“Apa?”
Nada suara Dara meninggi, matanya melebar tak percaya pada kalimat yang baru saja diucapkan ayahnya. “Pernikahan ini sudah disepakati sejak lama, Nak. Demi bisnis keluarga kita.” Dara ingin protes, tapi lidahnya kelu. Ia bahkan belum lulus kuliah, dan sekarang diminta menikah dengan pria yang bahkan tak pernah ia kenal. “Kenapa harus aku? Kenapa bukan yang lain?” gumamnya pelan. Ayahnya hanya menghela napas. “Karena hanya kamu yang bisa menyelamatkan nama baik keluarga.” Di sisi lain kota, Arga justru sedang bersantai di balkon apartemennya, menikmati kopi. Hidupnya sudah cukup nyaman, apalagi ia adalah pewaris sebuah perusahaan besar. Tapi semua kenyamanan itu seperti runtuh ketika sang ibu datang membawa kabar. “Kamu harus menikah dengan Dara. Bulan depan.” Arga hampir tersedak kopinya. “Menikah? Dengan orang yang bahkan aku nggak kenal?” Ibunya hanya tersenyum tipis. “Kamu akan terbiasa. Anggap saja awalnya kewajiban, nanti… siapa tahu bisa jadi sesuatu yang lebih dari itu.” Arga mendengus, malas menanggapi. Pernikahan? Bukan sesuatu yang pernah masuk dalam rencananya. Hari pertemuan pertama pun tiba. Dara dengan wajah kesal duduk di meja restoran, sementara Arga datang dengan gaya cueknya. “Jadi kamu calon istriku?” Arga membuka percakapan dengan nada datar. Dara mendelik. “Jangan ge-er. Aku pun nggak mau.” Untuk sesaat, keduanya hanya saling menatap. Tidak ada senyum, tidak ada kehangatan. Hanya… keterpaksaan. Tapi entah kenapa, di balik tatapan kesal itu, ada sesuatu yang membuat hati mereka sama-sama bergetar, meski tak ada yang mau mengakuinya. Restoran itu terlalu mewah untuk pertemuan yang terasa hambar. Dara menunduk, memainkan sendok di tangannya, sementara Arga bersandar malas dengan ekspresi jenuh. “Kalau kita menikah,” Dara membuka suara akhirnya, “aku harap kamu tahu, aku melakukan ini hanya karena orang tuaku.” Arga menaikkan satu alis. “Kebetulan. Aku juga sama. Jadi, jangan pernah salah paham.” Dara mendengus. “Percayalah, jatuh cinta sama kamu itu nggak pernah ada di daftar hidupku.” “Bagus,” jawab Arga singkat, lalu meneguk air putihnya. Tak ada senyum, tak ada basa-basi. Hanya percakapan kaku yang lebih mirip perjanjian bisnis ketimbang obrolan calon pasangan hidup. **** Minggu-minggu berikutnya berjalan cepat. Semua persiapan pernikahan diurus keluarga. Dara hanya hadir ketika benar-benar harus, Arga pun tak jauh berbeda. Hari pernikahan tiba. Gaun putih melekat di tubuh Dara, membuatnya tampak anggun meski wajahnya jelas tidak berbahagia. Sementara Arga, dengan jas hitam rapi, terlihat lebih seperti model iklan majalah daripada mempelai yang jatuh cinta. Saat ijab kabul selesai, tepuk tangan menggema. Semua orang tersenyum… kecuali kedua mempelai. Dara hanya menghela napas. “Resmi sudah, aku terikat dengan orang asing,” batinnya. Arga melirik sekilas ke arahnya, lalu kembali memandang lurus ke depan. “Semoga ini cepat berlalu.” Malam pertama pun tak berjalan seperti cerita romansa kebanyakan. Di kamar hotel yang dipenuhi bunga, Dara sibuk membuka koper, sementara Arga sudah mengambil bantal cadangan dan meletakkannya di sofa. “Kamu tidur aja di ranjang. Aku nggak apa-apa di sini,” ucap Arga santai. Dara menoleh, heran sekaligus lega. “Syukurlah kita sepakat dalam satu hal,” katanya dingin, lalu merebahkan diri tanpa banyak kata. Lampu kamar redup, keheningan menyelimuti. Dua orang asing kini sah menjadi suami istri, tapi hati mereka sama-sama jauh, dingin, dan penuh penolakan. Rumah dua lantai bergaya modern itu akhirnya jadi tempat tinggal mereka. Bukan rumah impian Dara, apalagi Arga. Tapi keluarga besar sudah sepakat: setelah menikah, mereka harus tinggal bersama. Dara berdiri di ruang tamu, memeluk lengannya sambil menatap sekeliling. “Lumayan, sih. Cuma terlalu… dingin.” “Cocok sama pemiliknya,” celetuk Arga sambil menjatuhkan jasnya di sofa. Dara menoleh cepat, mendengus. “Tenang aja, aku nggak bakal betah juga lama-lama di sini.” “Bagus,” jawab Arga pendek, lalu langsung naik ke lantai dua tanpa menoleh lagi. Malam pertama di rumah itu jauh dari romantis. Dara sibuk mengatur lemari pakaian, sementara Arga duduk di balkon, main ponsel. “Eh, tolongin ini dong, gantungan baju terlalu tinggi,” pinta Dara tanpa menatap. Arga melirik sebentar, lalu kembali ke ponsel. “Kamu kan bisa naik kursi.” Dara mendengus keras. “Laki-laki macam apa sih kamu?” “Laki-laki yang dipaksa nikah,” balas Arga santai. Hari-hari berikutnya pun penuh kejanggalan. Pagi hari. Dara bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan sederhana. Arga turun dengan wajah setengah ngantuk, lalu melihat meja makan. “Kamu bisa masak juga ternyata?” tanyanya datar. “Kalau nggak suka, jangan makan,” jawab Dara ketus. Arga mengangkat bahu. “Enak sih… cuma jangan GR, aku tetap nggak doyan sama kamu.” Dara menahan diri untuk tidak melempar sendok ke wajahnya. Malam hari. Arga sedang menonton bola di ruang keluarga. Dara lewat, membawa segelas susu. “Bisa kecilin volumenya nggak? Aku mau tidur,” protes Dara. Arga menoleh santai. “Rumah ini milik berdua, jadi jangan merasa kayak kos-kosan kamu aja.” Dara mendelik. “Aku nyesel banget, sumpah.” “Tenang, aku juga,” balas Arga dengan senyum tipis menyebalkan. Meski begitu, tanpa mereka sadari, interaksi dingin itu mulai membentuk kebiasaan. Pertengkaran kecil, sindiran, bahkan keheningan, semuanya jadi bagian dari kehidupan baru mereka. Belum ada cinta. Belum ada kehangatan. Hanya dua orang asing yang terpaksa berbagi atap, berbagi ruang, dan berbagi hidup. Untuk sementara… itu sudah cukup membuat mereka sama-sama lelah.Beberapa hari kemudian, Arga menerima undangan dari klien penting yang ingin berdiskusi soal proyek besar. Rani, yang kebetulan menjadi konsultan acara untuk klien itu, juga hadir. “Ga, aku sekalian koordinasi soal event klien ini, biar semua lancar,” ucap Rani sambil tersenyum manis. Arga mengangguk, merasa nyaman dengan kehadiran Rani. Dara mendengar kabar itu dari telepon pagi hari. Ia mencoba menenangkan diri, mengingat bahwa ini urusan pekerjaan. Namun, hatinya tetap terasa sesak. Ia kembali tenggelam dalam laporan keuangan, menghitung angka demi angka, berharap fokusnya bisa mengusir rasa cemburu. Di kantor, Arga dan Rani terlihat akrab. Mereka saling bertukar ide, berdiskusi di ruang rapat dengan nada santai namun produktif. Arga sering tersenyum pada Rani, memberi apresiasi atas ide-ide kreatifnya. Rani pun dengan lihai menambahkan komentar kecil yang membuat Arga tertawa, membuat beberapa rekan kerja tak bisa menahan senyum. Sementara Dara, yang duduk di meja di seberang
Suatu sore, Rani sengaja masuk ke dapur saat Dara sedang menyiapkan minuman. Ia tersenyum manis, tapi matanya menyiratkan sesuatu. “Mbak Dara, makasih ya selalu bikinin minum kalau aku datang. Aku tau kamu orangnya baik banget. Tapi… jujur aja, aku suka kasihan sama kamu.” Dara menoleh, alisnya mengernyit. “Kasihan? Maksud kamu apa?” Rani pura-pura menutup mulutnya, lalu tertawa kecil. “Ah, nggak apa-apa kok. Cuma… aku tau Arga itu nggak mudah dilupakan. Susah banget dilepasin, apalagi kalau udah pernah jadi bagian penting hidup seseorang. Kamu ngerti kan maksud aku?” Dara terdiam, jantungnya berdegup cepat. Ia menunduk pura-pura sibuk dengan gelas di tangannya. Malam itu, Rani ikut makan malam di rumah. Saat Arga memuji sup buatan Dara, Rani langsung menyahut, “Wah, enak banget! Tapi kalau soal masakan, aku masih inget dulu Arga paling suka masakanku. Kamu masih inget kan, Ga, waktu aku bikinin pasta buat kamu?” Arga hanya tersenyum samar, tapi Dara yang duduk di seberangny
Arga Mulai Menyadari Sikap Aneh Dara. Jadi, pelan-pelan ia menangkap ada sesuatu yang berubah pada Dara, meskipun ia belum paham bahwa itu adalah rasa cemburu.Arga baru saja pulang kerja, masih dengan kemeja yang sedikit kusut. Dara menghampiri, menyodorkan segelas air dingin.“Capek?” tanyanya singkat.“Lumayan,” jawab Arga, lalu menaruh tas di sofa.Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Rani menelepon. Senyum Arga muncul tanpa sadar. Saat itu juga, Dara menegakkan tubuhnya. Matanya menatap sekilas, lalu ia berdeham kecil.“Aku… ke dapur dulu.”Arga mengerutkan kening, memperhatikan gerak Dara yang agak terburu-buru. Kenapa sih dia kayak nggak suka kalau aku nerima telepon?Arga masuk ke dapur setelah menutup telepon. Ia melihat Dara sibuk memotong bawang, tapi potongannya berantakan.“Kamu kenapa? Lagi nggak enak badan?”“Nggak kok.”“Terus kenapa kelihatan bete gitu?”“Aku nggak bete,” jawab Dara cepat, suaranya meninggi tanpa sadar.Arga diam sejenak, menatapnya lekat. Ada yang janggal,
Hari-hari setelah liburan itu, Rani semakin sering datang ke rumah Arga. Kalau dulu ia masih menjaga jarak, kini sikapnya terang-terangan. Ia duduk di ruang tamu sambil tertawa renyah dengan Arga, sesekali menggenggam tangannya tanpa malu-malu.Dara yang sedang menyiapkan teh di dapur hanya bisa menggigit bibir, menahan rasa tak enak yang semakin menjadi-jadi. Saat ia menghidangkan minuman, Rani tersenyum manis.“Terima kasih ya, Mbak Dara. Aku selalu nyaman kalau di sini. Apalagi Arga selalu tahu cara bikin aku betah.”Kata-kata itu seperti sindiran tajam. Dara memaksakan senyum tipis.“Ya, sama-sama.”Di balik senyum itu, hatinya bergemuruh. Ia ingin sekali berteriak, ‘Jangan perlakukan suamiku seperti itu!’ Tapi lidahnya kelu, karena ia tahu, dari awal pernikahan ini memang bukan karena cinta.Suatu malam, Arga dan Dara duduk makan malam bersama. Rani ikut bergabung karena “kebetulan” ada urusan di dekat rumah.Rani menatap Arga sambil berkata manja, “Kamu masih inget kan, makanan
Sejak awal minggu, hubungan Arga dan Rani makin erat. Mereka sering makan siang berdua, bercanda, bahkan saling curhat. Dara yang awalnya cuek, mulai merasakan ada sesuatu yang janggal. Tiap kali melihat mereka tertawa bersama, ada rasa sesak yang tak bisa ia jelaskan. Suatu sore, saat mereka bertiga duduk di kafe, Rani tiba-tiba mengumumkan dengan penuh semangat, "Ga, gimana kalau weekend ini kita jalan-jalan ke Puncak? Refreshing, sekalian quality time, kan.” Arga tersenyum, menatap Rani dengan antusias. “Boleh juga tuh. Kayaknya asik.” Dara yang duduk di seberang, hanya bisa menyeduh minumannya pelan. Ia menunggu, berharap Arga akan menoleh padanya dan mengajaknya juga. Tapi ternyata, yang keluar dari mulut Arga hanyalah, “Oke, berarti weekend ini, cuma kita berdua ya.” Hati Dara tercekat. Senyumnya kaku. Ia mencoba menutupi rasa perih itu dengan pura-pura sibuk main HP. Kenapa aku kecewa sih? Kan aku nggak punya hak juga bua
Sore itu, ruang tamu keluarga Pramudya dipenuhi keheningan yang menegangkan. Di meja utama sudah tersaji teh hangat dan kue kecil, tapi tak ada yang menyentuhnya.Arga duduk di sisi kanan, bersandar dengan tangan terlipat di dada, wajahnya jelas-jelas menunjukkan ketidaksabaran. Dara di sisi kiri, duduk tegak dengan tatapan lurus ke depan, seolah berusaha tidak menoleh ke arah pria di sampingnya.Ratna tersenyum canggung, mencoba mencairkan suasana.“Arga, Dara... kalian kan sebentar lagi akan sering bersama. Cobalah bicara, saling mengenal...”Namun Arga hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap kosong ke meja. “Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan.”Dara spontan menoleh, alisnya terangkat. “Bagus. Aku juga tidak tertarik untuk mengenal lebih jauh.”Jawaban itu membuat Pramudya mengerutkan dahi, sementara Sari menatap putrinya dengan lirih, seakan memohon agar Dara menahan diri.Arga menoleh singkat ke arah Dara, senyumnya tipis, si