagi, mending melarikan diri.Dia menaruh seluruh kantong belanja Leina di atas meja ruang tamu. Baru setelah itu, dia berkata, “aku mau mandi, lalu tidur.”"Kamu tidak may kubuatk
Leina merasa dadanya sesak, otot tubuh seakan tegang seketika. Dia tidak bisa membayangkan Arsen melakukan hal itu dengan wanita lain.Dia melirik pria itu. "Kenapa kamu menyingkir dariku?""Tidak apa.""Cepat jujur, Arsen, kamu ... kamu punya anak?""Sebentar— tenang dulu, Leina," pinta Arsen mundur lagi, menjaga jarak dari wanita itu. Dia buru-buru menjelaskan, "Ini tidak beres, pasti ini ulah Hans. Dia yang menaruh anak ini di sini, dia bisa masuk ke rumah kita.""Kenapa juga ditaruh di kamar kamu!""Mana kutahu!""Pantas kamu baik sekali padaku hari ini! Kamu menyembunyikan anak dariku!""Maksudmu apa? Kamu serius percaya tulisan orang tidak jelas begini?"Leina mendekatinya. Lalu, dia menyambar kemeja yang dipakai Arsen, mengoyaknya.Dia mengomel, "tega sekali kamu! Saat aku di rumah mengkhawatirkanmu kalau pulang telat, kamu malah di luaran sana buat anak?""Hei ... jangan bodoh, kapan aku buat anaknya? Aku selalu di rumah sebelum jam sepuluh— kamu memberikanku jam malam!""Iya j
Keesokan harinya ...Leina terbangun pagi-pagi buta karena mendengar suara tangisan bayi. Dia baru ingat kalau sekarang di rumah mereka ada anak yang harus diurus.Anak perempuan itu tidur di kamar Arsen. Tangisannya yang makin menggila membuat Leina khawatir.Wanita itu pun turun ranjang, dan keluar kamar. Dia berjalan menghampiri kamar tidur Arsen yang hanya terpisah dua ruangan kosong dari kamarnya.Dia mengetuk pintu. "Arsen? Vera menangis itu— periksa popoknya!“Tidak ada jawaban, kecuali tangisan bayi saja."Aku masuk!" Leina membuka pintu kamar itu, lalu melihat di ranjang cuma ada bayi, sementara Arsen tidak ada di manapun. "Arsen!"Dia mendekati bayi itu, lalu memeriksa popoknya— dan ternyata memang sudah penuh.”Kemana dia itu!“ Leina jengkel. Dia menggendong bayi tersebut, lalu pergi ke kamar mandi untuk mengganti popok. "Teganya meninggalkan bayi sendiri di kamar!"Namun, tangisan bayi perempuan itu tidak berhenti juga meskipun popoknya sudah kering lagi. "UWAAH~ UWAAH~~”
Nicholas.Itulah nama pria yang merupakan CEO perusahaan makanan beku, calon klien. Dia tengah duduk di sofa tepat di berseberangan meja dengan Arsen.Mereka duduk berhadapan, jadi bisa saling memperhatikan. Ketika bertemu calon klien, Arsen selalu memperhatikan gerak-geriknya.Dan, yang paling penting untuk diperhatikan adalah pandangan mata. Orang yang sedang berbohong, pasti ketahuan lewat situ."Tolong." Nicholas menyudahi penjelasannya sambil menyerahkan sebuah foto wanita muda di atas meja. "Ini foto wanita itu, Miranda. Saya hanya punya fotonya dua tahunan yang lalu."Miranda?Leina teringat nama dari bayi yang dititipkan di rumah mereka. Bukankah tertulis di surat kalau namanya Miranda?Wanita itu sedari tadi berdiri di sebelah sofa tempat Arsen duduk sambil memeluk nampan. Kopi dan teh sudah disajikan di atas meja untuk Arsen dan tamu mereka.Arsen menatap foto itu. "Anda ini kami mencari wanita ini diam-diam agar tak menimbulkan skandal?""Iya, sebisa mungkin jangan sampai s
Arsen menjemput Serena di rumahnya. Dia sudah memastikan kalau Leina tidak mungkin bisa memata-matainya sekarang. Iya, wanita itu sibuk dengan baby Vera di rumah. Jadi, dia bisa tenang.Serena masuk ke dalam mobilnya. Penampilannya begitu anggun dengan balutan gaun malam berwarna hitam. Elegan mempesona sekaligus seksi. Aura wanita dewasa terpancar kuat dari dirinya.Baik Serena ataupun Arsen tidak berbicara selama di perjalanan. Mereka fokus ke depan, hingga pada akhirnya sampai di lokasi tujuan.Sebuah gedung yang menjadi acara amal berlangsung. Arsen memarkirkan mobilnya di parkiran depan gedung, lalu keluar lebih dahulu."Johann, pemilik kantor berita Dai-News, penyelanggara acara amal ini 'kan?" Arsen memandangi gedung tinggi itu. Banyak sekali orang penting berpakaian formal masuk ke dalamnya.Serena baru keluar dari mobil. Dia tersenyum mendengar ucapan Arsen. "Cepat sekali kamu dapat informasi.""Aku harus tahu kemana aku diajak ... mengingat kamu selalu memanfaatkanku," balas
Arsen selalu bersikap tidak peduli. Tetapi, dia sebenarnya selalu mengawasi kondisi sekitar. Sejak Serena pergi bersama pria bernama Johann, dia berkeliling untuk melihat keadaan.Dia pergi keluar gedung, dan tak sengaja menguping pembicaraan dari seorang pria penjaga dengan seorang wanita muda di area parkiran. Serena menyamar menjadi wanita itu, seorang wanita panggilan."Ini mustahil, wanita bernama Tamara harusnya sudah ada bersama Pak Johann sekarang," kata si pria penjaga.Wanita berpakaian seksi itu keheranan. Dia menjawab, "Tapi, aku diminta datang setengah jam setelah acara amal selesai.""Siapa yang menyuruh?""Pak Johann.""Tunggu sebentar di sini, ada yang tidak beres." Penjaga itu menyadari kalau wanita panggilan yang pertama adalah palsu. Dia segera pergi menuju ke belakang gedung.Arsen diam-diam berlari mengikutinya. Dia mengawasi sekitar, dan tepat ketika sudah sampai di belakang pintu belakang— dia menyentuh pundak orang itu."Apa?" Penjaga itu terperanjat, lalu berb