LOGIN
Teriakan tajam Sophie terdengar sangat menusuk di dalam aula. Salah satu anak buah pemimpin Vito melangkah maju dan menamparnya beberapa kali dengan keras, barulah dia akhirnya tutup mulut."Cukup!" Luca tiba-tiba meronta lepas dari kekangan, lalu berdiri di depan Sophie."Semua ini nggak ada hubungannya dengan dia. Akulah yang buta, akulah yang berani menyinggung Nona Isha. Semua kesalahan biar aku tanggung sendiri. Tolong lepaskan Sophie."Sophie bersandar di pelukan Luca, matanya berkaca-kaca. "Luca, aku tahu hanya kamu yang paling baik padaku."Aku menyaksikan adegan mengharukan itu, lalu bertepuk tangan pelan. "Sungguh luar biasa, cinta yang begitu setia dan mendalam. Kalau begitu, aku akan mengabulkan keinginan kalian."Di bawah tatapan terkejut banyak orang, aku melanjutkan, "Kamu boleh bawa dia pergi sekarang. Atas nama Keluarga Rossi, aku jamin nggak seorang pun akan menghalangi kalian."Luca menatapku dengan tatapan tak percaya, sedangkan mata Sophie memancarkan harapan."Tap
Hari pertemuan lima keluarga besar akhirnya tiba, dan tempatnya masih di balai lelang itu. Saat aku dan ayahku melangkah masuk, seluruh pandangan langsung tertuju pada kami.Aku mengenakan gaun panjang merah marun, dengan sarung tangan beludru berwarna senada di tangan kanan untuk menyembunyikan luka yang belum sepenuhnya pulih.Antonio segera menyambut dengan langkah tergesa-gesa dan wajah tegang. "Pak Rossi, Nona Isha, terima kasih sudah berkenan hadir."Aku mengangguk pelan, pandanganku menyapu seluruh ruangan."Bawa masuk," ujar ayahku dengan datar.Beberapa pengawal mendorong sebuah kandang besi ke tengah cahaya lampu sorot. Ketika isi kandang terlihat jelas, seluruh aula dipenuhi desahan ngeri yang tertahan.Luca dan Sophie meringkuk di dalam kandang. Pakaian mereka compang-camping, tubuh mereka kotor dan penuh debu. Gaun emas Sophie sudah robek tak berbentuk dan jas mahal Luca penuh noda tanah dan darah kering.Wajah dan lengan keduanya penuh luka dan lebam. Jelas sekali bahwa b
Luca berusaha keras melepaskan diri, urat di pelipisnya menonjol. "Lepaskan aku! Kalian tahu konsekuensi dari tindakan ini?!"Ayahku menatap mereka dari atas dengan dingin dan berwibawa."Konsekuensi?" Suaranya terlalu tenang, sampai terkesan menakutkan. "Saat melukai putriku, pernahkah kalian memikirkan konsekuensinya?"Lalu, ayahku menoleh kepadaku dan nada bicaranya berubah lembut. "Isha, gimana kamu ingin menangani mereka?"Aku melangkah perlahan menuju Sophie yang berlutut di lantai.Setiap langkah menusuk jariku dengan rasa sakit yang mendalam, tetapi amarah di dadaku membuat tubuhku tetap tegak. Aku mencengkeram rambut Sophie yang disalon rapi itu dan menariknya keras, memaksa wajahnya terangkat."Tentu saja ... mereka memperlakukan aku seperti apa, aku akan membalas dengan cara yang sama," ucapku dengan dingin, lalu mengangkat tanganku dan menampar Sophie berulang kali.Beberapa tamparan keras mendarat di wajahnya, membuat pipinya memerah dan membengkak langsung. Darah merembes
Ketika sosok ayahku muncul di pintu balai lelang, seluruh ruangan seolah membeku. Tatapan tajamnya menyapu seluruh tempat, sebelum akhirnya berhenti pada tubuhku yang sedang ditekan para pengawal.Sophie sama sekali tidak menyadari bahaya yang semakin dekat. Dia malah mendengus sombong dan melangkah maju."Kamu ayah dari perempuan murahan ini? Kebetulan sekali. Putrimu yang manis itu merebut cincinnya dariku dan berani memukul aku. Sekarang sebaiknya kalian berdua berlutut dan meminta maaf. Kalau nggak, Keluarga Marino nggak akan membiarkan kalian hidup tenang!"Bisikan tegang terdengar dari segala arah. Beberapa pengamat nekat maju mendekati ayahku dan berbisik hati-hati, "Pak, sebaiknya Bapak mengalah saja. Sophie ini adik angkat yang paling disayangi Luca.""Di New York, nggak ada yang berani menyinggung Keluarga Marino. Demi keselamatan Bapak dan putri Bapak, lebih baik akui saja salah. Nggak memalukan, kok."Ayahku bahkan tidak melirik satu pun dari orang-orang yang memberi saran
Ayah pernah bilang, demi memastikan pertunangan ini berhasil, Tuan tua Keluarga Marino mengeluarkan cukup banyak usaha. Kalau dia tahu kelakuan putranya sendiri yang menghancurkan kerja sama antara dua keluarga, ekspresinya pasti sangat menarik.Memikirkan hal itu, perasaan sesak di dadaku sedikit mereda. Aku malas meladeni para idiot di ruangan itu dan berbalik hendak pergi.Namun, Sophie bagaikan hyena yang mencium bau darah. Dia melangkah dengan hak tinggi yang tipis, kembali mengadang jalanku. Di belakangnya berdiri dua pengawal bersenjata Keluarga Marino, sarung pistol hitam di pinggang mereka tampak jelas dari sela jas."Perempuan murahan! Mau kabur? Merebut cincinnya dariku, lalu berani memukul aku? Masalah ini belum selesai!"Aku meliriknya dingin. "Lalu kamu mau gimana?"Sophie mengira aku takut, sehingga dia langsung mengangkat tangan hendak menamparku."Tentu saja aku akan memukulmu sampai aku bilang berhenti!"Namun, sebelum telapak tangannya menyentuh wajahku, aku sudah me
Selama 26 tahun aku hidup, ini adalah pertama kalinya ada orang yang berani bersikap sebegitu kurang ajar di hadapanku."Coba kamu ulangi, apa yang harus kubilang?""Telingamu tuli? Aku bilang, 'Aku ini miskin dan bodoh, aku tahu salahku'! Kata-kata ini cukup jelas belum?" Sophie menjerit sambil mengulanginya.Sudut bibirku melengkung dingin. "Jelas sekali. Kalau begitu, karena kamu sendiri sudah mengaku kamu itu miskin dan bodoh, cepat minggir. Jangan menodai nama Keluarga Marino."Wajah Sophie seketika merah padam, akhirnya dia sadar kalau aku sedang mempermainkannya. "Kamu ... kamu berani mempermainkanku?!" Dia menjerit sambil mengibaskan tangan dan menerjang ke arahku dengan brutal.Sungguh menggelikan.Aku berlatih bela diri di Sisilia bersama para pengawal keluarga selama sepuluh tahun. Memangnya aku perlu takut sama gerakannya yang tidak berguna itu?Dengan sebuah tendangan samping yang tepat sasaran, langsung membuat Sophie terpelanting ke lantai. Dia meringkuk di atas karpet s







