Aurora tidak menolak. Sebaliknya, ia menyerah pada ciuman itu, membiarkan hasrat yang terpendam sekian lama kembali menyala. Ia merasakan kehangatan Henry menyelubunginya, memeluknya dalam genggaman yang kuat namun penuh kasih. Ketika bibir mereka saling menjelajahi, napas mereka semakin memburu, tenggelam dalam rasa yang selama ini coba mereka ingkari. Henry menarik Aurora lebih dekat, tubuh mereka saling menempel tanpa celah. Jemarinya menjelajah, mengusap punggungnya dengan sentuhan yang menghantarkan sensasi menggigil di sepanjang tulang belakang wanita itu. Saat Aurora mengerang pelan di antara ciuman mereka, Henry semakin dalam menyesap manisnya bibirnya, menjelajahi setiap sudutnya dengan penuh gairah. Aurora merasakan tubuhnya melebur dalam dekapan Henry. Sentuhan pria itu menghangatkannya, membangkitkan desir di setiap inci kulitnya. Ketika bibir Henry meninggalkan jejak panas di sepanjang lehernya, jantungnya berdebar semakin kencang. Jemari Henry yang besar dan hangat men
Aurora melihat kopernya tergeletak tak jauh dari tempat tidur. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia segera beranjak ke kamar mandi, membiarkan air dingin menyapu kulitnya yang masih dipenuhi sisa-sisa emosi semalam. Tak ingin membuang waktu, ia mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa. Ada seseorang yang ingin segera ditemuinya—Theodore, keponakan Henry yang kini telah berusia lima tahun. Saat ia dan Henry berpisah, bocah itu baru berusia tiga tahun. Saat menuruni tangga, matanya menyapu sudut-sudut rumah sang Nenek. Tidak banyak yang berubah. Rumah megah berlantai lima ini masih terasa terlalu besar dan sunyi baginya. Dulu, saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, ia hampir tersesat di dalamnya. Langkahnya terhenti mendadak. Henry muncul di hadapannya, tiba-tiba dan tanpa suara. "Henry!" serunya, terkejut. Salah satu tangannya terangkat ke dada, mencoba meredam detak jantungnya yang berdebar liar. Ia menarik napas dalam-dalam, menoleh ke sekeliling, memastikan tidak ada orang la
Kejujuran Henry membuat Aurora terhenyak. Hatinya berdebar kencang, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Apa aku tidak salah dengar?" pikirnya."Kau serius?" bisiknya ragu, menatap Henry seolah mencari kebohongan di matanya."Tentu saja," jawab Henry tanpa keraguan.Aurora menelan ludah, dadanya terasa sesak. "Saat ini aku tidak bisa menikah lagi denganmu."Henry menghela napas panjang, tetapi tekadnya tak goyah. "Lalu, apa yang harus aku lakukan supaya kamu mau kembali padaku?" tanyanya, suaranya penuh harap, hampir memohon.Aurora menundukkan kepala, menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. "Tidak ada," katanya lirih, tetapi dingin.Henry menatapnya, mencoba membaca pikirannya. Ia tahu Aurora berbohong. Wanita itu hanya takut membuka kembali luka yang belum sepenuhnya sembuh."Aku mencintaimu, Aurora," ucapnya lembut. "Dan aku ingin kita bersama lagi."Perasaan Henry begitu kuat, begitu nyata. Ia melangkah mendekat, lalu melingkarkan lengannya di
Dengan kecepatan kilat, Henry menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka, sementara Aurora buru-buru menyembunyikan wajahnya yang merah padam.Di sisi lain rumah, Margarita duduk di kursi meja makan di teras belakang, yang menghadap taman bunga mawar. Nenek itu menggenggam tongkatnya dengan tenang, matanya berbinar seolah tahu persis apa yang sedang terjadi di dalam rumah. Ia tersenyum kecil. Hari ini akan menjadi hari yang menarik."Mereka itu seperti anak kecil," gumam Margarita dengan nada geli kepada asistennya, Nicholas. Senyum tipis terbentuk di wajahnya, sementara matanya menatap lurus ke arah taman, seolah melihat lebih jauh dari yang tampak di hadapannya. "Mereka pikir aku tidak tahu bahwa mereka sudah bercerai."Wanita tua itu tertawa pelan, nada tawanya sarat dengan kebijaksanaan dan sedikit ironi. "Biarkan saja mereka beranggapan seperti itu."Dengan tenang, ia mengangkat cangkir teh ke bibirnya dan menyeruputnya perlahan."Jadi, Henry membawa Aurora ke kamarnya?" tanyany
"Jadi kamu meragukannya?!" Suara Yolanda bergetar di seberang telepon, dipenuhi kemarahan dan rasa tertantang. "Anak ini adalah darah dagingmu, Henry!"Henry menekan rahangnya, mencoba meredam emosi yang mendadak berkecamuk di dalam dadanya. "Iya." Hanya itu jawaban yang keluar dari bibirnya, singkat dan tanpa emosi."Anak ini milikmu.”Henry tertawa pendek, getir. “Kau sadar betapa absurdnya itu? Kita baru kenal berapa lama? Dan kita hanya tidur sekali, Yolanda. Sekali.”“Aku tahu, Tapi aku tidak tidur dengan siapa pun selain kamu. Kau pikir aku sedang main sandiwara?” suara Yolanda mulai naik.“Dunia ini penuh sandiwara dan kau cukup jago jadi aktrisnya,” balas Henry cepat. “Atau ini bagian dari rencana barumu lagi? Mengikatku dengan cerita kehamilan?”“Kau pikir aku senekat itu? Mengada-ada tentang nyawa yang sedang tumbuh dalam tubuhku?” Yolanda hampir berteriak. “Aku tidak butuh uangmu. Aku hanya ingin kau tahu—aku tidak sendirian dalam urusan ini.”Henry terdiam beberapa detik.
"Ada apa kamu datang ke sini?" tanya Henry dingin, suaranya terdengar tajam.Andrew tidak terpengaruh oleh sikap permusuhan Henry. Dengan santai, ia menjawab, "Aku hanya ingin melihat keadaan Aurora di sini. Aku ingin tahu, apakah dia bahagia atau justru merasa tertekan?"Henry tersenyum miring, lalu melirik Aurora. "Seperti yang kamu lihat, Aurora senang berada di sini. Bukankah begitu, Sayang?"Namun, Aurora tidak menjawab. Ia sengaja mengabaikan Henry, membiarkan pria itu semakin kesal, lalu memilih untuk langsung berbicara pada Andrew."Apa yang membuatmu datang ke sini?" tanyanya, nada suaranya terdengar lebih hangat dibanding saat ia berbicara dengan Henry.Andrew tersenyum kecil. "Besok aku akan kembali ke Inggris. Apa kita akan pulang bersama?"Seketika ruangan terasa membeku.Henry menatap tajam Andrew, rahangnya mengeras. "Kalian tidak akan pulang bersama. Aurora akan pulang bersamaku."Jesselyn yang duduk di sampingnya langsung menyenggol kaki Henry di bawah meja, memberi i
Aurora hanya tersenyum tipis tanpa menjawab. Mereka berkuda selama beberapa menit, menikmati keheningan yang tidak lagi terlalu canggung. Hingga akhirnya, matahari semakin tinggi di langit, menandakan sudah saatnya mereka kembali. "Mau pulang?" tanya Henry. "Ya." Mereka kembali ke kandang, menyerahkan kuda-kuda itu kepada para pekerja. Lalu, berjalan beriringan menuju rumah. Namun, tiba-tiba Henry menghentikan langkahnya. Aurora menoleh, lalu mendapati dirinya terperangkap dalam tatapan pria itu. Mata biru Henry menatapnya dalam-dalam, menelusuri wajahnya seolah sedang mencari sesuatu. Ada keheningan di antara mereka, keheningan yang begitu pekat hingga Aurora bisa mendengar degup jantungnya sendiri. Aurora menelan ludah, mengangkat sedikit dagunya, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Henry tidak mengatakan apa pun. Aurora merasakan lagi energi yang bergejolak di sekitar Henry, seperti badai yang siap meledak kapan saja. Hawa panas yang dipancarkan lelaki itu membuat dadan
Pelayan itu menelan ludah. "Tapi kalau Tuan Muda tahu, dia pasti akan marah."Margarita terkekeh pelan, suaranya penuh keyakinan. "Percayalah! Begitu dia tahu alasan di balik ini semua, dia akan berterima kasih."Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki berlari-lari di luar."Ah, akhirnya mereka datang." Margarita buru-buru menutup matanya. Sebelum itu, ia sempat menoleh pada Nicholas dan memperingatkan dengan suara pelan, "Ingat, kau harus terlihat sedih. Kalau perlu, keluarkan air mata. Jika tidak, kau kupecat!"Nicholas menghela napas, bersiap memainkan perannya.Pintu kamar terbuka dengan keras, hampir membentur dinding. Henry masuk lebih dulu, napasnya tersengal, wajahnya penuh kepanikan. Aurora menyusul di belakangnya, matanya dipenuhi kecemasan."Nenek!" Suara mereka berseru hampir bersamaan.Henry langsung berlutut di samping ranjang dan meraih tangan Margarita. Matanya yang biasanya tajam kini tampak kaca-kaca. Dengan suara parau, ia berkata, "Nek, jangan mati dulu! Aku belum
Nicholas, yang sejak tadi diam, tiba-tiba bergerak gelisah, tampak ingin mencegah Margarita untuk bicara. Namun, wanita tua itu mengangkat tangannya, menghentikannya. "Tidak apa-apa, Nico," suara Margarita terdengar lelah namun tegas. "Sudah saatnya Aurora tahu kebenarannya." Nicholas terdiam. "Ayah Henry...." Margarita menatap Aurora dengan mata yang dipenuhi kesedihan. "Putraku, dialah yang merancang semua ini." Aurora menahan napas, jantungnya berdegup lebih cepat saat sang nenek menatapnya dengan mata yang penuh beban. "Perceraian kalian bukan sepenuhnya salah Henry." Suara Margarita bergetar, seakan menahan penyesalan yang sudah bertahun-tahun menggerogoti hatinya. "Seharusnya aku bisa mencegahnya, tapi saat itu, aku berpikir bahwa rumah tangga adalah urusan kalian berdua. Aku tak ingin ikut campur, tapi kemudian, ketika aku melihat bagaimana Henry hancur, bagaimana dia hampir kehilangan dirinya sendiri karena kesedihan, aku menyesal." Margarita menghela napas panjang, se
Keduanya duduk dalam keheningan, menikmati pemandangan taman yang perlahan tertelan warna senja. Mata biru Margarita menerawang jauh, seakan menembus waktu dan mengingat kembali masa-masa yang telah berlalu."Henry sangat sedih setelah bercerai darimu," kata Margarita tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh makna.Aurora menoleh, terkejut. "Eh?"Margarita tersenyum kecil, menatap cucu menantunya dengan penuh kasih. "Kalian kira aku tidak tahu?" Ia menggeleng pelan. "Tidak ada rahasia yang bisa disembunyikan dariku."Aurora menunduk, rasa bersalah menyusup ke dalam hatinya. Selama ini ia mengira hanya dirinya yang terluka, karena perpisahan itu, tetapi ia lupa bahwa Henry pun mungkin merasakan luka yang sama atau bahkan lebih dalam."Pria bodoh itu," lanjut Margarita, nadanya mengandung rasa sayang yang begitu dalam. "Dia pikir dengan menceraikanmu, dia memberimu kebebasan, memberimu kesempatan untuk bahagia, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Aku sering menemukannya menangis diam-dia
Henry tidak mengalihkan tatapannya, malah semakin dalam menatap Aurora, seolah ingin menggali isi hatinya. "Aku tidak pernah lebih serius dari ini." Aurora menelan ludah, hatinya berdebar kencang. Ia memilih kata-kata dengan hati-hati, takut melukai pria yang kini menatapnya seolah dirinya adalah satu-satunya hal berharga di dunia ini. "Aku tidak ingin gagal lagi dalam pernikahan kita," ujarnya lirih. "Aku... aku masih belum siap." Henry terdiam sejenak, seakan menelan setiap kata yang baru saja keluar dari bibir Aurora. Lalu, dengan penuh kesabaran, ia berkata, "Aku mengerti." Jemarinya menyusuri pipi Aurora dengan kelembutan yang begitu hati-hati. "Kamu masih meragukanku. Kamu takut aku belum benar-benar berubah, takut aku akan mengulangi masa lalu yang menyakitimu." Henry menarik napas dalam, matanya berkabut dengan emosi. "Tapi setidaknya, beri aku kesempatan untuk memperbaikinya. Aku mohon, Aurora." Aurora memandangnya, dan saat itulah ia melihat sesuatu di mata pria itu—ses
Alih-alih menjawab, Aurora justru menarik kerah kemeja Henry dan kembali menyatukan bibir mereka dalam ciuman yang lebih dalam, lebih penuh perasaan. Kali ini, tidak ada keraguan di antara mereka hanya ada cinta yang mengalir begitu deras di antara bibir yang saling menyatu dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Aurora merasa pulang. Aurora nyaris tak sempat menarik napas ketika Henry menariknya lebih dekat, tubuh mereka menyatu dalam gelombang kehangatan yang mendesak. Ciuman pertama hanyalah awal sebentuk godaan, sebuah janji. Namun, begitu bibir mereka bersentuhan lebih dalam, semuanya runtuh. Tidak ada ruang untuk kebohongan atau penyangkalan. Lidah Henry menyusup masuk, mengklaim, menuntut, seolah ingin mengingatkan Aurora bahwa di antara mereka tidak pernah ada kata "cukup." Aurora seharusnya menjauh, seharusnya menolak, tetapi bibirnya dengan sendirinya membalas—lapar, haus akan sentuhan yang begitu akrab namun terasa baru. Henry mengerang rendah saat Aurora merema
Aurora menatapnya dengan senyum jahil, merasa puas telah berhasil membuat Henry terdiam. "Kenapa? Tidak menyangka aku akan melakukan itu?" tanyanya dengan nada menggoda.Henry menelan ludah, kemudian tiba-tiba ia meraih pinggang Aurora dan menariknya ke dalam pelukannya, membuat wanita itu terkesiap."Kalau begitu, aku juga mau coba rasa es krim dari bibirmu," bisik Henry sebelum mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari Aurora.Aurora refleks menutup mata saat bibir Henry menyentuh sudut bibirnya, mengecupnya dengan lembut. Itu hanya sentuhan ringan, tetapi cukup untuk membuat Aurora merasakan gemuruh perasaan yang sudah lama ia tekan dalam hatinya."Henry...." bisiknya, nyaris tanpa suara.Henry menjauh sedikit, menatapnya dalam. "Aurora...." suaranya rendah dan penuh perasaan. Aurora menggigit bibirnya, perasaannya bercampur aduk. Tetapi sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Henry mengelus pipinya yang masih berlumuran es krim.Lalu, tiba-tiba Henry menyeringai lagi. "Tapi aku bel
Henry rela melakukan apa pun, termasuk mempermalukan dirinya sendiri, jika itu bisa membuat Aurora tertawa seperti ini lagi.Henry mengusap tengkuknya, tersenyum kecil. "Aku tahu aku buruk dalam menari, tapi kalau itu bisa membuatmu tertawa seperti ini, aku rasa tidak terlalu buruk juga."Aurora menggeleng-geleng sambil masih terkikik. "Oh, Henry. Aku harus mulai sering menyuruhmu melakukan hal-hal aneh seperti ini."Henry menelan ludah. "Tolong, jangan!"Aurora menatapnya dengan mata berbinar penuh rencana. "Kita lihat saja nanti."Henry mendengus, menaruh tangan di pinggang. "Jadi, bosku yang terhormat, ada permintaan lain?"Aurora menatapnya dengan mata berbinar penuh kejahilan. "Aku ingin es krim."Henry mengangguk. "Baiklah, aku akan mengambilkannya untukmu."Namun, Aurora mengangkat satu jari, menatapnya serius. "Tapi aku mau yang banyak! Sangat banyak! Aku ingin bisa makan es krim sampai hatiku puas!"Henry menghela napas, tapi kemudian tersenyum kecil. "Baik, Tuan Putri. Aku a
Henry terdiam, pikirannya berputar cepat. "Apa yang dia katakan?" "Jika kamu tidak mau menemuinya, dia akan mengungkap semuanya. Dia akan memberi tahu dunia siapa ayah dari anaknya. Dia mengancammu, Henry." Henry mendengus marah. "Dia tidak akan berani melakukan itu." Florien mendecak. "Oh, percayalah, seorang wanita yang terpojok bisa melakukan apa saja. Kamu mungkin menganggap ini hanya gertakan, tapi aku yakin dia benar-benar akan melakukannya." Henry mengebrak meja dengan kepalan tangan yang mengeras. "Sial!" Dadanya naik turun. Baru saja ia merasa kehidupannya kembali menemukan arah—Aurora, kebahagiaan yang mulai ia bangun kembali dan sekarang, masalah ini datang menghantamnya seperti ombak besar yang menghancurkan segalanya. Florien menghela napas. "Apa Aurora sudah tahu?" Henry menggeleng. "Tidak dan dia tidak boleh tahu." "Bagus. Jangan sampai dia tahu atau kamu akan kehilangan dia lagi selamanya. Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian berdua." Henry mengep
Sang dokter tersenyum tipis lalu pergi, meninggalkan mereka bertiga di kamar. Henry duduk di tepi ranjang dan menghela napas panjang. "Nenek benar-benar membuat kami khawatir! Aku hampir kena serangan jantung juga, tahu!" Aurora mengangguk setuju sambil menghapus air mata yang sempat jatuh. "Iya, Nek. Sebaiknya Nenek tidak terlalu banyak beraktivitas. Aku takut terjadi sesuatu pada Nenek." Margarita tersenyum, lalu meraih tangan Aurora dengan genggaman hangat. Ia menatap wanita itu dengan mata penuh harap. "Aurora, kamu sayang pada Nenek, kan?" Aurora terdiam sejenak, lalu mengangguk. Ia tahu, di balik semua tingkah dan kelicikan Margarita, wanita itu hanya ingin melihat keluarganya bahagia. Namun, ia juga merasa ada sesuatu yang mencurigakan di balik pertanyaan itu. "Tentu saja. Aku sudah menganggap Nenek sebagai Nenekku sendiri." Margarita tersenyum penuh kemenangan. "Kalau begitu, apa kamu mau tinggal sedikit lebih lama di sini?" Henry nyaris tersedak udara. Ia menoleh ke a
Pelayan itu menelan ludah. "Tapi kalau Tuan Muda tahu, dia pasti akan marah."Margarita terkekeh pelan, suaranya penuh keyakinan. "Percayalah! Begitu dia tahu alasan di balik ini semua, dia akan berterima kasih."Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki berlari-lari di luar."Ah, akhirnya mereka datang." Margarita buru-buru menutup matanya. Sebelum itu, ia sempat menoleh pada Nicholas dan memperingatkan dengan suara pelan, "Ingat, kau harus terlihat sedih. Kalau perlu, keluarkan air mata. Jika tidak, kau kupecat!"Nicholas menghela napas, bersiap memainkan perannya.Pintu kamar terbuka dengan keras, hampir membentur dinding. Henry masuk lebih dulu, napasnya tersengal, wajahnya penuh kepanikan. Aurora menyusul di belakangnya, matanya dipenuhi kecemasan."Nenek!" Suara mereka berseru hampir bersamaan.Henry langsung berlutut di samping ranjang dan meraih tangan Margarita. Matanya yang biasanya tajam kini tampak kaca-kaca. Dengan suara parau, ia berkata, "Nek, jangan mati dulu! Aku belum