Share

5. Kesatria

[POV Adrian]

-----

Dari UCLA ke Glendale butuh waktu sekitar lima jam, itu jika mobil ini tidak merengek.

Alfred sialan, dia berumur dua puluh tujuh dan bibirnya masih ember. Masalah wanita saja mengadu ke ibu. Gara-gara dia, terpaksa aku mengemudi ke lubang neraka.

Aku bisa datang sendiri menemui Ibu, tapi beliau pasti marah, lalu sedih, ditambah Alfred mengompori. Jika ada Fany, setidaknya tukang mengadu itu bisa mengontrol diri untuk tidak menyudutkanku.

"Fany, apa menurutmu Ibu akan mencoret namaku dari daftar keluarga?"

Dengan santainya dia mengangguk. "Masalah kali ini berbeda dengan yang biasa. Kamu bukan meniduri anak gadis tetangga, tapi tunangan Alfred. Kamu bisa merusak masa depan mereka."

"Kembali lagi, semua terjadi begitu cepat dan--

"Bisa kita mampir ke minimarket?" selanya, sembari subum dengan handphone.

"Mau beli pampers?" Ya dia mau beli, tapi malu mangaku.

Dia menjawab dengan ketus. "Diamlah. Kau lelaki harusnya seperti Alfred, tenang dan dewasa."

Lapangan parkir minimarket terdekat sesak kendaraan, terpaksa aku parkir di seberang jalan. 

Sebelum dia keluar dari mobil, aku menarik tangannya.

“Ada apa? Mau menitip minuman?" tanyanya.

Aku menggeleng, mataku menjelajah ke depan minimarket.

"Lihat di sana banyak preman. Apa perlu kutemani?"

Dia menggeleng. "Mengajakmu masuk malah bakal lama."

Ya aku kalau masuk ke mall selalu memilih rokok dan bir, walau tidak beli, suka saja. Mungkin itu terpatri dalam memori Fany hingga anggapan itu muncul. "Tapi bahaya--"

Dia mencubit pipiku dengan gemas. "Santai saja, jika ada apa-apa kan ada kamu."

“Hati-hati, ya,” pesanku lalu perlahan melepasnya.

Fany turun menutup pintu mobil lalu berbalik memandangku. "Tetap di sini jangan pergi terlalu jauh. Jangan ada aroma rokok." 

Dia beranjak pergi ke minimarket menenteng tas lengan. Suara derap sepatu hak tingginya semakin kecil. Kalian tahu anak kecil yang ditinggal dalam mobil ketika orang tuanya belanja, seperti ini rasanya. Bagai dikandangkan. 

Aku keluar duduk di kap mobil untuk menikmati rokok. Fany benci asap rokok, tapi bagiku rokok alat sempurna membunuh waktu.

Kehadiran Fany bagai bunga di tengah comberan. Para preman menggodanya dengan bersiul dan bertepuk tangan, berbicara memakai bahasa Mexican, mungkin Spanyol, entahlah.

Bukan salah mereka bersikap liar. Dengan wajah manis, dada kencang menantang, dan pinggul sekal, dengan mudah Fany memancing nafsu hewani meluap. 

Bahkan fantasiku sering lepas jika melihat dia dalam keadaan menantang dan itu normal.

Kenapa aku tidak menidurinya seperti meniduri wanita lain? Simple, aku tak ingin. Aku ingin menjaganya, menjadikan dia sebagai Nyonya Bened, ibu dari anak-anakku kelak. Aku tahu Fany menyukai si mulut ember, tapi apa salahnya bersabar dan berusaha? Aku punya banyak waktu untuk itu.

Setelah habis dua puntung rokok akhirnya Fany keluar dari mini-market. Para preman mencegatnya sambil tertawa-tawa. 

Tangan Fany penuh belanjaan, tidak bisa bergerak bebas. Salah satu tangan pria brengsek meremas pantatnya.

Keparat! Biar kuhajar mereka semua. Aku bangkit mendekati mereka, menepuk pundak salah satu dari pria terdekat, membuatnya menoleh ke belakang. Seketika mereka semua terdiam, memandangku dengan bingung.

Si botak bertanya, "Mau apa kau,cari masalah?"

“Kalian yang mencari masalah,” jawabku. "Dia gadisku."

Semua teman-temannya tertawa, hanya si botak yang tersenyum kecut. Matanya menantangku, bicaranya lun lantang, "Jadi, kamu mau apa?"

"Sebaiknya kau pergi sebelum kuhajar."

"Adrian cukup." Fani menarik lenganku mundur. "Ayo kita kembali ke mobil, perjalanan kita masih jauh. Adrian, ayo, sudah jangan kamu ladeni mereka."

Sebenarnya aku ingin menghajar mereka semua sampai mereka meminta maaf pada Fany. Mereka beruntung kami terburu-buru 

"Turuti perkataan si jalang itu, pergilah," sahut botak menertawaiku bersama teman-temannya. Dia merasa di atas angin rupanya.

Dia membuat semua ini menjadi masalah pribadi dengan memanggil Fany jalang. Tidak ada pria yang boleh menghina Fany di depanku. 

Aku memandang mereka satu persatu hingga hewan tak berktak terdiam memandang balik.

“Mau apa?” tanya si Botak, dengan sombongnya.

"Adrian cukup, ayo kita kembali ke mobil," pinta Fany yang belum putus asa menarikku mundur.

Botak terkekeh menunjukku, bicara pakai bahasa spanyol yang tidak kumengerti.

"Kenapa plontos?" tanyaku sambil menyeringai. "Berani memukulku atau tidak? Ayo, tunjukkan bagaimana cara betina sepertimu memukul orang."

Sengaja aku memancing supaya dia memukul duluan. Aku kenal bagaimana cara hukum di negara ini bekerja. Di mata hukum siapa yang memukul duluan tidak peduli siapa yang salah maka dia yang salah. 

Si bodoh meninju pipiku dengan keras sampai membuat wajahku menoleh ke samping. Bagus, dia membuka pintu untuk serigala, sekarang aku bisa masuk menghabisi para domba bodoh. 

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status