Share

10. Diusir.

"......" detiknya berlalu karena membisu, Thea terdiam sambil berulang kali membuka tutup telapak tangan kanan yang terasa nyeri. Seakan tengah berusaha memberi relaksasi bagi kelima jarinya,

Ini pertama kali dia merasa begitu letih, mungkin wajar karena pengalaman pertama. Perlahan pandangannya beralih pada gadis yang masih setia memeluk selimut tebal, 

"Man. Ayo bangun! aku udah siap berangkat," ucap Thea mengeraskan suara.

"Ng.."

"Iya iya, ini aku bangun." gumam Manda perlahan membuka mata seraya menatap gadis di depannya dengan tatapan kosong.

"Ayo!" seru Thea sekali lagi demi mempersingkat waktu, jika tidak mendapat sorakan pasti temannya akan kembali terlelap.

"Iya, ayo!" sontaknya bergegas beranjak dari tempat tidur,

Langkah kaki gontai Manda tengah berjalan masuk ke dalam pembatas, namun kembali keluar setelah waktu berjalan kurang dari 5 menit.

Tentu saja itu semakin mengundang perhatian Thea, terlebih lagi setelah melihat muka bantal temannya masih menyimpan sisa air. 

Seakan tak sadar sekaligus tak ingin menghiraukan, dia berjalan ke arah towel hanger demi meraih kain penyeka. Mengusap dengan cepat lalu beralih menyisir urai rambut dengan kelima jari lentiknya, 

Terbit senyuman singkat sebelum meraih dompet kecil di atas laci, "Ayo!"

"Aku udah siap," seru Manda menyengir,

"Nih pake mobil aku aja!"

"Kenapa?" 

"Itu mobil baru aku keluarin, kan kasian kalo dianggurin.." ucap Thea setelah berhasil merogoh benda kecil dari dalam tasnya.

"Oh oke. Tapi aku pinjem buat belanja juga, ya?"

Sebuah anggukan muncul guna mengiyakan sebelum tungkai panjangnya berjalan pergi mendahului. Meski sedikit tergesa gesa karena tak ingin terlambat, Thea tak lupa memakai pump shoes demi mendukung tampilan formalnya,

****

"Man…" panggil Thea melirik ke arah gadis yang tengah sibuk mengemudikan mobil.

"Hm?" menyahuti dengan pandangan masih menatap rantai jalan,

"Pamanmu itu--kayak gimana sih?" tanya Thea merendahkan suara, sedikit ragu untuk mengungkapkan rasa penasaran.

Entah mengapa muncul sebuah ide untuk segera mencari tahu lebih dalam tentang pria angkuh yang harus dihadapi demi memperpanjang jangka karir kerjanya. 

Dengan begitu dia dapat menghindari beberapa hal terlarang dan mampu melakukan sesuatu yang baik sebelum diperintahkan,

"Kayak gimana apanya?"

"Ya, apa ajalah! Kayak sifatnya---terus dia suka apaan, ga suka apaan. Jadi, biar aku lebih tau aja.."

"Biar aku bisa hati hati kalo bertindak. Kan ribet nantinya, kalau dia marah terus ngasih hukuman yang aneh aneh kayak kemarin!" sanggah Thea menjelaskan,

"Ng--apa ya, aku ga tau banyak tentang paman! Soalnya kan kita ga deket sama jarang ketemu juga. Pokoknya paman tuh tipe orang yang suka kebersihan!" 

"O-oh, aku tahu! Dia itu orangnya perfeksionis banget."

"Perfeksionis?" gumam Thea mengangkat alis, secara samar menyandingkan gelar pada sosok yang langsung muncul dalam benak.

"Iya…" sahut Manda menganggukan kepala.

"Mm, perfeksionis? Bener juga sih, tapi kan--se perfeksionisnya dia, masa sih harus nyuruh ganti gaya tulisan!" protes Thea merasa kesal mengingat kejadian tempo hari,

"Ganti tulisan gimana?"

"Ya, dia bilang kalo tulisanku jelek terus bikin sakit mata! Dan aku disuruh latihan nulis lagi---emangnya dia pikir aku bocah? Ga ngotak banget,"

"Eurhg, kek sebel gitu! Padahal kan aku cuma ngebentak dikit gara gara ga tau siapa dia. Masa sih udah dapet hukuman seluas lautan," rengek Thea menekuk bibir.

"Ck, ya sabar! Namanya aja bos. Kasta tertinggi yang ga bisa kita lawan! Lagian baru hari kedua kerja,"

"Tahan aja, mumpung dapat gaji gede! Sulit lo, kalo mau cari gaji segitu di perusahaan lain."

"Itu 'mah gausah kamu omongin, udah tau! Kamu pikir aku sekarang ngelakuin ini demi apa kalau bukan demi gaji?"

"Padahal dari kemarin, ni tangan udah pengen banget rasanya ngelempar pake buku!" gertak Thea mengepalkan tangan.

"Hhh, sabar.." menghela nafas panjang demi meredam emosinya.

Beberapa menit kemudian, kendaraan beroda empat itu berhasil sampai ke area perkantoran. Melambatkan laju tepat di sekitar gerbang,

"Wih, udah lama ga kesini. Makin bagus aja ni kantor," gumam Manda memandang penuh takjub,

"Yaudah masuk aja. Kan kantor milik paman sendiri," seru Thea melepas sabuk pengaman.

"Ih ogah! Ya kali aku masuk pake baju tidur. Lagian aku itu hampir ga pernah ngobrol sama paman,"

"Kenapa sih kamu panggil paman? kan dia anak bungsu, seharusnya manggil om dong.." tegur Thea masih enggan melangkah keluar meski telah membuka pembatas mobil.

"Ceritanya ga terlalu panjang sih. Tapi ini udah mepet masuk jam kantor. Kalo aku cerita, nanti kamu telat terus dapat hukuman lain!"

Kalimat itu reflek membuat Thea melirik pada angka yang tertera di layar ponsel, hingga membuat kedua maniknya membulat sempurna. Sigap beranjak pergi sambil merapikan diri, 

"Eh, yaudah cerita nanti aja ya! aku masuk dulu.." sontak Thea dengan raut panik bergegas melangkah secepat mungkin,

Tak merasa lega meski telah memijakkan kaki ke dalam gedung kantor, segera dilihatnya sekilas para karyawan yang telah berlalu lalang. Hingga menemukan salah satu pintu lift terbuka,

Tidak ingin kehilangan waktu, Thea berjalan menyalip beberapa orang demi menyusup ke dalam kotak yang telah diisi tiga karyawan perempuan.

Salah satu diantara mereka berhasil mengundang perhatian karena teringat wajah familiar, sosok yang kemarin telah menyiapkan secangkir kopi juga camilan atau lebih tepatnya seorang lawan yang ingin merebut posisi Thea.

"Waduh, itu beneran cewek kemarin! Gimana kalo dia ngenalin aku? Terus ngajak temennya buat balas dendam gara-gara kejadian kemarin." pikir Thea menggigit bibir, sibuk melangkah ke sudut ruang dengan kepala tertunduk.

"Semoga ga lihat kesini! Moga aja nggak. Moga aja nggak," 

Tak henti gadis itu bergumam demi melampiaskan rasa cemas yang begitu membara, padahal tidak semestinya Thea takut hanya untuk hal sepele. Apalagi sikap yang dilakukan bukan sebuah kesalahan karena memang ingin melakukan tugasnya sebagai seorang asisten,

Tring.

Bunyi dering sekaligus terbukanya pintu menjadi awal baru bagi keselamatan, tanpa ragu Thea berlari menyalip barisan karyawan bagai pencuri yang tengah kabur dari kejaran warga.

"Apaan sih, tuh cewek!" hardik seorang karyawan yang merasa terganggu karena kemunculan gadis tadi,

"Karyawan baru ya? Perasaan ga pernah lihat?"

"Iya, dia asisten barunya Pak Nathan." sahutnya melirik malas punggung yang telah menjauh,

Secuil kalimat yang mengatasnamakan dirinya membuat Thea semakin panik, tidak lagi memperhatikan citra anggun atau pesona seorang dewi, dia memilih untuk terus melangkah hingga masuk ke dalam ruangan. 

"Hhh," Tangannya masih menggenggam erat knop pintu seraya menyandarkan sisi tubuh ke samping pembatas,

Dengan nafas terengah engah, kedua lutut menekuk sembari mendengar debar jantung yang berhasil menyusup ke dalam telinga.

"Tuh kan, mereka lagi ngomongin aku! Untung aja aku bisa kabur." seru Thea terengah engah,

Dengan susah payah menelan saliva, perlahan dia beranjak ditemani pandangan yang beralih menatap sosok di sudut lain.

Aura gelap terpancar di sekeliling laki laki yang sedang duduk sambil mempertahankan raut datar, sebuah tatapan menusuk yang sedari tadi telah terlontar ke arah Thea berhasil membuatnya diam tak berkutik.

"Hh, dia ga marah kan? Masa ga boleh---cuma numpang nyandar ke pintu.." pikir Thea berusaha untuk tetap tenang,

Entah kenapa pandangan tadi seperti tatapan muak yang selalu ditunjukkan pada orang aneh. Meski tak berbuat apapun, sikap tak acuh Nathan justru membuat gadis itu ragu untuk bertindak seperti apa.

"Selamat pagi, Pak." sapanya, sedikit menundukkan kepala.

"Hm---cepat kesini." 

"Baik.." seru Thea bergegas melangkah maju ke depan meja kerja.

Sebuah penyangga kayu berisi berbagai macam berkas telah tersaji di hadapan mereka. Namun map kulit berwarna hitam berhasil menjadi perhatian Thea, khususnya karena sebuah tulisan kontrak pada sampul tersebut. 

"Dokumen kontrak kerja, disini tertulis bahwa kamu akan bekerja selama 2 tahun di perusahaan saya. Untuk aturan lainnya, silahkan baca sendiri.."

"Tanda tangan, jika semua aturan dapat kamu patuhi."

"Baca aturan? Sekali lihat aja, udah ketebak seberapa banyak aturan dalam dokumen ini. Masa pakai dibaca satu satu.."

"Jadi inget kejadian kemarin. Mending langsung tanda tangan, toh aku emang butuh kerjaan ini! Tapi kalo langsung tanda tangan, nanti dia merasa aku itu orang yang ga teliti." pikir Thea merasa bimbang,

"Ambil dokumennya. Saya nyuruh untuk dibaca bukan dilihat," ketus Nathan dengan logat angkuh,

"H-hah? O-oh iya, saya baca sekarang!" dengan sigap meraih dokumen tadi dan berbalik, 

Dia berjalan sambil memilih kursi mana yang harus ditempati. Hingga menyesuaikan posisi sambil menatap ambang berkas di tangannya, "Ng, kira kira ini ada berapa lembar ya?"

"Kalo setebel ini. Kayaknya butuh waktu baca paling cepat 20 menit!" gumam Thea dalam hati.

Lembar pertama berisi penuh goresan tinta telah berhasil membuat gadis itu merasa muak, entah kenapa dia harus melakukan prosedur rumit hanya untuk tanda tangan kontrak. Tidak bisakah dia belajar aturan tanpa membaca?

Tanpa kehilangan akal, Thea duduk berdiam diri seakan tengah membaca demi menaikkan citra bak karyawan yang memiliki sikap tekun juga teliti. 

5 menit kemudian.

"Kayaknya ini udah cukup.." pikir Thea tersenyum singkat sebelum melirik pada benda penunjuk waktu yang tersemat di dinding.

"Hah--masih 5 menit?!" celetuk Thea, tanpa sadar mengeraskan suara.

Seketika membuat pria yang masih duduk di dalam ruang menoleh berkat terkejut dengan teriakan tadi. Namun segera Nathan menghela nafas dan kembali mengabaikan tingkah konyol yang tak berarti apapun,

"Aduh. Keceplosan!" gumam Thea dalam hati, sontak terpejam sambil menyesali setiap kata yang baru saja terlontar.

Perlahan memberanikan diri untuk kembali membuka sebelah mata, memastikan kenapa masih tersimpan keheningan setelah kecerobohan tadi.

Mengamati bibir mengatup rapat tersemat pada wajah datar Nathan, "Loh. Tumben ga ngeliat kesini? biasanya kan kalo aku bikin salah dikit langsung melotot,"

"Apa ga denger ya? Mungkin dia lagi serius ngerjain kerjaan makanya ga sadar sama suaraku,"

"........."

"Ng, biarin deh. Syukur kalo ga ngamuk--lebih baik aku fokus ngurusin ini." benaknya, kembali pada tujuan awal.

Tengah berusaha untuk membaca isi setiap lembar dalam dokumen. Namun tentu saja hanya membaca sekilas tanpa mencermati maksud kalimat yang tertera di atasnya,

Selang 10 menit seperti telah menyelesaikan tugas besar, dengan bangga Thea  menoleh ke arah lain dan mendapati keheningan serupa juga sosok serupa yang masih sigap mengamati setiap berkas berisi hasil laporan para karyawan.

Entah berapa banyak tugas yang telah merusak pria tampan itu hingga membuat Nathan terlatih menjadi sosok menyeramkan.

Tidak akan menjadi orang berpengaruh jika pria itu tak memiliki kepekaan tinggi, instingnya bahkan dapat merasakan jika ada sorot mata yang tengah terlontar. 

Secepat kilat melirik tajam hingga membidik pandangan Thea, "E-eh, ini saya udah baca semua." 

Begitu terbata bata menjelaskan maksud, batinnya nyaris meledak karena terkejut. Segera dia beranjak dari tempat duduk demi melangkah dan meletakkan berkas ke hadapan pria tadi,

"Sudah ditandatangani?" ungkapnya datar,

"B-belum, saya tidak bawa bolpoin."

Dihelanya nafas panjang sembari membuang muka karena merasa muak dengan tingkah Thea yang dinilai ceroboh dan tidak mampu mengurus apapun. Meski begitu dia terpaksa merekrut karyawan payah hanya untuk menghormati permintaan keluarga,

Tentu saja Nathan tengah berusaha untuk mengontrol amarah karena mengingat jika yang ada disana adalah sahabat karib keponakannya. Jika tidak, mungkin Thea akan langsung dipecat setelah pertemuan pertama.

"Ambil bolpoin yang ada di rak! Setelah itu tanda tangan disini." tegas Nathan membuka salah satu lembar halaman.

Thea mengangguk pelan lalu berbalik. Semua berjalan mulus sebelum sifat malasnya terbangun, hingga bertingkah bodoh untuk menuruti hasrat bergejolak dalam hati dan melawan perintah yang telah didapat. 

Seketika terfokus pada pena hitam yang tersaji pada saku jas Nathan, tanpa berpikir ulang segera diraihnya benda itu demi membubuhkan gores tinta ke atas dokumen.

Tanpa sadar sekali lagi dia menyulut api amarah yang berhasil melewati batas kesabaran. Sontak pria itu beranjak bangun sambil menatap geram,

Mengepalkan kedua tangan juga mengeratkan gigi, pertama kali dia mendapat perlakuan tak pantas dari karyawan rendah.

Sedangkan gadis yang masih belum menyadari kesalahan hanya bisa tersenyum sembari menyodorkan kembali bolpoin yang telah diambil.  "M-makasih, saya cuma pinjam sebentar.." 

Plak.

Dengan kasar Nathan menepis jari lentik itu hingga membuat pena di tangan Thea terpental, seketika berhasil membuat Thea bergidik ngeri karena mendapati amarah dari sorot mata yang terlontar padanya.

Rasa kesal pada tingkat tertinggi dan berkali kali lipat dari yang pernah dilihat, bahkan berhasil membuat jantungnya berdegup kencang karena merasa takut.

"M-maaf, Pak." sontak Thea menundukkan kepala sebagai tanda penyesalan juga minta maaf.

"Jangan buat saya mengulangi sesuatu!" bentak Nathan dengan kasar,

"Yang saya tegaskan bukan sebuah peringatan tapi perintah! Jadi ingat dan kalau perlu---tulis di setiap lembar ingatanmu!" 

"........." Gadis itu terdiam seribu bahasa, tak tahu harus bereaksi atau bertindak bagaimana untuk menenangkan seorang singa.

"Sekarang, keluar dari ruangan saya." tegas Nathan datar,

Thea yang ingin membela diri berusaha mendongak dan melawan rasa takutnya. Berusaha memastikan apa arti pengusiran tadi,

"T-tapi Pak.."

"Keluar!" perintah Nathan meninggikan suara,

Teriakan keras itu berhasil menciptakan linang air mata di kedua pelupuk Thea, tentu saja ini pertama kali dia mendapat perlakuan kasar bahkan belum pernah ada yang berani membentaknya.

Rasa kecewa sekaligus takut mendorong Thea untuk segera melangkah pergi, bahkan tak menghiraukan beberapa karyawan yang baru saja berpapasan dan menatap tingkah anehnya.

Seluruh mata tertuju hingga terkejut melihat seorang karyawan berlari keluar dari ruangan CEO dalam keadaan memprihatinkan,

Dengan cepat Thea mengusap air mata yang nyaris membasahi pipi, seakan bertingkah tegar sambil membangun muka tembok demi terus berjalan melewati lorong penuh karyawan.

Beruntung tak menunggu lama kakinya menemukan tujuan, ruang yang akan menjadi tempat persembunyian aman. Segera membuka salah satu pembatas toilet lalu menduduki kloset yang masih dibiarkan tertutup,

Linangan air yang berhasil turun tak mampu lagi dibendung, gadis itu berharap jika semua akan kembali normal setelah dia menyelesaikan tangisnya.

"Kenapa sih--padahal cuma gitu doang, sampe ngebentak segala." rengek Thea semakin membasahi kedua pipi yang mulai memerah,

Prak.

"Sial, kenapa sih Pak Nathan harus nerima cewek itu?" gertak suara wanita di balik pembatas,

"Ada orang?" pikir Thea segera menghentikan tangis agar tak terdengar, demi menelaah apa yang tengah dimaksud oleh perempuan yang tiba-tiba datang sambil meneriakkan kekesalan.

"Padahal posisi asisten selalu berganti setiap bulannya! Dan aku pikir itu karena ulah karyawan yang tidak becus bekerja."

"Beberapa bulan ini, posisi itu dibiarkan kosong karena pimpinan melarang adanya perekrutan! Jadi aku berusaha melakukan yang terbaik,"

"Bahkan aku bersedia melakukan tugas rendahan hanya untuk berada di dekat pimpinan. Tapi kenapa tiba-tiba ada cewe ga jelas masuk, dan jadi asisten baru," tambahnya semakin membuat Thea berantusias untuk menguping,

"Pimpinan? Sepertinya dia lagi ngomongin Pak Nathan."

"Terus---yang dimaksud cewek ga jelas itu aku?" ucap Thea dalam hati telah berhasil melupakan kesedihannya tadi.

"Iya Kak. Aku juga ga habis pikir tiba tiba pimpinan ngerekrut asisten baru,"

"Padahal aku pikir Kak Mia yang bakal dapat posisi itu, dilihat dari kedekatan kakak sama pimpinan."

"Aku juga sering lihat kalo Pak Nathan paling banyak ngobrol sama kak Lisa,"

***Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status