Share

Atasanku, Suami Keduaku
Atasanku, Suami Keduaku
Author: juskelapa

ASK-001

“Kamu harus hati-hati sama tetangga. Meski istrimu baru sekali ke sini, tetap aja dia lebih leluasa buat ngobrol sama tetangga.” Mayang menoleh kanan-kiri sebelum keluar dari barisan kursi paling belakang. “Aku lapar, Ca. Kamu udah makan? Kalau belum sekalian pesan makan, gih.” Bicaranya masih berbisik-bisik dan langsung masuk melalui pintu belakang rumah tanpa berani menoleh mana-mana.

“Makannya boleh ditunda? Habis begituan aja ya …. Aku kangen banget. Dari kemarin kebayang terus.”

Mayang menepuk lengan Panca. “Baru sehari nggak ketemu. Dan tiap ketemu pasti begituan. Masih kangen aja.”

Panca meremas pinggang Mayang yang berbalut rok span sebatas lutut. Kerinduannya pada Mayang memang menggebu-gebu. Sekian tahun terpaksa berpisah dan akhirnya bisa bertemu di satu gedung perkantoran membuat Panca berjanji tak akan melepaskan wanita itu lagi. Baginya Mayang adalah wanita yang sejak dulu harusnya ia lindungi. Banyak perasaan bersalahnya pada Mayang.

Panca meletakkan kunci mobil dalam bokor kuningan di sebelah televisi. Satu tangannya yang lain menenteng tas Mayang. “Dari kemarin Indah ngotot mau datang ke sini. Belum aku bolehin.” Ia merangkul Mayang dan membawa wanita itu ke kamar.

Mayang mencebik. “Aku nggak mau kamu kayak gitu ke Indah. Semakin kamu menghalangi dia datang, dia pasti bakal semakin ngotot. Aku nggak mau kamu ribut besar. Aku mau ngejaga kamu, Ca.”

Panca mencampakkan tas Mayang ke ranjang. “Nggak bakal ribut besar. Indah itu cinta banget sama aku. Dia naksir aku belasan tahun. Dan kamu tahu sendiri kalau aku menikahi Indah semua karena kesalahan kamu juga.” Panca meraih pinggang Mayang dan menekan tubuh mereka. Panca menangkup wajah Mayang dan menatap mata wanita itu lekat-lekat. “Aku selalu cinta kamu, Mayang. Andai kamu dulu nggak menerima perjodohan itu kita pasti udah jadi suami-istri sekarang. Bisa jadi kita udah punya anak banyak. Kamu nggak menyesal ninggalin aku?” Bibir Panca sudah bersentuhan dengan Mayang karena saat itu jarak mereka tak lebih dari sesenti.

Mulut Mayang setengah terbuka. Bersiap kalau-kalau Panca melumat bibirnya. Tapi ternyata pria itu sedang mengulur waktu dengan menceritakan masa lalu.

Akhirnya Mayang harus mengatakan sesuatu untuk menyudutkan Panca dengan rasa bersalah, “Aku enggak menyesal. Aku jadi tahu sosok Panca itu seperti apa. Dia cuma pria yang merenggut keperawananku dan langsung menikah dengan perawan lainnya sebegitu aku dijodohkan. Kamu nggak pernah ngerasa bersalah? Aku ditinggalkan pria yang baru sebulan menjadi suamiku karena aku nggak perawan lagi. Dan kamu nggak pernah mau repot nyari aku untuk sekedar nanya kenapa aku mau dijodohin.” Mayang membusungkan dada.

Panca menyusurkan ujung lidahnya di sepanjang bibir Mayang. “Kita udah bahas ini belasan kali sejak beberapa bulan yang lalu. Sejak aku mengusahakan untuk pindah ke Jakarta biar kita bisa dekat, sejak itu pula kamu harus tahu kalau aku selalu berusaha untuk hubungan kita.” Dengan tangan masih menangkup wajah Mayang, Panca melumat bibir wanita itu dengan rakus. Rakus dan cepat. Sampai ketika ciuman itu usai membuat wajah mereka langsung memerah.

Tatapan sayu Mayang menaut ke sepasang mata Panca yang menatapnya tajam. Panca memang tampan dan selalu membuatnya luluh. Meninggalkan Panca bukanlah kemauannya. Ia harus mengiyakan permintaan ibunya karena sebuah janji antar orang tua yang sulit ditampik. Pria itu anak teman akrab ayahnya dan ada setumpuk hutang masa lalu para orang tua yang harus ia tebus. Dan kini, orang tuanya menelan rasa malu yang begitu besar setelah perceraiannya.

Ternyata karma itu tidak perlu menunggu lama. Panca; pria yang bertahun-tahun menjalin hubungan dengannya juga menerima perjodohan dan menikahi wanita lain. Sayangnya, Panca tidak mencampakkan istrinya karena tidak perawan. Istri Panca malah hamil anak pertama. Nama istri Panca adalah Indah. Sosok yang sangat ia benci karena mengandung benih pria yang ia cintai. Tapi rasanya tak mungkin terlalu terang-terangan menyatakan kebencian itu. Ia mencoba kembali merebut kepercayaan dengan meyakinkan pria itu bahwa mereka memang diciptakan untuk satu sama lain.

Di rumah itu, di kamar Panca dan istrinya, Mayang sudah bercinta puluhan kali bersama mantan kekasihnya itu. Mereka bercinta di hotel hanya ketika istri Panca datang berkunjung.

Kadang Mayang pulang setelah menghabiskan minimal dua sesi bercinta bersama Panca. Kadang kalau dua sesi bercinta tak cukup, ia menginap untuk bercinta semalam suntuk di akhir pekan. Mereka berdua pernah terjaga sampai dini hari dengan lutut bergetar. Untuk Panca, hasrat bercinta Mayang selalu ada.

“Aku laper,” kata Mayang.

Napas Panca sudah memburu dan makan malam bukan menjadi prioritasnya saat itu. Ia kembali menciumi Mayang dengan rakus dan membopong wanita itu ke ranjang. Waktu-waktu yang lalu pun begitu. Mereka selalu membuka pertemuan dengan bercinta. Panca mengabaikan ucapan Mayang soal makan malam. Ia malah membuka kancing kemeja wanita itu dan membenamkan wajahnya di cekungan dada Mayang setelah berhasil melepaskan semua penghalang.

Panca menyergap Mayang dengan rakus dan posesif. Tak membiarkan ada waktu dan celah yang tersisa malam itu. Setiap Mayang mengungkap soal masa lalu ia selalu dikepung rasa bersalah. Mayang menjadi seorang janda karenanya. Setiap memikirkan hal itu pun membuat Hasratnya semakin membuncah. Ia menggumuli Mayang bak orang kesetanan. Staminanya tumpah ruah dan tak pernah cukup hanya sekali. Seperti malam itu ia sudah menggenangi Mayang dengan kehangatan pertama kali dan akan melanjutkan untuk kenikmatan kedua yang tak sabar dicecapnya ketika dering telepon mengganggu sesi bercinta itu.

“Istri kamu ya?” tanya Mayang. Wajahnya langsung cemberut. Panca sedang berada di atas tubuhnya dan pria itu baru saja akan kembali memulai. “Jawab sekarang, Ca. Kasian kalau Indah harus nunggu.” Padahal dalam hatinya menginginkan Panca terus melanjutkan permainan mereka. Tak disangka Panca langsung melepaskan kelekatan mereka. Membuat ia terhenyak dan spontan mendorong tubuh pria itu. Panca menegakkan diri dan berjalan menjauhi ranjang masih dengan kondisi tak berbusana. Ia melengos dan ikut bangkit dari ranjang untuk masuk ke kamar mandi. Lapar yang tadi hilang kembali datang.

“Halo? Ya? Mau ke Jakarta malam ini? Jangan ngaco, deh. Ini udah malam, In. Kamu lagi hamil. Apa, sih? Tiba-tiba keras kepala gitu.”

Suara Panca terdengar jelas dari dalam kamar mandi. Mayang menoleh punggung Panca yang sekarang duduk di tepi ranjang masih dengan kondisi yang sama. Pelan-pelan ia menutup pintu kamar mandi dan mulai membersihkan sesuatu yang ditumpahkan Panca dalam tubuhnya. Malam itu ia sepertinya tidak mungkin menginap meski disayangkan karena besok adalah akhir pekan.

Mayang sedikit jengkel. Ia memilih satu sikat gigi yang ia tahu siapa pemiliknya.

“Aku pulang, ya,” ucap Mayang saat melihat Panca masuk ke kamar mandi dengan lilitan handuk. Sepertinya sudah selesai bertelepon dengan istrinya. Tak tahu apa hasil bertelepon itu.

Panca tak menjawab perkataan Mayang. Malah mengangkat wanita itu ke wastafel dan memeluknya erat-erat. “Aku sayang kamu, Yang. Aku cinta.” Panca mengecup lembut leher Mayang dan menyusurkan lidahnya.

“Jangan lagi, Ca. Istri kamu sebentar lagi datang. Kamu harus menyiapkan stamina buat dia. Istri kamu pasti kangen disentuh. Bagaimana pun … dia masih punya suami. Beda dengan aku. Aku dicampakkan. Aku adalah wanita yang dicampakkan suaminya hanya dalam waktu satu bulan pernikahan.” Air mata Mayang mulai menetes.

Panca kembali menangkup wajah Mayang dan menciumnya. Kali ini tidak tergesa-gesa. Mayang masih terisak dan ia ikut mencecap rasa asinnya. “Jangan nangis …,” kata Panca. “Aku nggak bisa lihat kamu nangis.”

“Istri kamu bakal datang, kan? Malam ini? Aku mau pulang.” Mayang berusaha melompat turun dari wastafel. Panca menahannya hanya dengan sedikit tenaga.

Mayang sudah membayangkan bahwa Panca akan menghabiskan malam itu bersama istrinya. Ia semakin terisak karena merasa sangat perlu meyakinkan sesuatu.

“Setiap kali Indah menelepon hatiku seperti ditusuk-tusuk,” ucap Mayang sedih.

Dering ponsel kembali terdengar. Panca mengerling pintu kamar mandi yang sedikit terbuka, lalu melihat air mata sedih mantan kekasihnya.

“Sudahlah … abaikan telepon itu. Malam ini dia nggak mungkin datang.” Panca menyusupkan pinggulnya di antara kaki Mayang dan memeluk erat wanita itu.

-TBC-

Comments (43)
goodnovel comment avatar
Rosse
akhir nya ketemu juga karya baru nya....happy...dapat bacaan karyamu...
goodnovel comment avatar
🇳 🇱 🇿
mampir di sini nte juss....
goodnovel comment avatar
Neee I
Thank you and stay healthy KK Njusss .........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status