“Lepaskan Aku! Aku tak mau bereinkarnasi lagi, lempar saja aku ke neraka!” jerit roh Panglima Tiang Feng terus meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari cengkraman pengawal akhirat yang menyeratnya menuju gerbang reinkarnasi.
Dua orang pengawal yang menyeretnya pun sebenarnya sudah mulai kewalahan menghadapi tingkah polah dari roh yang dulunya seorang dewa yang membawahi seratus ribu pasukan itu. Selama ini, roh roh yang mereka bawa ke gerbang reinkarnasi tak ada yang bersikap seperti roh Panglima Tiang Feng. Roh roh biasanya akan menurut, menunduk dan mengikuti semua apa yang di perintahkan petugas akhirat. Membawa roh Panglima Tiang Feng benar-benar menguras energi mereka.
“Tiang Feng! Percuma saja kau melawan! Kau bukan Panglima langit lagi, sekarang!” hardik Pengawal akhirat kesal. Wajahnya sampai memerah menahan amarah.
“Huaa!” jerit roh Panglima Tiang Feng berontak melepaskan diri dari cengkraman kedua Pengawal Akhirat.
Cengkraman itu terlepas, membuat kedua Pengawal akhirat makin naik pitam, panik dan khawatir Roh Panglima Tiang Feng akan mengacau lagi. Dua pengawal itu saling berpandangan lalu menatap dengan garang roh yang selalu merepotkan mereka saat akan bereinkarnasi. Mereka bersiap untuk mengambil tindakan apabila roh itu mulai berulah.
“Jangan bertingkah kau, Tiang Feng!” ancam Pengawal Akhirat geram.
“Ikut kami baik-baik! kau harus segera bereinkarnasi!” timpal pengawal lain menambahi masih berupaya membujuk.
“Ha ha ha ha….” Panglima tertawa panjang sambil mengangkat kedua tangannya. Rambutnya yang panjang dan awut-awutan, membuatnya lebih nampak seperti orang gila dari pada seorang Panglima kerajaan langit.
“Wahai Kaisar Langit! Bila mencintai Chang-e adalah sebuah dosa, kenapa kau bangun rasa cinta ini di hatiku, membuat aku harus tersiksa, menjalani seribu kali derita cinta, sungguh bijaksana sekali engkau. Oh Dik Chang-e, meski telah menderita, berkali-kali lahir dengan derita asmara. Aku tak pernah menyesal pernah mencintaimu….”
TAR TAR
Cemeti Pengawal akhirat tepat melecut tubuh Roh Panglima Ting Feng. Pengawal akhirat sudah kehabisan kesabaran menghadapi tingkah polah roh yang dulunya dewa itu. lebih lebih, roh Panglima Tiang Feng telah dengan lancang menghina dengan sarkas Kaisar Langit. Tanpa ampun lagi, kedua pengawal itu menghadiahi cambukan demi cambukan yang menimbulkan suara dan jeritan yang menggetarkan akhirat.
“Aaaaa!” jerit roh Panglima Tiang Feng merasakan sakit yang luar biasa.
Meski dia hanya roh, dan tak memiliki jasad, lecutan cemeti yang menyambar tubuhnya memiliki dampak yang lebih menyakitkan dari pada seseorang yang memiliki jasad. Roh Panglima Tiang Feng merasakan kesakitan luar biasa seperti saat rohnya hendak dicabut dari jasad. Roh itu terus menjerit kesakitan sampai jatuh bergulung-gulung. Tapi, semakin roh Panglima menjerit kesakitan, Pengawal akhirat yang sudah terlanjur geram dan kehilangan kesabaran semakin ganas melecut.
Jeritan kesakitan itu terdengar seantero akhirat, membuat roh-roh yang antri hendak bereinkarnasi bergidik ngeri, menoleh ke kanan dan kiri mencari ke arah sumber suara. Nenek tua yang bertugas menyuguhkan teh penghilang ingatan sampai bergetar tangannya mendengar jeritan yang begitu memilukan, jeritan yang diiringi teriakan menantang dari roh yang harus segera bereinkarnasi menjalani hukuman langit.
“Cambuk saja aku! Aku tak mau bereinkarnasi!” jerit roh Panglima Tiang Feng kekeh melawan meski dia sadar semua itu akan sia-sia.
TAR TAR
Para Petugas akhirat makin bersemangat melecut Roh Panglima dengan sekuat tenaga, membuat bunyi lecutan itu semakin terdengar jelas seantero akhirat.
Suara jeritan pilu dan lecutan itu juga terdengar oleh Raja Akhirat dan Dewa Pengatur nasib. Keduanya kompak menoleh ke arah sumber jeritan dan bunyi lecutan. Air muka keduanya berubah pilu, keduanya menunduk sambil geleng-geleng kepala menyayangkan nasib buruk sang Panglima yang dulu begitu gagah perkasa, kini harus menjadi pesakitan gara-gara masalah cinta.
Raja Akhirat berdiri dari tempat duduknya, dia berjalan menuju jendela, membuka daun jendela yang tadinya tertutup, menatap ke arah luar sambil membelai-belai jenggotnya yang panjang. Jeritan kesakitan makin jelas terdengar, hingga sayup-sayup melemah. Raja Akhirat lalu menoleh ke arah Dewa Pangatur nasib.
“Aku adalah dewa yang tak terikat oleh rasa-rasa dan emosi, agar bisa selalu tegak lurus dan berlaku adil. Tak mengenal apa itu duka atau bahagia, terlebih cinta. Tapi semenjak melihat begitu menderitanya Panglima Tiang Feng, aku jadi punya rasa iba.”
Dewa Pengatur Nasib berjalan mendekati Raja akhirat dengan mimik muka tegang.
“Raja ingin membantu Panglima?” tanya Dewa Pengatur Nasib.
Raja Akhirat menoleh ke luar jendela, tangannya menunjuk keluar.
“Dengarlah, jeritan roh Panglima Tiang Feng. Dia memilih untuk dicambuk dengan cemeti penghancur roh, yang sakitnya tak terbayangkan. Baru setelah lemas, dia akan diseret ke jurang reinkarnasi tanpa perlawanan, untuk menjalani hukuman derita cinta. Aih, kasihan sekali dia. Tak adakah cara untuk mengurangi deritanya?” tanya Raja Akhirat prihatin mimik wajahnya berubah pilu.
“Aku juga sebenarnya tak tega, menulis nasib yang berakhir tragis untuk Panglima. Tapi, aku hanya menjalankan perintah penguasa langit, harap Raja Akhirat mengerti posisiku,” jawab Dewa Pengatur Nasib merasa tak enak hati.
“Jangan salah paham, wahai Dewa Pengatur Nasib. Aku tak memintamu untuk mengubah catatan nasib yang kau tulis, untuk Panglima. Hanya minta saran, barangkali ada cara untuk membuat Panglima tidak terlalu lama menderita? Dengarlah jeritnya di luar sana, sungguh memilukan!”
Dewa Pengatur Nasib diam tak menjawab, dia nampak berpikir dan bingung mencari-cari jawaban yang tepat untuk pertanyaan penguasa akhirat itu. Menjadi tugasnya membuat alam semesta menuntun Panglima mengalami derita yang dia tuliskan, kini dia malah dimintai saran untuk membuat derita itu berkurang.
“Pangkal dari sebab yang membuat Panglima selalu menderita dalam tiap kehidupan adalah cinta, bila dalam menjalani kehidupan Panglima sanggup untuk tak jatuh cinta, mungkin takdirnya akan berubah!” jawab Dewa Pengatur Nasib, membuat wajah Raja Akhirat jadi berbinar.
“Mungkinkah hal itu terjadi?” tanya Raja Akhirat Antusias.
“Sulit, karena langit akan mengarahkan semesta untuk menuntun Panglima jatuh cinta dan menderita. Bisa bisa Panglima akan lebih menderita dari takdir yang harus dia jalani. Saran hamba, sebaiknya Raja Akhirat tak terlibat terlalu jauh, biarlah Panglima menjalani sisa hukumannya dengan wajar, ” jawab Dewa Pengatur Nasib memberi masukan pada Raja Akhirat.
Wajah hitam legam yang tadi berbinar kembali murung mendengar ucapan dari Dewa Pengatur Nasib. Sang dewa benar, sulit untuk menentang kehendak langit terlebih kehidupan yang harus dijalani Panglima Tiang Feng adalah sebuah hukuman dari kerajaan langit. Raja Akhirat menatap kosong keluar jendela, sayup-sayup masih terdengar suara lemah Panglima Tiang Feng yang sudah tak berdaya, membuat Raja Akhirat masih memikirkan cara untuk meringankan derita Sang Panglima.
“Aaaku ta tak mau bereinkarnasi, aaaaku tak mau menderita karena cinta lagi….”
Sepasang suami istri berjalan beriringan di sebuah pasar yang riuh ramai dengan orang-orang yang sibuk menawarkan dagangan atau sedang mencari barang. Sang suami yang berusia kisaran empat puluh tahunan itu dengan sigap menuntun dan melindungi istri yang jauh lebih muda, bahkan separuh dari umurnya, kisaran dua puluh lima tahunan, agar tak tersenggol orang yang berseliweran di pasar. Wanita itu sedang hamil empat bulanan, perutnya terlihat mulai membuncit. Wanita yang jadi istri saudagar kaya itu makin terlihat menarik saat hamil. Wajahnya makin berseri dan tubuhnya makin padat berisi, membuat suaminya makin sayang, terlebih sudah lama sekali dia menantikan kehadiran seorang anak dalam pernikahan mereka.“Kang Mas…. itu penjual dawetnya!” wanita bernama Anjani itu menunjuk ke arah wanita paruh baya yang duduk di depan dawet dagangannya.“Baik Diajeng, biar pengawal saja yang membeli, kita cari tempat berteduh dulu,” ajak Juragan Karta mencari-cari tempat berteduh untuk istrinya.“Parj
Kejadian malam itu membuat Anjani jadi takut pada suaminya sendiri, dia khawatir kalau-kalau suaminya akan kembali lepas kendali dan merudakpaksanya. Begitu juga dengan Juragan Karta, penolakan dari Anjani membuatnya kesal. Dia jadi jarang pulang ke rumah dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah dan mulai jarang pulang. Juragan Karta yang biasanya bersikap manis pun mulai dingin pada Anjani, membuat wanita yang sedang hamil empat bulan itu jadi merasa bingung dan serba salah, dia sadar perbuatannya itu menyakiti suaminya, tapi dia juga takut ramalan itu terjadi. Tak mau terus berlarut-larut, Anjani berusaha melawan rasa takutnya, memperbaiki hubungannya dengan sang suami. Dia akan mencari cara untuk memuaskan suaminya tanpa harus bersebadan.“Kakang …. Aku sudah menyiapkan lodeh nangka muda, kesukaan Kakang!” Anjani tersenyum lebar menyambut suaminya sudah beberapa hari tak pulang itu.Pria bertubuh sedikit tambun, dengan kumis melingkar itu melengos mendengar sapaan Anjan
“Hiks…. Hamba hanya orang kecil, kenapa Juragan tega melakukan ini!”Sulastri duduk memeluk lutut di atas tumpukan jerami mengusap air mata, sambil menutupi bagian tubuhnya yang tersingkap, dan menyembul keluar. Pakaiannya sudah sobek sana sini, dikoyak dengan buas oleh Juaragan Karta. Entah mimpi apa dia semalam hingga harus mengalami peristiwa yang begitu mengerikan. Dia tak mampu melawan hingga harus pasrah digagahi oleh Juragan Karta. Dia sadar kalau dia seorang Janda, yang harus merantau ke kota demi menghidupi anak perempuannya di desa, juga demi menghindari niat jahat lelaki hidung belang di desa. Tapi, nyatanya meski sudah merantau ke kota, di tetap saja di mangsa oleh lelaki hidung belang.“Lastri…. Jangan menagis lagi. Maafkan aku, aku benar-benar Khilaf, tadi!” hibur Juragan Karta yang rebah di samping Sulastri. Lelaki bertubuh tambun itu masih bertelanjang dada, dengan peluh yang masih menetes. Dia juga tak percaya sudah melakukan hal yang tercela pada Sulastri.“Hiks…. H
Bab 7. Percakapan Tentang NasibDengan jari telunjuk yang menempel di kening, dan jari-jari lain terlipat ke bawah, Raja Akhirat terus berkonsentarsi mengeluarkan energi agar cermin kehidupan yang menampilkan bayangan kejadian di alam dunia tetap bisa terlihat.“Hiap!” Raja Akhirat melepaskan jari-jari dari kening, menghentikan aliran energi, yang membuat bayangan kejadian di alam dunia menghilang. Dia mengatur nafasnya, dan berjalan mendekati roh Panglima Tiang Feng yang masih terlihat kebingungan.“ Wahai roh Panglima Tiang Feng, Aku sudah bicara dengan Dewa Pengatur nasib tentang kehidupanmu selanjutnya….”“Tak ada yang berbeda, aku akan tetap mati mengenaskan oleh derita cinta,” potong roh Panglima Tiang Feng ketus.“Kauu!” Raja Akhirat menuding roh Panglima Tiang Feng geram. Dia sudah mengambil resiko dan berupaya mengurangi penderitaan Panglima Tiang Feng, tapi malah mendapat sikap ketus seperti ini. “Ah, sudahlah!” Raja Akhirat menghempaskan tangannya ke udara dan berbalik.Ro
“Huek, Huek!” Lastri mengeluarkan semua isi perutnya. Wajahnya pucat, tubuhnya jadi panas dingin. Belakangan indra penciumannya juga jadi lebih sensitif, mencium bau-bauan tertentu, perutnya langsung mual-mual.Mbok Darmi rekan sesama pembatu di rumah juragan Karta, memijit-mijit tengkuk Lastri. Wanita paruh baya itu membantu Lastri agar lebih enakan. Sebagai orang tua yang berpengalaman, dia mulai menduga-duga kalau Lastri sedang hamil muda, ciri-cirinya jelas. Tapi yang membuat Mbok Darmi bingung adalah, bagaimana mungkin Lastri bisa hamil kalau dia adalah seorang janda. Mbok Darmi memberanikan diri bertanya pada Lastri tentang kemungkinan itu, barangkali saja Lastri punya hubungan khusus dengan lelaki dan akhirnya keblabasan. Mungkin dengan Parjo dan Timan, mengingat kedua lelaki itu sering menggoda dan dekat dengan Lastri. Wanita yang sebulan terakhir terjerat hubungan terlarang dengan Juragan Karta itu, membantah. Dia bilang kalau masih rutin garap sari. Mbok Darmi pun membuang
Juragan Karta kaget bukan main, mendengar perkataan Lastri. Dia tak menyangka permainan liarnya dengan Lastri menyebabkan janda sintal itu sampai berbadan dua. Sebulan terakhir, mereka memang sering melakukan pergumulan di setiap ada kesempatan. Tak peduli itu siang atau malam, di banyak tempat. Sangat wajar memang, bila dari sekian benih yang ditanamkan di rahim Lastri, salah satunya ada yang tumbuh.Meski kaget, Juragan Karta berusaha berpikir jernih untuk mencari jalan keluar dan yang paling penting adalah menenangkan Lastri terlebih dahulu, dia tak mau Lastri kembali nekat dan punya niat mengakhiri hidupnya. Dan saat melihat Lastri lengah, Juragan Karta bergerak cepat menangkap tangan Lastri yang memegang sabit, mencengkram janda muda itu, berusaha menjatuhkan sabit di tangan Lastri.Srat! “Lepaskan, lepaskan!” Lastri meronta seperti orang kalap berusaha melepaskan diri, tapi dia kalah kuat hingga sabit itu terlepas dari tangannya. Lastri meronta membuat Juragan Karta kewalahan h
Terdengar langkah kaki menuju dapur, membuat Lastri dan Parjo dengan cepat melirik ke luar secara bersamaan. Dari jauh, terlihat Mbok Darmi datang memondong beberapa kayu bakar kering. Lastri dan Parjo mulai menjaga sikap dan terlihat biasa-biasa saja. Parjo lalu berjalan mendekati Lastri dan berbisik pelan, sambil menepuk-nepuk pundak janda tiga puluhan tahun itu.“Kau pikir-pikir saja, dulu. Jangan coba mengadu pada Juragan Karta, atau aku langsung melapor pada Ndoro Putri!” bisik Parjo penuh ancaman, bergegas pergi meninggalkan dapur.Lastri terdiam tak bisa menjawab, dia meremas-remas ujung jariknya bingung harus bagaimana.“Jo, sebentar lagi sayur lodehnya matang, apa kau tak mau menunggu?” sapa Mbok Darmi saat berpapasan dengan Parjo di pintu keluar.“Nanti saja, Mbok. Saya mau ngarit dulu,” jawab Parjo tersenyum sambil melirik nakal ke arah Lastri yang masih gugup terdiam.“Ha ha, tumben-tumbenan.”Mbok Darmi melangkah masuk ke dapur memondong kayu kering, melemparkannya ke sam
“Kang Mas, kenapa? Aku melihat, Kakang beberapa hari ini sering melamun,”Teguran dari Anjani itu membuat Juragan Karta yang sedang duduk termenung di bale-bale, memikirkan cara menutupi perselingkuhannya itu tergagap, kaget. Tahu-tahu sang istri sudah ada di sampingnya, menepuk pundaknya.“Oh, Diajeng,” jawabnya geragapan. “Kakang ada masalah apa, sebenarnya?” desak Anjani kembali bertanya. Firasatnya sebagai perempuan merasakan ada yang berbeda dari suaminya. Meski sebenarnya masih khawatir dengan ramalan sang Resi, Anjani sudah membuang jauh rasa itu dan kembali melayani suaminya seperti biasa. Tapi hal itu seperti tak banyak mengubah keadaan. Suaminya memang tak lagi uring-uringan, berganti jadi sering melamun sendiri. Suaminya juga tak lagi menjamahnya setelah malam pertama Anjani menyerahkan dirinya.“Kakang hanya capek saja, dan tak sabar menantikan kelahiran jabang bayi ini,” jawab Jurag