Dua tahun pernikahan dengan laki-laki itu telah berakhir dalam puing-puing perceraian, dan kini berdiri di hadapannya adalah seseorang yang pernah ia cintai sepenuh hati sekaligus melukai dan menghancurkannya tanpa ampun.
Tatapannya penuh gejolak—amarah yang membara, kekecewaan yang menusuk, dan luka yang masih menganga. Perasaannya berantakan, seperti dihantam badai tanpa belas kasihan, menelannya dalam pusaran rasa sakit yang nyaris tak tertanggungkan. Aurora mengamati Henry dengan saksama, mencoba menemukan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang bisa membuatnya merasa lebih asing terhadap pria itu, tapi tidak. Henry masih seperti dulu. Rahang tegas yang terukir sempurna, senyum setengah malas yang pernah membuatnya jatuh cinta, hidung tinggi yang seakan menambah kesombongannya, dan bibir yang begitu mudah melontarkan janji-janji yang dulu ia percayai. Daya pikatnya tetap kuat, begitu memabukkan, seperti racun yang diam-diam menyelinap ke dalam darahnya. Henry adalah laki-laki yang tahu cara mendapatkan apa pun yang ia inginkan. Pekerja keras, obsesif, dan menganggap segala sesuatu—termasuk dirinya—sebagai milik yang tak terbantahkan. Dan dulu, Aurora menyerahkan dirinya sepenuh hati, berharap menjadi bagian dari dunianya yang sibuk dan ambisius. Hari-hari mereka tetap indah, meski sunyi tanpa suara tawa seorang bayi, tapi ternyata, itu tidak cukup. Henry tidak berselingkuh. Ia hanya terlalu sibuk mengejar kesuksesan, sibuk membangun impian-impian yang tak pernah melibatkan Aurora sepenuhnya. Yang lebih menyakitkan, Henry bahkan melupakan hari pernikahan mereka. Bukan karena lupa sesaat, tapi karena ia tidak pernah menganggapnya cukup penting untuk diingat. Dan ketika Aurora menunggu permintaan maaf yang tak pernah datang, ia sadar bukan lagi prioritas dalam hidup pria itu. Selama ini, Aurora telah membangun ilusi. Ia mencintai bayangan laki-laki yang sebenarnya tidak pernah ada. Dan kini, ia dihadapkan pada kenyataan pahit pernikahan mereka telah lama berada di persimpangan. Henry telah memilih jalannya sendiri dan Aurora tak punya pilihan selain mencari jalannya sendiri. Tapi kenapa, setelah semua itu, kehadiran Henry masih sanggup membuatnya kehilangan pijakan? "Kenapa hanya berdiri di situ? Ayo, mendekatlah." Suara Henry terdengar ringan, seakan tak ada beban, seakan mereka hanya dua orang yang sedang berbincang biasa bukan sepasang mantan yang tercerai oleh luka. Aurora menelan ludah. Kakinya terasa berat, tapi tetap melangkah mendekat, meski hatinya berteriak untuk berbalik dan pergi. "Aku senang akhirnya kamu mau datang ke sini menemuiku." Henry tersenyum, ekspresi yang dulu selalu membuatnya luluh. Aurora menghela napas, mencoba menguatkan diri. "Aku datang ke sini untuk…." "Menerima tawaranku, bukan?" Henry memotong cepat, tatapannya penuh keyakinan. Aurora menunduk, menggigit bibirnya sebelum menjawab lirih, "Iya." Henry bersandar di kursi dengan santai, senyum puas tersungging di bibirnya. Matanya menelusuri wajah Aurora, menelannya bulat-bulat dalam tatapan yang menyalakan sesuatu di dalam dirinya. Aurora masih sama begitu cantik dalam kesederhanaannya, begitu berbeda dari wanita lain yang pernah ia temui. Pinggang ramping itu, lekuk bibir yang menggoda, aroma bunga yang menguar dari kulitnya—semuanya tetap seperti dulu. Dan Henry sadar, obsesi terhadap wanita ini tak pernah benar-benar pudar. Kesalahannya di masa lalu membuatnya kehilangan Aurora, tapi kali ini, ia tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Henry tahu itu kesalahannya sendiri, tapi tidak berarti dia bisa menerimanya begitu saja. Selama ini, tak ada wanita lain yang mampu menggantikannya. Sejak perceraian mereka, tidak pernah sekalipun ia merasa begitu tergila-gila pada seorang wanita seperti sekarang dan ironisnya, wanita itu tetaplah Aurora. Rasa penasarannya semakin membuncah, dan ketertarikan yang dulu terpendam kini kembali menyala. Ia ingin memilikinya lagi. Tidak ada wanita yang mampu menolak pesonanya. Selalu begitu. Dengan wajah tampan, tubuh atletis yang dibalut kesempurnaan jas mahal, serta aura percaya diri yang memancar dari setiap gerak-geriknya—Henry Wilmington adalah laki-laki yang tahu betul bagaimana menaklukkan hati seorang wanita. Namun, Aurora berbeda. Ia bukan tipe yang mudah ditundukkan dan itu justru semakin membuatnya bersemangat untuk mengejarnya lagi. Henry menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Aurora dengan sorot mata yang penuh intensitas. "Bagus," katanya, suaranya dalam dan sedikit serak. "Akhirnya kamu mau menerima bantuanku juga." Aurora tetap diam, tapi ia bisa melihat jari-jari wanita itu saling menggenggam di atas pangkuannya—tanda bahwa ia sedang menahan sesuatu. "Tapi ada satu syarat." Henry menambahkan. Dahi Aurora berkerut. "Apa syaratnya?" Senyuman Henry semakin melebar, kali ini penuh makna. "Aku ingin kita makan malam romantis." Aurora menghela napas, merasa sedikit lega. "Baiklah." "Sekarang kamu bisa kembali ke kantormu, atau…." Henry mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, cukup untuk membiarkan aroma maskulinnya menguar dan mengusik kesadaran Aurora. "Kamu bisa menunggu di sini bersamaku." Tatapan laki-laki itu mengunci mata Aurora dalam perang batin yang melelahkan. Napasnya tersengal, jantungnya berdegup lebih kencang dari seharusnya. Ini bukan pertama kalinya Henry memandangnya seperti itu. Seolah-olah hanya ada mereka berdua di dunia ini. Seolah-olah ia masih miliknya. "Aku lebih baik kembali ke kantorku," kata Aurora cepat, nyaris terdengar seperti gumaman. Sebelum Henry sempat berkata apa pun lagi, Aurora bangkit dan pergi dengan langkah lebar, meninggalkannya dengan senyum yang tetap melekat di bibir. *** Henry menjemput Aurora di kantornya tepat waktu. Seperti biasa, pria itu tampil sempurna dengan setelan gelap yang membingkai tubuh tegapnya, rambut yang tertata sempurna, serta aroma khas yang langsung menguar begitu ia berdiri di depan Aurora. "Lama tidak bertemu, tapi tetap saja cantik," gumam Henry sambil membuka pintu mobil untuknya. Aurora mendesah, berusaha mengabaikan caranya berbicara yang selalu terdengar santai namun penuh makna tersembunyi. Saat hendak masuk, Henry tiba-tiba meraih tangannya—halus tapi kuat, telapak tangannya terasa begitu hangat di kulit Aurora. Aurora seharusnya menarik tangannya, tapi ia hanya bisa membeku di tempat. Sensasi familiar yang hampir ia lupakan kini kembali merambati tubuhnya, membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Ia melirik laki-laki itu, tapi Henry hanya menatapnya dengan tenang, seolah sedang menikmati kebingungannya. "Bagaimana dengan mobilku?" Akhirnya Aurora bertanya, mencoba memusatkan pikirannya pada sesuatu yang lebih logis. "Aku akan menyuruh seseorang mengantarkannya ke apartemenmu." Henry menjawab ringan, sama sekali tidak melepaskan genggamannya. Aurora menelan ludah, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela begitu mereka duduk di dalam mobil, bahkan di dalam ruang sempit itu, keberadaan Henry terasa begitu mendominasi. Suara napasnya, cara ia menggenggam kemudi dengan santai, setiap gerak-geriknya yang tampak begitu percaya diri semuanya membuatnya semakin gelisah. Dan ketika Henry meliriknya sekilas sebelum tersenyum miring, Aurora tahu, laki-laki itu sadar betul dampaknya terhadap dirinya. Akhirnya, mereka tiba di sebuah vila mewah yang terletak di tepi pantai, setelah menempuh perjalanan kurang dari dua puluh menit. Suara deburan ombak terdengar sayup-sayup, berpadu dengan semilir angin laut yang membawa aroma asin khas samudra. Henry turun terlebih dahulu, lalu berjalan ke sisi lain mobil dan membukakan pintu untuk Aurora. "Kenapa kamu membawaku ke sini?" Aurora bertanya dengan nada curiga. "Bukannya kita akan makan malam di restoran?" Henry menyandarkan satu tangan di pintu mobil, sementara senyum menggoda terbit di bibirnya. "Aku tidak pernah bilang kita akan makan malam di restoran," jawabnya ringan. "Kita akan makan malam di villa ini." Aurora mengerutkan kening, matanya menyipit penuh kewaspadaan. "Aku pulang saja." Saat ia berbalik, Henry dengan sigap meraih sikunya, menggenggamnya cukup erat untuk menahannya, tapi tetap lembut. "Kamu tidak bisa pergi begitu saja, Aurora," suaranya terdengar tenang, tapi ada ketegasan yang sulit dibantah. "Kamu sudah berjanji untuk makan malam denganku sebagai syarat atas bantuanku." Aurora menghela napas panjang, mencoba mengabaikan sensasi hangat yang menjalar dari genggaman Henry. Dengan gerakan cepat, ia melepaskan lengannya dari cengkeraman pria itu. "Baiklah," katanya, meski masih ada nada kesal dalam suaranya. Henry tersenyum penuh kemenangan. "Nah, begitu. Ayo masuk!" Dengan berat hati, Aurora mengikuti Henry ke dalam villa. Saat mereka melangkah ke halaman belakang, matanya langsung disuguhi pemandangan yang begitu menakjubkan. Sebuah meja makan untuk dua orang, dikelilingi lilin-lilin yang menyala redup, menciptakan atmosfer yang intim dan romantis. Cahaya bintang berkelip di langit malam, sementara ombak yang tenang memantulkan sinar bulan, memberikan kesan magis pada malam itu. Aurora terdiam sejenak. Ia benci mengakuinya, tapi Henry tahu caranya menciptakan suasana yang sempurna. Namun, ia tidak ingin terlihat terkesan. Dengan sikap setenang mungkin, Aurora menyilangkan tangan di dada. "Jangan bilang ini hanya kebetulan," gumamnya. Henry tertawa pelan, lalu menarik kursi untuknya. "Tidak ada yang kebetulan, Aurora. Aku sudah merencanakan semuanya." Aurora menatap pria itu, berusaha membaca maksud tersembunyi di balik matanya. Rasa kesal yang tadi memenuhi dadanya mulai luntur, digantikan oleh sesuatu yang lebih rumit—sesuatu yang berbahaya. Ia menghela napas sebelum akhirnya duduk. Henry menuangkan wine ke dalam dua gelas kristal, lalu menyerahkan salah satunya kepada Aurora. Ia memperhatikan bagaimana wanita itu menggenggam gelasnya dengan sedikit ragu, seolah pikirannya tengah bertarung dengan perasaannya sendiri. "Kamu gelisah," ujar Henry pelan, matanya meneliti wajah Aurora dengan penuh perhatian. Aurora menegakkan punggungnya. "Aku tidak gelisah." Henry tersenyum, sudut bibirnya terangkat sedikit, penuh pesona. "Kalau begitu, ayo bersulang. Untuk malam ini." Aurora menatapnya sejenak sebelum akhirnya menyentuhkan gelasnya ke gelas Henry. Bunyi dentingan halus terdengar, seolah menjadi saksi bisu dari percakapan yang tidak terucapkan di antara mereka. Setelah suapan terakhir, Aurora meletakkan sendok dan garpunya, lalu menatap Henry dengan penuh harap. "Kamu sudah berjanji," katanya lembut. "Jadi, apa kamu benar-benar akan berinvestasi di perusahaan keluargaku?" Henry meletakkan gelas winenya dengan santai, lalu menatap Aurora dengan mata yang berkilat penuh ketertarikan. "Tentu saja," katanya, suaranya terdengar rendah dan menghangat. "Apa pun yang kamu inginkan, akan kupenuhi." Namun, fokus Henry bukan lagi pada percakapan mereka melainkan pada wanita di hadapannya. Cahaya lilin yang temaram menyorot wajah Aurora dengan begitu indah. Bibirnya tampak sedikit basah, setengah terbuka, dan napasnya terdengar sedikit tercekat. Matanya yang berbinar menciptakan daya tarik yang mustahil diabaikan. Sial, pikir Henry. Wanita ini masih memiliki kendali penuh atas dirinya. Tanpa sadar, ia mencondongkan tubuhnya, mendekat ke arah Aurora hingga jarak di antara mereka hanya sejengkal. Aurora terkejut, tubuhnya sedikit menegang saat merasakan hembusan napas hangat Henry membelai wajahnya. "Kamu tahu, ada satu hal lagi yang kuinginkan malam ini," bisik Henry, suaranya begitu dalam, hampir seperti gumaman yang menggoda. Aurora menelan ludah, hatinya berdebar kencang. "Apa itu?" tanyanya dengan suara sedikit bergetar. Henry tersenyum kecil, lalu berdiri dan mengulurkan tangannya. "Berdansa denganku." Aurora menatapnya ragu, namun akhirnya menyambut uluran tangan pria itu. Telapak tangannya yang dingin bertemu dengan genggaman Henry yang hangat, membuat sensasi aneh menjalar ke seluruh tubuhnya. Henry menariknya perlahan ke tengah area terbuka, di mana alunan musik lembut mulai mengisi udara. Dengan gerakan yang begitu alami, Henry melingkarkan satu tangannya di pinggang Aurora, sementara tangan lainnya masih menggenggam erat tangan wanita itu. "Malam ini kamu sangat cantik," gumam Henry, suaranya terdengar lebih serak dari biasanya. Aurora merasakan panas merambat ke wajahnya. Ia tidak bisa mengabaikan betapa intens tatapan Henry kepadanya. Seolah pria itu sedang mengukir sosoknya dalam ingatan, tidak ingin kehilangan momen ini. Mereka pun mulai bergerak, menyelaraskan langkah dengan alunan musik. Namun, ada ketegangan yang berbeda di udara, sesuatu yang lebih dari sekadar nostalgia. Aurora merasa tubuhnya mulai kehilangan kendali. Ini adalah kali pertama mereka berada sedekat ini sejak perpisahan mereka dan ia benci mengakui bahwa Henry masih mampu membuatnya kehilangan keseimbangan. Sementara itu, bagi Henry, Aurora kini terasa lebih menggoda daripada dua tahun lalu. Ada kematangan dalam dirinya yang membuat pesona wanita itu semakin kuat, semakin tak tertahankan. Musik semakin melambat, namun denyut nadi Aurora justru meningkat drastis. Ia mencoba menghirup udara dalam-dalam untuk menenangkan diri, namun kesalahannya adalah udara yang ia hirup penuh dengan aroma maskulin Henry yang khas. Sial. Ini semakin memperburuk keadaan. Tanpa sadar, Aurora menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan sensasi aneh yang mulai menguasainya. Henry tersenyum melihat itu. "Jangan menggoda aku, Aurora," bisiknya pelan di telinga wanita itu. Aurora langsung menegang, tapi Henry hanya tertawa kecil, lalu menariknya sedikit lebih dekat, membiarkan tubuh mereka bersentuhan lebih erat dari sebelumnya. Aurora merasa seolah melayang. Kehangatan tubuh Henry yang menekan erat ke arahnya berpadu dengan aroma maskulin yang menguar dari pria itu begitu khas, begitu menguasai indranya. Sensasi itu semakin melenakannya, terutama saat ia merasakan desakan hangat dari balik kain yang menempel di perutnya. Napasnya tercekat, dadanya naik-turun, dan tanpa sadar, tubuhnya bergerak lebih dekat, seakan mencari lebih banyak kehangatan dalam dekapan Henry. Henry membungkuk sedikit, bibirnya nyaris menyentuh daun telinga Aurora saat berbisik dengan suara rendah yang nyaris seperti erangan tertahan. "Aku merindukanmu." Aurora gemetar. Suara Henry, hembusan napasnya, aroma aftershave yang begitu akrab. Semuanya menggoyahkan pertahanannya. Belum sempat ia merespons, tubuhnya ternyata sudah berbicara lebih dulu. Bibirnya sedikit terbuka, napasnya bergetar saat tangan besar Henry mulai menjelajah, membelai lembut punggung telanjangnya. Aurora menahan desahan yang nyaris lolos dari bibirnya, tapi geliat di tubuhnya tak bisa ia kendalikan. Sentuhan Henry membakar kulitnya, membangkitkan sensasi yang begitu familiar namun tetap membuatnya terkesima. Aurora mendongak, ingin berkata sesuatu. Entah untuk menolak atau menyerah, tapi pandangan Henry telah menawannya. Sepasang mata gelap itu seolah memenjarakan miliknya, mencengkeramnya dalam tatapan yang misterius, penuh gairah yang menyala-nyala. "Aku senang kita bisa bersama lagi malam ini," ucap Henry, suaranya serak dan begitu sarat kerinduan. Aurora merasakan getaran aneh menjalar dalam dirinya. Perasaan ini seharusnya ia tolak, seharusnya ia lawan, tapi ketika Henry kembali menyusuri lekuk tubuhnya dengan tangan kuatnya, Aurora hanya bisa menggigit bibir, menahan debaran yang semakin tak terkendali. Tiba-tiba, tubuhnya melayang. Aurora terlonjak, hampir berteriak, ketika Henry mengangkatnya dengan mudah. Kedua lengannya otomatis melingkar di leher pria itu, dan seketika, tubuhnya semakin merapat ke dada bidang Henry. Detak jantungnya berpacu, tapi ia tahu di balik kulit dan otot-otot yang tegang, detak jantung Henry pun sama kerasnya. Henry tersenyum tipis, matanya mengunci Aurora dalam tatapan yang tak terbaca. Lalu, tanpa aba-aba, ia membaringkan mereka berdua di tempat tidur, menghimpit tubuh Aurora dengan tubuhnya sendiri. Aurora terkesiap, tapi bukan rasa takut yang ia rasakan. Justru sebaliknya ada rasa terperangkap dalam sesuatu yang begitu indah, sesuatu yang menegangkan sekaligus menggetarkan. Ia menatap Henry, memandangi setiap garis wajah tampannya yang begitu dekat. Pria itu kini menatapnya dengan intensitas yang hampir membakar. Perlahan, Henry menurunkan wajahnya. Hidung mancungnya kini menyusuri leher Aurora, membelai kulitnya yang terbuka dengan sentuhan yang hampir tak terasa, tapi justru membuat Aurora menggigil. Dan saat bibir Henry akhirnya menyentuh kulitnya, Aurora sadar. Ia benar-benar dalam bahaya malam ini. Tangan besar Henry bergerak perlahan, mengelus sisi pinggang Aurora dengan sentuhan yang begitu lembut, namun tetap menuntut. Jemarinya menjelajah, menelusuri lekuk tubuh wanita itu seolah ingin menghafal setiap detailnya kembali. Tatapan Henry semakin kelam, dipenuhi gairah yang mendalam. Dengan satu gerakan tegas, ia menangkap kedua tangan Aurora, membelenggunya di atas kepala dengan cengkeraman kokoh. Aurora terkesiap, tapi bukan karena takut melainkan karena sensasi luar biasa yang ditimbulkan oleh dominasinya. Tanpa memberi kesempatan untuk bernapas, Henry menundukkan wajahnya, bibirnya dengan rakus mengecup, melumat, dan menggigit setiap jengkal kulit yang mampu dijangkaunya. Napas Aurora tersengal, detak jantungnya berpacu begitu kencang. Saat akhirnya Henry menemukan bibirnya, tak ada ruang bagi Aurora untuk berkata-kata. Bibir pria itu mengunci miliknya dalam ciuman yang dalam dan tak kenal ampun, menenggelamkannya dalam lautan gairah yang perlahan-lahan menghapus batas-batas yang selama ini ia pertahankan.Di tepi danau yang tenang, cahaya mentari sore jatuh lembut, menciptakan kilauan emas di permukaan air. Villa tua yang dulu menjadi saksi bisu perjalanan cinta Henry dan Aurora kini dipenuhi suara tawa kecil dan kehangatan yang baru. Di beranda, Henry duduk di kursi kayu, menggendong seorang bayi laki-laki berusia enam bulan yang tertidur lelap dalam pelukannya. Wajah bayi itu begitu damai, napasnya teratur, dan jemari mungilnya sesekali menggenggam kaus Henry, seolah memastikan ayahnya tetap di sana. Sementara itu, di halaman, Aurora sedang bermain bersama Ivy, gadis kecil berusia tiga tahun yang berlarian dengan rambut cokelat ikal yang berkibar tertiup angin. Ivy tertawa riang saat Aurora mengejarnya, suaranya yang jernih seakan melodi yang menyatu dengan alam. Henry tersenyum melihat mereka. Jika seseorang memberitahunya beberapa tahun lalu bahwa ia akan menemukan kebahagiaan seperti ini. Rumah yang hangat, keluarga yang utuh mungkin ia tidak akan percaya. Namun, di sinilah ia
Hari-hari berikutnya, Henry melakukan segala cara untuk mendapatkan kembali kepercayaan Aurora. Ia tahu bahwa kata-kata saja tidak cukup, ia harus menunjukkan melalui tindakan. Ia menemani Aurora berjalan di sekitar danau, seperti yang dulu mereka lakukan. Ia memasak sarapan untuknya di pagi hari, meski ia sendiri tidak terlalu pandai memasak. Ia memperbaiki ayunan tua di halaman villa yang pernah menjadi tempat favorit Aurora. Suatu pagi, ketika Aurora keluar dari villa, ia menemukan Henry duduk di dekat danau, sedang melukis pemandangan di depannya. "Kau melukis?" tanya Aurora heran. Henry menoleh dan tersenyum. "Aku mencoba." Aurora berjalan mendekat dan melihat hasil lukisan Henry. Meskipun tidak sempurna, lukisan itu menangkap keindahan villa dan danau dengan begitu sederhana dan hangat. "Aku ingin menangkap sesuatu yang penting di sini," kata Henry. "Tempat ini menyimpan banyak kenangan. Aku ingin kau mengingat bahwa kita pernah bahagia." Aurora menatap lukisan itu, lalu
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela, menyinari wajah Aurora yang masih terpejam. Hangat. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia bangun tanpa suara mesin medis di sekelilingnya. Hari ini adalah hari yang ia nanti-nantikan, hari di mana ia akhirnya bisa pulang. Saat ia membuka mata, kamarnya yang familiar menyambutnya. Warna-warna hangat menghiasi ruangan, begitu berbeda dengan dinding putih rumah sakit yang dingin dan steril, tapi meskipun kini ia berada di rumah, hatinya tetap terasa kosong. Ada sesuatu yang hilang. Sejak keluar dari rumah sakit, Henry belum menemuinya dan yang lebih menyakitkan, pria itu juga tak berusaha menghubunginya. Mungkin Henry berpikir bahwa memberi ruang adalah hal yang terbaik untuknya. Atau mungkin ia memang sudah menyerah? Hari-hari berlalu dengan lambat. Aurora menghabiskan banyak waktu di taman belakang, duduk diam di bawah pohon besar, menatap langit yang luas. Ia mencintai Henry, itu tak bisa ia pungkiri, tapi di saat yang
"Apa?" suaranya nyaris tak terdengar, tubuhnya sedikit limbung. "Benarkah?" Vernon mengangguk mantap. "Iya. Dia selamat, Henry. Dia baik-baik saja." Hati Henry yang selama ini terasa kosong mendadak dipenuhi kehangatan yang hampir melumpuhkannya. Aurora masih hidup. Perempuan yang ia pikir telah hilang selamanya ternyata masih ada, masih bernapas di tempat yang sama dengannya. Dadanya bergemuruh oleh emosi yang bercampur aduk—kelegaan, kebahagiaan, dan rindu yang begitu menyakitkan. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Dalam sekejap, kegelisahan menggerogoti dirinya. Bagaimana jika Aurora membencinya? Bagaimana jika semua yang telah terjadi membuatnya tak ingin lagi melihat wajahnya? Henry mengepalkan tangannya, berusaha mengendalikan gejolak dalam dadanya. "Aku harus menemuinya," gumamnya. Namun, di balik tekad itu, ada ketakutan yang begitu besar. Bagaimana jika ia sudah terlambat untuk meminta maaf? Bagaimana jika luka yang ia tinggalkan di hati Aurora terlalu dalam untuk
Henry menoleh ke Margarita dengan ekspresi tak percaya, sementara neneknya hanya bisa menatap layar dengan wajah pucat pasi. Rosamaria, yang sejak tadi diam, kini menutup mulutnya, tubuhnya bergetar."Bagaimana bisa.…" Archer terdengar nyaris putus asa. "Bagaimana bisa Devon melakukan hal seperti ini?"Suara langkah kaki mendekat, memecah keheningan yang menyesakkan. Jesselyn, putri Archer, baru saja tiba bersama Theodore, anaknya. Ia menatap orang-orang di ruangan itu dengan kebingungan."Ayah, kenapa kalian semua berkumpul di sini?" tanyanya, suaranya jernih namun sarat dengan rasa penasaran.Archer menghembuskan napas panjang, seolah mencoba menenangkan badai yang berkecamuk dalam dirinya. "Jesselyn, duduklah. Ada sesuatu yang harus kamu tahu."Dengan ragu, Jesselyn duduk di samping neneknya. Matanya beralih ke layar laptop saat Vernon kembali menyalakan rekaman itu. Suasana di ruangan terasa semakin berat, udara seakan dipenuhi oleh beban masa lalu yang menyesakkan.Mata Jesselyn
Saat ia tiba, pandangannya langsung tertuju pada sosok mungil di dalam inkubator. Bayi perempuannya tertidur dengan begitu damai, napasnya teratur, wajahnya bersih tanpa dosa. Hatinya mencelos. Ia mengangkat tangannya dengan ragu, lalu akhirnya mengusap lembut pipi bayi itu dengan jemari yang sedikit gemetar."Maafkan Ayah, Nak…" gumamnya, suaranya penuh penyesalan dan kasih sayang yang baru saja ia sadari begitu dalam.Dari luar ruangan, Florien, Vernon, dan Detektif Haris menyaksikan pemandangan itu. Tak ada yang berkata-kata, tapi mereka tahu, Henry harus kuat, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk bayi ini.Detektif Haris melangkah mendekat, suaranya tegas namun penuh pengertian. "Saya akan segera mengurus prosedur kematian Yolanda, Henry. Anda tidak perlu khawatir."Henry tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap anaknya, menghembuskan napas panjang, lalu mengangguk pelan.Mulai hari ini, hidupnya tak lagi sama, tapi satu hal yang pasti, ia akan melakukan segalanya untuk