Sejak pukul 02.00 dini hari tadi Green tak lagi memejamkan mata hingga pagi menjelang. Suara ayam berkokok menandakan malam telah berganti. Green memutuskan bangkit dari tempat tidur untuk membersihkan diri dan bersiap melaksanakan ibadah salat subuh. Pagi ini ia akan mencoba menghubungi Alta kembali, setelahnya akan bekerja seperti biasa kemudian mengerjakan tugas kuliah bersama Cherry.
“Gue yakin, Alta setia sama gue, dia gak akan macem-macem.” gumamnya pada diri sendiri.
Selepas membereskan tempat tidur, Green segera pergi ke kamar mandi. Ia mengawali hari dengan segala pikiran positif agar harinya berjalan baik. Green berada di kamar mandi selama beberapa menit, setelah itu ia melaksanakan ibadah salat subuh.
Tepat setelah Green menyelesaikan ibadahnya, ponselnya bergetar menandakan ada pesan masuk. Dengan cepat Green menyambar ponselnya, ia yakin pesan tersebut pasti dari Alta. Helaan napas terdengar dari bibirnya setelah melihat ternyata pesan yang ia terima bukanlah pesan dari seseorang yang ia harapkan.
“Green, hari ini kita ngerjain tugasnya di rumah gue aja ya.”
“Oke.”
Setelah membalas pesan dari Cherry, Green menyempatkan waktu untuk melihat-lihat media sosial yang ia punya. Matanya terbelalak sempurna kala melihat Alta membagikan momen kebersamaan lelaki itu dengan teman-teman kampusnya. Green melihat momen tersebut dibagikan 30 menit yang lalu, Alta bisa melakukan itu namun tak membalas atau pun menghubungi dirinya. Padahal Green sangat menunggu sang kekasih memberinya kabar.
“Alta, kamu bisa bikin story tapi gak bisa ngabarin aku sama sekali? Apa aku udah gak sepenting itu buat kamu? Kalau iya, kenapa kamu menjanjikan hal-hal indah dulu? Kenapa kamu hadir sebagai penyembuh luka kalau akhirnya membuat kecewa?” Green menatap nanar layar ponselnya sembari melihat story gram yang dibagikan Alta di akun pribadinya secara berulang.
Sepagi ini hatinya telah diporak-porandakan oleh lelaki yang dulu selalu membuat dirinya tersenyum, memberinya semangat untuk memulai hari, dan memotivasi untuk selalu menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
“Green, lo harus percaya sama Alta. Lo gak boleh mikir yang macem-macem.” Green bermonolog pada diri sendiri, berusaha meyakinkan hatinya bahwa semua akan baik-baik saja, dan Altanya akan kembali.
Sejak kepergian ibunya 4 tahun silam, Green nyaris tak memiliki alasan untuk hidup. Dunianya seolah berhenti karena semesta telah merenggut secara paksa sosok yang dulu menjadi alasannya bahagia. Langit menjadi tak indah lagi bagi seorang Green kala itu, Green berteman dengan dingin dan gelap. Sampai akhirnya ia mendapatkan setitik cahaya dari seorang Alta, Alta menemani Green melewati hal terpahit dalam hidup, Alta memberikan keyakinan bahwa tak ada yang pasti selain kematian. Alta membuat seorang Green perlahan bangkit dari keterpurukan dan keluar dari kesedihan. Support dari Altalah yang membuat Green kuat hingga sekarang. Pertemuannya dengan Alta yang merupakan teman SMAnya dulu menjadi awal bagi seorang Green untuk kembali menatap dunianya yang saat itu tidak baik-baik saja.
Green tak memiliki siapa-siapa selain Alta, ayahnya telah menikah lagi dan hidup bahagia dengan keluarga baru tanpa memedulikan dirinya, hal itu membuat Green sangat bergantung pada Alta, Alta adalah rumah disaat ia tak tahu harus kemana, Alta adalah segalanya bagi seorang Green. Hatinya berbunga saat Alta mengatakan akan menikahi dirinya setelah mereka lulus nanti. Sampai saat ini tak ada sedikitpun keraguan dalam diri Green, ia percaya sepenuhnya pada Alta. Ia percaya Alta akan menepati janji untuk menjaga hati, begitupun dirinya yang sampai saat ini tak pernah sekalipun melihat ke arah laki-laki yang pernah atau bahkan sering ia temui.
“Sayang, tahun depan aku bakal nikahin kamu. Kamu mau kan tunggu aku?”
Green masih mengingat dengan jelas saat Alta mengatakan akan menikahinya dan meminta dirinya untuk menunggu. Itu terjadi saat anniversary mereka yang ke 3, tepatnya 1 bulan lalu, terakhir kali ia dan Alta bertemu.
‘Kriiinggggggggggggg’ suara alarm yang berasal dari jam weker membuyarkan lamunannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 wib, Green mengusap air mata yang tak sengaja menetes dengan kasar kemudian bersiap untuk bekerja, menepikan terlebih dahulu masalah hatinya.
***
“Mas Langit…,” panggil seorang wanita yang berada tak jauh dari posisinya. Langit menoleh ke sumber suara. “Apakah novel Kilas Balik lahir dari pengalaman hidup Mas Langit?” tanya wanita itu sembari menghampiri Langit yang tengah berada di toko buku.
Langit menatap wanita itu sebentar kemudian tersenyum. “Saya pikir tidak akan ada yang mengenali saya setelah menggunakan masker dan kacamata hitam ini,” tuturnya sambil melihat wanita itu.
“Tidak mungkin, wajah Mas Langit sangat terkenal di dunia literasi,” ujar wanita tersebut sambil terkekeh pelan.
“Ahhh jangan berlebihan, saya masih harus terus belajar,” jawab Langit merendah.
Wanita itu tersenyum. “Jadi, bagaimana dengan pertanyaan saya tadi?”
Langit menghela napas pelan sambil tersenyum manis. “Bukankah akan sangat menyenangkan ketika membaca tanpa mengetahui ide dasar ceritanya?” tanya Langit masih dengan senyum manisnya.
“Baiklah. Bolehkah saya minta tanda tangan mas Langit di novel ini?” tanya wanita itu lagi sambil menyodorkan novel berjudul Kilas Balik yang sedari tadi ada di genggamannya.
Langit mengambil novel tersebut kemudian menggerakkan bolpoin yang ada di saku celana ke dalam novel itu. “Sudah.”
“Wow.., terima kasih Mas Langit.” Wanita itu berteriak girang kemudian pergi meninggalkan Langit.
Senyum manis kembali terukir dari bibir tipis Langit, salah satu hal yang paling ia sukai adalah melihat orang lain bahagia karena hal kecil yang ia lakukan. Ini bukan kali pertama bagi Langit didatangi pembaca setia novelnya ketika berada di tempat umum, dan ketika hal itu terjadi Langit akan dengan sangat terbuka meladeni para pembaca yang datang hanya untuk sekadar menyapa, meminta tanda tangan, atau mengajak foto bersama.
Langit kembali memfokuskan pandangannya pada lembar demi lembar buku di tangannya, membaca kata demi kata dengan senyum mengembang. Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia literasi, Langit sangat suka membaca, karena baginya membaca dan menulis adalah dua hal yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan.
“Maaf-maaf, saya gak sengaja,” ujar seorang wanita yang tak sengaja menabrak seorang pria yang terlihat tengah buru-buru, buku-buku yang dibawa pria itu jatuh berserakan di lantai. Hal tersebut membuat Langit menoleh, ia melihat pria tersebut memarahi sang wanita.
“Kamu buta?” tanya pria itu dengan aura gelapnya.
“Sekali lagi saya minta maaf, saya bener-bener gak sengaja,” jawab wanita yang tak lain tak bukan adalah Green.
Sepulang bekerja dan sebelum mengerjakan tugas bersama Cherry, Green menyempatkan waktu mampir ke toko buku terlebih dahulu untuk membeli novel yang akan mereka jadikan bahan analisis, pilihan Green jatuh pada Novel Kilas Balik karya Langit. Namun, saat hendak membayar Green tak sengaja menabrak seorang pria yang menyebabkan pria tersebut marah-marah padanya.
“Kamu harus ganti rugi semua novel ini, kamu bisa lihat kan novel yang saya beli rusak gara-gara kamu?” ujar lelaki itu dengan nada setengah berteriak.
Green melihat beberapa novel yang tergeletak di atas lantai, menurut Green kondisinya masih sangat baik, bahkan plastiknya saja tidak terbuka.
“Mohon maaf sebelumnya, tapi saya rasa itu sangat berlebihan, kita bisa sama-sama melihat novel itu tidak rusak sama sekali.” Green mengatakannya sambil mengembalikan novel yang tadi terjatuh. “Saya permisi,” ucap Green kemudian meninggalkan lelaki itu.
“Hey, beraninya kamu…” Lelaki itu tak terima, ia mengejar Green dan mencekal tangan wanita itu.
“Lepas!” ujar Green setengah berteriak, cengkeraman lelaki itu membekas di pergelangan tangannya.
Langit yang sejak tadi memantau dari kejauhan tak bisa tinggal diam melihat ada lelaki yang menyakiti wanita di depan matanya. Langit menghampiri Green, membuka kacamata dan melihat lelaki yang tadi memaki Green dengan tatapan tak suka. “Ini tempat umum, seharusnya Anda tidak bersikap begitu pada wanita.”
“Anda siapa? Berani sekali ikut campur dengan urusan saya.”
“Andai Anda tidak melakukannya di depan mata saya, saya tidak akan mencampuri urusan Anda.” Langit menatap lelaki itu dengan tatapan menusuk, kemudian ia melanjutkan ucapannya, “Saya bisa laporkan apa yang Anda lakukan tadi ke pihak yang berwajib, orang-orang seperti Anda tidak pantas dibiarkan berkeliaran,” ujar Langit penuh penekanan.
“Saya mohon jangan lakukan itu, saya minta maaf.” Lelaki itu menyatukan kedua tangannya di depan dada dan memohon pada Langit.
“Minta maaf pada wanita ini, bukan pada saya.”
“Mbak, saya minta maaf, tolong jangan laporkan saya ke polisi,” ujar lelaki itu dengan perasaan bersalah.
Green hanya menjawabnya dengan anggukan, Langit yang melihat hal itu meminta lelaki tersebut untuk pergi. “Pergi dari tempat ini sebelum saya berubah pikiran.”
“Baik, Pak. Terima kasih, Mbak.” Lelaki itu pergi meninggalkan Langit dan Green yang sama-sama masih menatap kepergiannya.
Tak ada yang membuka suara setelah kepergian lelaki itu, sampai akhirnya Langit menundukkan sedikit tubuhnya untuk menatap Green. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Langit.
“Saya baik-baik saja, terima kasih sudah menolong saya,” ujar Green seraya meninggalkan Langit dan melanjutkan niat untuk membayar buku yang ada ditangannya.
“Semoga kita bisa bertemu lagi,” tutur Langit sambil memakai kacamata hitamnya.
Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya. Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.&n
Pikiran Langit benar-benar kalut. Berhari-hari ia tak pulang dan selama itu pula tak berkomunikasi dengan Green. Langit benar-benar mengabaikan wanita yang dahulu mati-matian ia perjuangkan. Saat ini, tujuan Langit hanya satu, mencari dalang dibalik kematian Cherry. Ia tak lagi memikirkan tentang Green, bertanya soal kabar wanita itu saja tidak. Sebulan telah berlalu, Langit berhasil memecahkan teka-teki itu dengan bantuan beberapa teman yang memang ahli di bidangnya. Dugaan Langit benar, Cherry tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Semua data yang ditemukan polisi dan pihak rumah sakit adalah sesuatu yang sudah disusun dan direncanakan dengan matang. Hari ini, Langit datang ke kantor polisi untuk bertemu pelaku sebenarnya, Zein dan Violet. Mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana. Langit puas saat
“Green, tolong kamu jawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” ujar Langit begitu mereka sampai di rumah. Disaksikan oleh Kalila dan Jerry, ia berniat menginterogasi Green. Kalau benar Green menjadi penyebab kematian Cherry, Langit tak akan segan menjebloskan wanita itu ke dalam penjara sekalipun mereka masih terikat hubungan pernikahan. Green merasa diperlakukan seperti penjahat oleh Langit. Ia duduk di depan Langit, di samping kanan dan kirinya ada Jerry dan Kalila yang juga tengah menatap intens ke arahnya.. “Sebenarnya ada apa, Lang?” tanya Kalila tak paham. Pasalnya, Langit terlihat begitu marah pada Green. “Kata Violet, Green ke kost Cherry di malam terakhir sebelum dia meninggal,” terang Langit. “Jangan bilang kamu mencurigai Green? Sudah lah Lang, polisi bahkan rumah sakit bilang Cherry meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh,” ujar Kalila yang perlahan mulai ikhals dan menerima kepergian Cherry. “Gak Bun, Langit masih belum percaya
Sepulang dari mengajar, Langit teringat pada Cherry. Sudah lama sekali ia tak bertemu adiknya. Karena hal itu, Langit memutar arah mobilnya menuju indekos sang adik, tiba-tiba ia sangat ingin bertemu untuk sekadar menyapa dan memasikan Cherry baik-baik saja. Jalanan yang padat membuat Langit membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sana. Ia memutuskan memberi tahu Green akan pulang terlambat, sekaligus menghubungi Cherry perihal kedatangannya. Sampai beberapa kali panggilan, tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Langit menerka-nerka, kemana adiknya hingga tak menjawab telepon? Apa mungkin masih bekerja? Sepertinya tidak, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Langit mengemudi secepat yang ia bisa. Perasaanya tidak enak entah karena alasan apa, yang jelas saat ini keinginannya untuk melihat wajah sang adik amat besar. “Semoga kamu baik-baik aja,” lirih Langit sembari terus mengemudi. Langit tiba di indekos Cherry saat matahari sudah r
Keesokan harinya, Green benar-benar tak keluar kamar. Tak menjawab telepon dan chat, tak juga menggubris saat Langit mengajaknya sarapan. Emosi Green masih belum reda, hatinya belum menerima saat tahu bahwa Langit menikahi dirinya hanya karena wajah dan sifat serta kebiasaannya mirip dengan Keira.Green masih berbaring dengan posisi terlentang, matanya menatap langit-langit. Raganya memang di kamar, namun pikirannya bercabang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Cherry. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah wanita itu sudah menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang menimpanya?“Cher, semoga lo baik-baik aja,” batinnya.Tak ada lagi suara ketukan pintu dan Langit yang memanggilnya. Tampaknya, lelaki itu sudah berangkat ke kampus. Green memanfaatkan situasi itu untuk mengisi perut dan kerongkongannya yang terasa kering. Hari ini, ia sengaja meminta izin tidak mengajar dengan alasan sakit.Green berjalan dengan langkah pelan. Wajah dan m
“Darimana kamu? Kenapa telepon dan chat saya gak ada yang dijawab?” cecar Langit saat Green menginjakkan kaki di rumah mereka. Green melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Green, saya ini suami kamu. Gak seharusnya kamu bersikap begini. Pergi gak ngasih kabar, pulang malem basah-basahan, kamu pikir saya gak khawatir?!” tanya Langit seraya mencekal pergelangan tangan Green agar wanita itu mau menatapnya. Green tak menggubris. Ia berusaha melepaskan tangan Langit. “Lepas!” titahnya dengan suara dingin. “Kamu kenapa? Tolong kasih tahu, salah saya dimana? Kalau kamu begini saya bingung. Dari tadi saya teleponin berkali-kali gak ada satupun yang diangkat. Marah?”&n