"Besok?" Astri kaget dengan permintaan Darma. Pria itu ternyata mulai beraksi juga mengejar Astri."Ya, kebetulan urusanku akan selesai sebelum makan siang. Kita bisa bertemu sebelum aku pulang." Darma menegaskan.Astri harus mencari cara agar tidak ada kemungkinan Darma dengan dirinya bisa bertemu. "Besok, aku sudah ada jadwal. Lebih padat dari hari ini. Aku tidak bisa," elak Astri.Darma memandang Astri tajam. Wanita di depannya ini ternyata cukup keras. Aneh, ketika di rumah pada pertemuan di rumah keluarga Kamajaya, sikap Astri cukup manis. Tetapi selepas itu, sama sekali belum ada kesempatan Darma dan Astri bertemu lagi."Astri, aku temani Wenny. Kalian bicara saja." Julian menyela pembicaraan Astri dan Darma.Julian merasa dia tidak perlu tahu urusan Darma dan Astri. Tangan Julian menggandeng Wenny dan mengajak adiknya menjauh. Astri tidak mungkin meninggalkan Darma begitu saja. Benar-benar situasi yang tidak menyenangkan. Seharusnya hari itu makin manis kebersamaan Astri dan J
Hari berganti. Astri tidak mungkin lupa, Darma mengatakan akan datang menemui Astri di sekolah. Sejak bangun pagi, Astri sudah merasa tidak tenang. Dia harap-harap cemas kalau tiba-tiba benar pria itu datang dan mencari dia di sekolah. Sampai Astri kurang bisa fokus dengan apa yang dia kerjakan di kantor. Teettt!!! Keras dan nyaring bel tanda istirahat siang berdering. Astri sampai sedikit melompat karena terkejut. Ini waktunya. Apa benar Darma datang menemui Astri? Astri melihat ke ponselnya, tidak ada pesan masuk dari pria itu. Ah, anggaplah urusannya belum selesai, jadi tidak mungkin Darma datang. "Baiklah, kurasa aman. Pak pengacara ga mungkin ke sini. Dia kan super sibuk," ujar Astri lirih, meyakinkan dirinya. Astri meninggalkan tasnya di kantor bersiap menuju ruang makan untuk makan bersama dengan para guru dan murid. Paling seru saat makan siang. Apalagi biasanya menu sedikit istimewa dibanding saat sarapan atau makan malam. Masuk ruang makan, seperti biasa riuh suara murid
Darma menggeleng-geleng. Lalu dia meraih lagi tab di tangannya. Astri heran, bukan menjawab pertanyaan, pria itu malah kembali sibuk dengan benda pipih yang dia pegang. Hampir Astri mengucapkan sesuatu, Darma mengangkat mukanya dan memperlihatkan layar tab pada Astri. "Kamu lihat foto ini, Astrina?" Darma mendekatkan tab ke arah Astri. Astri mau tidak mau melihat juga pada layar. "Pasangan yang serasi, bukan? Hampir tiga belas tahun menikah, mereka sedang mengurus perceraian. Lalu ini ..." Telunjuk Darma menggeser gambar. "... setelah ulang tahun pernikahan yang kesembilan, ketahuan si pria berselingkuh, dan istrinya menggugat cerai." Astri menelan ludah. Apa maksud Darma menunjukkan semua itu? "Mereka pacaran bertahun-tahun, beralasan cinta, lalu menikah, lemudian selesai. Tapi ini ..." Darma kembali menggeser gambar di layar. Muncul foto pasangan yang sudah usia, mereka berambut putih meskipun belum semua. Astri kenal siapa pria di foto itu. "Ayahku. Dia menikah karena dijodohk
"Gimana menurut Ibu? Oke ga ideku?" Errin memandang Astri dengan mata berbinar. Wajah lelah gadis itu seperti hilang saat mengatakan semua rencananya untuk acara ulang tahun sahabatnya, Wenny. "Menarik. Jadi kita lakukan di taman samping asrama, selesai kelas?" Astri memastikan waktunya. "Iya. Kami kelas selesai jam setengah dua belas. Jam makan dua belas tiga puluh. Lumayan, Bu, satu jam. Lalu lanjut makan siang sama-sama." Errin menegaskan lagi. "Baiklah. Atur saja. Siapa-siapa yang akan kamu ajak?" Astri memastikan lagi personil yang terlibat. "Orang kamar sama teman dekat aja, Bu. Kami semua berenam. Sama Ibu tujuh jadinya." Errin menjawab tegas. "Nice." Astri tersenyum. "Aku sengaja ajak Ibu, soalnya Wenny beneran sayang Ibu. Katanya andai dia ada mama, mau mamanya kayak Bu Astri," kata Errin. Kalimat itu membuat dada Astri kembali meletup. Menyenangkan sekali mendengarnya. Ini kesempatan Astri akan merengkuh hati Wenny. Lalu kalau Astri makin dekat Julian, Wenny tidak aka
Teetttt!! Bel pagi di asrama berbunyi nyaring sekali. Astri tersentak dan segera bangun. "Jam lima pagi? Astaga!" Astri sedikit panik. Dia belum menyiapkan untuk kegiatan hari itu. Semalam setelah menelpon Julian, Astri dapat ide membuat sketsa gambar untuk Wenny sebagai hadiah ultah. Gambarnya memang selesai, tapi urusan kerjaan yang tertunda. "Aduh, kesiangan. Cilaka," ujar Astri. Dia menarik napas dalam beberapa kali. Harus tetap tenang agar bisa berpikir jernih. Mau apa dulu yang dia kerjakan? Astri memejamkan mata. Lebih baik dia serahkan hari itu pada Sang Pemilik hidupnya. Semua yang akan Astri lalui, Dia sudah tahu. Astri minta tuntunan agar hari itu semua berjalan manis. "Tuhan, tolong agar hari ini aku mendapatkan satu keyakinan jika aku mengejar Julian, Kau merestui langkahku," ucap Astri. Ada perasaan campur aduk saat dia mengucapkan itu. Tiba-tiba seperti Astri tersadar, dia mengejar pria. Ya, dia berniat mengejar Julian Scott Dawson. Padahal seumur hidup Astri bel
"Ajak Wenny ke sini. Please, pakai alasan apapun tapi jangan beritahu aku datang. Sebab, aku janji weekend akan menjemput dia pulang, baru kami akan jalan-jalan." Julian menjelaskan. "Oke. Siap. Segera aku bawa Wenny bertemu denganmu," jawab Astri dengan hati berbunga. Manis sekali. Ini sesuatu yang baik yang akan terjadi padanya dan Julian. Panggilan Juan selesai. Astri segera mencari Wenny di kamarnya. Gadis itu sedang asyik tengkurap di kasur sambil membalas banyak pesan ucapan ultah. Di sekitarnya kado-kado dari teman-teman bertebaran. Wenny terlihat sangat senang. Bagusnya, Wenny sedang sendirian. Entah teman kamarnya ada di mana. "Wenny, bisa bantu Ibu?" Astri duduk di tepi ranjang, memperhatikan Wenny. Astri sengaja memasang wajah serius. "Aku? Ada apa, Bu?" Wenny meninggalkan ponsel di kasur, duduk, dan melihat pada Astri. "Ibu perlu memindahkan beberapa barang dari kantor depan. Ga bisa ditunda, soalnya besok harus dipakai," jawab Astri. "Oke. Sekarang?" Wenny bertanya l
Julian menatap adiknya yang pandangan tajam. Wenny kadang-kadang kalau bicara memang tidak pakai dipikir. "Kenapa? Kakak lebih senang kalau cewek pelanggan Kakak yang datang? Yang rada tomboy itu?" Wenny melirik kakaknya dengan tatapan jutek. "Kamu kalau bicara jangan asal." Julian mengusuk kepala Wenny. "I Just think about you." Mendengar pembicaraan itu Astri merasa tidak nyaman. Julian pria sukses, tampan, dan baik hati. Dia punya relasi yang luas. Pasti juga banyak wanita yang ada di sekitarnya. Bisa jadi beberapa dari mereka menyukai kakak Wenny itu. "Sudah, tidak usah bicara soal itu. Hampir habis waktu kamu dan harus balik asrama." Julian mengingatkan. "Kalau sama Ibu Astri, mau sampai jam sepuluh malam di luar, aman. Ya kan, Bu?" Wenny menoleh pada Astri. "Nggak. Besok kamu ada kelas, ada ujian. Ga boleh kurang istirahat. Sekarang saja jam belajar kamu berkurang," jawab Astri."Aissshhh, kenapa lagi-lagi kakakku dan Bu Astriku kompak, ya? Makin akur aja, nih, berdua," uca
Ultimatum lagi yang Astri dengar dari sang ayah. Sungguh tidak menyenangkan mendengar desakan lagi dan lagi. Astri belum siap. Dia bukan kekasih Julian! Apa yang harus Astri lakukan? Dan sayangnya, situasi memaksa dirinya mengaku sebagai kekasih Julian, hanya demi mengamankan dirinya di depan adik dan sang ayah. "Kamu dengar aku, Astri?" Kalimat itu membuat Astri tersentak. "Ya, aku dengar, Pa." Buru-buru Astri menjawab. Astri harus bisa tetap tenang. Jangan sampai salah menjawab menimbulkan pertanyaan lain yang akan menjebak dirinya sendiri di depan Andika. "Kapan kamu akan ajak pria itu bertemu denganku? Dia pria asing. Apa mungkin dia akan bersungguh-sungguh denganmu?" tanya Andika dengan nada dingin. Oh, tidak. Ini masalah baru. Andika tidak gembira mendapat kabar Astri punya kekasih! Dia yang mendesak Astri untuk segera mendapatkan calon suami, tetapi kenyataannya, Andika tidak suka? "Aku harus atur waktu, Pa. Aku sibuk, Juan pun sibuk." Jawaban yang selalu sama yang Astri be