Share

Bab 7.

last update Huling Na-update: 2025-09-04 21:11:39

Sejak awal minggu, hubungan Arga dan Rani makin erat. Mereka sering makan siang berdua, bercanda, bahkan saling curhat. Dara yang awalnya cuek, mulai merasakan ada sesuatu yang janggal. Tiap kali melihat mereka tertawa bersama, ada rasa sesak yang tak bisa ia jelaskan.

Suatu sore, saat mereka bertiga duduk di kafe, Rani tiba-tiba mengumumkan dengan penuh semangat, "Ga, gimana kalau weekend ini kita jalan-jalan ke Puncak? Refreshing, sekalian quality time, kan.”

Arga tersenyum, menatap Rani dengan antusias. “Boleh juga tuh. Kayaknya asik.”

Dara yang duduk di seberang, hanya bisa menyeduh minumannya pelan. Ia menunggu, berharap Arga akan menoleh padanya dan mengajaknya juga. Tapi ternyata, yang keluar dari mulut Arga hanyalah, “Oke, berarti weekend ini, cuma kita berdua ya.”

Hati Dara tercekat. Senyumnya kaku. Ia mencoba menutupi rasa perih itu dengan pura-pura sibuk main HP. Kenapa aku kecewa sih? Kan aku nggak punya hak juga buat marah atau melarang… pikirnya, namun perasaan tidak rela itu terus mengganjal.

Hari Sabtu tiba. Arga menjemput Rani dengan mobilnya. Dara sempat melihat dari kejauhan—entah kebetulan atau memang sengaja—dan di dadanya muncul rasa aneh, seperti ditinggalkan.

Di perjalanan, Rani dan Arga tertawa lepas, mendengarkan musik keras-keras, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Angin pegunungan semakin dingin ketika mereka tiba di villa mewah di lereng bukit. Bangunannya bergaya modern, dengan balkon luas menghadap hamparan lampu kota di kejauhan.

Malam itu, mereka duduk di balkon, udara dingin menusuk kulit. Rani membawa dua gelas minuman hangat, namun di salah satunya ia sudah meneteskan obat perangsang yang ia siapkan sejak awal.

“Minum, biar hangat,” ucap Rani dengan senyum menggoda.

Arga meneguk tanpa curiga.

Tak butuh lama, tubuhnya mulai terasa panas. Nafasnya berubah lebih berat, tatapannya semakin sulit lepas dari Rani. Rani tahu, saat itu hasrat Arga sedang memuncak. Ia mendekat, menaruh tangannya di dada Arga, membiarkan situasi semakin menggelora.

Hasrat yang ditahan tak bisa lagi dikekang. Ciuman pertama terasa seperti ledakan, panas, penuh gairah. Udara dingin Puncak kalah oleh panas tubuh mereka. Rani dengan penuh percaya diri membiarkan semuanya mengalir, sementara Arga, yang diliputi dorongan kuat, tak mampu menahan diri.

Balkon yang tadinya sunyi kini menjadi saksi bisu hubungan mereka yang melewati batas.

Malam itu, Arga dan Rani terjerat dalam keintiman, tanpa memikirkan apa pun selain diri mereka berdua.

Rani dengan keindahan tubuhnya yang sudah tak mengenakan sehelai benang pun membuat iman Arga seketika goyah, Arga langsung mengangkat tubuh Rani dan membaringkannya di atas kasur. Arga pun melepas seluruh pakaiannya dan mulai mengikuti nafsu dan gairahnya. Di mulai dengan mencumbui seluruh wajah Rani, kemudian turun ke leher jenjang wanita cantik itu, dan memberi tanda kepemilikannya disana.

Setelah puas, dia pun menuju ke bu ah da da yang sangat menggoda milik Rani. Arga mengulumnya dengan penuh naf su, sehingga membuat Rani seakan melayang ke angkasa, debar jantung mereka kini tak beraturan, peluh yang menetes pun tak terasa hingga pada akhirnya Arga memasukkan kejan tanannya ke dalam liang Rani, yang sebelumnya pun sudah pernah mereka lakukan. Dan puncaknya, mereka berdua puas dan terbaring letih di atas kasur, karena mereka melakukannya bukan hanya sekali, tapi malam itu mereka melakukannya dua kali.

Di sisi lain, Dara termenung di kamarnya. Ia mencoba tidur, tapi hatinya bergejolak. Ada rasa hampa, ada rindu, ada luka yang ia sendiri tak bisa pahami. Seakan sesuatu yang seharusnya menjadi miliknya… kini perlahan diambil oleh orang lain.

Matahari pagi menembus tirai tipis villa, udara Puncak masih dingin dengan kabut yang menyelimuti pepohonan. Arga terbangun, tubuhnya terasa lelah tapi hangat. Di sebelahnya, Rani masih terlelap dengan senyum kecil di wajahnya.

Arga menatap Rani sejenak, hatinya penuh dengan rasa campur aduk. Ada bagian dirinya yang puas, karena semalam ia merasa kembali seperti dulu, saat masih pacaran tanpa batas. Tapi ada juga rasa bersalah yang samar, mengingat statusnya sekarang bukan lagi lelaki bebas, melainkan suami seseorang. Namun rasa itu cepat ia tepis.

"Dara kan nggak peduli. Dia sendiri nggak cinta sama aku. Jadi apa salahnya?"

Saat Rani membuka mata, ia langsung menggeliat manja, menyandarkan kepalanya di dada Arga.

“Good morning, love,” bisiknya menggoda.

Arga tersenyum samar. “Morning.”

Mereka kembali bercanda, sarapan bersama, bahkan sempat berfoto mesra dengan latar balkon villa. Rani terlihat semakin yakin, bahwa lambat laun Arga akan benar-benar meninggalkan Dara.

Hari Minggu sore mereka pulang. Dara menyambut Arga di ruang tamu dengan wajah datar, berusaha sebiasa mungkin.

“Baru pulang?” tanyanya singkat.

“Iya, tadi sempet macet,” jawab Arga, tanpa rasa bersalah.

Yang membuat hati Dara makin teriris adalah cara Rani pamit. Ia menghampiri Arga dengan senyum penuh kemenangan, menyentuh lengannya dengan lembut sambil berkata, “Thanks for the wonderful weekend, sayang.”

Dara mendengar jelas kata “sayang” itu. Dadanya seperti ditusuk. Ia menunduk, pura-pura sibuk merapikan majalah di meja agar tak terlihat matanya yang mulai memanas.

Malam harinya, Dara duduk di ranjang, menggenggam selimut erat-erat. Ia berusaha keras menahan air mata. Kenapa aku harus sakit begini? Bukankah aku sendiri dari awal tidak ingin menikahinya? Bukankah aku yang bilang aku bisa menerima keadaan ini tanpa cinta?

Namun, setiap kali bayangan Arga bersama Rani muncul, ada rasa marah, cemburu, dan takut kehilangan yang tak bisa ia bantah.

Tanpa sadar, Dara mulai menatap pintu kamar, berharap Arga masuk, menanyakan kabarnya, atau sekadar duduk di sebelahnya. Tapi malam itu, Arga memilih tidur di ruang kerja setelah menutup pintu dengan suara keras.

Dara akhirnya menangis dalam diam, tak berani mengeluarkan suara. Dan untuk pertama kalinya, ia sadar… bahwa ia sebenarnya ingin Arga hanya menjadi miliknya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 63.

    Hujan baru saja berhenti, udara sore masih lembap. Aluna keluar dari minimarket kecil dekat kos temannya, membawa dua botol minuman dan roti. Ia ingin kembali ke mobil teman-temannya yang sedang parkir. Saat berjalan melewati rak buah di depan minimarket, seseorang menabraknya pelan dari sisi kanan. Bukan keras, tapi cukup membuat botol minuman bergoyang. Suara seorang lelaki pelan terdengar, “Maaf… Luna?” Aluna menoleh. Dan di sana, berdiri pria yang tak pernah benar-benar hilang dari kepalanya selama dua minggu terakhir. Freddy. Pakaiannya sederhana, kemeja coklat gelap, tangan masih memegang kantong belanja, wajahnya tampak lebih lelah dari terakhir kali. Ada kantung mata yang dalam, ada napas yang tertahan lama. “Om… Freddy?” Freddy tersenyum kecil, namun gugup, “Iya. Kamu sendiri? Sudah mau pulang?” “Iya, ini habis beli minum.” Ada keheningan aneh di antara mereka. Seperti ada sesuatu yang menggantung… sesuatu yang tidak bisa dihindari. Freddy menelan ludah perlahan

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 62.

    Tiga hari setelah Freddy duduk diam di seberang Cafe Selaras, Aluna sedang dalam perjalanan pulang dari kampus. Mobilnya sedang berada di bengkel. Sore itu gerimis kota pesisir memiliki bau hujan yang khas, asin laut bercampur tanah basah. Aluna memeluk totebag ke dadanya, buru-buru berjalan agar tidak terlalu basah, saat menyeberang trotoar menuju halte, langkahnya terpeleset kecil karena batu jalan yang licin. Seseorang sigap menangkap lengannya. Freddy. Tangan pria itu besar, hangat, kuku-kukunya bersih tapi ada garis bekas kerja kasar. Gerakannya spontan, refleks, bukan rencana. “Ah—! Maaf, saya— hampir jatuh…” seru Aluna. Freddy melepas perlahan agar tidak membuatnya takut, “Tidak apa-apa. Kau baik-baik saja?” Aluna mengangguk cepat, sedikit kikuk. Ia menatap wajah Freddy. Mata itu… tajam, tapi bukan menghakimi. Lebih seperti seseorang yang sudah terlalu banyak hidup dan terlalu banyak kehilangan. Aluna tidak mengenalnya. Tapi entah kenapa, ia merasa

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 61.

    Hujan akhirnya berhenti ketika senja mulai turun.Langit berubah menjadi ungu gelap, seolah menyerap seluruh kesedihan yang menggantung di udara.Freddy berjalan tanpa arah.Langkahnya berat, tidak tergesa, tidak pula yakin.Hanya berjalan.Ia berakhir di dermaga tua — tempat nelayan biasanya menambatkan perahu saat malam tiba.Papan kayu jembatan itu basah dan berderit pelan saat ia melangkah menuju ujungnya.Ia duduk.Tanpa payung, tanpa berteduh.Membiarkan sisa hujan menetes dari rambutnya dan kelembaban menyerap ke pakaiannya.Tangannya terasa gemetar.Bukan karena dingin, tapi karena kenyataan yang baru saja menghantamnya keras.“Aluna… anakku…”Suara itu keluar pelan, serak, hampir tidak terdengar.Seolah ia takut kalau dunia akan mendengar dan menertawakannya.Matanya menatap permukaan laut. Gelap, beriak, tidak memantulkan cahaya apapun.Seperti hidupnya.Selama bertahun-tahun di penjara, ia menahan marah, menahan dendam, menahan frustasi.Ia yakin Riana menghancurkan hidupn

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 60.

    Sore itu, langit di atas kota pesisir tampak mendung, udara membawa aroma garam laut bercampur hujan yang sebentar lagi turun. Freddy melangkah perlahan di sepanjang jalan kecil menuju Selaras Café, tempat yang sejak lama ia dengar dari orang-orang sebagai milik Dara dan Arga. Dan konon, dikelola oleh seorang wanita bernama Riana. Nama itu membuat dadanya sesak setiap kali ia dengar. Tangannya gemetar ketika hendak membuka pintu kafe. Ia tak tahu apa yang akan dikatakan jika benar Riana ada di sana. Apakah ia pantas menemuinya setelah semua yang telah terjadi? Namun hati kecilnya terus berbisik, "Setidaknya sekali saja… biar aku bisa minta maaf…" Langkahnya baru dua meter dari pintu ketika seseorang keluar dari dalam kafe. Seorang pria tinggi dengan wajah tegas dan mata tajam, Adrian Wilson Anggara. Adrian baru saja menutup percakapan telepon dengan salah satu staf cottage-nya. Namun begitu melihat sosok pria berjaket lusuh dengan tatapan bimbang di depan pintu k

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 59.

    Aluna sedang liburan singkat ke kota tempat dulu ibunya pernah tinggal, bersama tiga teman kampusnya. Mereka mencari tempat nongkrong yang “vintage dan tenang”. Salah satu temannya merekomendasikan sebuah kafe yang katanya punya vibe klasik dan tenang “Cafe Purnama”. Freddy sekarang sudah jauh berubah. Rambutnya memutih sebagian, wajahnya terlihat lelah namun berwibawa. Ia bekerja sebagai pengurus kebun kecil milik seorang kenalannya di luar kota.Pak Anggara, orang tua Freddy dan Adrian sudah meninggal dunia, kemudian perusahaannya bangkrut karena di kelola oleh asistennya, yang ternyata punya niat jahat. Sehingga saat Freddy keluar penjara, semuanya sudah hancur, dan berujung malapetaka. Semua harta maupun aset yang di milikinya semuanya hilang dan tak tersisa apapun untuknya.Yang tersisa hanya pakaian di badannya saja yang dia pakai saat keluar dari penjara.Pada akhirnya, dia hanya bisa menjadi tukang kebun. Beruntung, dia bertemu dengan kenalannya dan memintanya untuk memb

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 58.

    Sore itu, udara di pesisir terasa lembut. Angin laut berhembus membawa aroma asin yang khas, menelusup ke setiap jendela Selaras Café dan Alunadric Cottage yang kini sudah menjadi salah satu destinasi wisata paling terkenal di daerah itu. Banyak pasangan muda datang untuk berlibur, menikmati matahari tenggelam yang indah di tepi laut, tak tahu bahwa tempat ini lahir dari kisah dua hati yang pernah hancur dan sembuh bersama. Dari balkon utama rumah mereka, Riana menatap pantai sambil memegang secangkir teh hangat. Garis halus di wajahnya bukan tanda lelah, melainkan bukti perjalanan panjang dan cinta yang matang. Dari kejauhan, ia melihat Aluna, yang kini berusia 20 tahun, berjalan sambil membawa kamera di tangan. Gadis itu kini kuliah semester 3 di jurusan Desain Komunikasi Visual, dan sering membantu ibunya membuat desain promosi untuk Selaras Café dan cottage milik ayahnya. Langkahnya cepat, matanya bersinar penuh semangat, kombinasi sempurna antara ketegasan Anggara family

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status