Langit pagi itu cerah, secerah wajah Raras yang duduk santai di atas kereta kuda berhias ukiran emas. Gaun kebaya warna gading yang dikenakannya tampak tak serasi dengan sikap santainya, salah satu kaki menggantung keluar, tangannya memegang jeruk manis yang baru dikupas. Gadis itu sibuk mengoceh pada emban tua yang duduk di sampingnya.“Aku sudah bilang, Mbok. Aku tidak mau menikah dengan pangeran mana pun. Apalagi kalau mukanya kaku, dan aku kalau ngomong harus pelan, dan jalannya kayak mau menghadiri pemakaman,” keluhnya sambil menggigit jeruk.Mbok Nini, sang emban, hanya geleng-geleng kepala. “Ya Tuhan, Gusti Putri, itu kan belum tentu. Siapa tahu Pangeran yang Gusti temui nanti justru gagah, tampan, dan bisa diajak ngobrol tentang bintang.”“Kalau dia bisa main gamelan, baru aku pikir-pikir,” cibir Raras sambil menjentikkan kulit jeruk ke luar jendela. “Atau bisa masak sayur lodeh.”Kereta melaju di antara pepohonan jati menuju pusat kerajaan Majakirana, tempat Istana Reksaputra
Terakhir Diperbarui : 2025-08-11 Baca selengkapnya