Aku terus mengekor Dio, sejak satu jam lalu. Dia abai dan mengatakan bahwa aku akan membuat pelanggannya kabur bila bekerja sebagai waitress di cafenya. Kejam sekali si mata bulat!
Aku harus bekerja sebab tak mungkin menjadi aktris di Indonesia lagi dengan citra yang sudah buruk dan lebur. Citra sebagai seorang pelakor.
Aku memang menyelesaikan sarjanaku di UI, seni teater. Tapi, ini Paris. Hanya pekerjaan-pekerjaan kasar yang bisa aku lakukan. Misalnya; menjadi waitress.
"Kamu ceroboh, Anye. Kamu bisa melukai diri kamu sendiri kalau menjadi pelayan di cafeku," omel Dio. Dia saat ini, masih sibuk menyirami bunga di halaman Belle Epoque.
Aku kembali merengek, "Tapi aku butuh pekerjaan. Kamu tahu, skill yang aku punya hanya akting. Aku nggak mungkin menjadi model di butiknya Naeema atau pakaiannya nanti nggak akan laku. Aku juga nggak bisa bekerja di perusahaan game seperti Sella, atau aku akan mengacaukannya. Tapi, aku bisa menjadi waitress di cafemu, Dio."
"Tidak, Nye. Kamu lebih baik menghabiskan waktu kamu dengan jalan-jalan dan memulihkan diri. Jangan pikirkan soal biaya selama kamu di sini," jawab Dio masih dengan tangan yang sibuk menyirami bunga-bunga milik nenek Willie.
"Selama aku di sini? Hey! Aku bakalan di sini selamanya," putusku cepat.
Dio mematikan selang air. Dia mendekat ke arahku yang duduk di ayunan.
"Selamanya? Bagaimana dengan karier yang kamu bangun sejak lama? Bagaimana impian kamu untuk menjadi seorang aktris hebat? Bagaimana bisa kamu lepasin itu semua, Nye?"
Aku diam. Tak berani menatap mata jernih milik Dio. Sebab, semua yang ditanyakannya menusuk hatiku. Terkait impian yang sepertinya akan sirna dan hilang tanpa bekas.
Oleh ulahku sendiri.
"Aku bisa mencari impian lain, Dio," kilahku asal.
"Bohong."
"Kamu sok tahu."
"Kamu dan akting adalah satu kesatuan. Kamu mencintai akting sebanyak itu."
Aku terkekeh; sinis. Mata sibuk memindai ujung sandal berkepala kelinci.
"Itu semua sudah hancur, Dio. Jadi ... biarin aku belajar membuat kopi, oke?"
Dio menatapku lekat. Dia hanya menghela napas dalam dan pada akhirnya mengangguk. Aku yakin, dia sangat sangat terpaksa menyetujui aku mengenakan apron dan bekerja di cafenya. Dalam hati, aku hanya berdoa.
Ya Tuhan, semoga aku tidak meledakkan cafe Dio!
***
Kacau!
Kacau!
Kacau!
Aku sudah menumpahkan tiga gelas ice americano, menyenggol Samuel –pekerja Dio- hingga membuat dia menumpahkan Tarte tatin ke pelanggan, juga membuat Dio terpelanting sebab lantai toilet yang aku pel; licin dan basah.
Kini, Dio menatapku dengan kesal. Mata bulatnya sibuk mendiskriminasi hingga bernapas saja terasa sesak. Semengerikan itu dia saat marah.
"Dio, sorry ...."
"Kamu lihat? Kamu baru kerja kurang lebih 5 jam dan sudah buat banyak kekacauan. Sudahlah, Nye. Kamu hanya perlu duduk di meja sudut dan makan macarons. Aku akan membelikan apapun yang kamu minta tanpa perlu kamu bekerja."
Aku mendecih. Ardio-ku memang baik namun bukan berarti aku akan menjadi benalu. Bagaimana perasaan kekasihnya kalau sampai tahu bahwa laki-laki yang dicintainya memberikan banyak uang hanya untuk seseorang dalam status sahabat?
Jangan lagi, hey! Aku tidak mau dianggap semakin murahan sebab merebut Dio dari kekasihnya. Walau yah Dio itu adalah sahabatku sejak kecil.
"Kamu mau aku dicap sebagai perebut kebahagiaan orang lain lagi, huh?"
Dio mengernyit. "Maksud kamu?'
"Kamu harusnya memikirkan bagaimana perasaan pacar kamu saat kamu mengatakan hal itu."
"Pacar?"
"Iya."
Dio nampak mengernyit. "Siapa? Aku?"
"Bukan, si Samuel. Ya jelas kamu, dodol."
"Aku nggak punya pacar, betewe."
Aku mencebikkan bibir. "Bohong."
"Terserah. Aku memang beneran nggak punya pacar kok."
"Wah ... sahabatku nggak laku, rupanya," ledekku seraya menggamit lengan Dio.
"Sialan. Aku cuma suka sama seseorang, makanya sampai sekarang aku belum punya pacar."
Aku menatapnya dengan senyuman iseng. "Siapa? Wah ... kamu sepertinya pengecut ya soalnya nggak berani confess, kan?"
"Si gila ini. Sudah ah! Berhenti ngejek terus duduk sana di pojokan. Jangan lakuin apapun atau aku tendang keluar kamu dari sini."
Sialan!
Aku dipecat dalam kurun 5 jam!
Aku hanya menghela napas kasar dan melepaskan apron dengan langkah gontai. Bergegas mengambil tas di loker untuk kemudian melambaikan tangan ke arah Dio; keluar cafe. Dia berteriak 'kemana?' namun aku hanya melambaikan tangan lemah ke arahnya. Dio harus merasa bersalah sebab melihatku putus asa semacam ini.
Aku terus berjalan di sekitaran Le Marais tanpa tujuan. Menatap lalu lalang orang-orang dengan keluarga mereka, pasangan mereka, anak-anak mereka. Duh ... tiba-tiba hatiku iri. Memaksa ingatan berpendar dan kembali melayang ke Indonesia sana. Pada sosok yang mungkin kini, sedang bergelung dengan kehangatan dari wanita lain.
Dan dengan bodohnya, aku tetap merindu.
Jarak 1 – 1,5m di depan sana, aku bisa melihat nenek Willie –pemilik rumah sewa- sedang berlarian tergopoh-gopoh. Tubuh tuanya –meskipun disulap make up dan pakaian yang modis- tetap tak mampu mengimbangi dua makhluk kecil yang berlarian ke sana kemari. Hingga, nenek Willie terjerembab dan jatuh dengan tidak elegannya di tempat umum.
"Madame Willie," teriakku seraya membantunya berdiri. Dua squishy jahil itu mendekat.
"Nenek kenapa?"
Andai aku nenek Willie, sudah aku tendang dua makhluk kecil seperti squishy ini ke Saturnus!
"Aku menyerah. Aku menyerah. Kau Anye, kan? Anak baru di lantai dua?"
Aku mengangguk dan menatap nenek Willie yang mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya.
"Bisa kamu tolong aku?"
Aku mengernyit dan dengan terpaksa mengangguk.
"Tolong bantu jaga dua cucuku. Hari ini ... saja. Pinggangku oh pinggangku. Aku harus ke dokter langsung setelah ini."
Aku melotot; protes. Seenaknya nenek Willie menyerahkan tugas yang berat kepadaku.
"Madame, aku tidak bisa. Sungguh, aku tidak akrab dengan dua squishy ini. Kami; bermusuhan."
Berbalik aku yang mengangkat tinggi-tinggi kedua tangan.
"Aku mohon, hari ini saja. Thea dan Anna tidak boleh ditinggal sendirian. Aku harus ke dokter atau aku akan berjalan bungkuk selamanya," ucap nenek Willie dengan nada memelas.
"Dimana Jaden?"
"Dia sedang ada rapat dengan ikatan dokter gigi Paris. Dia tidak bisa membawa kedua cucuku."
Aku tetap menggeleng namun nenek Willie nampaknya tetap bersikeras dan tak mau mendengar. Dia bangkit dengan segera dan menghentikan taksi.
"Aku mohon, sebentar saja. Oke, Nye?"
Dia benar-benar menyebalkan. Sebab setelah mengatakan itu, nenek Willie menghilang dengan taksi dan meninggalkan dua makhluk kecil, kenyal seperti squishy itu bersamaku.
"Jadi kami akan bermain dengan aunty?"
Tuhan ... bantu aku pindah ke Saturnus!
***
Tidak pernah ada yang bisa memaksakan hati seseorang, bergerak ke arah mana, berlabuh pada siapa, dan menyimpannya dengan jenis perasaan bagaimana.Segalanya misteri. Sulit untuk ditebak.Saat Anyelir kehilangan Micko --yang tiba-tiba menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah sekalipun akan menyangka bahwa di ujung perjalanan itu akan dipenuhi oleh darah dan duka.Saat Anyelir memutuskan masih bermain belakang dengan Micko --padahal ia sudah menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah membayangkan bahwa akan ada yang hampir mati, yang berbulan-bulan antara sadar dan tidak, hingga ada yang benar-benar terkubur di tanah.Anyelir, saat ia memutuskan pergi ke Paris dan jatuh cinta pada Jaden dan kedua anaknya, ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan menyeret mereka semua berada dalam lingkaran setan yang berbahaya itu.Tidak ada yang tahu.Siapapun, termasuk Anyelir.Andai ia tahu, ia tidak akan pernah memulai segalanya. Ia akan merelakan Micko berbahagia dengan Jannieta. Ia juga akan berte
"Ruang operasi?" Jaden kompak berseru bersama Anye. Mereka saling pandang dengan raut penuh keheranan dan cemas. Lanjut Jaden. "Di rumah sakit mana? Anakku kenapa?"Si detektif swasta itu menunjukkan sebuah alamat yang kemudian direbut Jaden dengan tergesa. Lalu ketiganya bergegas menuju rumah sakit yang dimaksud.Hati Jaden dan Anye tentu berdebar tak keruan. Ketakutan, cemas, gelisah, berbagai pikiran buruk yang hilir mudik di kepala. Hingga ketika Dio mengabarkan lewat pesan singkat perihal keadaan Micko yang dinyatakan hilang setahun lalu dengan terduga Jannieta sebagai pelakunya, ketakutan itu bertambah menjadi berkali-kali lipat.Anye menangis di pelukan Jaden. Ternyata, obsesi Jannieta dari 12 tahun silam, mengekori mereka hingga hari ini. Ke Paris. Ke kehidupan mereka yang sebelumnya tenang dan damai.^^^Anna memberontak. Tangan dan kakinya dibebat tali, namun ia masih bisa bergerak-gerak untuk menunjukkan penolakan. Hanya saja, yang ada di sana, di ruangan dengan cahaya-caha
"Dia ibu kamu?"Wajar rasanya bila Anna hampir terpekik saat mendengar Dylan Louise mengatakan perempuan jahat itu adalah ibunya. Bagaimanapun Anna masih mengingat bagaimana rasa takut, gelisah, putus asanya ketika ia mengalami insiden penculikan 12 tahun silam.Dan itu karena perempuan yang diakui Dylan Louise sebagai ibunya."Tentu saja, yang cantik dan berhati hangat itu ... ibuku."Anna melengos, ia meludah kecil mendengar kata' hangat' yang meluncur dari mulut Dylan Louise. Wanita yang menjadi dalang kecelakaan keluarganya, menculik ia dan Thea, juga bahkan menculik ibunya yang koma di rumah sakit. Katakan pada Anna, di mana letak 'baik' dan 'hangat' yang Dylan katakan tadi?"Baik?" Anna mendengus. "Kamu tidak tahu seberapa jahatnya perempuan itu."Dylan mengernyit, menatap tak suka pada Anna. "Jangan membual. Kamu yang tidak tahu apapun soal ibuku."Anna tidak habis pikir. Laki-laki itu, yang kemarin masih bersikap manis padanya, ternyata bisa berubah dengan cepat."Lebih baik k
Jaden mungkin pernah gagal membina rumah tangganya dengan Mina, tapi ia tentu saja, tidak akan pernah membenci buah hati yang ia dapatkan dari pernikahan itu. Ia sangat mencintai si kembar, Anna dan Thea. Apalagi setelah keduanya mengalami banyak nasib buruk 12 tahun silam, Jaden jadi semakin protektif demi menjaga keduanya. 'Kami merasa sesak ayah.' Kemarin Thea bercerita sambil menangis saat ia mengatakan permasalahan Anna. 'Kami merasa sesak karena sikap posesi ayah. Tapi aku juga nggak menyangka bahwa Anna akan senekat ini hanya karena seorang laki-laki.' Jaden mengusap wajahnya kasar. Perjalanan dari Colmar ke Paris terasa lama sekali, padahal ia sudah dikejar waktu. Tidak mungkin sekali, Jannieta yang selama ini tenang, diam-diam mengirimi istrinya sebuah foto dengan Dylan Louise. Perempuan itu pasti sudah mengetahui bahwa Jaden menemukan asal usul Dylan. Si nak adopsinya. "Ini semua salahku." Suara Anye, di sisinya, tiba-tiba terdengar parau. Perempuan itu, menangis di leng
Jaden tidak bisa mentoleransi lagi. Ini Jannieta. Perempuan gila yang hampir membunuhnya, keluarganya, sahabat-sahabatnya. Perempuan gila yang dulu menculik anak-anak dan istrinya. Jaden bergerak cepat. Ia mencari keberadaan Dylan Louise dan mengajak Mark untuk mendatangi tempat tersebut. Sebuah apartemen kecil di sudut kota Paris. Apartemen yang bahkan tak layak untuk ditempati putri kesayangannya. Duh ... Jaden merasa perih. Bisa-bisanya Anna lebih memilih laki-laki itu, dengan keadaan yang tidak lebih baik, dibandingkan keluarganya sendri. Jaden menoleh sesaat pada Mark. Ia meminta persetujuan untuk memulai. Dan sang adik ipar mengangguk sebagai tanda setuju. Jaden mengetuk. Satu kali, dua, hingga lima. Jaden mengetuk namun tak ada jawaban dari dalam sana. Hening saja. Jaden merasa heran. Ia lantas mengencangkan ketukan jemarinya di pintu. Atau lebih tepatnya jika disebut dengan menggedor. Jaden tidak punya waktu untuk bersopan santun setelah si laki-laki brengsek itu
Thea tidak punya banyak pilihan selain akhirnya beringsut menuju rumah sang ayah. Meski awalnya ia memang ingin merahasiakan kepergian Anna, dan berusaha sendiri untuk membujuk sang kembaran pulang. Tapi kini, melihat hasil nihil tersebut, Thea jadi berpikir ulang. Ayahnya yang harus turun tangan. Ia yang bisa menyeret Anna kembali kepada keluarga mereka. Meski tentu saja, sebagai akibat perbuatan Anna ini, kebebasannya pun akan dipertaruhkan. Oh ayolah, sang ayah akan menjadi lebih superrrr strict. Ia dan Anna mungkin tidak akan pernah mendapatkan izin untuk tinggal terpisah kembali. Langkah Thea berhenti di depan pintu rumah orang tuanya. Mematung sesaat, ragu melingkupinya. Ia kembali menimbang soal apakah akan mengadukan sang saudara kembar atau membiarkannya saja. Saat Thea masih membeku, tiba-tiba pintu terbuka. Suara bersorak yang muncul dari adik laki-lakinya; Bhumi, menyadarkan Thea. "Kak, kapan kakak datang? Ayo main game denganku." Thea mengusap puncak kepala Bhumi.