Share

Bab 2. Menemui Henry

Author: Miarosa
last update Last Updated: 2025-02-27 12:30:51

Semilir angin pagi berhembus lembut saat Aurora melajukan mobil merahnya, menyusuri jalan yang mulai dipadati kendaraan. Di trotoar, anak-anak berjalan riang dengan tas punggung mereka, beberapa berlarian mengejar teman-temannya menuju sekolah.

Saat lampu lalu lintas berubah merah, Aurora menghentikan mobilnya. Seorang pria paruh baya melintas di depan kap mobilnya, lalu tersenyum ramah. Aurora membalas senyumnya, meski pikirannya jauh dari momen itu.

Lampu hijau menyala. Aurora kembali melajukan mobilnya, tetapi dadanya terasa sesak. Jemarinya mencengkeram erat kemudi setiap kali bayangan Henry muncul di benaknya. Pria itu muncul begitu tiba-tiba, menatapnya dengan mata cokelat hangat yang dulu begitu ia sukai, tapi Aurora tidak akan tertipu lagi. Ada sesuatu di balik kehadiran Henry—ia yakin itu.

Pria itu bukan tipe yang melakukan sesuatu tanpa alasan dan ia tidak boleh terjebak dalam permainan Henry lagi.

Mobil merah itu akhirnya memasuki kawasan pelabuhan, di mana gedung pelelangan ikan Blue Sea Corps berdiri kokoh di tepi dermaga. Aurora memarkirkan mobilnya dengan mulus, lalu keluar. Angin laut menyambutnya, membawa aroma asin yang khas. Sepatu hak merahnya mengetuk jalanan beraspal, menciptakan irama tajam yang selaras dengan langkah cepatnya.

Ia menuju kantor kakaknya tanpa ragu.

"Apa Kakakku ada di dalam?" tanyanya pada sekretaris Vernon.

"Tuan Stockwell ada di dalam."

Tanpa menunggu, Aurora membuka pintu. Vernon, yang tengah fokus pada berkas-berkas di mejanya, mengangkat kepala dan menatap adiknya dengan dahi berkerut.

"Ada apa kau datang pagi-pagi dengan wajah seperti itu?"

Aurora menghela napas, lalu menatap kakaknya dengan ekspresi jengkel. "Aku bertemu dengan Henry."

Vernon mengangkat alisnya. "Jadi itu yang membuatmu kesal pagi ini?"

"Itu salah satunya. Yang lainnya adalah aku kesal padamu." Aurora menyilangkan tangan di dadanya. "Kau gagal mendapatkan investor. Seharusnya kau bisa memenangkan hati Tuan Lyod agar mau berinvestasi di sini!"

Vernon mendesah dan bersandar di pinggir mejanya, menyilangkan kakinya dengan santai. "Hei, itu bukan sepenuhnya salahku. Dia mendapat tawaran yang lebih bagus dari perusahaan lain." Ia menatap Aurora penuh selidik. "Dan kau menerima tawaran Henry?"

Aurora mendengus, melemparkan pandangan tajam ke arah kakaknya. "Apa kau sudah gila, Vernon? Aku tidak akan menerima bantuan dari pria yang gila kerja seperti dia! Yang ada di kepalanya hanya pekerjaan, pekerjaan, dan pekerjaan!"

Vernon tidak langsung membalas. Ia menatap adiknya dalam diam, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang ingin ia ucapkan.

"Kalian berdua memang keras kepala," katanya akhirnya. "Sejak menikah, tak satu pun dari kalian mau mengalah. Kau dengan egomu, Henry dengan caranya sendiri, tapi setahuku, dia pria yang baik dan setia. Aku menyesal melihat kalian berakhir seperti ini, hanya karena tidak ada yang mau sedikit saja mengesampingkan egonya."

Aurora mengalihkan pandangannya, merasakan sesuatu yang aneh menusuk hatinya.

"Wanita butuh perhatian, Vernon," katanya dengan suara lebih pelan. "Dan aku tidak mendapatkannya dari Henry. Aku pikir dia akan menjadi pasangan yang hangat, seseorang yang bisa berbagi denganku, tapi ternyata dia pria dingin yang hanya peduli pada pekerjaannya. Dia bukan seperti yang kubayangkan."

Dan mungkin, itulah kesalahan terbesar Aurora. Ia mencintai bayangan yang ia ciptakan sendiri, bukan pria yang sebenarnya berdiri di hadapannya.

Vernon menghela napas kasar, menatap adiknya dengan pandangan penuh arti. "Jadi apa kau masih mencintainya?"

Aurora terdiam sejenak. Pikirannya berputar, menggali sesuatu yang bahkan ia sendiri enggan untuk hadapi.

"Aku tidak tahu bagaimana perasaanku padanya sekarang," jawabnya akhirnya, suaranya lirih namun penuh ketegangan.

Vernon menatapnya lebih dalam. "Dan jika suatu hari nanti kau menyesal telah berpisah darinya?"

Aurora mengepalkan tangan. Pertanyaan itu seperti tamparan. Dengan cepat, ia mencondongkan tubuhnya, kedua tangannya bertumpu di meja kerja Vernon, membuat jarak di antara mereka begitu dekat.

"Aku tidak akan pernah menyesali perpisahan itu. Ingat itu!" hardiknya, suaranya bergetar oleh emosi yang sulit dijelaskan.

Setelahnya, Aurora menarik napas panjang, menegakkan tubuh, lalu menyilangkan tangan di dada, seolah ingin menciptakan benteng yang lebih tinggi untuk melindungi dirinya dari kenyataan yang tak ingin ia akui.

"Kita tidak punya banyak waktu untuk menyelamatkan perusahaan Ayah," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Ia memijat pelipisnya, lalu melangkah menuju kursi dekat jendela. "Semua ini membuatku sakit kepala."

Vernon bersandar di kursinya, suaranya lebih tenang tapi penuh ketegasan. "Kita sudah melakukan segala cara. Jika keadaan tak berubah, kita harus siap menerima kenyataan kalau perusahaan ini akan bangkrut."

Aurora menoleh tajam. "Jangan menyerah begitu saja! Aku yakin ada jalan keluar. Kita hanya belum menemukannya."

Vernon menatapnya lama sebelum berkata, "Sebenarnya, kita sudah punya jalan keluar."

Aurora mengangkat alis, tubuhnya menegang. "Apa maksudmu?"

Vernon menghela napas, lalu menatap adiknya dengan serius. "Terimalah tawaran Henry."

Aurora merasakan dadanya berdesir, bukan karena terkejut, tapi karena marah. "Aku tidak akan pernah meminta bantuannya," katanya tegas, setiap kata mengandung kepastian yang tak bisa digoyahkan.

Vernon hanya mendesah pelan, seolah sudah menduga jawaban itu. "Kamu keras kepala sekali."

Sebelum Aurora sempat membalas, ponselnya berdering. Dengan cepat, ia merogoh tasnya dan melihat nama di layar: Evelyn.

Dahi Aurora berkerut. Tidak biasanya asisten rumah tangga ibunya menelepon di jam seperti ini. Ada sesuatu yang tidak beres.

Tanpa pikir panjang, ia segera menjawab panggilan itu.

"Ada apa, Evelyn?" suara Aurora terdengar panik, seketika detak jantungnya mempercepat.

"Nyonya Rosamaria jatuh di kamar mandi, sekarang sudah dibawa ke rumah sakit Saint Bernard."

"Apa?!" serunya, bibirnya gemetar karena terkejut. Pikiran Aurora langsung dipenuhi kekhawatiran yang mendalam. "Aku akan segera ke sana."

Dia menutup sambungan telepon dan tanpa pikir panjang, langsung mengambil tasnya, matanya penuh ketegangan.

"Ada apa?" tanya Vernon, kebingungan melihat adiknya yang tiba-tiba panik.

"Ibu jatuh di kamar mandi dan sekarang ada di rumah sakit," jawabnya, nada suaranya serak.

Vernon terkejut, ekspresinya berubah khawatir. "Tunggu apa lagi? Kita harus segera ke sana!"

Mereka berdua terburu-buru meninggalkan ruangan, perasaan cemas menggantung di udara.

Setibanya di rumah sakit, Evelyn terlihat melambaikan tangan di depan ruang perawatan, sementara napas Aurora tersengal-sengal karena terburu-buru.

"Bagaimana keadaan Ibu?" tanyanya terburu-buru, bibirnya sedikit bergetar.

"Kurang bagus. Nyonya terkena stroke."

Jantung Aurora seperti terhenti mendengar kata-kata itu dan Vernon terlihat sangat terkejut. Mereka berdua masuk dan melihat ibu mereka terbaring tak sadarkan diri. Aurora tidak bisa menahan air matanya, tubuhnya terasa lemas. Dengan lembut, Vernon memeluknya, mencoba memberi sedikit kenyamanan.

"Aku takut kehilangan Ibu," bisik Aurora dengan suara pecah.

"Ibu akan baik-baik saja," ujar Vernon dengan suara lembut, mencoba meyakinkan adiknya meski hatinya sendiri tak lebih tenang.

Aurora melepaskan pelukan kakaknya dan mendekati ibu mereka. Dengan tatapan penuh kasih, ia membelai rambut sang ibu yang tampak rapuh.

"Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini," kata Aurora, suaranya pelan namun penuh berat, "tapi sepertinya kita harus menerima tawaran Henry. Kita tidak punya uang lagi untuk biaya perawatan Ibu, jadi aku mohon padamu singkirkan egomu demi Ibu."

Aurora menatap kakaknya, air matanya menetes, dan ia menghapusnya cepat-cepat. Dia memandang Vernon dengan tatapan yang penuh keraguan, namun juga harapan.

"Aku akan menemui Henry."

Vernon terkejut, matanya membelalak. "Sungguh?" tanyanya, tak percaya dengan keputusan adiknya.

Aurora mengangguk, kali ini ia rela mengorbankan harga dirinya demi ibu tercinta. Jika bukan karena Ibu, ia tak akan pernah meminta bantuan Henry.

"Tolong jaga Ibu!"

Dengan cepat, Aurora mengambil tasnya yang terletak di atas meja dan bergegas menuju mobil. Begitu berada di dalam mobil, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Jantungnya berdegup kencang seiring dengan setiap meter yang ia lewati, menuju tempat yang tak ingin ia datangi.

Setibanya di gedung pencakar langit, Aurora memarkirkan mobilnya dan melangkah cepat menuju ruang Henry. Sebelum memasuki ruangannya, ia menarik napas sekali lagi, berusaha menenangkan kegelisahannya.

"Nyonya," sapa sekretaris yang masih mengenalnya dengan jelas sebagai mantan istri bosnya.

"Henry ada di dalam?" tanyanya, berusaha tetap tenang meski hatinya bergejolak.

"Ya, dia ada di dalam."

Aurora mengangguk dan membuka pintu, begitu masuk, matanya bertemu pandang dengan Henry yang tengah duduk di mejanya. Ruangan yang luas itu terasa begitu sempit, seolah hanya ada mereka berdua di dalamnya. Tubuh Aurora menegang, rasa canggung dan kebingungannya menguasai diri.

"Aurora?" suara Henry terdengar dalam, berat, namun seakan penuh kejutan. Senyum menggoda mulai terukir di wajahnya yang tampan.

Melihat senyum itu, Aurora merasa seolah seluruh dunia berhenti berputar sejenak. Henry selalu tahu bagaimana membuatnya merasa cemas dan tidak nyaman, namun juga tidak bisa menahan dirinya untuk sedikit terperangkap dalam pesona pria itu.

Henry berdiri perlahan, matanya menatapnya dengan intens, seolah sedang menilai setiap gerakan Aurora. "Kau datang. Aku tidak menyangka akan melihatmu lagi," katanya, suaranya seolah menyentuh bagian terdalam hatinya.

Aurora memandang Henry dengan tatapan tajam, meskipun hatinya berdebar, "Aku datang karena tidak ada pilihan lain."

Henry mendekat, jaraknya semakin rapat, membuat Aurora merasa semakin terbakar oleh aura pria itu. "Kau tahu, Aurora," katanya dengan nada menggoda yang khas, "Aku selalu tahu, kita berdua tak bisa saling jauh terlalu lama."

Aurora merasakan kedekatannya begitu intens, namun ia segera menarik napas dalam-dalam dan mengalihkan pandangannya. "Aku datang untuk urusan lain, Henry. Bukan untuk permainanmu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 111. EPILOG. TAMAT.

    Di tepi danau yang tenang, cahaya mentari sore jatuh lembut, menciptakan kilauan emas di permukaan air. Villa tua yang dulu menjadi saksi bisu perjalanan cinta Henry dan Aurora kini dipenuhi suara tawa kecil dan kehangatan yang baru. Di beranda, Henry duduk di kursi kayu, menggendong seorang bayi laki-laki berusia enam bulan yang tertidur lelap dalam pelukannya. Wajah bayi itu begitu damai, napasnya teratur, dan jemari mungilnya sesekali menggenggam kaus Henry, seolah memastikan ayahnya tetap di sana. Sementara itu, di halaman, Aurora sedang bermain bersama Ivy, gadis kecil berusia tiga tahun yang berlarian dengan rambut cokelat ikal yang berkibar tertiup angin. Ivy tertawa riang saat Aurora mengejarnya, suaranya yang jernih seakan melodi yang menyatu dengan alam. Henry tersenyum melihat mereka. Jika seseorang memberitahunya beberapa tahun lalu bahwa ia akan menemukan kebahagiaan seperti ini. Rumah yang hangat, keluarga yang utuh mungkin ia tidak akan percaya. Namun, di sinilah ia

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 110. Aku milikmu

    Hari-hari berikutnya, Henry melakukan segala cara untuk mendapatkan kembali kepercayaan Aurora. Ia tahu bahwa kata-kata saja tidak cukup, ia harus menunjukkan melalui tindakan. Ia menemani Aurora berjalan di sekitar danau, seperti yang dulu mereka lakukan. Ia memasak sarapan untuknya di pagi hari, meski ia sendiri tidak terlalu pandai memasak. Ia memperbaiki ayunan tua di halaman villa yang pernah menjadi tempat favorit Aurora. Suatu pagi, ketika Aurora keluar dari villa, ia menemukan Henry duduk di dekat danau, sedang melukis pemandangan di depannya. "Kau melukis?" tanya Aurora heran. Henry menoleh dan tersenyum. "Aku mencoba." Aurora berjalan mendekat dan melihat hasil lukisan Henry. Meskipun tidak sempurna, lukisan itu menangkap keindahan villa dan danau dengan begitu sederhana dan hangat. "Aku ingin menangkap sesuatu yang penting di sini," kata Henry. "Tempat ini menyimpan banyak kenangan. Aku ingin kau mengingat bahwa kita pernah bahagia." Aurora menatap lukisan itu, lalu

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 109. Aku akan menuggumu

    Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela, menyinari wajah Aurora yang masih terpejam. Hangat. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia bangun tanpa suara mesin medis di sekelilingnya. Hari ini adalah hari yang ia nanti-nantikan, hari di mana ia akhirnya bisa pulang. Saat ia membuka mata, kamarnya yang familiar menyambutnya. Warna-warna hangat menghiasi ruangan, begitu berbeda dengan dinding putih rumah sakit yang dingin dan steril, tapi meskipun kini ia berada di rumah, hatinya tetap terasa kosong. Ada sesuatu yang hilang. Sejak keluar dari rumah sakit, Henry belum menemuinya dan yang lebih menyakitkan, pria itu juga tak berusaha menghubunginya. Mungkin Henry berpikir bahwa memberi ruang adalah hal yang terbaik untuknya. Atau mungkin ia memang sudah menyerah? Hari-hari berlalu dengan lambat. Aurora menghabiskan banyak waktu di taman belakang, duduk diam di bawah pohon besar, menatap langit yang luas. Ia mencintai Henry, itu tak bisa ia pungkiri, tapi di saat yang

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 108. Diantara luka dan harapan

    "Apa?" suaranya nyaris tak terdengar, tubuhnya sedikit limbung. "Benarkah?" Vernon mengangguk mantap. "Iya. Dia selamat, Henry. Dia baik-baik saja." Hati Henry yang selama ini terasa kosong mendadak dipenuhi kehangatan yang hampir melumpuhkannya. Aurora masih hidup. Perempuan yang ia pikir telah hilang selamanya ternyata masih ada, masih bernapas di tempat yang sama dengannya. Dadanya bergemuruh oleh emosi yang bercampur aduk—kelegaan, kebahagiaan, dan rindu yang begitu menyakitkan. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Dalam sekejap, kegelisahan menggerogoti dirinya. Bagaimana jika Aurora membencinya? Bagaimana jika semua yang telah terjadi membuatnya tak ingin lagi melihat wajahnya? Henry mengepalkan tangannya, berusaha mengendalikan gejolak dalam dadanya. "Aku harus menemuinya," gumamnya. Namun, di balik tekad itu, ada ketakutan yang begitu besar. Bagaimana jika ia sudah terlambat untuk meminta maaf? Bagaimana jika luka yang ia tinggalkan di hati Aurora terlalu dalam untuk

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 107. Ini bukan salahmu

    Henry menoleh ke Margarita dengan ekspresi tak percaya, sementara neneknya hanya bisa menatap layar dengan wajah pucat pasi. Rosamaria, yang sejak tadi diam, kini menutup mulutnya, tubuhnya bergetar."Bagaimana bisa.…" Archer terdengar nyaris putus asa. "Bagaimana bisa Devon melakukan hal seperti ini?"Suara langkah kaki mendekat, memecah keheningan yang menyesakkan. Jesselyn, putri Archer, baru saja tiba bersama Theodore, anaknya. Ia menatap orang-orang di ruangan itu dengan kebingungan."Ayah, kenapa kalian semua berkumpul di sini?" tanyanya, suaranya jernih namun sarat dengan rasa penasaran.Archer menghembuskan napas panjang, seolah mencoba menenangkan badai yang berkecamuk dalam dirinya. "Jesselyn, duduklah. Ada sesuatu yang harus kamu tahu."Dengan ragu, Jesselyn duduk di samping neneknya. Matanya beralih ke layar laptop saat Vernon kembali menyalakan rekaman itu. Suasana di ruangan terasa semakin berat, udara seakan dipenuhi oleh beban masa lalu yang menyesakkan.Mata Jesselyn

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 106. Kebenaran yang mengkhianati

    Saat ia tiba, pandangannya langsung tertuju pada sosok mungil di dalam inkubator. Bayi perempuannya tertidur dengan begitu damai, napasnya teratur, wajahnya bersih tanpa dosa. Hatinya mencelos. Ia mengangkat tangannya dengan ragu, lalu akhirnya mengusap lembut pipi bayi itu dengan jemari yang sedikit gemetar."Maafkan Ayah, Nak…" gumamnya, suaranya penuh penyesalan dan kasih sayang yang baru saja ia sadari begitu dalam.Dari luar ruangan, Florien, Vernon, dan Detektif Haris menyaksikan pemandangan itu. Tak ada yang berkata-kata, tapi mereka tahu, Henry harus kuat, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk bayi ini.Detektif Haris melangkah mendekat, suaranya tegas namun penuh pengertian. "Saya akan segera mengurus prosedur kematian Yolanda, Henry. Anda tidak perlu khawatir."Henry tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap anaknya, menghembuskan napas panjang, lalu mengangguk pelan.Mulai hari ini, hidupnya tak lagi sama, tapi satu hal yang pasti, ia akan melakukan segalanya untuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status