Beranda / Urban / Audacity / 4. Pawang Setan

Share

4. Pawang Setan

Penulis: WarmIceBoy
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-19 19:55:27

[POV Fany]

-----

Aku lupa sejak kapan menjadi Ibu bagi bayi kawak, bayi raksasa yang nenderita penyakit 'playboy kronis'.

Parahnya, dia bersenandung diiringi suara gemercik shower. Apa dia tidak merasa bersalah karena menodai tunangan Alfred? Ya Tuhan, beri aku kesabaran menghadapi sosok setan tampan penggoda hati itu.

Kandang babi ini bau apek, terlebih kasur. Sprei basah, lengket, dan kumal. Entah apa yang dia lakukan dengan gadis murahan itu. Jika bukan aku yang merapikan, siapa lagi? Tuhan, entah sampai kapan aku bisa bertahan.

Jaket kulit hitam yang menjadi trademarknya membalut tubuh kekar yang berlapis kaos putih, sementara celana jeans hitam dan sepatu ket hitam membuat penampilan Raja tato tambah macho.

Tanpa beban dia dengan polosnya menyapa, "Siap untuk berkuliah?" 

Gayanya seperti foto model menenteng tas hitam kosong yang selalu dia bawa kemana-mana ke luar apartemen. Sabar, sabar, beri kesabaran Tuhan.

"Ayo cepat, nanti terlambat. Aku tunggu di mobil."

Ya Tuhan, padahal dia yang membuatku terlambat! 

Setelah selesai beres-beres, aku keluar mengunci pintu sambil menyumpahinya supaya suatu waktu kelak masuk penjara karena kelakuannya. Siapa tahu keluar dari penjara jadi dewasa. 

"Seperti biasa?" tanya seorang gadis hijaber sembari mengunci pintu kamar sebelah. Dia tetangga Adrian, muslim taat, cukup manis. 

Aku menanggapi santai dan ramah. "Yup, rutinitas."

Kami melangkah bersama menuruni anak tangga seperti sepasang sahabat,tertawa kecil bersama. Padahal kami hanya kenalan.

Dia berkata, "Aku salut padamu, betah mengurusnya. Jika aku menjadi dirimu, sudah kutinggalkan Adrian."

Aku tersenyum kecil berpisah dengannya di trotoar depan gedung apartemen. "Mari, aku duluan, ya." 

Dia benar, aku bisa saja meninggalkan Adrian, tapi mau jadi apa dia tanpa diriku? Apa ini perasaan seorang Ibu pada anaknya?

Di depan apartemen mobil Chevrolet LUV warna coklat tua karatan menanti di pinggir jalan. Mobil tua dengan tiga kursi di depan dan kap belakang terbuka. Tiada AC, selalu bau oli, dan setiap berhenti di lampu merah bergetar seperti kursi pijat Ayah. Adrian menabung membeli mobil rongsokan ini selama dua lima tahun. Andai uang untuk minum-minum dan rokok ditabung, dia bisa beli mobil yang lebih tampan dari benda museum ini.

"Apa yang kau tunggu, undangan?" sahut Adrian, membukakan pintu mobil untukku seperti seorang butler.

Setelah aku mendarat di jok dekat kemudi, dia menutup pintu, naik melalui pintu kemudi lalu memacu mobil pergi.

Selama perjalanan aku membiarkan kaca jendela terbuka, supaya angin bebas berdansa dengan rambutku. Aku cinta angin pagi pantai Manhattan, segar, hangat, dan beraroma laut. Tiga puluh menit terjebak seperti ini sebelum sampai ke UCLA, bukan masalah. 

"Tadi malam Alfred mengantarmu pulang?" tanya Adrian, merusak sesuatu yang kusuka.

"Kamu lihat sendiri kan?" Kenapa tiba-tiba dia jadi wartawan?

"Apa dia langsung pulang atau kamu menawarkan kopi panas?"

Hot coffe, serius? Itu artinya aku menawari jamuan sex. Ya Tuhan, dia baru saja berbuat salah dan sekarang mencari masalah baru? Fantastik. "Apa kamu tidak merasa bersalah pada Alfred karena meniduri Melisa di hari tunangan mereka?"

"Bukan salahku,” Adrian membela diri. “Dia curhat, lalu mabuk dan seperti biasa. Sekarang katakan, apa Alfred menginap di apartemenmu?"

Aku menjawab ketus. "Bukan urusanmu."

Adrian menanggapi dengan seringai nakal yang membuatku ingin menjambak rambut warna cokelat lebat berombaknya.

Dia berkicau lagi. "Kalau begitu kamu juga merusak malam penting mereka dengan meniduri Alfred--"

"Ya Tuhan, jaga mulutmu! Kamu pikir aku wanita murahan? Tidak ada yang terjadi tadi malam!"

"Lalu kenapa kalian datang berdua?"

Aku memejam sejenak. Dia menangkapku tanpa persiapan. "Oke, tadi malam dia menginap di apartemenku. Alfred bercerita tentang masalah perjodohan--"

"Lalu kalian masuk kamar dan perlahan dia melepas kemejanya, pakaianmu dan--ok maaf, jangan melirik tajam seperti Setan, aku hanya bercanda Nona Virgin." Dia menyetel radio, tepat ke musik country kesukaanku.

Aku mematikan radio. Hilang mood-ku untuk mendengar musik lantaran ucapan nyeleneh tadi. Apa isi kepala si bodoh ini? 

Asal dia tahu, aku menjaga kesucian untuk suamiku kelak. Aku tidak ingin melepas sesuatu yang berharga begitu saja. Lalu dia, dengan mulutnya yang seperti paruh burung beo asal bicara, mencederai hatiku. Ya Tuhan, beri aku kesabaran.

"Tapi kamu menyukai Al, kan?" tanya Adrian, lalu diam seribu bahasa. Aku juga malas menjawab.

Jujur, aku mengidolakan sosok dewasa seperti Alfred. Dia bisa menjadi pemimpin keluarga. Sedangkan Adrian ... aku akui dari kecil dia memiliki paras tampan mirip orang Italia yang membuat banyak gadis ingin mendekatinya, bahkan dulu seorang guru pernah mengajak--aku tidak ingin membicarakan hal itu.

"Menurutmu, apa Ibu bakal tahu tentang masalah ini?" tanya Adrian tanpa menoleh.

"Tentu."

Mobil yang kami tumpangi tiba di halaman depan kampus. Beberapa murid bersantai di taman rerumputan hijau nan teduh oleh pepohonan depan gedung berdinding batu alami, gedung kampusku.

Aku turun dari mobil membanting pintu, sedikit membungkuk memandang si tukang tanya. "Jangan terlambat menjemputku."

Sepertinya sepulang kuliah akan menjadi hari panjang. Benar saja, setelah mata kuliah terakhir selesai, Adrian menantiku bersandar di pintu mobil sambil melipat kedua tangan di depan dada.

"Ayo kita pergi."

"Ke mana?"

"Pergi jauh dari sini," ajaknya, tanpa bertanya apa aku mau atau tidak. 

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Audacity   -Epilog-

    [Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb

  • Audacity   157. Akhir Dari Keputusan

    [POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."

  • Audacity   156. Asa

    [POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.

  • Audacity   155. Di Rumah Tuhan

    [POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t

  • Audacity   154. Hukum

    [POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.

  • Audacity   153. Perubahan Adrian

    [POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status