Share

06. Kembali Pulang

Keesokan harinya ...

Leina terbangun. Untuk satu menit pertama, dia masih bengong, melihat sekitarnya. Aneh, semalam— dia merasa bermimpi sedang digendong oleh Arsen.

Mimpi— cuma mimpi.

"Mimpi 'kan ..." Leina akhirnya tersadar kalau sudah berada di kamar tidur sendiri. "Loh?"

Dia segera turun dari ranjangnya, lalu membuka tirai jendela. Suasana pagi jalanan depan gedung kantor detektif milik Arsen langsung terlihat.

Kamarnya dan kamar tidur Arsen berada di lantai teratas. Dari situ, dia bisa melihat kondisi sekitar jalanan depan gedung ini dengan jelas..

Banyak gedung-gedung pertokoan di luar. Tepat di seberang jalan, ada deretan toko baju. Berhubung sekarang masih jam tujuh pagi, jadi belum ada toko yang buka.

"Kenapa aku di sini? Aku di rumah Liam 'kan? Arsen ... apa mimpi itu beneran ..." Leina ingin memastikannya dengan pergi keluar kamar.

Dia menuruni anak tangga, menuju ke ruang makan yang ada di lantai dua. Biasanya, setiap pagi— dia akan menyiapkan sarapan serta membuatkan kopi untuk Arsen.

Seperti dugaannya, pria itu sudah duduk di salah satu kursi yang mengintari meja. Ia tampak membaca koran pagi ini.

Senyum mengembang di bibir Leina. Arsen membawanya pulang, artinya pria ini peduli padanya.

Dia mendekat perlahan. "Arsen, apa kemarin kamu yang ... "

"Kamu ini ..." sela Arsen dengan nada angkuh. Pandangannya tetap fokus membaca koran, enggan menoleh ke Leina.

Usai jeda sejenak, dia melanjutkan, "kamu selalu saja membuatku dalam masalah. Yang benar saja menginap di rumah pria playboy berdua saja. Bahkan, anak SMA pun pasti waspada, tidak akan mudah dirayu untuk tidur di rumah begitu."

Senyum Leina menjadi luntur. Padahal dia ingin sekali memeluk Arsen.

Dia mengomel, "Kenapa sih kamu itu selalu sok, kenapa tidak mengaku saja kalau kamu khawatir padaku? Karena itulah, kamu menjemputku pulang diam-diam!"

"Aku tidak khawatir padamu."

"Lalu kenapa kamu membawaku pulang?"

Arsen menaruh korannya di meja. Akhirnya, dia menatap wanita itu, tapi dengan sorot mata datar. "Aku lebih khawatir pada adiknya Serena. Dia bisa saja kamu tusuk. Kamu kalau marah 'kan suka sekali menyiksa orang. Dasar gadis darah tinggian."

"Apa katamu!"

"Apalagi kamu masih kecil, kalau kamu melukai orang— aku yang harus tanggung jawab. Aku ini sudah seperti ayahmu."

"Siapa yang kamu sebut kecil! Aku sudah dua puluh tahun!"

"Sudahlah, jangan mengomel terus, anak baik tidak mengomeli ayahnya."

"Ayah, ayah bodoh!"

"Cepat buatkan kopi."

Kedua tangan Leina mengepal kesal. Dia tahu kalau sebenarnya Arsen peduli padanya, tapi gengsi untuk mengakui hal tersebut. Ini membuatnya kesal bukan main.

Dia memalingan pandangan. "Tidak. Buat saja sendiri— atau suruh wanita yang tidur di kamarmu itu membuatkan!"

"Di kamarku?"

"Serena itu!"

"Tidak ada siapapun di kamarku."

"Bohong! Kamu pikir aku tidak tahu kamu membiarkannya tidur di kamarmu. Seharusnya kamu biarkan saja aku pergi, kamu bisa enak-enakan dengannya sepanjang hari."

"Sampai kapan kamu akan mengomeliku karena cemburu? Aku tidak melakukan apapun dengan Serena."

Pipi Leina memerah. Dia memang cemburu, tapi terlalu malu dan gengsi kalau mengaku semudah itu. Dia gugup. "Si-Siapa bilang aku cemburu?"

"Semakin kamu marah, semakin kelihatan cemburu."

"Aku marah bukan karena cemburu!"

"Masa?"

"Iya, untuk apa aku cemburu padamu?"

Arsen tersenyum kecil. Pandangan matanya seperti ingin menggoda Leina. "Kamu benar, Leina. Kenapa juga kamu harus cemburu, kamu 'kan bukan siapa-siapaku."

"Iya."

"Kalau begitu— jika aku bersama wanita lain, kamu harusnya tidak semarah ini 'kan?"

Leina terjebak ucapannya sendiri. Tentu saja dia tidak rela kalau harus berbagi Arsen dengan wanita manapun, terutama Serena.

Meskipun saat ini, hubungan mereka sebatas partner kerja— tapi, perasaannya tak bisa ditipu.

Dia berkata, "tapi, tetap saja, aku ini asistenmu. Kita hidup berdua di satu bangunan. Aku berhak melarangmu bersama wanita asing, apalagi tidur berdua! Ini tidak bermoral!"

"Tidak bermoral apanya?"

"Ya itu tidur sekamar!"

"Tapi 'kan aku sudah dewasa, aku berhak tidur dengan wanita manapun. Lagipula, ini rumahku."

"Jadi kalian sungguh tidur bersama!"

Arsen menahan diri agar tidak tersenyum. Dia masih betah menggoda Leina. Semakin wanita itu mengamuk, maka semakin dadanya geli ingin tertawa.

Leina melototinya. "Jawab! Apa saat aku pergi, kalian tidur bersama? Kamu dan Serena!"

"Tidak."

"Bohong!"

"Cemburu 'kan?"

Otot-otot bermunculan di pelipis Leina, membuktikan kalau dia benar-benar emosi dengan sikap Arsen. "Arsen, kamu ..."

Bukannya berhenti, Arsen makin menggoda wanita itu, "aku akui tadi malam dia berada di kamarku."

"Di mana dia sekarang!"

"Sudah pergi."

"Bohong."

"Cek sendiri kalau tidak percaya."

Tidak percaya, Leina berlari keluar, kemudian menaiki anak tangga lagi. Dia berjalan menuju ke kamar Arsen.

Arsen berdiri, ikut pergi ke lantai atas, melihat apa yang akan dilakukan Leina.

"Dia ini cemburuan sekali," gumamnya sambil tersenyum kecil.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status