Semilir angin pagi berhembus lembut saat Aurora melajukan mobil merahnya, menyusuri jalan yang mulai dipadati kendaraan. Di trotoar, anak-anak berjalan riang dengan tas punggung mereka, beberapa berlarian mengejar teman-temannya menuju sekolah.
Saat lampu lalu lintas berubah merah, Aurora menghentikan mobilnya. Seorang pria paruh baya melintas di depan kap mobilnya, lalu tersenyum ramah. Aurora membalas senyumnya, meski pikirannya jauh dari momen itu. Lampu hijau menyala. Aurora kembali melajukan mobilnya, tetapi dadanya terasa sesak. Jemarinya mencengkeram erat kemudi setiap kali bayangan Henry muncul di benaknya. Pria itu muncul begitu tiba-tiba, menatapnya dengan mata cokelat hangat yang dulu begitu ia sukai, tapi Aurora tidak akan tertipu lagi. Ada sesuatu di balik kehadiran Henry—ia yakin itu. Pria itu bukan tipe yang melakukan sesuatu tanpa alasan dan ia tidak boleh terjebak dalam permainan Henry lagi. Mobil merah itu akhirnya memasuki kawasan pelabuhan, di mana gedung pelelangan ikan Blue Sea Corps berdiri kokoh di tepi dermaga. Aurora memarkirkan mobilnya dengan mulus, lalu keluar. Angin laut menyambutnya, membawa aroma asin yang khas. Sepatu hak merahnya mengetuk jalanan beraspal, menciptakan irama tajam yang selaras dengan langkah cepatnya. Ia menuju kantor kakaknya tanpa ragu. "Apa Kakakku ada di dalam?" tanyanya pada sekretaris Vernon. "Tuan Stockwell ada di dalam." Tanpa menunggu, Aurora membuka pintu. Vernon, yang tengah fokus pada berkas-berkas di mejanya, mengangkat kepala dan menatap adiknya dengan dahi berkerut. "Ada apa kau datang pagi-pagi dengan wajah seperti itu?" Aurora menghela napas, lalu menatap kakaknya dengan ekspresi jengkel. "Aku bertemu dengan Henry." Vernon mengangkat alisnya. "Jadi itu yang membuatmu kesal pagi ini?" "Itu salah satunya. Yang lainnya adalah aku kesal padamu." Aurora menyilangkan tangan di dadanya. "Kau gagal mendapatkan investor. Seharusnya kau bisa memenangkan hati Tuan Lyod agar mau berinvestasi di sini!" Vernon mendesah dan bersandar di pinggir mejanya, menyilangkan kakinya dengan santai. "Hei, itu bukan sepenuhnya salahku. Dia mendapat tawaran yang lebih bagus dari perusahaan lain." Ia menatap Aurora penuh selidik. "Dan kau menerima tawaran Henry?" Aurora mendengus, melemparkan pandangan tajam ke arah kakaknya. "Apa kau sudah gila, Vernon? Aku tidak akan menerima bantuan dari pria yang gila kerja seperti dia! Yang ada di kepalanya hanya pekerjaan, pekerjaan, dan pekerjaan!" Vernon tidak langsung membalas. Ia menatap adiknya dalam diam, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang ingin ia ucapkan. "Kalian berdua memang keras kepala," katanya akhirnya. "Sejak menikah, tak satu pun dari kalian mau mengalah. Kau dengan egomu, Henry dengan caranya sendiri, tapi setahuku, dia pria yang baik dan setia. Aku menyesal melihat kalian berakhir seperti ini, hanya karena tidak ada yang mau sedikit saja mengesampingkan egonya." Aurora mengalihkan pandangannya, merasakan sesuatu yang aneh menusuk hatinya. "Wanita butuh perhatian, Vernon," katanya dengan suara lebih pelan. "Dan aku tidak mendapatkannya dari Henry. Aku pikir dia akan menjadi pasangan yang hangat, seseorang yang bisa berbagi denganku, tapi ternyata dia pria dingin yang hanya peduli pada pekerjaannya. Dia bukan seperti yang kubayangkan." Dan mungkin, itulah kesalahan terbesar Aurora. Ia mencintai bayangan yang ia ciptakan sendiri, bukan pria yang sebenarnya berdiri di hadapannya. Vernon menghela napas kasar, menatap adiknya dengan pandangan penuh arti. "Jadi apa kau masih mencintainya?" Aurora terdiam sejenak. Pikirannya berputar, menggali sesuatu yang bahkan ia sendiri enggan untuk hadapi. "Aku tidak tahu bagaimana perasaanku padanya sekarang," jawabnya akhirnya, suaranya lirih namun penuh ketegangan. Vernon menatapnya lebih dalam. "Dan jika suatu hari nanti kau menyesal telah berpisah darinya?" Aurora mengepalkan tangan. Pertanyaan itu seperti tamparan. Dengan cepat, ia mencondongkan tubuhnya, kedua tangannya bertumpu di meja kerja Vernon, membuat jarak di antara mereka begitu dekat. "Aku tidak akan pernah menyesali perpisahan itu. Ingat itu!" hardiknya, suaranya bergetar oleh emosi yang sulit dijelaskan. Setelahnya, Aurora menarik napas panjang, menegakkan tubuh, lalu menyilangkan tangan di dada, seolah ingin menciptakan benteng yang lebih tinggi untuk melindungi dirinya dari kenyataan yang tak ingin ia akui. "Kita tidak punya banyak waktu untuk menyelamatkan perusahaan Ayah," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Ia memijat pelipisnya, lalu melangkah menuju kursi dekat jendela. "Semua ini membuatku sakit kepala." Vernon bersandar di kursinya, suaranya lebih tenang tapi penuh ketegasan. "Kita sudah melakukan segala cara. Jika keadaan tak berubah, kita harus siap menerima kenyataan kalau perusahaan ini akan bangkrut." Aurora menoleh tajam. "Jangan menyerah begitu saja! Aku yakin ada jalan keluar. Kita hanya belum menemukannya." Vernon menatapnya lama sebelum berkata, "Sebenarnya, kita sudah punya jalan keluar." Aurora mengangkat alis, tubuhnya menegang. "Apa maksudmu?" Vernon menghela napas, lalu menatap adiknya dengan serius. "Terimalah tawaran Henry." Aurora merasakan dadanya berdesir, bukan karena terkejut, tapi karena marah. "Aku tidak akan pernah meminta bantuannya," katanya tegas, setiap kata mengandung kepastian yang tak bisa digoyahkan. Vernon hanya mendesah pelan, seolah sudah menduga jawaban itu. "Kamu keras kepala sekali." Sebelum Aurora sempat membalas, ponselnya berdering. Dengan cepat, ia merogoh tasnya dan melihat nama di layar: Evelyn. Dahi Aurora berkerut. Tidak biasanya asisten rumah tangga ibunya menelepon di jam seperti ini. Ada sesuatu yang tidak beres. Tanpa pikir panjang, ia segera menjawab panggilan itu. "Ada apa, Evelyn?" suara Aurora terdengar panik, seketika detak jantungnya mempercepat. "Nyonya Rosamaria jatuh di kamar mandi, sekarang sudah dibawa ke rumah sakit Saint Bernard." "Apa?!" serunya, bibirnya gemetar karena terkejut. Pikiran Aurora langsung dipenuhi kekhawatiran yang mendalam. "Aku akan segera ke sana." Dia menutup sambungan telepon dan tanpa pikir panjang, langsung mengambil tasnya, matanya penuh ketegangan. "Ada apa?" tanya Vernon, kebingungan melihat adiknya yang tiba-tiba panik. "Ibu jatuh di kamar mandi dan sekarang ada di rumah sakit," jawabnya, nada suaranya serak. Vernon terkejut, ekspresinya berubah khawatir. "Tunggu apa lagi? Kita harus segera ke sana!" Mereka berdua terburu-buru meninggalkan ruangan, perasaan cemas menggantung di udara. Setibanya di rumah sakit, Evelyn terlihat melambaikan tangan di depan ruang perawatan, sementara napas Aurora tersengal-sengal karena terburu-buru. "Bagaimana keadaan Ibu?" tanyanya terburu-buru, bibirnya sedikit bergetar. "Kurang bagus. Nyonya terkena stroke." Jantung Aurora seperti terhenti mendengar kata-kata itu dan Vernon terlihat sangat terkejut. Mereka berdua masuk dan melihat ibu mereka terbaring tak sadarkan diri. Aurora tidak bisa menahan air matanya, tubuhnya terasa lemas. Dengan lembut, Vernon memeluknya, mencoba memberi sedikit kenyamanan. "Aku takut kehilangan Ibu," bisik Aurora dengan suara pecah. "Ibu akan baik-baik saja," ujar Vernon dengan suara lembut, mencoba meyakinkan adiknya meski hatinya sendiri tak lebih tenang. Aurora melepaskan pelukan kakaknya dan mendekati ibu mereka. Dengan tatapan penuh kasih, ia membelai rambut sang ibu yang tampak rapuh. "Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini," kata Aurora, suaranya pelan namun penuh berat, "tapi sepertinya kita harus menerima tawaran Henry. Kita tidak punya uang lagi untuk biaya perawatan Ibu, jadi aku mohon padamu singkirkan egomu demi Ibu." Aurora menatap kakaknya, air matanya menetes, dan ia menghapusnya cepat-cepat. Dia memandang Vernon dengan tatapan yang penuh keraguan, namun juga harapan. "Aku akan menemui Henry." Vernon terkejut, matanya membelalak. "Sungguh?" tanyanya, tak percaya dengan keputusan adiknya. Aurora mengangguk, kali ini ia rela mengorbankan harga dirinya demi ibu tercinta. Jika bukan karena Ibu, ia tak akan pernah meminta bantuan Henry. "Tolong jaga Ibu!" Dengan cepat, Aurora mengambil tasnya yang terletak di atas meja dan bergegas menuju mobil. Begitu berada di dalam mobil, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Jantungnya berdegup kencang seiring dengan setiap meter yang ia lewati, menuju tempat yang tak ingin ia datangi. Setibanya di gedung pencakar langit, Aurora memarkirkan mobilnya dan melangkah cepat menuju ruang Henry. Sebelum memasuki ruangannya, ia menarik napas sekali lagi, berusaha menenangkan kegelisahannya. "Nyonya," sapa sekretaris yang masih mengenalnya dengan jelas sebagai mantan istri bosnya. "Henry ada di dalam?" tanyanya, berusaha tetap tenang meski hatinya bergejolak. "Ya, dia ada di dalam." Aurora mengangguk dan membuka pintu, begitu masuk, matanya bertemu pandang dengan Henry yang tengah duduk di mejanya. Ruangan yang luas itu terasa begitu sempit, seolah hanya ada mereka berdua di dalamnya. Tubuh Aurora menegang, rasa canggung dan kebingungannya menguasai diri. "Aurora?" suara Henry terdengar dalam, berat, namun seakan penuh kejutan. Senyum menggoda mulai terukir di wajahnya yang tampan. Melihat senyum itu, Aurora merasa seolah seluruh dunia berhenti berputar sejenak. Henry selalu tahu bagaimana membuatnya merasa cemas dan tidak nyaman, namun juga tidak bisa menahan dirinya untuk sedikit terperangkap dalam pesona pria itu. Henry berdiri perlahan, matanya menatapnya dengan intens, seolah sedang menilai setiap gerakan Aurora. "Kau datang. Aku tidak menyangka akan melihatmu lagi," katanya, suaranya seolah menyentuh bagian terdalam hatinya. Aurora memandang Henry dengan tatapan tajam, meskipun hatinya berdebar, "Aku datang karena tidak ada pilihan lain." Henry mendekat, jaraknya semakin rapat, membuat Aurora merasa semakin terbakar oleh aura pria itu. "Kau tahu, Aurora," katanya dengan nada menggoda yang khas, "Aku selalu tahu, kita berdua tak bisa saling jauh terlalu lama." Aurora merasakan kedekatannya begitu intens, namun ia segera menarik napas dalam-dalam dan mengalihkan pandangannya. "Aku datang untuk urusan lain, Henry. Bukan untuk permainanmu."Henry terdiam.Florien menyipitkan mata. "Kakak?"Henry menelan ludah, lalu akhirnya menggeleng. "Tidak. Aku bahkan tidak berani memberitahunya."Suara Henry terdengar lebih pelan, hampir rapuh. "Bagaimana kalau dia marah dan membatalkan pernikahan kami?"Henry menunduk, tangannya mengepal di atas meja. "Aku tidak bisa kehilangan dia lagi."Florien terdiam, lalu tiba-tiba tersentak. "Tunggu! Kalian akan menikah lagi?"Henry mengangguk lelah. "Ya."Florien menatapnya dengan ekspresi tercengang, lalu senyuman perlahan muncul di wajahnya."Ini kabar luar biasa."Tapi kegembiraan itu tak bertahan lama. Sesuatu di dalam dirinya berkata bahwa kedamaian ini mungkin tidak akan bertahan lama."Kenapa kamu tidak memberitahuku di telepon?" Suara Florien terdengar penuh penasaran, tapi juga sedikit kesal.Henry tersenyum kecil. "Aku ingin memberikan kejutan untukmu dan aku lebih suka memberitahumu secara langsung."Florien menghela napas, lalu tertawa kecil sebelum meraih kakaknya dalam pelukan e
Yolanda mengerang pelan, menahan emosi. “Aku tidak datang untuk bercanda. Aku hanya minta kamu bertanggung jawab.”Henry berdiri, membulatkan tubuhnya, wajahnya berubah dingin. “Tanggung jawab? Yolanda, kita bahkan bukan apa-apa. Kita hanya terlibat satu malam dan itu pun belum tentu benar-benar terjadi seperti yang kau klaim.”“Kau tidak ingat?!” Yolanda nyaris berteriak. “Jangan bilang kau terlalu mabuk malam itu sehingga kamu tidak ingat."“Aku tidak yakin apa yang benar-benar terjadi malam itu.” Henry melipat tangannya, mencoba tenang, tapi rahangnya mengeras. “Dan sekarang kau datang ke kantorku, menuduhku sebagai ayah dari anak yang bahkan belum bisa dibuktikan bahwa itu adalah anakku?”Yolanda mendekat, menatap matanya. “Aku bukan pemeras. Aku tidak butuh uangmu, tapi aku tidak akan membiarkanmu lepas tangan. Kalau kau pikir aku bisa tidur dengan siapa saja lalu lempar undi untuk tahu siapa ayahnya—kau salah besar.”Henry menunduk sebentar, lalu menatapnya dengan pandangan menu
Api di perapian menari-nari, bayangannya meliuk di dinding kamar, memberikan kehangatan dalam dinginnya malam. Aurora bersandar di atas bantal di tempat tidurnya yang besar, menatap nyala api dengan tatapan menerawang. Seminggu lagi, ia akan menikah lagi dengan Henry. Pernikahan kedua mereka. Pintu kamar terbuka, membuyarkan lamunannya. Henry masuk, wajahnya dihiasi senyum lembut. Tanpa ragu, ia duduk di tepi tempat tidur, meraih tangan Aurora, menggenggamnya erat. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya pelan. Aurora tersenyum kecil. "Tentu saja pernikahan kita." Henry menatapnya penuh cinta. "Apa kamu sudah memberitahu keluargamu?" Aurora menggeleng. "Belum. Aku akan bicara langsung pada mereka nanti setelah kita kembali besok ke London." Henry mengangguk, mengerti, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal di hati Aurora. Dengan ragu, ia menggigit bibirnya sebelum akhirnya berkata, "Aku juga sedang memikirkan orang tuamu. Apa mereka setuju kita menikah lagi? Terutama A
Henry menundukkan kepalanya, ekspresinya penuh penyesalan. "Maaf! Aku hanya tidak ingin menambah bebanmu." Aurora mengepalkan tangannya dan mulai memukul dadanya bukan untuk menyakiti, tapi untuk melampiaskan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. "Seharusnya kamu bilang! Seharusnya kamu membiarkanku tahu! Aku membencimu karena alasan yang salah! Kamu jahat, Henry! Jahat!" Henry tidak melawan. Ia menerima setiap pukulan kecil itu dengan pasrah, membiarkan Aurora melampiaskan kemarahan dan kesedihannya, tapi kemudian Aurora berhenti. Air mata mengalir deras di pipinya. Henry menangkap tangannya yang gemetar, lalu meremasnya lembut. "Maafkan aku!" bisiknya lirih. Aurora terisak, bahunya berguncang. Henry menyentuh wajahnya dengan lembut, ibu jarinya menghapus jejak air mata di pipinya. "Jangan pergi lagi!" Suara Henry hampir putus asa. "Tetaplah bersamaku!" Dengan penuh hati-hati, Henry menarik kepala Aurora agar bersandar di dadanya. Pria itu mulai membelai rambutnya, gerakannya
Pagi harinya, Aurora bangun dengan perasaan yang lebih ringan. Mungkin tidak sepenuhnya lega, tapi lebih baik daripada semalam. Setelah membasuh wajah dan mengenakan pakaian yang rapi, ia melangkah ke ruang makan untuk sarapan.Saat ia duduk di meja makan, matanya langsung menyapu ruangan, mencari sosok yang seharusnya ada di sana."Henry...""Pagi, Sayang!" suara Margarita menyapanya dengan hangat.Aurora tersenyum tipis. "Pagi, Nenek!""Bagaimana tidurmu?""Aku tidur nyenyak," jawabnya, meskipun pikirannya masih dipenuhi bayangan Henry.Matanya kembali menyapu ruangan. "Di mana Henry?"Margarita mengangkat bahu dengan ekspresi sedikit khawatir. "Dia tidak pulang semalam. Katanya ada urusan pekerjaan, tapi dia tidak memberitahuku secara detail."Aurora terdiam. Ada sesuatu di dalam dirinya yang tiba-tiba terasa kosong. Henry tidak pulang? Ke mana dia pergi?Dan kenapa ia merasa kecewa?Aurora menikmati wafel hangatnya dengan secangkir teh susu. Tapi pagi ini, wafel selezat apa pun ti
"Dan bukan hanya itu," lanjut Margarita dengan suara bergetar. "Archer juga menyuruh orang-orang untuk menyerangmu di jalanan malam itu. Kau ingat insiden perampokan itu?"Aurora teringat dengan jelas. Bagaimana ia dikepung di gang sepi oleh sekelompok pria tak dikenal. Bagaimana rasa takut menjalari sekujur tubuhnya saat mereka mencoba merampas tasnya, lalu mencoba menariknya. Sampai Henry datang.Henry datang dengan wajah marah dan mata penuh amarah, tanpa ragu bertarung melawan mereka. Dan kini, Aurora baru tahu."Mereka juga orang suruhan Archer?" suaranya tercekat, matanya mulai memanas.Margarita mengangguk pelan. "Henry mengetahuinya. Dia marah besar, tapi Archer tetap pada pendiriannya. Ia mengatakan, jika Henry tidak menceraikanmu, maka hal yang lebih buruk akan menimpamu. Kau akan selalu dalam bahaya."Aurora merasa dunianya berguncang."Jadi. Henry menceraikanku bukan karena ia bosan? Bukan karena ia tidak mencintaiku lagi?" Suaranya hampir patah.Margarita menatapnya denga
Nicholas, yang sejak tadi diam, tiba-tiba bergerak gelisah, tampak ingin mencegah Margarita untuk bicara. Namun, wanita tua itu mengangkat tangannya, menghentikannya. "Tidak apa-apa, Nico," suara Margarita terdengar lelah namun tegas. "Sudah saatnya Aurora tahu kebenarannya." Nicholas terdiam. "Ayah Henry...." Margarita menatap Aurora dengan mata yang dipenuhi kesedihan. "Putraku, dialah yang merancang semua ini." Aurora menahan napas, jantungnya berdegup lebih cepat saat sang nenek menatapnya dengan mata yang penuh beban. "Perceraian kalian bukan sepenuhnya salah Henry." Suara Margarita bergetar, seakan menahan penyesalan yang sudah bertahun-tahun menggerogoti hatinya. "Seharusnya aku bisa mencegahnya, tapi saat itu, aku berpikir bahwa rumah tangga adalah urusan kalian berdua. Aku tak ingin ikut campur, tapi kemudian, ketika aku melihat bagaimana Henry hancur, bagaimana dia hampir kehilangan dirinya sendiri karena kesedihan, aku menyesal." Margarita menghela napas panjang, se
Keduanya duduk dalam keheningan, menikmati pemandangan taman yang perlahan tertelan warna senja. Mata biru Margarita menerawang jauh, seakan menembus waktu dan mengingat kembali masa-masa yang telah berlalu."Henry sangat sedih setelah bercerai darimu," kata Margarita tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh makna.Aurora menoleh, terkejut. "Eh?"Margarita tersenyum kecil, menatap cucu menantunya dengan penuh kasih. "Kalian kira aku tidak tahu?" Ia menggeleng pelan. "Tidak ada rahasia yang bisa disembunyikan dariku."Aurora menunduk, rasa bersalah menyusup ke dalam hatinya. Selama ini ia mengira hanya dirinya yang terluka, karena perpisahan itu, tetapi ia lupa bahwa Henry pun mungkin merasakan luka yang sama atau bahkan lebih dalam."Pria bodoh itu," lanjut Margarita, nadanya mengandung rasa sayang yang begitu dalam. "Dia pikir dengan menceraikanmu, dia memberimu kebebasan, memberimu kesempatan untuk bahagia, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Aku sering menemukannya menangis diam-dia
Henry tidak mengalihkan tatapannya, malah semakin dalam menatap Aurora, seolah ingin menggali isi hatinya. "Aku tidak pernah lebih serius dari ini." Aurora menelan ludah, hatinya berdebar kencang. Ia memilih kata-kata dengan hati-hati, takut melukai pria yang kini menatapnya seolah dirinya adalah satu-satunya hal berharga di dunia ini. "Aku tidak ingin gagal lagi dalam pernikahan kita," ujarnya lirih. "Aku... aku masih belum siap." Henry terdiam sejenak, seakan menelan setiap kata yang baru saja keluar dari bibir Aurora. Lalu, dengan penuh kesabaran, ia berkata, "Aku mengerti." Jemarinya menyusuri pipi Aurora dengan kelembutan yang begitu hati-hati. "Kamu masih meragukanku. Kamu takut aku belum benar-benar berubah, takut aku akan mengulangi masa lalu yang menyakitimu." Henry menarik napas dalam, matanya berkabut dengan emosi. "Tapi setidaknya, beri aku kesempatan untuk memperbaikinya. Aku mohon, Aurora." Aurora memandangnya, dan saat itulah ia melihat sesuatu di mata pria itu—ses