Share

4. Pawang Setan

[POV Fany]

-----

Aku lupa sejak kapan menjadi Ibu bagi bayi kawak, bayi raksasa yang nenderita penyakit 'playboy kronis'.

Parahnya, dia bersenandung diiringi suara gemercik shower. Apa dia tidak merasa bersalah karena menodai tunangan Alfred? Ya Tuhan, beri aku kesabaran menghadapi sosok setan tampan penggoda hati itu.

Kandang babi ini bau apek, terlebih kasur. Sprei basah, lengket, dan kumal. Entah apa yang dia lakukan dengan gadis murahan itu. Jika bukan aku yang merapikan, siapa lagi? Tuhan, entah sampai kapan aku bisa bertahan.

Jaket kulit hitam yang menjadi trademarknya membalut tubuh kekar yang berlapis kaos putih, sementara celana jeans hitam dan sepatu ket hitam membuat penampilan Raja tato tambah macho.

Tanpa beban dia dengan polosnya menyapa, "Siap untuk berkuliah?" 

Gayanya seperti foto model menenteng tas hitam kosong yang selalu dia bawa kemana-mana ke luar apartemen. Sabar, sabar, beri kesabaran Tuhan.

"Ayo cepat, nanti terlambat. Aku tunggu di mobil."

Ya Tuhan, padahal dia yang membuatku terlambat! 

Setelah selesai beres-beres, aku keluar mengunci pintu sambil menyumpahinya supaya suatu waktu kelak masuk penjara karena kelakuannya. Siapa tahu keluar dari penjara jadi dewasa. 

"Seperti biasa?" tanya seorang gadis hijaber sembari mengunci pintu kamar sebelah. Dia tetangga Adrian, muslim taat, cukup manis. 

Aku menanggapi santai dan ramah. "Yup, rutinitas."

Kami melangkah bersama menuruni anak tangga seperti sepasang sahabat,tertawa kecil bersama. Padahal kami hanya kenalan.

Dia berkata, "Aku salut padamu, betah mengurusnya. Jika aku menjadi dirimu, sudah kutinggalkan Adrian."

Aku tersenyum kecil berpisah dengannya di trotoar depan gedung apartemen. "Mari, aku duluan, ya." 

Dia benar, aku bisa saja meninggalkan Adrian, tapi mau jadi apa dia tanpa diriku? Apa ini perasaan seorang Ibu pada anaknya?

Di depan apartemen mobil Chevrolet LUV warna coklat tua karatan menanti di pinggir jalan. Mobil tua dengan tiga kursi di depan dan kap belakang terbuka. Tiada AC, selalu bau oli, dan setiap berhenti di lampu merah bergetar seperti kursi pijat Ayah. Adrian menabung membeli mobil rongsokan ini selama dua lima tahun. Andai uang untuk minum-minum dan rokok ditabung, dia bisa beli mobil yang lebih tampan dari benda museum ini.

"Apa yang kau tunggu, undangan?" sahut Adrian, membukakan pintu mobil untukku seperti seorang butler.

Setelah aku mendarat di jok dekat kemudi, dia menutup pintu, naik melalui pintu kemudi lalu memacu mobil pergi.

Selama perjalanan aku membiarkan kaca jendela terbuka, supaya angin bebas berdansa dengan rambutku. Aku cinta angin pagi pantai Manhattan, segar, hangat, dan beraroma laut. Tiga puluh menit terjebak seperti ini sebelum sampai ke UCLA, bukan masalah. 

"Tadi malam Alfred mengantarmu pulang?" tanya Adrian, merusak sesuatu yang kusuka.

"Kamu lihat sendiri kan?" Kenapa tiba-tiba dia jadi wartawan?

"Apa dia langsung pulang atau kamu menawarkan kopi panas?"

Hot coffe, serius? Itu artinya aku menawari jamuan sex. Ya Tuhan, dia baru saja berbuat salah dan sekarang mencari masalah baru? Fantastik. "Apa kamu tidak merasa bersalah pada Alfred karena meniduri Melisa di hari tunangan mereka?"

"Bukan salahku,” Adrian membela diri. “Dia curhat, lalu mabuk dan seperti biasa. Sekarang katakan, apa Alfred menginap di apartemenmu?"

Aku menjawab ketus. "Bukan urusanmu."

Adrian menanggapi dengan seringai nakal yang membuatku ingin menjambak rambut warna cokelat lebat berombaknya.

Dia berkicau lagi. "Kalau begitu kamu juga merusak malam penting mereka dengan meniduri Alfred--"

"Ya Tuhan, jaga mulutmu! Kamu pikir aku wanita murahan? Tidak ada yang terjadi tadi malam!"

"Lalu kenapa kalian datang berdua?"

Aku memejam sejenak. Dia menangkapku tanpa persiapan. "Oke, tadi malam dia menginap di apartemenku. Alfred bercerita tentang masalah perjodohan--"

"Lalu kalian masuk kamar dan perlahan dia melepas kemejanya, pakaianmu dan--ok maaf, jangan melirik tajam seperti Setan, aku hanya bercanda Nona Virgin." Dia menyetel radio, tepat ke musik country kesukaanku.

Aku mematikan radio. Hilang mood-ku untuk mendengar musik lantaran ucapan nyeleneh tadi. Apa isi kepala si bodoh ini? 

Asal dia tahu, aku menjaga kesucian untuk suamiku kelak. Aku tidak ingin melepas sesuatu yang berharga begitu saja. Lalu dia, dengan mulutnya yang seperti paruh burung beo asal bicara, mencederai hatiku. Ya Tuhan, beri aku kesabaran.

"Tapi kamu menyukai Al, kan?" tanya Adrian, lalu diam seribu bahasa. Aku juga malas menjawab.

Jujur, aku mengidolakan sosok dewasa seperti Alfred. Dia bisa menjadi pemimpin keluarga. Sedangkan Adrian ... aku akui dari kecil dia memiliki paras tampan mirip orang Italia yang membuat banyak gadis ingin mendekatinya, bahkan dulu seorang guru pernah mengajak--aku tidak ingin membicarakan hal itu.

"Menurutmu, apa Ibu bakal tahu tentang masalah ini?" tanya Adrian tanpa menoleh.

"Tentu."

Mobil yang kami tumpangi tiba di halaman depan kampus. Beberapa murid bersantai di taman rerumputan hijau nan teduh oleh pepohonan depan gedung berdinding batu alami, gedung kampusku.

Aku turun dari mobil membanting pintu, sedikit membungkuk memandang si tukang tanya. "Jangan terlambat menjemputku."

Sepertinya sepulang kuliah akan menjadi hari panjang. Benar saja, setelah mata kuliah terakhir selesai, Adrian menantiku bersandar di pintu mobil sambil melipat kedua tangan di depan dada.

"Ayo kita pergi."

"Ke mana?"

"Pergi jauh dari sini," ajaknya, tanpa bertanya apa aku mau atau tidak. 

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status