Bima menatap ke seberang meja, ke arah tempat duduk Arafah yang hanya menunduk dan memainkan sendok di atas piringnya. Makanan di piring perempuan berkerudung itu masihlah utuh, hanya disentuh sedikit.Bima menghela napas, berusaha menahan kegelisahan hatinya. Dia bisa merasakan ada yang berubah sejak pertemuan dengan Kirana tadi. Baik suasana—maupun sikap sang istri. Tapi Arafah tidak mengatakan apa pun. Dan dia pun, tidak tahu harus mulai dari mana.Bima memilih melakukan hal yang bisa dia lakukan. Sesederhana mendekatkan gelas minum ke hadapan Arafah."Minum dulu," ucapnya pendek. "Nanti seret."Arafah mengangkat wajah, tampak sedikit terkejut. "Oh—iya," balasnya pendek seraya mengambil gelas, menyesap sedikit, lalu kembali diam.Bima masih menatapnya. Perlahan, tangannya terulur ke meja dan menarik tisu, mendekatkannya pada Arafah."Buat ngelap tangan," katanya lagi.Arafah menatapnya sejenak, lalu mengambil tisu itu. "Terima kasih."Hanya itu.Lalu kembali sunyi.Bima mulai meras
Angin pantai masih berembus lembut saat Arafah dan Bima berjalan melewati tepi air, tangan mereka saling bertaut erat. Pasir yang lembut terasa hangat di telapak kaki mereka, sementara deburan ombak menjadi latar musik yang menenangkan.Bima tampak jauh lebih rileks dibandingkan sebelumnya. Sejak meninggalkan rumah orang tuanya kemarin, ini pertama kalinya dia bisa benar-benar tersenyum tanpa ada beban yang mengganjal di pikirannya.Namun, mungkin takdir memang suka bercanda. Atau alam semesta sedang menguji ketenangan yang baru saja dia dapatkan."Mas Bima?"Sebuah suara lembut memecah ketenangan itu.Langkah Bima terhenti seketika. Tangannya yang menggenggam tangan Arafah terasa sedikit menegang.Arafah menoleh ke sumber suara. Di sana, berdiri seorang wanita dengan jilbab panjang yang tertata rapi, mengenakan gaun pantai berwarna biru muda. Angin laut menerbangkan kain hijabnya, tetapi gadis itu tampak begitu tenang.Senyum perempuan itu tidak terlihat ragu, matanya lembut nyaris s
Perjalanan menuju pantai terasa menyenangkan. Bima menyetir dengan satu tangan, sementara tangan satunya lagi menggenggam telapak tangan Arafah.Jari-jari mereka saling bertautan di atas pahanya, seolah enggan terpisah. Sesekali Bima yang nakal memberikan remasan ringan—membuat sang istri memekik terkejut."Mas!""Kenapa sih?""Itu tangannya nakal banget, diem enggak?!"Bima bukannya berhenti malah tersenyum jahil. "Kenapa, enggak suka mas elus–elus gitu?" bisiknya dengan nafas memburu dan berat.Menghantarkan gelenyar familiar di jantung Arafah.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang mulai dipenuhi sinar matahari pagi. Sesekali, mereka mengobrol santai."Kapan terakhir kali kamu ke pantai?" tanya Bima, melirik ke arah Arafah yang sedang melihat pemandangan di luar jendela.Arafah berpikir sebentar. "Entah, yang jelas sudah lama banget. Kayaknya pas masih sekolah dulu, deh. Itu pun rame-rame sama teman-teman.""Berarti ini pertama kalinya kamu ke pantai sama suami
Pagi itu, Arafah bangun lebih awal. Suasana rumah hening, langit di luar masih sedikit gelap, udara dingin menusuk kulit.Bima sudah tidak ada di kamar. Sejak menikah, Arafah mulai memperhatikan kebiasaan suaminya, salah satunya adalah bangun sebelum subuh lalu jogging untuk olahraga.Sudah jelas bahwa proporsi tubuh Bima yang luar biasa bukan semata–mata ada tanpa usaha ekstra. Pria itu senang membentuk massa otot dengan melakukan beberapa latihan. Arafahlah yang puas menikmati hasilnya.Perempuan berkulit putih itu menggeliat sebentar, mengumpulkan nyawa sebelum akhirnya turun dari tempat tidur. Biasanya, Arafah akan bermalas-malasan, tetapi kali ini berbeda. Dia ingin melakukan sesuatu, menyiapkan kesukaan Bima.Dengan semangat baru, Arafah melangkah ke dapur. Dia belum terlalu hafal letak semua peralatan masak di rumah ini, tapi dia akan belajar.Hari ini, Arafah akan memasak sarapan untuk Bima.Sementara itu, di luar rumah, Bima mengakhiri sesi olahraganya lebih cepat dari biasan
Bima berjalan dengan langkah lebar keluar dari rumah orang tuanya. Untuk pertama kalinya—untuk pertama kali dalam hidup— Bima mengambil keputusan keluar dengan emosi dari rumahnya sendiri.Tidak pernah ada catatan sejarah Bima bersikap seegois dan seacuh ini.Sejak mengambil langkah menjauh, Bima sama sekali tidak menoleh ke belakang. Tidak ingin melihat ekspresi terkejut atau kecewa yang mungkin kedua orang tuanya tunjukkan.Lelaki bertubuh tegap itu menarik napas dalam, mencoba meredam emosi yang berkecamuk di dada. Seharusnya, detik itu Bima bisa mengatakan yang sebenarnya. Seharusnya, Bima bisa langsung memberitahu mereka bahwa dia sudah menikah. Bahwa dia sudah memiliki Arafah.Tapi entah kenapa, Bima tidak bisa.Bukan karena takut, bukan karena ragu akan cintanya pada Arafah. Tapi karena Bima ingin membawa Arafah langsung ke hadapan mereka—ibu dan ayahnya. Memperkenalkan istrinya dengan cara yang benar. Menunjukkan bahwa Arafah-lah menantu yang tepat untuk keluarganya.Bima meng
Suara dentingan sendok dan garpu terdengar halus, mengisi keheningan di meja makan.Bima duduk diam, mengaduk-aduk makanannya dengan gerakan pelan, tanpa benar-benar berniat menyuapkannya ke mulut.Tidak biasanya Bima begini, karena tidak pernah sekalipun dia tidak berselera dengan masakan Ibundanya. Terlebih lagi, Bima memang lapar setelah rapat panjang.Tapi entah kenapa, suasana makan malam ini membuat selera Bima hilang.Di hadapannya, Kirana duduk dengan postur anggun. Gadis itu sesekali melirik ke arahnya, seperti ingin mengajaknya bicara. Tapi setiap kali tatapan mereka hampir bertemu, Bima langsung mengalihkan pandangan, berpura-pura sibuk dengan piringnya.Sementara itu, ibunya, Aisyah, tampak sumringah."Padahal kita sama–sama enggak tau kalau Bima mau pulang. Sungguh sebuah kebetulan yang luar biasa." Aisyah lagi–lagi membahas betapa takjubnya dia dengan peristiwa hari ini. Seakan Bima memang sudah ditakdirkan kembali, dan bertemu dengan Kirana yang niatnya dikenalkan pada