Sejak awal minggu, hubungan Arga dan Rani makin erat. Mereka sering makan siang berdua, bercanda, bahkan saling curhat. Dara yang awalnya cuek, mulai merasakan ada sesuatu yang janggal. Tiap kali melihat mereka tertawa bersama, ada rasa sesak yang tak bisa ia jelaskan.
Suatu sore, saat mereka bertiga duduk di kafe, Rani tiba-tiba mengumumkan dengan penuh semangat, "Ga, gimana kalau weekend ini kita jalan-jalan ke Puncak? Refreshing, sekalian quality time, kan.” Arga tersenyum, menatap Rani dengan antusias. “Boleh juga tuh. Kayaknya asik.” Dara yang duduk di seberang, hanya bisa menyeduh minumannya pelan. Ia menunggu, berharap Arga akan menoleh padanya dan mengajaknya juga. Tapi ternyata, yang keluar dari mulut Arga hanyalah, “Oke, berarti weekend ini, cuma kita berdua ya.” Hati Dara tercekat. Senyumnya kaku. Ia mencoba menutupi rasa perih itu dengan pura-pura sibuk main HP. Kenapa aku kecewa sih? Kan aku nggak punya hak juga buat marah atau melarang… pikirnya, namun perasaan tidak rela itu terus mengganjal. Hari Sabtu tiba. Arga menjemput Rani dengan mobilnya. Dara sempat melihat dari kejauhan—entah kebetulan atau memang sengaja—dan di dadanya muncul rasa aneh, seperti ditinggalkan. Di perjalanan, Rani dan Arga tertawa lepas, mendengarkan musik keras-keras, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Angin pegunungan semakin dingin ketika mereka tiba di villa mewah di lereng bukit. Bangunannya bergaya modern, dengan balkon luas menghadap hamparan lampu kota di kejauhan. Malam itu, mereka duduk di balkon, udara dingin menusuk kulit. Rani membawa dua gelas minuman hangat, namun di salah satunya ia sudah meneteskan obat perangsang yang ia siapkan sejak awal. “Minum, biar hangat,” ucap Rani dengan senyum menggoda. Arga meneguk tanpa curiga. Tak butuh lama, tubuhnya mulai terasa panas. Nafasnya berubah lebih berat, tatapannya semakin sulit lepas dari Rani. Rani tahu, saat itu hasrat Arga sedang memuncak. Ia mendekat, menaruh tangannya di dada Arga, membiarkan situasi semakin menggelora. Hasrat yang ditahan tak bisa lagi dikekang. Ciuman pertama terasa seperti ledakan, panas, penuh gairah. Udara dingin Puncak kalah oleh panas tubuh mereka. Rani dengan penuh percaya diri membiarkan semuanya mengalir, sementara Arga, yang diliputi dorongan kuat, tak mampu menahan diri. Balkon yang tadinya sunyi kini menjadi saksi bisu hubungan mereka yang melewati batas. Malam itu, Arga dan Rani terjerat dalam keintiman, tanpa memikirkan apa pun selain diri mereka berdua. Rani dengan keindahan tubuhnya yang sudah tak mengenakan sehelai benang pun membuat iman Arga seketika goyah, Arga langsung mengangkat tubuh Rani dan membaringkannya di atas kasur. Arga pun melepas seluruh pakaiannya dan mulai mengikuti nafsu dan gairahnya. Di mulai dengan mencumbui seluruh wajah Rani, kemudian turun ke leher jenjang wanita cantik itu, dan memberi tanda kepemilikannya disana. Setelah puas, dia pun menuju ke bu ah da da yang sangat menggoda milik Rani. Arga mengulumnya dengan penuh naf su, sehingga membuat Rani seakan melayang ke angkasa, debar jantung mereka kini tak beraturan, peluh yang menetes pun tak terasa hingga pada akhirnya Arga memasukkan kejan tanannya ke dalam liang Rani, yang sebelumnya pun sudah pernah mereka lakukan. Dan puncaknya, mereka berdua puas dan terbaring letih di atas kasur, karena mereka melakukannya bukan hanya sekali, tapi malam itu mereka melakukannya dua kali. Di sisi lain, Dara termenung di kamarnya. Ia mencoba tidur, tapi hatinya bergejolak. Ada rasa hampa, ada rindu, ada luka yang ia sendiri tak bisa pahami. Seakan sesuatu yang seharusnya menjadi miliknya… kini perlahan diambil oleh orang lain. Matahari pagi menembus tirai tipis villa, udara Puncak masih dingin dengan kabut yang menyelimuti pepohonan. Arga terbangun, tubuhnya terasa lelah tapi hangat. Di sebelahnya, Rani masih terlelap dengan senyum kecil di wajahnya. Arga menatap Rani sejenak, hatinya penuh dengan rasa campur aduk. Ada bagian dirinya yang puas, karena semalam ia merasa kembali seperti dulu, saat masih pacaran tanpa batas. Tapi ada juga rasa bersalah yang samar, mengingat statusnya sekarang bukan lagi lelaki bebas, melainkan suami seseorang. Namun rasa itu cepat ia tepis. "Dara kan nggak peduli. Dia sendiri nggak cinta sama aku. Jadi apa salahnya?" Saat Rani membuka mata, ia langsung menggeliat manja, menyandarkan kepalanya di dada Arga. “Good morning, love,” bisiknya menggoda. Arga tersenyum samar. “Morning.” Mereka kembali bercanda, sarapan bersama, bahkan sempat berfoto mesra dengan latar balkon villa. Rani terlihat semakin yakin, bahwa lambat laun Arga akan benar-benar meninggalkan Dara. Hari Minggu sore mereka pulang. Dara menyambut Arga di ruang tamu dengan wajah datar, berusaha sebiasa mungkin. “Baru pulang?” tanyanya singkat. “Iya, tadi sempet macet,” jawab Arga, tanpa rasa bersalah. Yang membuat hati Dara makin teriris adalah cara Rani pamit. Ia menghampiri Arga dengan senyum penuh kemenangan, menyentuh lengannya dengan lembut sambil berkata, “Thanks for the wonderful weekend, sayang.” Dara mendengar jelas kata “sayang” itu. Dadanya seperti ditusuk. Ia menunduk, pura-pura sibuk merapikan majalah di meja agar tak terlihat matanya yang mulai memanas. Malam harinya, Dara duduk di ranjang, menggenggam selimut erat-erat. Ia berusaha keras menahan air mata. Kenapa aku harus sakit begini? Bukankah aku sendiri dari awal tidak ingin menikahinya? Bukankah aku yang bilang aku bisa menerima keadaan ini tanpa cinta? Namun, setiap kali bayangan Arga bersama Rani muncul, ada rasa marah, cemburu, dan takut kehilangan yang tak bisa ia bantah. Tanpa sadar, Dara mulai menatap pintu kamar, berharap Arga masuk, menanyakan kabarnya, atau sekadar duduk di sebelahnya. Tapi malam itu, Arga memilih tidur di ruang kerja setelah menutup pintu dengan suara keras. Dara akhirnya menangis dalam diam, tak berani mengeluarkan suara. Dan untuk pertama kalinya, ia sadar… bahwa ia sebenarnya ingin Arga hanya menjadi miliknya.Beberapa hari kemudian, Arga menerima undangan dari klien penting yang ingin berdiskusi soal proyek besar. Rani, yang kebetulan menjadi konsultan acara untuk klien itu, juga hadir. “Ga, aku sekalian koordinasi soal event klien ini, biar semua lancar,” ucap Rani sambil tersenyum manis. Arga mengangguk, merasa nyaman dengan kehadiran Rani. Dara mendengar kabar itu dari telepon pagi hari. Ia mencoba menenangkan diri, mengingat bahwa ini urusan pekerjaan. Namun, hatinya tetap terasa sesak. Ia kembali tenggelam dalam laporan keuangan, menghitung angka demi angka, berharap fokusnya bisa mengusir rasa cemburu. Di kantor, Arga dan Rani terlihat akrab. Mereka saling bertukar ide, berdiskusi di ruang rapat dengan nada santai namun produktif. Arga sering tersenyum pada Rani, memberi apresiasi atas ide-ide kreatifnya. Rani pun dengan lihai menambahkan komentar kecil yang membuat Arga tertawa, membuat beberapa rekan kerja tak bisa menahan senyum. Sementara Dara, yang duduk di meja di seberang
Suatu sore, Rani sengaja masuk ke dapur saat Dara sedang menyiapkan minuman. Ia tersenyum manis, tapi matanya menyiratkan sesuatu. “Mbak Dara, makasih ya selalu bikinin minum kalau aku datang. Aku tau kamu orangnya baik banget. Tapi… jujur aja, aku suka kasihan sama kamu.” Dara menoleh, alisnya mengernyit. “Kasihan? Maksud kamu apa?” Rani pura-pura menutup mulutnya, lalu tertawa kecil. “Ah, nggak apa-apa kok. Cuma… aku tau Arga itu nggak mudah dilupakan. Susah banget dilepasin, apalagi kalau udah pernah jadi bagian penting hidup seseorang. Kamu ngerti kan maksud aku?” Dara terdiam, jantungnya berdegup cepat. Ia menunduk pura-pura sibuk dengan gelas di tangannya. Malam itu, Rani ikut makan malam di rumah. Saat Arga memuji sup buatan Dara, Rani langsung menyahut, “Wah, enak banget! Tapi kalau soal masakan, aku masih inget dulu Arga paling suka masakanku. Kamu masih inget kan, Ga, waktu aku bikinin pasta buat kamu?” Arga hanya tersenyum samar, tapi Dara yang duduk di seberangny
Arga Mulai Menyadari Sikap Aneh Dara. Jadi, pelan-pelan ia menangkap ada sesuatu yang berubah pada Dara, meskipun ia belum paham bahwa itu adalah rasa cemburu.Arga baru saja pulang kerja, masih dengan kemeja yang sedikit kusut. Dara menghampiri, menyodorkan segelas air dingin.“Capek?” tanyanya singkat.“Lumayan,” jawab Arga, lalu menaruh tas di sofa.Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Rani menelepon. Senyum Arga muncul tanpa sadar. Saat itu juga, Dara menegakkan tubuhnya. Matanya menatap sekilas, lalu ia berdeham kecil.“Aku… ke dapur dulu.”Arga mengerutkan kening, memperhatikan gerak Dara yang agak terburu-buru. Kenapa sih dia kayak nggak suka kalau aku nerima telepon?Arga masuk ke dapur setelah menutup telepon. Ia melihat Dara sibuk memotong bawang, tapi potongannya berantakan.“Kamu kenapa? Lagi nggak enak badan?”“Nggak kok.”“Terus kenapa kelihatan bete gitu?”“Aku nggak bete,” jawab Dara cepat, suaranya meninggi tanpa sadar.Arga diam sejenak, menatapnya lekat. Ada yang janggal,
Hari-hari setelah liburan itu, Rani semakin sering datang ke rumah Arga. Kalau dulu ia masih menjaga jarak, kini sikapnya terang-terangan. Ia duduk di ruang tamu sambil tertawa renyah dengan Arga, sesekali menggenggam tangannya tanpa malu-malu.Dara yang sedang menyiapkan teh di dapur hanya bisa menggigit bibir, menahan rasa tak enak yang semakin menjadi-jadi. Saat ia menghidangkan minuman, Rani tersenyum manis.“Terima kasih ya, Mbak Dara. Aku selalu nyaman kalau di sini. Apalagi Arga selalu tahu cara bikin aku betah.”Kata-kata itu seperti sindiran tajam. Dara memaksakan senyum tipis.“Ya, sama-sama.”Di balik senyum itu, hatinya bergemuruh. Ia ingin sekali berteriak, ‘Jangan perlakukan suamiku seperti itu!’ Tapi lidahnya kelu, karena ia tahu, dari awal pernikahan ini memang bukan karena cinta.Suatu malam, Arga dan Dara duduk makan malam bersama. Rani ikut bergabung karena “kebetulan” ada urusan di dekat rumah.Rani menatap Arga sambil berkata manja, “Kamu masih inget kan, makanan
Sejak awal minggu, hubungan Arga dan Rani makin erat. Mereka sering makan siang berdua, bercanda, bahkan saling curhat. Dara yang awalnya cuek, mulai merasakan ada sesuatu yang janggal. Tiap kali melihat mereka tertawa bersama, ada rasa sesak yang tak bisa ia jelaskan. Suatu sore, saat mereka bertiga duduk di kafe, Rani tiba-tiba mengumumkan dengan penuh semangat, "Ga, gimana kalau weekend ini kita jalan-jalan ke Puncak? Refreshing, sekalian quality time, kan.” Arga tersenyum, menatap Rani dengan antusias. “Boleh juga tuh. Kayaknya asik.” Dara yang duduk di seberang, hanya bisa menyeduh minumannya pelan. Ia menunggu, berharap Arga akan menoleh padanya dan mengajaknya juga. Tapi ternyata, yang keluar dari mulut Arga hanyalah, “Oke, berarti weekend ini, cuma kita berdua ya.” Hati Dara tercekat. Senyumnya kaku. Ia mencoba menutupi rasa perih itu dengan pura-pura sibuk main HP. Kenapa aku kecewa sih? Kan aku nggak punya hak juga bua
Sore itu, ruang tamu keluarga Pramudya dipenuhi keheningan yang menegangkan. Di meja utama sudah tersaji teh hangat dan kue kecil, tapi tak ada yang menyentuhnya.Arga duduk di sisi kanan, bersandar dengan tangan terlipat di dada, wajahnya jelas-jelas menunjukkan ketidaksabaran. Dara di sisi kiri, duduk tegak dengan tatapan lurus ke depan, seolah berusaha tidak menoleh ke arah pria di sampingnya.Ratna tersenyum canggung, mencoba mencairkan suasana.“Arga, Dara... kalian kan sebentar lagi akan sering bersama. Cobalah bicara, saling mengenal...”Namun Arga hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap kosong ke meja. “Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan.”Dara spontan menoleh, alisnya terangkat. “Bagus. Aku juga tidak tertarik untuk mengenal lebih jauh.”Jawaban itu membuat Pramudya mengerutkan dahi, sementara Sari menatap putrinya dengan lirih, seakan memohon agar Dara menahan diri.Arga menoleh singkat ke arah Dara, senyumnya tipis, si