Share

3. Penengah

[POV Fany]

-----

Hening kuburan ruang apartemen, padahal ada empat manusia di sini. Semua karena kenakalan Adrian. Oh Tuhan, nyaris saja telur gorengku gosong. 

Adrian dan Alfred, walau mereka bersaudara sikap mereka utara dan selatan. Adrian urakan impulsif sementara Alfred lebih dewasa. 

Bagiku Alfred adalah satu dari beberapa sumber kebahagiaan. Sementara Adrian, kunci yang membuatku mampu mendekati Alfred. Itu dulu, sekarang … entahlah, aku bingung.

Anyway, kejadian ini pasti berat bagi Alfred. Aku dengar Melisa anak gadis tunggal seorang pemegang saham terbesar di kantor tempatnya bekerja. Mungkin jika pertunangan ini gagal karir Al sebagai CEO bisa hancur. Sebenarnya tidak masalah. Dia bisa bekerja di kantor Ayahku. Perusahaan Reine lebih besar dari tempatnya bekerja sekarang. Hanya saja Alfred ... entah apa alasannya enggan untuk melamar pekerjaan di kantor ayah.

Demi Alfred aku 'harus' beramah tamah dengan gadis ini. Urgh, aku ingin membungkus wajahnya dengan plastik berisi tinta. Sabar, sabar. 

Aku menyorong segelas jus jeruk dan sepiring telor goreng setengah gosong mendekati Melisa yang sedang duduk di stool bar, seperti boneka Annabelle. "Ayo, sarapan dulu."

Pandangan matanya padaku seperti bocah tujuh tahun tidak dibelikan mainan dan itu membuat tanganku semakin gatal ingin … sabar Fan, sabar.

Melisa bicara, "Kamu tadi malam datang ke acara pertunangan kami untuk mengacau, akui itu. Sekarang kamu datang membawa Alfred kemari untuk menghancurkan hubungan kami.”

Tepat--maksudku dia salah. Ya, baiklah, tadi malam aku datang untuk mengacau dan sukses, tapi pagi ini diluar rencana. Aku bukan Tuhan yang bisa melihat masa depan, atau cenayang.

Aku berusaha membuatnya mengerti dengan memberi alasan relevan. "Melisa dengar, setiap pagi aku datang kemari untuk membangunkan Adrian. Kami berangkat bersama menuju kampus. Masalahnya bukan aku, tapi kamu. Kenapa kamu tega mengkhianati Alfred?"

Dia menggeleng pelan lalu mendengus seperti dengusan kuda. Dengan mudahnya menjawab, "Kamu masalah utama di sini. Kamu menjijikkan, hina, jalang, wanita murahan--"

Aku sela ucapannya. "Kenapa? Apa salahku? Katakan, buat aku mengerti."

Dia diam sesaat, lalu berbisik, "Menjauhlah darinya, kamu merusak segalanya tadi malam, mengerti?"

"Terserah kamu mau menganggapku sebagai apa, tapi yang jelas kamu salah sangka. Alfred hanya mengantarku pulang--"

“Pelacur,” gumamnya.

Jika tidak berdosa, kutampar dia lalu merendam wajahnya ke sapitang. Ya Tuhan, maafkan pikiran jahatku. Aku hanya tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Gadis ini salah, tapi malah menyalahkan orang lain? Dia jelas bukan gadis baik. Alfred bisa mendapatkan gadis lain yang lebih baik dari Melisa.

Aku beralih pada Alfred.

"Al." Suaraku membuatnya mengangkat kepala tersenyum lembut. 

Aku menaruh sarapan ke meja bufet dapur. "Ayo sarapan dulu."

Alfred menggeleng lemah. Mungkin karena terpukul melihat apa yang terjadi, hingga nafsu makannya lenyap. 

Aku menaruh sarapannya ke Tupperware supaya bisa dibawa ke tempatnya kerja, menghampirinya yang terduduk tanpa gairah bersandar tembok. 

Ini sama seperti dulu. Adrian mengacau dan Alfred sedih. Sama seperti dulu aku ada untuk menarik senyumnya kembali.

"Ayo semangat. Kamu harus bekerja untuk membiayai Kim, juga Bibi."

Alfred tetap membeku menerawang lurus ke dinding hampa. 

"Adrian keluar!" Dia bangkit menuju kamar mandi.

"Alfred jangan!" Aku berlari menangkap linggang kerasnya yang kotak-kotak, berusaha menarik mundur, tapi hulk terlalu kuat, malah badanku yang terseret.

Dia menggedor pintu kamar mandi sampai membuat gantungan pintu jatuh. Tenagaku bjkan tandingannya. 

Aku menoleh ke dapur, mendapati Annabele duduk kehabisan baterai. "Melisa, bantu. Kumohon bantu!"

Dia menoleh sesaat lalu kembali mencabik-cabik telur pakai garpu. Oh Tuhan, apa dia sadar jika semua ini terjadi lantaran kebodohannya.

Tidak ada cara lain. Aku melepas pelukan padanya, lalu menjatuhkan diri. "Auh, kakiku."

Seketika Alfred berbalik menolongku. Perhatiannya seperti suami pada istri. "Kamu tidak apa-apa?"

Aku menggeleng. Perhatiannya selalu full untukku. Ini yang membuat cintaku awet, membuatnya patut dipertahankan.

Suara dengus terdengar dari arah dapur. "Pelacur." Aku menangkap suara kecil dengki Melisa. Ya Tuhan, maafkan mulut hinanya itu.

Alfred membantuku berdiri, merapikan pakaianku. "Maaf, aku--"

"Tidak masalah. Sekarang pergilah kerja. Bawa tunanganmu pergi dari sini."

Alfred mengangguk, memungut gaun satin hitam kusut, melempar ke meja bar. "Pakai, kita pulang."

Melisa tetap menusuk-nusuk telur di meja.

"Pakai, atau aku tinggal kau di sini." Suaranya dingin, rendah, sempat membuat bulu kudukku berdiri.

Kesal Melisa menyambar gaun, memakai benda itu tanpa dalaman. Apa tidak panas?

Aku membantu Melisa memakai gaun, gaun yang Bibi Nicole puji sebagai gaun bidadari tadi malam, sekarang kusut dan berbau anyir. Setelah selesai, aku giring dia keluar.

"Terima kasih," ucap Melisa tanpa memandangku. Huh, dia bisa bicara rupanya.

Alfred menggiring sampah itu keluar dari sini, menuruni anak tangga.

Aku menutup pintu apartemen. Kakaknya beres, tinggal si adik. Ya Tuhan, beri aku kekuatan.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status