LOGINFajar tidak membawa terang.Ia datang bersama bau darah yang belum sempat mengering dan langkah-langkah tergesa yang berusaha tetap terdengar teratur. Di tepi sungai, Kalimara bangun bukan sebagai negeri yang selamat, melainkan negeri yang kehilangan sesuatu yang tidak bisa diganti.Raras terbaring diam.Darah membasahi kain di dadanya, merembes ke tanah yang semalam masih ia jaga dengan kepala tegak. Wajahnya pucat, napasnya tipis, terlalu tipis untuk seorang jenderal yang biasa berdiri paling depan.“Masih hidup,” kata tabib tergesa setelah memeriksa. “Tapi… panahnya beracun. Tidak mematikan cepat. Justru sebaliknya.”Reyas menatap tabib itu tajam. “Katakan dengan jelas.”“Kalau ia bertahan, itu keajaiban. Kalau ia bangun…” Tabib menelan ludah. “Ia mungkin tidak akan menjadi dirinya yang dulu.”Reyas tidak menjawab.Ia hanya menatap wajah Raras lama wajah yang selama ini ia jaga dari belakang, yang kini tergeletak karena keputusan yang ia biarkan terjadi.Perintah datang sebelum ma
Lingkaran itu terbentuk sempurna—jarak cukup dekat untuk mengepung, cukup jauh untuk memberi ruang bernapas. Itu formasi pengamanan, bukan penangkapan. Kalimara masih berharap malam ini berakhir tanpa darah.Raras menatap sekeliling, memastikan satu hal, tidak ada wajah yang asing.Semua prajurit di sana adalah orang-orang yang ia kenal. Yang pernah ia pimpin. Yang tahu bagaimana caranya menahan tangan ketika perintah belum turun.“Hardi,” katanya lagi, suaranya tidak naik, tidak turun. “Langkahmu berikutnya menentukan apakah ini berakhir sebagai penyelidikan… atau pengkhianatan terbuka.”Hardi menurunkan pandangan ke tanah, sejenak. Ketika ia kembali menatap Raras, wajahnya tidak lagi memakai senyum pedagang.“Aku tidak akan ikut ke benteng,” katanya pelan.Reyas menegang. Ujung pedangnya sedikit terangkat.“Kenapa?” tanya Raras.“Karena jika aku ikut,” jawab Hardi, “orang-orang di sungai itu akan mengira kesepakatan batal. Dan mereka tidak akan pulang dengan tangan kosong.”Raras me
Raras tidak langsung bereaksi.Ia duduk lebih lama dari biasanya, jemarinya tetap di atas sampul arsip, seolah kertas-kertas itu bisa berbicara jika ditekan cukup lama. Di luar, malam Kalimara bergerak seperti biasa terlalu biasa untuk negeri yang sedang dijual sedikit demi sedikit.Ia bangkit.Tidak tergesa. Tidak panik.Bahaya yang paling mematikan bukan yang datang berteriak, melainkan yang membuatmu merasa masih aman.Raras keluar dari ruang arsip dan berjalan menyusuri lorong batu. Setiap obor menyala dengan jarak yang tepat. Setiap penjaga berdiri di titik yang semestinya. Tidak ada yang salah dan justru di situlah kesalahannya.Ia berhenti di persimpangan lorong, memanggil seorang prajurit muda.“Kau berjaga di menara sungai semalam?” tanyanya ringan.“Iya, Jenderal.”“Melihat sesuatu?”Prajurit itu berpikir sebentar. Terlalu sebentar. “Tidak ada, Jenderal. Tenang.”Raras tersenyum tipis. “Baik.”Saat ia melangkah pergi, senyum itu menghilang.Tenang bukan jawaban prajurit yang
LPengkhianatan di Kalimara tidak pernah datang dengan teriakan.Ia merayap lewat hal-hal kecil wajah yang terlalu tenang, cara berdiri yang terlalu rapi, dan diam yang terasa dipelajari.Semakin lama Reyas mengamati Hardi, semakin sedikit hal yang masuk akal.Seorang pedagang sayur tidak seharusnya tahu jalur patroli.Tidak seharusnya paham kapan utusan asing tiba tanpa pengumuman.Dan jelas tidak seharusnya bereaksi secepat itu ketika bahaya datang.Hari itu pasar ricuh.Teriakan bercampur tawar-menawar. Seorang lelaki mabuk tersandung, menabrak lapak Hardi. Keranjang sayur terbalik. Dari ikatan pinggang si lelaki, sebilah pisau kecil terlepas dan meluncur ke tanah.Dalam satu tarikan napas, Hardi bergerak.Bukan menghindar seperti rakyat biasa.Ia memutar tubuh, menangkap pergelangan tangan si lelaki, memelintirnya dengan satu gerakan bersih—cepat, efisien, tanpa emosi.Terlalu bersih.Orang-orang menganggapnya keberuntungan.Raras yang berdiri beberapa langkah dari sana menganggapn
Negeri yang Pernah Berdiri di Bawah NamanyaKalimara tidak pernah diam.Hutan-hutannya menyimpan damar, besi hitam, dan jalur rahasia yang tak tercatat peta mana pun. Sungainya membawa emas halus dari pegunungan, cukup untuk membeli kesetiaan, cukup untuk memicu perang.Karena itulah Kalimara tidak pernah dibiarkan berdiri sendirian.Di atas benteng batu hitam, seorang perempuan berdiri tanpa mahkota.Baju perangnya polos. Pedangnya tua, penuh bekas.Namun ketika ia melangkah, suara percakapan berhenti.“Jenderal Raras.”Bukan karena takut.Karena percaya.Raras tidak lahir dari darah bangsawan. Ia lahir dari medan. Dari barisan depan yang berdarah, dari keputusan yang memakan nyawa orang lain agar negerinya tetap hidup.“Indragiri kembali mengirim utusan,” lapor perwira penjaga.“Mereka meminta hak lintas sungai selatan.”Raras menatap peta.Garis sungai itu adalah urat nadi Kalimara.“Kalau kita beri sungai,” katanya tenang, “mereka akan minta hutan.Kalau kita beri hutan, mereka ak
Kabut tipis menyelimuti daratan berbatu di depan mereka. “Ini perbatasan Pasren,” ujar Rakai pelan, matanya mengawasi garis sungai yang membelah dua wilayah itu. “Tanah yang tidak tunduk pada siapa pun.”Raras berdiri di sampingnya. Rambutnya basah, wajahnya pucat, tapi matanya—tajam. Terlalu tajam untuk seseorang yang kehilangan ingatan.“Ada yang menunggu kita di sini,” katanya datar. Rakai menoleh cepat.Bukan karena kata-katanya. Tapi cara Raras mengatakannya. Nada seorang pemimpin.Bukan pengungsi.“Kenapa kamu yakin?” tanya Rakai.Raras tidak menjawab langsung. Ia berjongkok, menyentuh tanah berlumpur, mengendusnya perlahan.“Jejak kaki ini… bukan pasukan Indragiri.” Ia berdiri. “Lebih ringan. Terlatih. Dibayar.”Rakai menyipitkan mata.Tentara bayaran.Ia tersenyum tipis dan dingin. “Mereka berani berdiri di hadapanku?” Raras menoleh, menatap Rakai lurus. “Di Pasren tidak ada raja.”Kalimat itu membuat Rakai terdiam sesaat.Ia tahu. Dan justru itulah yang berbahaya.Tiba-tiba