Share

Aster [Indonesia Ver.]
Aster [Indonesia Ver.]
Penulis: Danea

Ingkar

“Kak Langit, kakak kok tega sih ngasih tugas sebanyak ini? Gak punya perasaan banget,” ucap Cherry sambil mengerucutkan bibirnya,

Sosok bertubuh mungil dengan rambut panjang menjuntai itu adalah Cherry Alexandra, adik dari Langit Danendra Adyaksa, dosen muda di Unversitas tempat adiknya berkuliah sekaligus penulis terkenal. Lelaki berlesung pipi dengan tinggi 180 cm dan kulit bersih serta bibir merah muda itu hanya diam menerima kemarahan sang adik. Cherry yang berdiri di ambang pintu tengah memaki Langit, menurutnya Langit sangat keterlaluan dalam memberikan tugas. Sementara Langit yang menerima makian itu tak beraksi apa-apa, ia lebih senang menatap monitor daripada meladeni Cherry yang menilai dirinya sebagai dosen tak berperasaan.

“Kak.., kakak denger aku gak, sih?” Cherry masuk dan menghampiri sang kakak dengan wajah kesalnya.

“Hmmmmm…,” jawab Langit tanpa mengalihkan pandangannya.

“Cherry gak mau ngerjain tugas dari kakak!” ujar Cherry tanpa basa-basi sambil cemberut. Ia lebih suka menonton film daripada membaca novel, alhasil saat sang kakak memberikan tugas menganalisis novel, Cherry merasa menjadi satu-satunya manusia yang harus berontak disaat teman-teman sekelas yang merasakan hal yang sama dengan dirinya hanya bisa diam dan menerima.

“Cherry, sudah ya kakak sibuk. Sebaiknya kamu keluar, dan kerjakan tugas yang kakak kasih.”

“Kak…,” Cherry memelas, ia berharap sang kakak mau sedikit saja memberinya keringanan.

“Tidak ada tawar-menawar Cherry. Karena kamu berkuliah di jurusan Sastra Indonesia, ya kamu harus belajar untuk suka baca karya sastra, sebentar lagi kamu akan menyusun tugas akhir bukan? Sudah saatnya kamu menekan ego, jangan hanya mau melakukan apa yang kamu suka.”

Cherry melengos, niatnya berbicara supaya mendapat keringanan berakhir dengan Langit yang berceramah panjang lebar. “Tapi kak─”

“Lagian itu tugas kelompok, kamu bisa mengerjakan tugas itu bersama-sama.” Langit tak memberikan kesempatan pada Cherry untuk melanjutkan ucapannya.

“Temen-temen Cherry udah berpasangan semua kak, masa iya Cherry sendiri, Cherry gak mau sendiri.”

“Kalau untuk masalah begini saja kamu gak bisa selesaikan, gimana dengan masalah lain yang lebih kompleks?”

“Gak ada manusia yang mau punya masalah, Kak.”

“Sudah-sudah, kamu keluar dari kamar kakak.”

“Kak…”

“Cher…”

Dengusan kasar terdengar dari bibir Cherry, kakinya melangkah meninggalkan kamar Langit, tak ada hasil yang ia dapatkan dari pembicaraan mereka selain ceramah dari sang kakak.

“Gue kira punya kakak dosen enak, bisa minta keringanan tugas dan lain-lain. Pantes aja kakak tingkat bilang kak Langit dosen nyebelin, emang nyebelin, sih, tuh orang.” Cherry berbicara sendiri sembari melangkahkan kaki meninggalkan kamar Langit.

Pria 28 tahun itu masih bisa mendengar ocehan adiknya, Langit tersenyum tipis, sudah hal biasa baginya mendengar segala bentuk kritik dan saran dari para mahasiswa. Selama ini Langit tak pernah ambil pusing, ia menyikapi semuanya dengan santai.

***

Suara dering ponsel memenuhi kamar yang berukuran tak terlalu besar dengan cat dan hiasan serba pink, sang empunya tengah tertidur di balik selimut, jam dinding telah menunjukkan pukul 01.00 dini hari.

“Duhhhh siapa sihhh, ganggu orang tidur aja,” gerutu pemilik ponsel sambil meraba-raba, mencari keberadaan benda pipih yang sedari tadi berbunyi.

“Green Elira Natusha, lo udah tidur?” tanya suara di balik telepon.

Green ingin sekali memaki lawan bicaranya, ia melihat nama yang tertulis di layer. “Cherry Blossom.” Pantas saja, hanya wanita itu yang berani meneleponnya di jam-jam rawan begini.

Dengan suara serak, Green menjawab pertanyaan Cherry. “Lo gak punya jam, Cher?”

“Hehe sori, jam di kamar gue mati Green.” Cherry menjawab pertanyaannya sambil terkekeh pelan.

“Buruan, lima menit, gue ngantuk banget.”

“Bentar, gue lupa mau ngomong apa.”

“Udah ya gue tutup, sumpah lo gak penting banget, nelepon dini hari tapi gak tahu mau ngomong apa!”

Dari nada bicaranya, siapa pun akan tahu jika Green kesal, dan siapa pun juga akan kesal jika memiliki teman seperti Cherry.

“Green, bentar! Gue udah inget sekarang.”

“Hmmm, apaan?” tanya Green dengan nada malas.

“Lo mau gak nikah sama Pak Langit?”

“Cherry!! Beneran gue tutup nih ya.”

Green dapat mendengar suara Cherry yang tertawa terbahak-bahak, dengan mata setengah tertutup Green menunggu dengan sabar sampai Cherry mengatakan tujuan menelepon dirinya selarut ini.

“Green, lo udah ada partner buat tugas analisis novel?”

Green tak langsung menjawab, ia mengingat-ingat terlebih dahulu tugas mana yang dibicarakan Cherry. Ingatannya tertuju pada tugas dari dosen muda yang selalu menjadi pusat perhatian wanita di kampusnya. “Ohhh itu, belum,” jawab Green santai.

“Sama gue aja ya, mau gak?”

“Oke.”

“Yeayyy, makasih Green, gue tenang sekarang. Yaudah lo lanjut tidur gih, bye.” Cherry berteriak girang kemudian mematikan sambungan telepon secara sepihak.

Setelah panggilan berakhir, Green menyempatkan diri untuk mengecek notifikasi W******pnya, sedari tadi ia tengah menunggu notifikasi dari seseorang, namun sampai pukul 1.15 orang tersebut tak kunjung membalas pesan.

Kantuk yang tadi ia rasakan mendadak hilang entah kemana. Green beranjak dari kasur dan meneguk segelas air mineral, pikiran dan hatinya mengarah pada satu nama Altair Ardiya Arkana—kekasihnya. Sejak tadi pagi Alta tak menjawab panggilan dan membalas pesan yang ia kirimkan, sudah hampir satu minggu Alta lebih sering menghilang dan tak memberinya kabar. Padahal kabar adalah yang terpenting dalam hubungan, apalagi Green dan Alta menjalani hubungan jarak jauh. Lelaki itu tengah menempuh pendidikan di kota yang berbeda dengan Green.

Green mensugesti pikirannya untuk selalu positif dan percaya pada Alta, lelaki yang telah membersamai langkahnya di saat-saat tersulit hingga sekarang. “Besok pasti Alta bakal kabarin gue. Ya, pasti,” gumam Green meyakinkan dirinya.

Green mengikat rambut panjangnya asal, kulit putih bersih, bibir tipis dan bulu mata lentik serta tinggi semampai dan berat badan proporsional cukup menggambarkan bahwa Green Elira Natusha adalah wanita cantik yang tengah menunggu kabar dari sang pujaan hati. Matanya tak lepas dari ponsel yang berada di meja, berharap Alta segera menghubunginya.

Diliriknya jam dinding yang telah menunjukkan pukul 02.00 dini hari, Green mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya. Pikiran dan hatinya tak sejalan, hatinya ingin menghubungi Alta, namun takut mengganggu, sementara pikirannya meminta ia untuk melakukan itu. Untuk pertama kali dalam hidup, Green abai pada hatinya, rasa khawatir membuatnya memilih untuk menghubungi Alta, takut sesuatu yang buruk terjadi pada kekasihnya.

Green mengambil ponsel dan menelepon Alta, sampai percobaan kelima panggilan tersebut tak kunjung mendapat jawaban, hanya tulisan berdering yang memenuhi layar ponselnya. Hatinya berkecamuk, tak biasanya Alta melakukan itu. Biasanya lelaki tersebut selalu menyempatkan waktu menghubungi dirinya, Green tak menyerah, ia terus mencoba. Namun nihil, Alta tak jua bisa dihubungi. Green menangis, tak bisa lagi menahan air matanya. Janji-janji manis yang pernah Alta ucapkan untuk menikahi dirinya tahun depan menari-nari di kepala, sifat hangat lelaki itu satu bulan lalu masih jelas terekam dalam ingatan.

“Al, kamu gak akan ingkar janji, kan? Tahun depan kamu bakal nikahin aku seperti janji kamu itu, kan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status