Aika bergidik geli, seseorang mencolek-colek pipinya. Ia mengangkat diri di mana pergelangan tangan melengket ke meja.
“Halo? Boleh gak gue duduk bareng lo?” tutur cewek bersuara berat. Perawakan cewek itu sepantar sama kayak Aika, tapi punya bodi bentuk apel. Terus, otot-ototnya makin menculat efek seragam yang digulung. Aura yang keras dari cewek itu agak membuat Aika takut. Traumanya terpancing. Bayang-bayang pertengkaran terputar di otak Aika dan jelas dia berpikir akan kalah. Malang sekali, Aika mengasihi diri sendiri. Namun, dia berusaha kembali ke kenyataan. Ada satu sihir yang telah Aika pelajari sebelum memulai kehidupan baru dan terjun di dunia manusia yang menakutkan: senyuman. Aika membasahi bibir. Dua sudut bibir Aika sengaja ditarik ke atas, mata kecilnya sampai kesedot pipi. Gak, gak, gak. Terlalu atas gak sih? Jadi, kayak joker, Batin Aika. Aika lantas menurunkan senyumannya sejajar anting bintangnya. “Boleh-boleh ....” Tangan Aika menyapu bangku di sebelahnya dengan tangan. “Makasih, ya. Btw, gue Devinka Putri. Lo?” Cewek dipanggil Vinka itu mengulurkan tangan dan langsung diraih oleh Aika. “Aku Aika Bintang Callista, jangan sungkan ya ....” “Enggak akan!” Vinka tiba-tiba merangkul Aika, membuat gadis itu tegang. “Mulai sekarang, kita bestfriend okee?” Aika tersenyum kikuk. “Okee, hihi.” *** MPLS cuma diisi perkenalan antar teman sekelas, game ringan, dan dilanjutkan ke hari-hari berikutnya. Aika senang hari pertama cepat berlalu dan dihiasi canda tawa. Teman-teman sekelasnya yang nyaman. Karena mereka setara—melakukannya semuanya dari nol, tidak ada yang mencoba mendominasi dalam hal negatif. Sama-sama suasana baru, gak kenal satu sama lain, dan saling berusaha adaptasi, jadi beban Aika berkurang. Pilihannya tepat. Aika merasa lahir kembali di lingkungan yang sehat. Tinggal satu misi lagi yang belum dilakukan: mengembalikan jaket Levin. Setengah wajah Aika terjulur mengintip jendela. Bola matanya memindai ruang kelas 10-C. Bangku-bangkunya nyaris kosong, cuma ada sekelompok cewek yang berkerumun dan asyik mengobrol. Berinisiatif, Aika mengetuk pintu meski terbuka. “Permisi, Levin Jordan udah pulang?” tanya Aika. Sayup-sayup obrolan berhenti. Geng cewek itu kompak melirik sinis Aika. Dua orang di antara mereka bergeser, seperti tirai tersibak. Mengeskspos si pusat perhatian; yang paling menonjol di antara mereka; si pemilik warna rambut hibrid—warna hitam, tapi ujung rambutnya warna silver keungunan, Jenandrian. Usai menahan posisi bossy-nya—tangan dilipat di dada, bertopang kaki, wajah tertunduk sambil tersenyum tipis—Jena mendekati Aika. “Buat apa cari Levin?” tanya cewek itu membuat wajah ramah yang tampak terpaksa. Aika menegakkan bahunya, berusaha mengimbangi ke-eleganan Jena. “Cuma mau bilang makasih dan—” “Jena!” Arkaf tiba-tiba berlari ke arah dua cewek itu, khususnya ke Jena. “Lo ditunggu Levin di parkiran.” “OKE!” Ekspresi Jena cerah. Ia langsung menyambar tasnya buru-buru. “Gue lupa hari ini hari Jumat. Thanks, Kaf! Bye!” Arkaf membalas lambaian tangan gadis itu sambil senyum tiga jari. Baru setelah merasa giginya kering, ia sadar ada Aika di dekatnya. “Eh? Lo yang tadi debat sama gue kan, ya?” sapa Arkaf. “Iya.” Aika badmood, masih melihat ke lorong di mana punggung Jena perlahan menghilang. “Dia pacarnya Levin, ya?” “Ah ....” Arkaf berdeham, lirikan matanya tertuju ke jaket yang ditenteng Aika. “Lo mau ketemu Levin, ya?” tanya Arkaf mengalihkan pembicaraan. “Iya, mau minta izin cuci jaketnya,” ujar Aika malas. “Sini HP lo? Biar gue kasih nomer Levin.” Aika menyodorkan ponselnya. “Lo bisa hubungi dia langsung. Kalau tanya dapet darimana—” Arkaf mengembalikan ponsel Aika seraya tersenyum simpul. “Bilang aja dari pacarnya.” “Hah?” Aika refleks jadi tukang keong, sementara Arkaf masuk ke kelasnya. Aika tertegun. Sulit sekali mengartikan apa maksud Arkaf. Iya, dia paham. Tapi, masa sih? *** Levin Online 《 Hai, Levin.Ini Aika.Jaket kamu aku bawa pulang dulu, ya?Mau aku cuci, soalnya um ... kena itu .... 》 Kena merah? 《 Iya.Maaf ya, telat banget? Akhir-akhir ini aku sibuk,dan ternyata kamu susah ditemuinMakasih juga udah bantu nutupin .... 》 Sans aja padahal, Gue bisa bawa ke tukang londri 《 Enggak apa-apa.Pulang sekolah, langsung aku cuci terus keringin Besok Aika kasih di sekolah ya.》 Okeh Btw lu dapet nomer gue darimana?《Dari pacar kamu.》 Pacar yang mana? Dua detik kemudian .... Pesan ini telah dihapus *** Tring! Tring! Tring! Levin yang hampir terkatup, malah melek lagi gara-gara notif W******p-nya. Bukan pesan spam, tapi memang roomchat Levin-nya saja yang kelewat ramai. Bukan juga karena grup, tapi karena di dalam benda pipih itu karena roomchat-nya sudah seperti asrama cewek. Cuma Arkaf satu-satunya cowok yang gak diarsipkan. Masa bodoh handphone bisa bikin insomnia. Buat Levin, HP-nya adalah ‘kawan’ paling dekat kita nomor dua selain bayangan. Perlu diakui, Levin sering galau kalau ikon baterai titut-titut merah. Sering juga tiba-tiba kesepian dan gabut saat ditinggal HP. Lihatlah sekarang, anak itu tengah cengengesan sendiri baca chat dari koleksi ceweknya. Baru ada enam sih, itu pun jadwal apel-nya sudah diatur 1 hari, 1 orang. Tersisa hari minggu dan calonnya namanya Jepa. Rencananya, Levin bakal nembak cewek yang mukanya mirip karakter W*****n itu. 《Jenandrian; pacar hari Jumat》 √√ Ayankkk levin potong kuku kependekan 《 Jihan Maudy; pacar hari Kamis 》 AA TADI ADA YANG GODAIN AKU 《Dini Ginara; pacar hari Senin》 Sayang, pusing banget aku ngerjain mtk 《Putri Septiara; pacar hari Rabu》 √√ Cepat tidur bayiku. 《Caca Tarisa; pacar hari Rabu》 Babyyy! Sabtu besok jadi ke kosan aku kan? 《 Jepa: pacar coming soon 》 √√ Minggu bisa ketemu gak, Cantik? 《Pengawal Pangeran》 Vin? *** “Apa nih, si Arkaf ganggu aja,” gerutu Levin sendirian. Apee? 《 Cewek tadi siang udah ada nge-W* lo? 》 Yang mana, Kaf?Sekarang hari apa sih?Oh iya, Jumat.Tadi siang gue ngapelin Jena 《 Bukan Jena Elah. Lo baru sehari masuk sekolah udah dapet berapa cewek anjir. 》 Jadwal ngapel gue sisa 2 hari, 1 coming soon. 《 Gapaham lagi gue Eh iya gue baru inget namanya, si Aika Yang bocor pas debat sama gue tadi. 》 Oooo cewek itu 《Hooh》 Udah, dia mau balikin jaket gue besokJena yang ngasih nomer gue ke dia?Tadi dia ketemu Jena? 《Gue yang ngasihLah kata dia, pacar gue yang ngasih.》 《 Iya gue bilang ke dia, gue pacar lo. 》 SINTING LO ARKAFBERTUMBUK KITA BESOK 《 Hahahaha ! 》 Keseruan Levin dan Arkaf sekejap musnah karena pesan baru menyembul di paling atas. “Elah, apaan nih?” gumam Levin. Jempolnya menekan chat dari Bu Tuti, tetangga yang rumahnya cukup berdempetan dengan rumah Levin. Bu Tuti Tetangga Tong, bilang ke mamamu jangan ngedesah jam segini, berisik. AAAAAKKKK!!! Levin menendang selimutnya hingga jatuh ke lantai. Dia mencopot earbud yang daritadi memutarkan lagu-lagu Bigbang—Kpop boygrup legendaris. Semburat kemerahan membuat muka cowok itu kayak habis kebakar. Omongan tetangga memang panas, tapi keadaan di rumah ini lebih kayak neraka. Padahal dia cuma tinggal berdua dengan mamanya, semenjak sang ayah wafat karena kecelakaan kerja. Tuntutan ekonomi mendorong mama Levin menjadi pekerja seks komersial, juga agar bisa menyekolahkan Levin di tempat sebagus Andenvers—skala Internasional. Jujur, mama Levin selalu enggak mau kalah dari keluarga Arkaf yang kaya raya. Meski begitu, Levin sudah bilang beribu-ribu kali bahwa dia keberatan. Dia tidak meminta sekolah di sana. Kalau bukan karena Arkaf yang mengancam putus persahabatan, Levin lebih baik gak usah sekolah. Cukup tertegun beberapa saat, desahan mamanya makin menusuk telinga sekaligus ulu hati anak itu. Levin menjatuhkan kepala ke bawah bantal, menekan benda itu. Pusing dan pengap bercampur jadi satu. Tiba-tiba, Levin teringat satu hal. Pagi tadi, Pak Beni—wali kelasnya—mendata nomor orangtua. Katanya, malam ini bakal ada pengumuman. Sontak, Levin membuang bantal ke sembarang arah. Jari-jarinya panik men-scroll Hp. “Plis plis plis ... semoga mama gapake foto—” Racauan Levin tertahan saat langsung menemukan jawaban atas dugaannya. Setaaan.Ada sebuah dongeng waktu aku SMA, bahwa tempat ini adalah salah satu spot terseram di sekolah.Sebuah pohon beringin tua yang terasingkan. Akarnya merambat tebal ke bawah, sementara daunnya yang rimbun menutup akses cahaya."Kamu mau ajak aku kabur apa uji nyali?" ledekku sambil berkacak pinggang.Levin berdecih, merasa pintar. "Diam deh. Meski tempat ini bikin malas, tapi satpam itu gak akan kepikiran kita ada di sini."Aku mengangkat bahu, lalu menjatuhkan diri di akarnya yang besar."Adem juga ya?" celetukku sambil melihat sekitarku yang didominasi oleh kebun.Sekolah ini dulunya kebun besar sih, jadi sebagian lahannya tidak berubah. Levin menyusulku duduk, meraup rambutnya dengan kasar tanpa menjawab apa pun.Dia terkekeh dengan kepala dibenamkan ke lutut."Kenapa?" tanyaku mencoba memancing.Benar saja, anak ini langsung mengangkat kepala dengan wajah protes.Dia menyelipkan rambutku ke telinga. "Mana mungkin, Tuan Putri. Sudah tugasku," ucapnya lembut.Pandangannya menurun. "Aku
D-Day. Pulang kampus biasanya aku lesu dan macam gembel. Kali ini beda, semangatku bahkan full tank mungkin sampai besok pagi. Klakson mobil yang kutunggu-tunggu akhirnya terdengar. Batang hidung Levin kelihatan pas jendela mobil turun dengan sempurna. “Let’s go, Pretty.” Aku sudah semangat membuka pintu, eh ada saja yang tak sesuai harapan. Tanganku berusaha menarik berkali-kali, tapi tetap macet. Ternyata Levin masih menguncinya. Baru setelah kuketuk, ia panik menekan kunci dari dalam. “Nyebelin,” gerutuku. “Hehe, maaf.” Mataku menyipit ke Levin. Jas semi formal, celana bolong berantai, dan piercing tempel di tengah bibir bikin aku salah fokus. Dia nyentrik kalau sedang jalan-jalan, padahal setahuku kamar dan lemarinya cuma diisi sama kaos bola. Aku jadi mikir, di mana dia menyimpan pakaian dan pernak-perniknya. Jangan-jangan, di rumah Levin punya ruang rahasia. “Kita mau belanja di mana nih?” “Mall paling deket aja.” “Okay! Meluncur.” Levin lantas menginjak pedal gas. “Kata
“Alright, enough for today. Karena besok hari spesial, Bapak gak akan ngasih tugas du—” Belum selesai Pak Tomi—dosen mata pelajaran bahasa Inggris—bicara, tapi sorak gembira langsung memenuhi kelas. Aku ikut senang walau tidak ikut loncat-loncat. “Angjaaay! Mabsur dah mabsur,” sambar Marvin Nalendra, ketua Divisi Seni. Selain sering typo, hobinya menciptakan bahasa alien. Mabsur di kamus dia artinya mantap dan subur. Tugas bikin banyak pikiran soalnya. Orang yang banyak pikiran gampang kurus. Teorinya sih begitu. “Guru gweh nih guru gweeh!” Januar William, tak mau kalah. Dia memang tidak sekuat Jarvis, tapi cukup tangguh sebagai Ketua Divisi Keamanan bareng sohibnya, Edward Chandra. Pak Tomi geleng-geleng kepala sambil senyum malu-malu. “Pokoknya kalian tidur yang nyenyak. Yang cewek, jangan maksain diet. Yang cowok, jangan begadang nonton bola. Tinggal satu mapel lagi, ya?” pesan Pak Tomi, menenteng tas hitamnya dan berdiri di depan. “Iya, Pak,” jawabku mewakili. “Ya sudah, se
BATU nisan tertancap di depanku. Meski otakku berkali-kali mengelak bahwa yang terbaring di bawah sana adalah orang asing, tapi hati kecilku berkata lain. Lonjakan kebimbangan antara sedih dan kecewa bergemuruh di dalamnya.Di sisi lain, aku nggak percaya pusara yang bertahun-tahun kudatangi bersama ibu hanyalah sebuah tanah kosong. Levin mengusap bahuku, menyalurkan sedikit kehangatan lewat sentuhannya."Jangan ditahan kalau mau nangis," ucapnya lembut.Dia tahu mataku sudah terlihat sendu. Seolah siap menumpahkan segalanya. Penglihatanku perlahan buram, tertutup oleh genangan air yang siap terjun bebas. Saat itu terjadi, aku langsung berbalik untuk membenamkan kepalaku di tubuhnya.Levin dengan sigap mendekapku erat. Menepuk-nepuk punggungku lembut tanpa kata. Dia tidak bersuara, membiarkan lirihku menggema di tengah peristirahatan insan manusia.***Waktu terus berlalu. Dalam penantian kami menunggu pengumuman dari sekolah, asisten ayah, Pak Beni banyak berkunjung ke rumah. Dia mem
Dering alarm ponsel membangunkanku dari tidur singkat yang melelahkan. Tirai jendela tersibak angin dari ventilasi udara lalu menimbulkan golden hour yang menerpa setengah wajahku. Dengan mata yang sedikit terbuka, kuintip isi ponselku, di sana tertera waktu yang menunjukkan pukul 08.00 WIB. Seharusnya jika semua hal berjalan normal, saat ini aku sedang berada dipanggung perpisahan, menerima piagam penghargaan dengan nama Aika. Tapi, karena pandemi virus COVID-19 yang melanda dunia, sekolah kami tidak melakukannya. Kami harus belajar prihatin. Meski begitu, aku menikmati dan mensyukuri sebab diberi kelulusan dengan mudah. Aku beringsut dan duduk di tempat tidurku, membuka whatsapp lalu memeriksa pesan yang masuk. Tidak ada ucapan “Happy Graduation, Aika!”, seperti yang kuduga dari jauh-jauh hari. Bagiku, menerima ucapan seperti iu hanyalah mimpi belaka. Aku tidak cukup dekat dengan teman sekelasku untuk dapat ucapan selamat. Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk. Aku terheran-heran,
Sepatu Levin menghentak-hentak ubin. Gak ada jejak kaki kotor yang tertinggal, lagi pula bukan itu yang Aika cemaskan. Tapi, ekspresi cowok itu yang seolah akan memilinnya seperti squishy. “Serius Aika gak inget sama gue? Ini gue Levin! Sahabat kecil, temen sekelas, solmet sejati lo!” lontar Levin. Selepas menaruh botol, Aika menepuk-nepuk baju dan selimutnya yang kecipratan air. Gadis itu menggeleng. “Maaf, tapi gue belum bisa—” Levin merangkap kedua tangan Aika. Gadis itu membelalak dengan genggaman tiba-tiba itu. Lebih bingung sebab Levin menatap kosong ke Aikahnya. Tertegun, atau melamun. Sekelebat situasi tak biasa menghantam penglihatan Levin. Jeritan menusuk indra pendengAikan cowok itu, dan dia yakin jeritan itu berasa dari Aika. Bergeser ke Aikah lain, seorang gadis lainnya tampak buram. Gadis itu meronta dengan beberapa orang yang mengunci tubuhnya. Levin bergidik. Fokusnya kembali pada Aika. “Aika, kamu ngeliat kejadian ngeri ya di sana?” celetuk Levin. Dengung listr