Malam acara perpisahan wisudawan itu mengubah segalanya. Persahabatan Anetta dan Anthony yang terjalin sejak kecil tak lagi seperti sebelumnya. Pengaruh minuman dan hasrat yang tak tertahankan membuat mereka menyingkap perasaan yang selama ini tersembunyi. Sekali kejadian itu, dinding pertahanan mereka runtuh, meninggalkan kebingungan, kerinduan, dan rahasia yang membara. Kini, kedekatan yang dulu hangat antara sahabat telah berubah dipenuhi godaan dan ketidakpastian. Setiap tatap, setiap sentuhan, membawa mereka pada pilihan yang bisa menyatukan atau menghancurkan. Dan di balik malam itu, tersimpan rahasia yang siap menguji hati, persahabatan, dan cinta mereka. Sebuah awal dari cerita yang tak lagi bisa diulang atau diabaikan.
View MoreSeorang gadis berwajah manis menghampiri Anthony dengan senyum penuh maksud. “Hai, Tony. Aku bawain minuman spesial buatmu,” ucapnya manja.
"Apa?" Sahut Anthony sedikit ketus. "Ini kiwi mojito moctail. Bukankah kamu penyuka buah kiwi. Aku rasa ini sangat cocok buat kamu." Ujar gadis yang juga satu almater dengan Anthony. Anthony menerima gelas yang disodorkan padanya tanpa curiga. Anetta ikut ditawari segelas, dan karena tak enak hati, ia pun meneguk sedikit. Rasanya memang segar, manis. Tidak seperti rasa alkohol yang cenderung pahit. Ia tidak sadar, ada sesuatu yang sengaja dicampurkan. Beberapa menit kemudian, dunia mereka mulai tidak baik-baik saja. Musik terdengar lebih bergema, lampu lebih terang, tubuh juga lebih panas. Anthony menatap Anetta yang duduk di sampingnya. Matanya setengah sayu, senyum miring menghiasi bibirnya. “Ta… aku nggak bisa berhenti lihat kamu malam ini.” Anetta terkekeh gugup, pipinya memanas disertai berubah warna menjadi merah padam. “Kamu mabuk, Tony. Besok pasti lupa.” Bukan jawaban yang Anthony berikan pada sahabatnya itu. Tapi tangan Anthony sudah lebih dulu bergerak, menyentuh tangan Anetta. Jemari hangat itu menyalurkan arus listrik yang menjalar sampai ke dada. Anetta seharusnya menarik diri, tapi justru membiarkan genggaman itu. Yang berhasil menimbulkan sengatan listrik pada tubuhnya. Perlahan, dunia terasa kabur. Musik berdentum lebih keras dari sebelumnya, lampu ballroom hotel tampak menyilaukan, sorakan para wisudawan bergema di telinga. Malam yang seharusnya jadi perayaan sederhana, perlahan berubah jadi awal dari sesuatu yang tak mereka mengerti. Ballroom itu penuh cahaya dan euforia. Ratusan mahasiswa yang baru saja diwisuda tumpah ruah di dalam ruangan, tertawa, berfoto, berpelukan. Gelas-gelas beradu, DJ memainkan musik dance yang membuat lantai bergetar. Sedari awal kedatangannya, Anthony Reynard atau Tony, selalu jadi pusat perhatian. Jas hitam yang melekat di tubuh atletisnya, rambut rapi disisir ke belakang, serta senyum menawannya membuat banyak gadis melirik lebih dari sekali. Ia terbiasa dengan itu. Sejak SMP hingga kuliah, aura karismanya memang selalu mencuri pandang. Berbanding terbalik dengan Anetta yang merasa asing. Dress merah marun sederhana yang ia kenakan seakan terlalu mencolok baginya. Ia tak pernah suka pesta, lebih suka berdiam dengan buku, menulis di kamar atau menonton drama korea. Tapi Tony berhasil menyeretnya dengan alasan: “Ta, ini malam terakhir kita. Harus ada kenangan.” Kini Anetta Aileya atau yang biasa disapa dengan panggilan Tata, mulai menyesali keputusannya. Ia lebih nyaman menyendiri di dalam kamar tidur, menghabiskan waktu berjam-jam untuk menstalking kegiatan Oppa favoritnya dari negeri gingseng. Ketimbang harus berada di dalam sebuah pesta perpisahan yang hiruk piruk dan ramai dari orang-orang. Belum lagi dentuman musik keras, yang tentu saja bukan selera seorang Anetta. Bahkan ia harus menambahkan power hanya demi mengecangkan suara agar bisa berbicara pada Anthony. Sungguh, momen ini adalah hal paling Anetta ingin putar ulang, sepanjang begitu banyak ide dari Anthony yang sudah berhasil meluluhkan hati Anetta selama ini. Suasana terlalu riuh, terlalu penuh, dan dengan minuman pahit tadi, kepalanya terasa ringan. Ia hanya berharap waktu cepat berlalu. Keduanya juga tidak pernah menyangka. Jika takdir memang suka bercanda. Kenangan yang dimaksud Tony, ternyata akan jadi luka terindah bagi mereka. Dimana hanya dalam hitungan jam, semua yang awalnya normal mulai berubah menjadi tidak normal bagi mereka. Anetta tersentak kaget, saat jemari panjang milik Anthony kembali menyentuh punggung tangannya. Bahkan dalam hitungan detik, gerakan itu jutru berpindah menyelusuri garis rahangnya. "Ta... kamu cantik banget malam ini." Ucap Anthony lebih seperti bisikan. Dengan gerakan perlahan, Anthony bergerak mencondongkn tubuh, semakin merapatkan tubuh ke arah Anetta. Mengikis jarak diantara keduanya. Mata ambernya terus menatap lembut namun dalam, pada manik hitam pekat milik gadis yang tampak begitu mempesona dimata Anthony malam ini. Ibu jari Anthony, membelai lembut permukaan bibir berwarna peach yang terlihat semakin berkilat dengan polesan liptint. "Uhmm.." Lenguh Anetta tanpa sadar. Saat ini sensasi panas yang makin intens ia rasakan pada tubuhnya, berhasil membuat akal sehat Anetta tidak berjalan pada semestinya. Begitu juga terjadi pada Anthony. Leguhan kecil Anetta justru menjadi komando baginya untuk melakukan hal lebih. Entah siapa yang lebih dulu, tahu-tahu bibir mereka sudah bertemu. Awalnya lembut, ragu, seperti sekadar coba-coba. Tapi begitu Anthony mendesah di sela ciuman, tubuh Anetta bergetar hebat. Lidah mereka saling mencari, membelit, bahkan saling menelan keberanian yang lahir dari obat dan rasa terpendam. Dunia di sekitar lenyap. Yang tersisa hanyalah desahan tertahan, jantung yang berpacu, dan panas yang makin membakar. Tanpa membuang waktu lebih lama lagi. Anthony menarik Anetta ke kamar hotel di lantai atas. Dengan tergesa, kakinya menendang pintu hotel tanpa melepaskan tautan mereka. Pintu tertutup rapat, meninggalkan dentum musik di luar. “Ta…,” suara Anthony parau, tubuhnya mendesak pelan. “Kalau aku keterlaluan, tolong hentikan aku.” Anetta hanya menatap, matanya berair tapi penuh rasa yang tak pernah ia akui. Ia mengangguk kecil, dan itu sudah cukup untuk membuat Anthony kehilangan kendali. Kemeja hitamnya terlepas, jatuh berantakan di lantai. Begitu pun dengan dress marun Anetta yang ikut meluncur turun, memperlihatkan kulit putihnya yang bergetar. Anthony membelai wajahnya, lalu menelusuri leher hingga bahu dengan ciuman panas yang membuat Tata tak mampu menahan desahan dari bibir merahnya. Anthony meneguk kasar salivanya, melihat keindahan yang selama ini hanya bisa ia kira dari balik kemeja oversize yang biasa Anetta kenakan sehari-hari. "Ta..., aku tau ini salah. Tapi aku akan berhenti, kalau kamu mau berhenti." Anthony berjuang mati-matian menggunakan sisa kewarasannya, meskipun dengan persentase yang tinggal 5 persen. "Jangan berhenti... Ton.. Aku butuh kamu malam ini." Sahut Anetta dengan suara berat dan serak. Bak mendapatkan lampu hijau, Anthony membuang jauh segala logika dan melampiaskan apa yang ia rasa selama ini pada sang sahabat. Malam itu mereka bukan lagi sahabat. Mereka adalah dua tubuh yang terikat oleh hasrat, saling mencari, saling menuntut, sampai lupa siapa diri mereka sebelumnya. Suara erangan, ciuman basah, dan gesekan tubuh memenuhi kamar hotel. Setiap sentuhan membuat mereka semakin dalam, semakin liar. Anetta melingkarkan lengannya di leher Anthony, sementara Anthony merengkuh pinggangnya erat seakan tak mau melepaskan. Nafas mereka memburu, bercampur antara rindu yang tak pernah diucap dan gairah yang tak bisa ditahan. “Ta… aku…” Anthony terengah, matanya menatapnya penuh gejolak. “Aku nggak pernah ngerasain ini sebelumnya.” Anetta hanya membalas dengan kecupan, takut suara akan mengkhianati perasaannya sendiri. Dan malam itu, mereka melebur dalam dosa yang tak pernah mereka rencanakan. Menyisakan rasa hangat sekaligus pahit yang akan menandai hidup mereka selamanya. Dan esok, mereka harus menanggung rahasia di balik malam yang bisa menghancurkan segalanya.Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai tipis ruang tamu, menyingkap wajah Anetta yang masih duduk di sofa dengan mata sembab. Malam tadi seolah tidak berakhir, bayangan Anthony masih tertinggal, bersama tatapan Dion yang polos tapi menusuk.Anetta menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Tangannya gemetar. Ia tahu, sejak momen itu, tidak ada jalan kembali. Dion sudah melihat terlalu banyak. Anthony sudah melangkah terlalu jauh. Dan dirinya… sudah kehabisan alasan untuk terus bersembunyi.Suara langkah kecil terdengar dari lorong. Dion muncul dengan rambut acak-acakan, membawa boneka dinosaurus kesayangannya. “Ma…” suaranya serak, “Om Anthony beneran nggak bakal datang lagi?”Pertanyaan itu menusuk dada Anetta seperti pisau tumpul. Ia berusaha tersenyum, meski bibirnya kaku. “Sayang… Om Anthony sibuk. Dia mungkin nggak bisa sering datang.”Dion menunduk, memeluk bonekanya erat. “Tapi aku suka Om, Ma. Dia bikin aku nggak takut sama gelap.” Mata kecil itu mengangkat pandangan, men
“Good girl…” gumam Anthony, suaranya pelan tapi cukup menusuk ke telinga Anetta. Pintu terbuka hanya sejengkal, menyingkap sosok pria tinggi dengan jas gelap yang rapi, aroma maskulin khasnya langsung menyeruak ke ruang tamu. Mata ambernya menatap tajam ke arah Anetta yang berdiri kaku di balik pintu, wajahnya pucat pasi. “Anthony…” suara Anetta bergetar, setengah berbisik, setengah menahan panik. “Kamu nggak seharusnya di sini.” Anthony melangkah masuk tanpa menunggu izin, bahunya mendorong pintu hingga terbuka penuh. “Aku sudah terlalu sering dilarang dengan kata ‘seharusnya’, Tata. Dan lihat hasilnya, kamu sembunyikan Dion selama lima tahun dariku.” Anetta refleks menutup pintu cepat-cepat, takut suara keras membangunkan Dion. “Jangan keras-keras… Dion sudah tidur.” Anthony mencondongkan tubuhnya sedikit, wajahnya mendekat, menurunkan nada suara. “Justru itu. Aku ingin melihatnya… bahkan hanya sekilas.” “Tidak,” Anetta segera menyela, tubuhnya bergerak menghalangi jalan ke lo
Pagi menjelang siang, kantor Atelier Anetta tampak sibuk. Beberapa desainer junior sibuk menyiapkan moodboard, sementara staf administrasi bolak-balik membawa dokumen. Di salah satu ruang kerja terbuka, Anetta berdiri di depan papan besar, mencoba mengarahkan timnya, tapi pikirannya masih terlempar pada percakapan terakhir dengan Anthony.Napasnya berat setiap kali ingatan itu kembali pada tatapan mata amber yang menuntut, suara parau yang menyinggung Dion."Kalau memang Dion anakku… aku nggak akan biarkan dia tumbuh tanpa tahu siapa ayahnya."Anetta memejamkan mata sesaat, lalu memaksa fokus kembali pada layar laptop yang menampilkan render desain lobby Skyline.“Bu Anetta,” suara Karin, asisten pribadinya, memecah lamunan. “Ada telepon dari sekolah Dion. Guru wali kelas ingin bicara sebentar.”Deg. Anetta menoleh cepat, tangannya refleks meraih ponsel kantor. “Halo, ini ibunya Dion. Ada apa, Miss Clara?”Suara hangat guru wali terdengar di seberang, meski dengan nada sedikit cemas.
Pagi itu, gedung tinggi Reynard Group berkilau diterpa sinar matahari Jakarta. Orang lalu-lalang di lobby megah, sibuk dengan ritme korporat yang padat. Di lantai paling atas, sebuah pintu kayu berukir elegan menandai ruangan CEO—Anthony Reynard. Nama itu kini membuat perut Anetta mengeras setiap kali mendengarnya. Dan sialnya, pagi ini ia justru berdiri di depan pintu itu, menahan napas sebelum mengetuk. “Bu Anetta Aileya?” suara resepsionis lantai eksekutif yang mendampingi terdengar sopan. “Silakan masuk. Pak Anthony sudah menunggu.” Anetta menelan ludah. Ia merapikan blazer putih gadingnya, menenteng map desain revisi untuk proyek kerjasama kantornya dan Reynard Group. “Baik…” jawabnya lirih. Tangannya sempat gemetar sebelum akhirnya mendorong pintu besar itu. Ruang CEO Reynard Group selalu memberi kesan megah dan dingin. Langit-langit tinggi dengan kaca jendela setebal empat lapis memperlihatkan pemandangan Jakarta yang berlapis-lapis: gedung pencakar langit, jalan raya pada
Malam itu udara Jakarta terasa lebih lembap dari biasanya. Anetta duduk di ruang tamu, menatap layar laptop yang masih terbuka di meja, tapi pikirannya melayang ke tempat lain. Setiap kali ia mencoba membaca ulang proposal desain, justru wajah Anthony muncul begitu saja.Sial. Ucapan terakhir pria itu, “Aku bakal ada di sini sampai kamu berhenti pura-pura,” masih bergema jelas di telinga Anetta.Anetta mengusap wajah dengan kedua tangan, berusaha menghapus bayangan itu. Tapi semakin ia berusaha, semakin kuat Anthony merasuk ke dalam benaknya. Bersama bayang lima tahun lalu ikut meliuk-liuk di dalam ingatan Anetta.Belum lagi efek dari sentuhan jemari Anthony pada garis rahangnya tadi, kembali menguar memori malam panas yang mereka berdua habiskan saat itu.Ding!Suara notifikasi ponsel memecah hening dan berhasil membuyarkan lamunan Anetta. Dengan ragu, ia meraih ponsel di samping laptop.[Anthony]: “Udah tidur, Baby? Atau masih mikirin aku hmm?”Anetta membeku. Tangannya gemetar sesa
Huft! Anetta menghembuskan nafas kasar, setelah pintu apartemen tertutup rapat, Anetta masih duduk terdiam di kursi makan. Tangannya meremas apron yang masih melekat di tubuh, wajahnya panas, jantungnya berdebar tak karuan. Ucapan terakhir Anthony 'See you soon, Baby' masih terngiang jelas di telinganya. Sial. Kenapa pria itu selalu tahu cara mengguncang pertahanannya? Monolog Anetta di dalam hati. “Ma, Lego-ku jatuh di bawah ranjang,” seru Dion dari dalam kamar, memecah lamunan. Anetta buru-buru bangkit, mencoba menenangkan dirinya. “Iya, sayang, mama ambilin.” Ia berjalan ke kamar Dion, membantu bocah itu mengambil Lego, lalu merapikan ranjang kecilnya. Dion menatap ibunya dengan polos. “Om Anthony baik ya, Ma. Dia lucu.” Kalimat itu membuat jantung Anetta berhenti sejenak. Dion tidak boleh terlalu dekat dengan Anthony. Setidaknya… belum sekarang. “Om Anthony itu teman lama Mama, Nak,” jawab Anetta hati-hati, mengusap rambut Dion. “Tapi Dion jangan terlalu banyak nanya dulu, y
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments